c. Rubor
Pada  inflamasi  aliran  darah  meningkat  akibat  terjadinya  dilatasi  kapiler, peningkatan  ini  menyebabkan  terjadinya  kemerahan  dan  peningkatan  suhu.
Waugh  and  Grant,  2001.    Kapiler  yang  sebelumnya  kosong  atau  merenggang akan  dengan  cepat  terisi  darah,  keadaan  ini  dikenal  sebagai  hyperemia  atau
kongesti yang  meyebabkan  warma  merah  lokal  akibat  peradangan  Price  and
Wilson, 1992. d.
Dolor Rasa  nyeri  pada  reaksi  peradangan  disebabkan  oleh  perubahan  pH  lokal
maupun  konsentrasi  ion-ion  tertentu  yang  dapat  merangsang  ujung  nosiseptor. Selain  itu  rasa  nyeri  juga  disebabkan  oleh  adanya  peningkatan  tekanan  lokal
akibat munculnya edema Price and Wilson, 1995. e.
Function laesa Penurunan  fungsi  organ  pada  lokasi  peradangan  disebabkan  oleh
terbentuknya metabolit-mehtabolit yang merugikan dan adanya peningkatan suhu Sander,  2003.  Selain  itu  adanya  pembengkakan  yang  hebat  juga  dapat
mengakibatkan kurangnya gerakan jaringan Harijadi, 2009.
G. Flavonoid
Flavonoid  merupakan  salah  satu  metabolit  sekunder  utama  yang terkandung  di  dalam  daun  C.  fistula.  Flavonoid  memiliki  peran  sebagai  agen
antiinflamasi  dengan  menghambat  jalur  lipooksigenase  yang  nantinya  akan melepaskan  mediator  inflamasi.  Tidak  hanya  jalur  lipooksigenase  saja  namun
senyawa  flavonoid  juga  dapat  menghambar  jalur  siklooksigenase  dengan  cara menghambat  pelepasan  asam  arakhidonat  yang  bersifat  kemotaksis  Winarsi,
2007.  Flavonoid  juga  berperan  sebagai  penangkap  radikal  bebas.  Mekanisme penangkapan  radikal  bebas  tersebut  dapat  melindungi  membrane  lipid  dari
kerusakan Robinson, 1995.
H. Antiinflamasi
Berdasarkan  cara  kerjanya,  terdapat  dua  golongan  senyawa  yang  banyak digunakan sebagai anti inflamasi , yaitu kortikosteroid dan obat anti inflamasi non
steroid NSAID Neal, 2005. Gambar target aksi obat kostikosteroid dan NSAID dapat dilihat pada gambar 7
Kortikosteroid  menekan  semua  fase  respons  inflamasi,  termasuk pembengkakan  dini,  kemerahan,  nyeri,  dan  selanjutnya  perubahan  proliferatif
yang  tampak  pada  inflamasi  kronis.  Kortikosteroid  menghambat  pembentukan mediator  proinflamasi,  seperti  prostaglandin,  leukotrien,  dan  platelet  activating
faktor PAF.  Golongan  obat  ini  menghambat  fosfolipase  A
2
,  enzim  yang bertanggung  jawab  atas  pembebasan  asam  arakhidonat  dari  fosfolipid  sehingga
dapat mengurangi peradangan yang terjadi Neal, 2005. Obat-obat  anti  inflamasi  nonsteroid  OAINS  merupakan  suatu  golongan
obat  yang  secara  kimiawi  tidak  sama,  yang  berbeda  aktivitas  anti  piretik, analgesik, dan anti inflamasinya. Obat-obat ini bekerja dengan jalan menghambat
enzim  siklo-oksigenase  tetapi  tidak  enzim  lipoksigenase  Mycek  dan  Harvey, 2001.  Pada  inflamasi,  prostaglandin  berperan  dalam  menyebabkan  vasodilatasi
dan  meningkatkan  permeabilitas  vaskular.  Akan  tetapi,  inhibisi  sintesis
prostaglandin  oleh  OAINS  mengurangi  inflamasi  daripada  menghilangkannya karena obat ini tidak menghambat mediator inflamasi lainnya. Sayangnya, inhibisi
sintesis  prostaglandin  dalam  mukosa  gaster  sering  menyebabkan  kerusakan gastrointestinal  dispepsia,  mual,  gastritis.  Efek  samping  yang  paling  serius
adalah perdarahan gastrointestinal dan perforasi Neal, 2005.
I. Metode Pengujian Antiinflamasi
1. Metode edema inflammation-associated oedema
Metode  pengujian  antiinflamasi  edema  kaki  merupakan  metode  yang umum digunakan. Senyawa penginduksi radang yang digunakan pada metode ini
antara lain formaldehida, ragi, dekstran, albumin telur, kaolin, polisakarida sulfat karagenin  atau  napthoylheparamine.  Edema  dihasilkan  dengan  menginjeksikan
senyawa  pemicu  radang  secara  intraplantar  pada  kaki  kewan  uji  kemudian dilakukan pengukuran Vogel, 2002.
Pada  penelitian  yang  dilakukan  oleh  Verawati,  Aria,  dan  Novicaresa 2011  digunakan  karagenin  2  dalam  natrium  klorida  fisiologis  yang
diinjeksikan  sebanyak  0,1  mL  secara  subkutan  bersamaan  dengan  udara  5  mL pada  bagian  punggung  yang  dicukur.  Sediaan  uji  yang  digunakan  berupa  salep
yang  merupakan  campuran  dari  ekstrak  daun  kembang  bulan  dan  vaselinum flavum  dengan  3  konsentrasi,  yaitu  1;  2,5;  dan  5  BB,  dioleskan  pada  bagian
punggung. Pengukuran  edema  dilakukan  dengan  mengukur  tebal  lipat  kulit  pada
bagian middrosal tengah punggung hewan uji. Tebalnya edema didasarkan pada
penebalan  lipatan  kulit  punggung  hewan  uji  yang  diukur  menggunakan  spring micrometer
Widyarini, Spinks, Husband, Reeve, 2001. 2.
Metode permeabilitas vaskuler Pada  metode  ini  senyawa  penginduksi  radang  yang  digunakan  adalah
senyawa  yang  dapat  memicu  datangnya  mediator  inflamasi  seperti  histamin, prostaglandin,  dan  leukotriene.  Hal  ini  dapat  mengakibatkan  dilatasi  pembuluh
darah  dan  peningkatan  permeabilitas  vaskular  sehingga  terbentuk  edema  Vogel, 2002.
Senyawa  penginduksi  radang  diberikan  secara  intrakutan  atau  subkutan kulit.  Setelah 90 menit  pasca injeksi  penginduksi  radang, hewan uji dikorbankan
dan  bagian  yang  diinjeksikan  diambil  dan  diwarnai  dengan Evan’s  blue  yang
dapat  merepat  untuk  mengetahui  peningkatan  permeabilitas  vaskuler.  Diameter resapan  pewarna
Evan’s blue diukur dan dibandingkan antara kelompok kontrol dan  uji.  Hasil  perbandingan  dinyatakan  sebagai  persen  penghambatan  PI.
Apabila PI kelompok uji menunjukkan nilai kurang dari 50 dibanding kelompok kontrol  maka  dinyatakan  positif  memiliki  aktivitas  penghambatan  inflamasi
Vogel, 2002. 3.
Metode eritrema ultraviolet Pada  metode  ini  bulu  kulit  hewan  uji  yang  digunakan  dicukur  terlebih
dahulu  pada  kedua  sisi  dibagian  belakang.  Kemudian  diberikan  krim  penghilang bulu  dan  dibilas  dengan  air  hangat.  Uji  aktivitas  antiinflamasi  ini  dilakukan
dengan membentuk eritrema pada kulit  hewan uji  menggunakan sinar ultraviolet selama  2  menit.  Dua  hingga  4  jam  setelah  pemaparan,  dilakukan  pengukuran
eritrema.  Senyawa  uji  diberikan  setengah  sebelum  pemaparan  dan  setengahnya lagi setelah pemaparan sinar ultraviolet Vogel, 2002.
4. Metode udem telinga pada tikus dan mencit dengan croton-oil
Pada  metode  ini  radang  diinduksi  dengan  menggunakan  croton-oil sebanyak  0,01  mL  pada  mencit  dan  0,02  mL  pada  tikus  yang  diberikan  pada
telinga kanan hewan uji. Telinga kiri hewan uji digunakan sebagai kontrol normal. Empat  jam  setelah  injeksi  croton-oil  hewan  uji  dikorbankan  dengan  anastesi.
Selanjutnya  telinga  hewan  uji  diambil  dan  ditimbang.  Derajat  edema  dilihat  dari selisih berat dari telinga kanan dan kiri Vogel, 2002.
5. Metode edema telinga mencit terinduksi oxazolone
Pada  metode  ini  digunakan  hewan  uji  mencit  jenis  kelamin  jantan  dan berina dengan bobot 25g. Langkah pertama dilakukan sensitifikasi menggunakan
oxazolone sebanyak 0,1 mL pada kulit abdominal yang telah dicukur bulunya atau 0,01 mL pada kedua telinga. Delapan hari kemudian, dilakukan pemberian cairan
0,01 mL oxazolone 2 pada telinga kanan. Telinga sebelah kiri didiamkan tanpa perlakuan. Inflamasi maksimala akan terjadi dalam 24 jam kemudian. Selanjutnya
hewan uji dikorbankan dengan anastesi  dan diambil sebesar diameter 8 mm  disk dari kedua telinga kanan dan kiri. Selanjutnya disk tersebut secepatnya ditimbang,
perbedaan  bobot  disk  merupakan  indicator  terjadinya  edema  inflamasi  Vogel, 2002.
J. Karagenin