Uji efek antiinflamasi topikal ekstrak etanol daun majapait (Crescentia cujete L.) pada edema kulit punggung mencit galur swiss terinduksi karagenin.

(1)

INTISARI

Tumbuhan Majapait (Crescentia cujete L.) merupakan salah satu tanaman yang dapat berperan sebagai antiinflamasi. Dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, senyawa flavonoid yang terkandung dalam daun majapait memiliki aktifitas sebagai antiinflamasi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efek antiinflamasi topikal, konsentrasi optimum, dan mengetahui persen (%) penghambatan inflamasi dari ekstrak etanol daun C.cujete pada mencit betina galur Swiss menggunakan metode Inflammation-assosiated edema dengan mengukur tebal lipat kulit punggung mencit.

Penelitian ini termasuk eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Tiga puluh ekor hewan uji dibagi menjadi 6 kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol negatif karagenin 3%, kelompok kontrol Biocream®, kelompok kontrol positif Hidrokortison Asetat®, kelompok ektrak etanol daun majapait 1,67; 2,5 dan 3,75% b/b. Senyawa uji dioleskan setelah injeksi karagenin diberikan. Tebal lipatan kulit punggung mencit diukur tiap jam selama 6 jam menggunakan jangka sorong digital kemudian dihitung selisih tebal lipatan kulit punggung tiap mencit, nilai AUC dan persen penghambatan inflamasi. Analisis data menggunakan uji Shapiro-Wilk kemudian dilanjutkan analisis Kruskall-Wallis yang dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun C.cujete memiliki efek antiinflamasi topikal. Konsentrasi optimum yang menunjukkan efek antiinflamasi topikal sebesar 1,67%. Persen (%) penghambatan inflamasi dari ekstrak etanol daun C.cujete pada konsentrasi 1,67; 2,5; dan 3,75% berturut-turut adalah 83,78; 69,98; dan 78,83%.

Kata kunci : antiinflamasi, topikal, daun Crescentia cujete, ekstrak etanol,


(2)

ABSTRACT

Majapait (Crescentia cujete L.) is a plant that has pharmacological effect. From the previous study, flavonoid in majapait leaf (Crescentia cujete L.) has antiinflamation activity. The research purpose were to investigate topical anti-inflammatory effect, optimum concentration, and find out the percent (%) inhibition of inflammation of the ethanol extract of C.cujete leaves using Inflammation-associated edema methods by measuring middorsal skinfold thickness.

This research was purely experimental with completely randomized design direction. Thirty mice were divided into six groups of five animals each. Negatif control group (Karagenin 3%), positive group (Hidrokortison Asetat® 2.5%), Biocream® control group, and group of ethanol extract of C.cujete with a consentration of 1.67; 2.5; and 3.75% b/b. The tested substance will be smeared after the carrageenan was injected given. Middorsal skin fold thickness of mice was measured every hour for 6 hours used digital Calipers and then calculated the difference in middorsal skin fold thickness of each mice, AUC and percent inhibition of inflammation. Analysis used the Shapiro-Wilk test, continued by Kruskall-Wallis test and Mann-Whitey test.

The result showed that ethanol extract of C.cujete leaves has topical antiinflammatory effect. Optimum concentration showed topical antiinflammatory effect at 1.67%. Inhibiton percentages of the ethanol extract of C.cujete leaves at concentration 1.67; 2.5; and 3.75% were 83.78; 69.98; and 78.83%.respectively.

Keyword : anti-inflammatory, topical, Crescentia cujete leaf, ethanol extract, Inflammation-assosiated edema


(3)

UJI EFEK ANTIINFLAMASI TOPIKAL EKSTRAK ETANOL DAUN MAJAPAIT (Crescentia cujete L.) PADA EDEMA KULIT PUNGGUNG

MENCIT GALUR SWISS TERINDUKSI KARAGENIN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Monika Febrianti NIM : 128114077

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

i

UJI EFEK ANTIINFLAMASI TOPIKAL EKSTRAK ETANOL DAUN MAJAPAIT (Crescentia cujete L.) PADA EDEMA KULIT PUNGGUNG

MENCIT GALUR SWISS TERINDUKSI KARAGENIN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Monika Febrianti NIM : 128114077

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

(6)

(7)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Every Expert Started From A Beginner”

(Anonim)

Whatever you do, work at it with all your heart, as working for the Lord.

(Colossians 3:23)

Kupersembahkan skripsi ini untuk : Kemuliaan Tuhan Yesus Kristus Ibu-Bapakku, ungkapan rasa hormat dan baktiku


(8)

v

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat, rahmat, dan kurnia-Nya yang telah dilimpahkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Uji Efek Antiinflamasi Topikal Ekstrak Etanol Daun Majapait (Crescentia cujete L.) pada Edema Kulit Punggung Mencit Galur Swiss Terinduksi Karagenin”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penyusunan skripsi telah banyak melibatkan berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada :

1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ibu drh. Sitarina Widyarini, MP. PhD., selaku pembimbing utama atas segala kesabaran dan waktu untuk selalu memotivasi, membimbing, mendukung, dan membantu penulisan dari awal hingga selesainya skripsi ini.

3. Bapak Prof. Dr. C.J. Soegihardjo, Apt. selaku dosen pembimbing kedua atas segala kesabaran untuk membimbing dan membantu penulis dalam menyusun skripsi ini.

4. Staf laboratorium, Bapak Heru Purwanto, Mas Kayatno, serta laboran lainnya yang telah membimbing dan membantu penulis dalam penelitian di laboratorium.


(9)

vi

5. Kedua orang tua, Antonius Pawi dan Elisabet Elis yang selalu memberi motivasi, menjadi semangat dan kekuatan bagi saya, serta selalu mendukung saya dalam bentuk doa dan kasih sayang sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

6. Saudara-saudaraku, Anastasia Eva dan Andreas Saputra yang selalu memberikan doa dan semangat kepada penulis.

7. Nicolaus Pramudya yang selalu menjadi motivasi dan penyemangat penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Teman-teman seperjuangan dalam penelitian : Dui Sostales, F.X. Rury Henggar, Kathrin Cinthika, Sinta Atmi Utami, dan Farra Ayu Efrianti atas kebersamaan, kerja sama, bantuan, dan perjuangan selama penelitian ini berlangsung.

9. Sahabat-sahabat penulis, Nova, Sisca, Ope, Iwat, Putri, dan Nonik yang selama ini sebagai tempat untuk berbagi canda, tawa, senang, dan sedih. Terimakasih untuk semangatnya.

10. Teman-teman FKK A angkatan 2012 atas kebersamaan selama ini.

11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang membangun yang dapat membuat karya ini menjadi lebih baik. Penulis mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan yang terdapat dalam laporan akhir skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan


(10)

vii

bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kefarmasian.

Yogyakarta, 3 Desember 2015


(11)

viii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan indikasi plagiarisme dalam naskah ini, maka saya bersedia menaggung segala sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Yogyakarta, 2 Desember 2015 Penulis


(12)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Monika Febrianti

Nomor Mahasiswa : 128114077

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul : “UJI EFEK ANTIINFLAMASI TOPIKAL EKSTRAK ETANOL DAUN MAJAPAIT

(Crescentia cujete L.) PADA EDEMA KULIT PUNGGUNG MENCIT GALUR SWISS TERINDUKSI KARAGENIN” beserta perangkat yang

diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 27 Januari 2016 Yang menyatakan,


(13)

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PRAKATA ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii

ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

INTISARI ... xvi

ABSTRACT ... xvii

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Rumusan Masalah ... 4

2. Keaslian Penelitian ... 4

3. Manfaat Penelitian ... 5

B. Tujuan Penelitian ... 6

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... 7

A. Tanaman Crescentia cujete L. ... 7

1. Taksonomi Tanaman ... 7

2. Sinonim ... 8

3. Nama Daerah ... 8


(14)

xi

5. Morfologi ... 9

6. Kegunaan ... 9

B. Flavonoid ... 10

C. Metode Penyarian ... 12

D. Kulit ... 14

E. Inflamasi ... 17

1. Definisi ... 17

2. Gejala ... 18

3. Mekanisme Inflamasi ... 20

F. Obat Antiinflamasi ... 25

G. Mekanisme Obat Antiinflamasi ... 26

1. Kortikosteroid ... 26

2. OAINS ... 27

H. Metode Pengujian Antiinflamasi ... 29

I. Radikal Bebas dan Antioksidan ... 32

J. Karagenin... 36

K. Hidrokortison Asetat ... 38

L. Biocream® ... 39

M. Landasan Teori ... 39

N. Hipotesis ... 41

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 42

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 42

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 42

C. Bahan Penelitian ... 45

D. Alat Penelitian dan Instrumen Penelitian ... 46

E. Tata Cara Penelitian ... 47


(15)

xii

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53

A. Hasil Determinasi Tanaman ... 53

B. Ekstraksi Etanol Daun Crescentia cujete L. ... 53

C. Penguian Efek Antiinflamasi Topikal Ekstrak Etanol Daun Crescentia cujete ... 55

D. Uji Pendahuluan ... 57

E. Efek Antiinflamasi Topikal Ekstrak Etanol Daun C.cujete ... 58

F. Hasil Pengujian Efek Antiinflamasi Topikal Ekstrak Etanol Daun C.cujete ... 63

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72

LAMPIRAN ... 77


(16)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel I. Nilai rata-rata AUC total masing-maisng kelompok

perlakuan ... 64 Tabel II. Rata-rata persen (%) penghambatan inflamasi pada

setiap kelompok perlakuan beserta kontrol dengan


(17)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Tanaman dan daun Crescenti cujete... 7

Gambar 2. Struktur lapisan kulit ... 16

Gambar 3. Mekanisme kortikosteroid dan antiinflamasi nonsteroid sebagai antiinflamasi ... 29

Gambar 4. Patologi radical oxidative stress (ROS) menyebabkan kerusakan sel ... 36

Gambar 5. Pengukuran edema setiap 1 jam hingga 6 jam dari berbagai konsentrasi karagenin secara subkutan ... 57

Gambar 6. Kurva rata-rata selisih tebal lipat kulit punggung mencit dari waktu pengukuran 1 jam hingga 6 jam ... 60

Gambar 7. Diagram batang rata-rata persen (%) penghambatan Inflamasi pada tiap kelompok perlakuan ... 67

Gambar 8. Serbuk daun C.cujete beserta ekstrak etanol C.cujete ... 78

Gambar 9. Ekstrak kental etanol daun C.cujete ... 78

Gambar 10. Ekstrak yang dilarutkan dalam basis biocream® ... 78

Gambar 11. Mencit betina galur Swiss ... 79

Gambar 12. Kulit punggung mencit setelah injeksi karagenin ... 79

Gambar 13. Cara pengukuran edema ... 79

Gambar 14. Karagenin sebagai kontrol negatif... 80

Gambar 15. Hidrokortison asetat 2,5% sebagai kontrol positif ... 80

Gambar 16. Biocream® sebagai kontrol biocream® ... 80

Gambar 17. Alat spuit injeksi... 81


(18)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Serbuk daun C.cujete sebagai ekstrak etanol

C.cujete ... 78

Lampiran 2. Hewan uji yang digunakan beserta cara pengukuran edema ... 79

Lampiran 3. Kontrol yang digunakan dalam penelitian, alat spuit injeksi, beserta jangka sorong digital ... 80

Lampiran 4. Surat determinasi tanaman C.cujete ... 82

Lampiran 5. Data perhitungan AUC tebal lipat kulit punggung Mencit ... 83

Lampiran 6. Hasil perhitungan Area Under Curve (AUC) ... 85

Lampiran 7. Data perhitungan persen penghambatan inflamasi ... 89

Lampiran 8. Perhitungan persen (%) penghambatan inflamasi ... 91

Lampiran 9. Hasil uji normalitas dengan uji Shapiro-Wilk ... 92

Lampiran 10. Hasil perhitungan rata-rata persen penghambatan Inflamasi (%PI) pada masing-masing kelompok Perlakuan ... 93

Lampiran 11. Hasil pengujian Kruskal-Wallis ... 96

Lampiran 12. Hasil pengujian Mann-Whitney ... 97


(19)

xvi

INTISARI

Tumbuhan Majapait (Crescentia cujete L.) merupakan salah satu tanaman yang dapat berperan sebagai antiinflamasi. Dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, senyawa flavonoid yang terkandung dalam daun majapait memiliki aktifitas sebagai antiinflamasi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efek antiinflamasi topikal, konsentrasi optimum, dan mengetahui persen (%) penghambatan inflamasi dari ekstrak etanol daun C.cujete pada mencit betina galur Swiss menggunakan metode Inflammation-assosiated edema dengan mengukur tebal lipat kulit punggung mencit.

Penelitian ini termasuk eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Tiga puluh ekor hewan uji dibagi menjadi 6 kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol negatif karagenin 3%, kelompok kontrol Biocream®, kelompok kontrol positif Hidrokortison Asetat®, kelompok ektrak etanol daun majapait 1,67; 2,5 dan 3,75% b/b. Senyawa uji dioleskan setelah injeksi karagenin diberikan. Tebal lipatan kulit punggung mencit diukur tiap jam selama 6 jam menggunakan jangka sorong digital kemudian dihitung selisih tebal lipatan kulit punggung tiap mencit, nilai AUC dan persen penghambatan inflamasi. Analisis data menggunakan uji Shapiro-Wilk kemudian dilanjutkan analisis Kruskall-Wallis yang dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun C.cujete memiliki efek antiinflamasi topikal. Konsentrasi optimum yang menunjukkan efek antiinflamasi topikal sebesar 1,67%. Persen (%) penghambatan inflamasi dari ekstrak etanol daun C.cujete pada konsentrasi 1,67; 2,5; dan 3,75% berturut-turut adalah 83,78; 69,98; dan 78,83%.

Kata kunci : antiinflamasi, topikal, daun Crescentia cujete, ekstrak etanol,


(20)

xvii

ABSTRACT

Majapait (Crescentia cujete L.) is a plant that has pharmacological effect. From the previous study, flavonoid in majapait leaf (Crescentia cujete L.) has antiinflamation activity. The research purpose were to investigate topical anti-inflammatory effect, optimum concentration, and find out the percent (%) inhibition of inflammation of the ethanol extract of C.cujete leaves using Inflammation-associated edema methods by measuring middorsal skinfold thickness.

This research was purely experimental with completely randomized design direction. Thirty mice were divided into six groups of five animals each. Negatif control group (Karagenin 3%), positive group (Hidrokortison Asetat® 2.5%), Biocream® control group, and group of ethanol extract of C.cujete with a consentration of 1.67; 2.5; and 3.75% b/b. The tested substance will be smeared after the carrageenan was injected given. Middorsal skin fold thickness of mice was measured every hour for 6 hours used digital Calipers and then calculated the difference in middorsal skin fold thickness of each mice, AUC and percent inhibition of inflammation. Analysis used the Shapiro-Wilk test, continued by Kruskall-Wallis test and Mann-Whitey test.

The result showed that ethanol extract of C.cujete leaves has topical antiinflammatory effect. Optimum concentration showed topical antiinflammatory effect at 1.67%. Inhibiton percentages of the ethanol extract of C.cujete leaves at concentration 1.67; 2.5; and 3.75% were 83.78; 69.98; and 78.83%.respectively.

Keyword : anti-inflammatory, topical, Crescentia cujete leaf, ethanol extract, Inflammation-assosiated edema


(21)

1

BAB 1

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Inflamasi merupakan suatu respons protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologik (Mycek, 2001). Inflamasi dapat menyebabkan keadaan yang menggelisahkan, akan tetapi inflamasi sebenarnya adalah suatu gejala yang menguntungkan, yang hasilnya adalah netralisasi dan pembuangan agen penyerang, penghancuran jaringan nekrotik, dan pembentukan keadaan yang dibutuhkan untuk perbaikan dan pemulihan (Price, 1984). Karena dipandang merugikan, maka inflamasi memerlukan obat untuk mengendalikannya.

Obat antiinflamasi dibagi dalam dua golongan, yaitu golongan kortikosteroid dan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS). Kortikosteroid sebagai antiinflamasi dengan menghambat fosfolipase A2, sedangkan OAINS dengan cara inhibisi sintesis prostaglandin (Neal, 2005). Akan tetapi, inhibisi sintesis prostaglandin sering menyebabkan gangguan gastrointestinal sehingga cara mengatasi masalah ini dengan mengubah jalur pemberian dari per oral menjadi topikal.

Pemberian sediaan secara topikal bertujuan untuk menghasilkan efek lokal bukan sistemik (Syamsuni, 2005). Apabila dibandingkan dengan sediaan topikal, efek lokal dari sediaan topikal ini lebih menguntungkan karena obat cepat menimbulkan efek sebab obat langsung dioleskan pada daerah yang mengalami


(22)

inflamasi. Selain itu, meminimalkan terjadinya efek samping seperti yang ditimbulkan pada penggunaan obat inflamasi secara oral karena obat tidak melewati first pass metabolism di hati.

Sejalan dengan tren „back to nature‟ yang berkembang pada masyarakat

saat ini, penggunaan berbagai tumbuhan serta bahan alam lainnya sebagai alternatif obat terus berkembang semakin besar, baik untuk pengobatan suatu penyakit maupun pemeliharaan kesehatan. Oleh karena itu, muncul banyak penelitian untuk mengembangkan bahan-bahan alam sebagai obat, salah satunya obat anti inflamasi. Tanaman yang dapat dijadikan sebagai salah satu pilihan pengobatan seperti pengobatan inflamasi, yaitu daun majapait (Crescentia cujete) (Wasito, 2011).

Ugbabe, Ayodele, Ajoku, Kunle, Kolo, dan Okogun (2010) melaporkan bahwa kandungan fitokimia dari ekstrak daun C.cujete menunjukkan adanya kandungan flavonoid. Flavonoid berfungsi sebagai antiinflamasi dengan cara menghambat enzim siklooksigenase dan lipooksigenase yang dapat memberi harapan untuk pengobatan gejala peradangan dan alergi. Selain menunjukkan adanya kandungan flavonoid, daun C.cujete juga menunjukkan kandungan fitokimia lain seperti adanya kandungan fenolik, saponin, tanin, dan terpenoid.

Parvin, Das, Jahan, Akhter, Nahar, dan Islam (2015) juga melaporkan bahwa senyawa aktif dari ekstrak etanol daun C.cujete yang bersifat sebagai anti inflamasi adalah senyawa fenolik seperti tanin dan flavonoid, dimana flavonoid seperti quercetin diketahui efektif mengatasi inflamasi akut. Flavonoid bertanggung jawab sebagai antiinflamasi karena memiliki aktivitas menghambat


(23)

pelepasan enzim fosfolipase A2 sehingga asam arakhidonat tidak akan dilepaskan. Apabila asam arakhidonat tidak terbentuk maka akan menghambat sintesis prostaglandin, suatu senyawa mediator inflamasi.

Kusuma, Sulistyo, Susanti, dan Sabikis (2014) melaporkan bahwa ekstrak etanol 96% daun C.cujete dengan dosis 40, 60, dan 80% secara in vivo memiliki aktifitas antiinflamasi yang dibuktikan dengan kemampuan ekstrak etanol daun C.cujete dalam menghentikan pendarahan luar dengan mekanisme membentuk bekuan buatan pada luka. Selain itu mekanisme lain dalam menghentikan pendarahan luar diduga melalui flavonoid dan tanin yang dikandung oleh daun C.cujete yang berperan dalam penghambatan sintesis lokal dan produksi dari prostaglandin I2 vasodilatasi (prostasiklin) sehingga menyebabkan proses kontraksi luka (vasokonstriksi) menjadi lebih cepat.

Das, Islam, Jahan, Khan, dan Parvin (2014) melaporkan bahwa kandungan fitokimia dari ekstrak etanol daun C.cujete ditemukan adanya kandungan fitokimia berupa steroid, saponin, tanin, glikosida, terpenoid, dan flavonoid yang memperlihatkan kemampuan sebagai antioksidan dengan memperlihatkan adanya aktivitas penangkapan radikal terhadap DPPH yang diduga akan menghambat pembentukan mediator inflamasi, yaitu prostaglandin sehingga bisa menghambat timbulnya rasa nyeri. Kemampuan ekstrak daun

C.cujete sebagai anti inflamasi diduga berkaitan erat dengan kandungan fitokimia

dalam tanaman tersebut. Oleh karena itu, pada penelitian dilakukan pemberian ekstrak etanol daun C.cujete secara topikal pada mencit yang terinduksi karagenin 3% subkutan untuk melihat apakah ekstrak etanol daun C.cujete dapat melindungi


(24)

kulit mencit dari inflamasi dilihat dari pengurangan edema (inflammation

associated edema) pada lipat kulit punggung mencit.

1. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, rumusan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Apakah ekstrak etanol daun Crescentia cujete memiliki efek antiinflamasi topikal pada mencit betina galur Swiss terinduksi karagenin?

b. Berapakah konsentrasi optimum ekstrak etanol daun Crescentia cujete yang menunjukkan efek antiinflamasi topikal pada mencit betina galur Swiss terinduksi karagenin?

c. Berapa persen (%) penghambatan inflamasi ekstrak etanol daun

Crescentia cujete pada mencit betina galur Swiss terinduksi

karagenin?

2. Keaslian penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh Ugbabe, dkk., (2010) melaporkan bahwa kandungan fitokimia dari C.cujete menunjukkan adanya kandungan flavonoid. Flavonoid berfungsi sebagai antiinflamasi dengan cara menghambat enzim siklooksigenase dan lipooksigenase. Selain menunjukkan adanya kandungan flavonoid, daun C.cujete juga menunjukkan kandungan fitokimia lain seperti adanya kandungan fenolik, saponin, tanin, dan terpenoid.

Penelitian yang dilakukan oleh Parvin, dkk., (2015) melaporkan bahwa senyawa aktif dari ekstrak daun C.cujete yang bersifat sebagai antiinflamasi


(25)

adalah senyawa fenolik, tanin dan flavonoid. Senyawa aktif ini bertindak sebagai antiinflamasi dengan menghambat pelepasan enzim fosfolipase A2 sehingga menghambat sintesis prostaglandin yang merupakan mediator inflamasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Kusuma, dkk., (2014) melaporkan bahwa ekstrak etanol 96% daun C.cujete dengan dosis 40%, 60%, dan 80% secara in

vivo memiliki aktifitas antiinflamasi yang dibuktikan dengan kemampuan ekstrak

etanol daun C.cujete dalam menghentikan pendarahan luar sehingga dapat memperpendek waktu pendarahan ketika terjadi luka karena adanya kandungan flavonoid dan tanin pada ekstrak etanol daun C.cujete.

Penelitian yang dilakukan oleh Das, dkk., (2014) melaporkan bahwa ekstrak etanol daun C.cujete ditemukan adanya kandungan fitokimia berupa steroid, saponin, tanin, glikosida, terpenoid, dan flavonoid yang memperlihatkan adanya aktivitas penangkapan radikal terhadap DPPH.

Sejauh pengamatan penulis, penelitian tentang efek antiinflamasi topikal ekstrak etanol daun Crescentia cujete pada mencit yang dilihat dari pengurangan edema (inflammation associated edema) pada lipat kulit punggung mencit setelah diinjeksikan karagenin secara subkutan belum pernah dilaporkan.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang kefarmasian terkait informasi tentang penggunaan salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai antiinflamasi topikal.


(26)

b. Manfaat praktis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang penggunaan ekstrak etanol daun Crescentia

cujete sebagai antiinflamasi topikal.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum. Untuk mengetahui efek antiinflamasi ekstrak etanol daun

Crescentia cujete.

2. Tujuan khusus.

a. Untuk mengetahui efek antiinflamasi topikal ekstrak etanol daun Crescentia

cujete pada mencit betina galur Swiss terinduksi karagenin.

b. Untuk mengetahui konsentrasi optimum ekstrak etanol daun Crescentia

cujete yang menunjukkan efek antiinflamasi topikal pada mencit betina

galur Swiss terinduksi karagenin.

c. Untuk mengetahui persen (%) penghambatan inflamasi ekstrak etanol daun


(27)

7

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Tanaman Crescentia cujete L.

Gambar 1. Tanaman dan daun Crescentia cujete (Direktorat BPTH, 2012).

1. Taksonomi tanaman

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Subdivisi : Angiospermae (Tumbuhan berbiji tertutup) Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Sub Kelas : Asteridae

Ordo : Scrophulariales Famili : Bignoniaceae Genus : Crescentia


(28)

2. Sinonim

Crescentia acuminata Kunth, C. Arborea Raf., C. Cuneifolia Gardner, C.

Fasciculata Miers, C. Plectantha Miers, C. Pumila Raf., dan C. Spathulata Miers

(Anonim b, 2014).

3. Nama daerah

Melayu : Tabu kayu

Jawa : Berenuk

Makasar : Bila balanda Ternate : Buah no

Indonesia : Majapait (Direktorat BPTH, 2012). .

4. Penyebaran

Tanaman Crescentia cujete (Gambar 1) adalah tanaman asli daerah tropis dan daerah subtropis Amerika. Tempat asal tanaman ini tidak pasti karena tanaman ini telah dibudidayakan di Yucatan Peninsula sejak zaman pra-Hispanik. Spesies ini tumbuh secara alami di pulau-pulau Karibia dan Meksiko melalui Amerika Tengah ke wilayah utara Amerika Selatan (Krishen, 2006). Tanaman ini dapat hidup dengan baik di tempat-tempat yang terbuka dan terkena sinar matahari langsung, baik di dataran rendah maupun dataran tinggi, yakni pada ketinggian 1 sampai 14 m di atas permukaan laut. Ditanam di tempat yang agak ternaung atau sedikit terlindungi pun masih dapat juga berbunga dan berbuah. Untuk mendapatkan tanaman yang sehat, media tanam atau lahan yang akan


(29)

ditanami harus subur, gembur, dan drainase diatur dengan baik (Direktorat BPTH, 2012).

5. Morfologi

Tanaman majapait (C. cujete L.) merupakan pohon perdu yang tingginya dapat mencapai 8 m. Daun dalam berkas berbentuk solet, panjangnya 10-20 cm. Daunnya tunggal, tetapi tidak berbagi menyirip rangkap sampai bercangap menyirip rangkap. Bunganya adalah bunga tunggal atau dalam berkas yang terdiri dari 2-3 bunga, yang muncul pada batang dan cabang, bertangkai, menggantung, panjang lebih kurang 5 cm, berwarna kuning kehijau-hijauan dengan urat berwarna merah. Kelopak bunga mula-mula menutup, kemudian terbelah berbentuk upih atau berbentuk 2-3 taju yang sampai pangkal tidak beraturan, panjang lebih kurang 1 cm. Tabung mahkota bunga membengkok, berbentuk lonceng, berperut dengan lipatan melintang. Benangsari berjumlah 4, dua diantaranya panjang, terdapat sisa-sisa benangsari yang ke-5. Buahnya berbentuk bola, licin, berwarna hijau mengkilat, kulit buah berkayu, keras, diameter 25 cm. Setiap buah berbiji banyak, bentuk biji pipih, terdapat dalam daging buah yang lumat (Steenis, 1992).

6. Kegunaan

Tanaman Crescentia cujete L. atau lebih dikenal dengan nama berenuk biasanya dimanfaatkan untuk bahan kerajinan terutama bagian buahnya. Selain itu, secara tradisional tanaman ini sering digunakan untuk mengobati luka baru, bengkak, diuretik, obat pencahar, penurun panas, membersihkan luka, ekspektoran, dan untuk pengobatan sakit kepala. Di Indonesia sendiri terutama di


(30)

daerah Sumatera, masyarakat sering menggunakan perasan daun berenuk dan tumbukannya untuk mengobati dan menutup luka (Kusuma, 2014).

Buah C.cujete digunakan untuk tempat air dan gayung, daunnya sebagai pakan ternak, tanaman hias taman. Daun C.cujete berkhasiat sebagai obat luka baru dan daging buahnya untuk urus-urus. Untuk obat luka baru dipakai + 10 g daun C.cujete, dicuci dan ditumbuk sampai halus, ditempelkan pada bagian yang luka dan dibalut dengan kain bersih (Direktorat BPTH, 2012).

B. Flavonoid

Flavonoid sering pula disebut bioflavonoid, merupakan kelompok pigmen tanaman yang memberikan perlindungan terhadap serangan radikal bebas yang merusak. Flavonoid merupakan komponen fenol, yaitu bioaktif yang akan mengubah reaksi tubuh terhadap senyawa lain, seperti allergen, virus, dan zat karsinogen (Wirakusumah, 2007). Flavonoid adalah golongan senyawa polifenol yang diketahui memiliki sifat sebagai penangkap radikal bebas, penghambat enzim hidrolisis dan oksidatif, dan bekerja sebagai antiinflamasi (Pourmourad, 2006).

Mekanisme flavonoid dalam menghambat proses terjadinya inflamasi melalui dua cara, yaitu dengan menghambat permeabilitas kapiler dan menghambat metabolisme asam arakidonat dan sekresi enzim lisosom dari sel neutrophil dan sel endothelial. Terjadinya kerusakan pembuluh darah kapiler akibat radang menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler, sehingga darah (terutama plasma darah) akan keluar dari kapiler jaringan, diikuti dengan


(31)

terjadinya respon inflamasi. Flavonoid terutama bekerja pada endothelium mikrovaskular untuk mengurangi terjadinya hipermeabilitas dan radang. Beberapa senyawa flavonoid dapat menghambat pelepasan asam arakhidonat dan sekresi enzim lisosom dari membran dengan jalan memblok jalur siklooksigenase. Penghambatan jalur siklooksigenase dapat menimbulkan pengaruh lebih luas karena reaksi siklooksigenase merupakan langkah pertama pada jalur yang menuju ke hormon eikosanoid seperti prostaglandin dan tromboksan ( Fitriyani, 2011).

Mekanisme antiinflamasi lain yang dilakukan oleh flavonoid dapat melalui beberapa jalur, antara lain melalui penghambatan aktivitas enzim COX dan atau lipooksigenase, dimana penghambatan ini secara langsung juga menyebabkan penghambatan biosintesis eikosanoid dan leukotrien yang merupakan produk akhir dari jalur COX dan lipooksigenase. Kemudian melalui penghambatan akumulasi leukosit di daerah inflamasi. Pada kondisi normal leukosit bergerak bebas sepanjang dinding endotel. Selama inflamasi, berbagai mediator turunan endotel dan faktor komplemen mungkin menyebabkan adhesi leukosit ke dinding endotel sehingga menyebabkan leukosit menjadi immobile dan menstimulasi degranulasi neutrofil. Pemberian flavonoid dapat menurunkan jumlah leukosit immobile dan mengurangi aktivasi komplemen sehingga menurunkan adhesi leukosit ke endotel dan mengakibatkan penurunan respon inflamasi tubuh. Mekanisme selanjutnya, yaitu melalui penghambatan degranulasi neutrofil sehingga secara langsung mengurangi pelepasan asam arakhidonat oleh neutrofil. Selanjutnya, mekanisme antiinflamasi oleh flavonoid yaitu sebagai


(32)

penstabil Reactive Oxygen Species (ROS). Efek flavonoid sebagai antioksidan secara tidak langsung juga mendukung efek antiinflamasi flavonoid. Adanya radikal bebas dapat menarik berbagai mediator inflamasi, disini flavonoid dapat menstabilkan Reactive Oxygen Species (ROS) dengan bereaksi dengan senyawa reaktif dari radikal sehingga radikal menjadi inaktif (Hidayati, 2008).

C. Metode Penyarian

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani dengan menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik semua komponen kimia yang terdapat dalam simplisia. Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan massa komponen zat padat ke dalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka, kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Badan POM RI, 2005).

Proses penarikan zat aktif dalam simplisia nabati atau hewani dapat dilakukan dengan metode maserasi, infundasi, dekoksi, perkolasi, maupun pemerasan simplisia segar. Pemilihan metode dan jenis penyari yang digunakan tergantung dari zat aktif yang akan disari (Badan POM RI, 2013).

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada suhu ruangan (kamar). Maserasi bertujuan untuk menarik zat-zat berkhasiat yang tahan


(33)

pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan. Secara teknologi maserasi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada kesetimbangan (Depkes RI, 2000). Prinsip ekstraksi dari metode maserasi adalah adanya gerak kinetik dari pelarut pada suhu ruangan walaupun tanpa adanya pengocokan. Pengocokan dilakukan untuk mempercepat perpindahan zat dari sel tanaman ke dalam pelarut (Hamdani, 2013).

Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, kemudian zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). Selama proses maserasi (biasanya berkisar 2-14 hari) dilakukan pengadukan atau pengocokan dan penggantian pelarut setiap hari. Pengocokan memungkinkan pelarut segar mengalir berulang-ulang masuk ke seluruh permukaan simplisia yang sudah halus. Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya dipekatkan. Maserasi biasanya dilakukan pada temperatur 150-200C dalam waktu 3 hari sampai bahan-bahan yang larut melarut (Ansel, 1989).

Metode maserasi digunakan untuk simplisia kering dan penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, serta tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari. Cairan


(34)

penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, metanol atau pelarut lain (Badan POM RI, 2013).

Keuntungan dari maserasi adalah dalam pengerjaannya lebih mudah, sederhana, dan peralatannya lebih murah. Sedangkan kekurangannya adalah waktu yang dibutuhkan untuk mengekstraksi bahan cukup lama, penyarian kurang sempurna, serta pelarut yang digunakan jumlahnya banyak jika harus dilakukan remaserasi (Badan POM RI, 2013).

D. Kulit

Kulit adalah lapisan atau jaringan yang menutupi seluruh tubuh dan melindungi tubuh dari bahaya yang datang dari luar (Wibowo, 2005). Kulit menutupi dan melindungi permukaan tubuh, serta bersambung dengan selaput lendir yang melapisi rongga-rongga dan lubang-lubang masuk. Kulit yang di dalamnya terdapat ujung saraf peraba mempunyai banyak fungsi, antara lain membantu mengatur suhu dan mengendalikan hilangnya air dari tubuh dan mempunyai sedikit kemampuan ekskretori, sekretori, dan absorpsi (Pearce, 2006).

Kulit memiliki fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan luar. Fungsi perlindungan ini terjadi melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus-menerus (keratinisasi dan pelepasan sel-sel yang sudah mati), respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat, dan pembentukan pigmen melanin untuk melindugi kulit dari bahaya sinar ultraviolet matahari, sebagai peraba dan perasa, serta pertahanan terhadap tekanan dan infeksi dari luar (Latifah, 2007).


(35)

Kulit memiliki kemampuan proteksi karena adanya lapisan lemak subkutan, dermis, epidermis, dan adneksa kulit yang saling berkaitan satu sama lainnya. Sebagai mekanisme pertahanan non spesifik, kulit bekerja sebagai barier terhadap invasi mikroba, zat kimia, agen fisik, misalnya trauma ringan dan cahaya ultraviolet, serta dehidrasi (Ross and Wilson, 2001).

Kulit melindungi bagian dalam tubuh dengan kemampuan proteksinya terhadap trauma mekanik, misalnya tekanan, gesekan, dan tarikan diperankan oleh serabut elastis yang terdapat pada dermis dan jaringan lemak subkutan. Lapisan tanduk dan mantel lemak kulit menjaga kadar air tubuh dengan cara mencegah masuknya air dari luar tubuh dan mencegah penguapan air, selain itu juga berfungsi sebagai barrier terhadap racun dari luar. Proteksi terhadap mikroorganisme lainnya berupa mantel asam kulit yang dapat mecegah pertumbuhan bakteri di kulit (Latifah, 2007). Lapisan keratin merupakan barier terhadap iritan dan zat sensitisasi, racun sistemik, dan mikroorganisme. Pigmen kulit, melanin, dianggap dapat melindungi kulit terhadap kerusakan akibat efek sinar ultraviolet dan regenerasi sel epidermis yang terjadi secara terus-menerus yang menghalangi kolonisasi kuman dan jamur (Jeyaratnam, 2010).

Luas kulit pada manusia rata-rata ± 2 meter persegi, dengan berat 10 kg jika dengan lemaknya atau 4 kg jika tanpa lemak. Kulit terbagi atas dua lapisan utama, yaitu epidermis atau kutikula, sebagai lapisan yang paling luar dan dermis atau korium. Di bawah kulit terdapat subkutis atau jaringan lemak bawah kulit (Latifah, 2007). Selain lapisan epidermis, dermis, dan subkutis, kulit juga dilengkapi oleh rambut, kuku, dan kelenjar sebaseus yang dianggap sebagai


(36)

tambahan pada kulit (Pearce, 2006). Histologis lapisan kulit dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Struktur lapisan kulit: Lapisan epidermis dan dermis (Brown, 2005).

Pada umumnya, sediaan topikal yang diaplikasikan pada kulit melewati tiga bagian, yaitu permukaan kulit, stratum korneum yang berperan sebagai reservoir bagi vehikulum tempat sejumlah unsur pada obat masih berhubungan dengan permukaan kulit namun belum berpenetrasi, dan dermis. Zat aktif pada sediaan topikal akan diserap oleh vaskular kulit pada dermis dan hipodermis kemudian akan memberikan efek. Awalnya, sediaan topikal yang mengandung zat aktif yang telah dioleskan akan melewati permukaan kulit dan tertahan pada stratum korneum, maka sediaan topikal tersebut akan tertahan pada kulit meskipun tergosok atau terkena pakaian (Yanhendri dan Yenny, 2012).

Absorbsi sediaan topikal secara umum terbagi menjadi tiga fase, yaitu:

Lag phase, dimana sediaan berada di permukaan kulit dan belum melewati

stratum korneum; Rising phase, saat dimana sebagian sediaan mulai masuk melewati stratum korneum menuju lapisan dermis, dan Falling phase, merupakan


(37)

fase pelepasan zat aktif dari pembawanya dan terserap di pembuluh kapiler pada dermis (Yanhendri dan Yenny, 2012).

E. Inflamasi

1. Definisi

Inflamasi merupakan respon fisiologis terhadap berbagai rangsangan seperti infeksi dan cedera jaringan (Baratawidjaja, 2010). Ketika proses inflamasi berlangsung, terjadi reaksi vaskular di mana cairan, elemen-elemen darah, sel darah putih (leukosit), dan mediator kimia berkumpul pada tempat cedera jaringan atau infeksi untuk mempersiapkan keadaan untuk perbaikan jaringan. Proses inflamasi merupakan suatu mekanisme perlindungan di mana tubuh berusaha untuk menetralisir dan membasmi agen-agen yang berbahaya pada tempat cedera dan untuk mempersiapkan keadaan untuk perbaikan jaringan (Kee,1996).

Meskipun ada hubungan antara inflamasi dan infeksi, istilah-istilah ini tidak boleh di anggap sama. Infeksi disebabkan oleh mikroorganisme dan menyebabkan inflamasi, tetapi tidak semua inflamasi disebabkan oleh infeksi (Kee,1996). Selama berlangsungnya fenomena inflamasi banyak mediator kimiawi yang dilepaskan secara lokal antara lain histamin, 5-hidroksitriptamin (5HT), faktor kemotaktik, bradikinin, leukotrien, autakoid lipid PAF (platelet

activating factor), dan prostaglandin (Tanu, 1972). Menurut waktunya, inflamasi

dibagi menjadi 2 yaitu inflamasi akut dan inflamasi kronis.

Inflamasi akut adalah respon cepat terhadap kerusakan sel, berlangsung cepat (beberapa jam-hari) dan dipacu oleh sejumlah sebab seperti kerusakan


(38)

kimiawi dan termal serta infeksi (Baratawidjaja, 2010). Peradangan akut memiliki tiga komponen utama, yaitu (1) dilatasi pada pembuluh darah dan peningkatan aliran darah sehingga menyebabkan eritema dan hangat, (2) ekstravasasi dan pengendapan cairan dan protein plasma yang menyebabkan terjadinya edema serta (3) emigrasi dan akumulasi leukosit terutama neutrofil di tempat cedera. Pada sebagian besar bentuk peradangan akut, neutrofil mendominasi infiltrat peradangan selama 6 sampai 24 jam pertama kemudian digantikan oleh monosit dalam 24 sampai 48 jam (Kumar, 2005). Penyebab inflamasi akut dapat berupa benda asing yang masuk tubuh, invasi mikroorganisme, trauma, bahan kimia yang berbahaya, faktor fisik dan alergi (Baratawidjaja, 2010).

Inflamasi kronis adalah radang atau inflamasi yang disebabkan oleh jejas atau injury yang berlangsung beberapa minggu, bulan, atau bersifat menetap dan merupakan kelanjutan dari radang akut. Inflamasi kronis disebut juga radang proliferatif karena selalu diikuti dengan terjadinya proliferasi fibroblast atau jaringan ikat (Sander,2003).

2. Gejala

Radang akut adalah respon segera dari tubuh terhadap cedera atau kematian sel. Pada level makroskopik gejala reaksi radang akut yang dapat diamati adalah :

a. Rubor (Kemerahan). Rubor biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami proses peradangan. Waktu reaksi peradangan dimulai maka arteriol yang mensuplai daerah itu melebar, sehingga darah yang mengalir ke mikrosirkulasi lokal bertambah. Kapiler yang semula kosong atau


(39)

sebagian saja meregang dengan cepat terisi darah. Keadaan ini dinamakan hiperemia atau kongesti yang menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut. Timbulnya hiperemia pada awal reaksi peradangan diatur oleh tubuh, baik secara neurogenik maupun secara kimia, melalui pengeluaran zat seperti histamin (Price dan Wilson, 1984).

b. Calor (Panas). Calor terjadi bersamaan dengan rubor pada reaksi peradangan akut. Sebenarnya calor atau panas hanya terjadi pada permukaan tubuh, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari 370C yaitu panas tubuh. Daerah peradangan pada kulit lebih panas dari sekelilingnya sebab darah yang disalurkan ke permukaan daerah yang terkena infeksi lebih banyak daripada daerah yang normal. Fenomena panas lokal ini tidak terlihat pada daerah radang yang jauh di dalam tubuh karena jaringan-jaringan tersebut sudah memiliki inti 370C, dan hiperemia lokal tidak menimbulkan perubahan (Price dan Wilson, 1984).

c. Tumor (Pembengkakan). Tumor atau pembengkakan merupakan segi paling mencolok dari peradangan akut. Pembengkakan ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan interstisial. Cairan dan sel yang tertimbun dalam daerah peradangan disebut eksudat. Pada keadaan dini reaksi peradangan sebagian besar eksudat adalah cair, seperti yang terjadi pada lepuhan akibat luka bakar ringan. Kemudian sel-sel darah putih atau leukosit meninggalkan aliran darah dan tertimbun sebagai bagian dari eksudat (Price dan Wilson, 1984).


(40)

d. Dolor (Nyeri). Rasa sakit atau dolor dapat dihasilkan dari berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Hal yang sama, pengeluaran zat kimia tertentu seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal yang tanpa diragukan lagi dapat menimbulkan rasa sakit (Price dan Wilson, 1984).

e. Functio laesa (Perubahan Fungsi). Functio laesa atau perubahan fungsi merupakan berkurangnya fungsi dari organ yang mengalami peradangan, akibat terbentuknya metabolit-metabolit yang merugikan oleh sel-sel yang mengalami trauma dan peningkatan temperatur di daerah peradangan untuk reaksi biokimia sehingga fungsi organ menurun (Sander, 2003).

3. Mekanisme inflamasi

Kejadian tingkat molekular atau selular pada inflamasi adalah vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular dan infiltrasi selular. Hal-hal tersebut disebabkan berbagai mediator kimia yang disebarluaskan ke seluruh tubuh dalam bentuk aktif atau tidak aktif (Baratawidjaja, 2010). Mediator kimia yang dilepaskan ketika terjadi peradangan seperti histamin, serotonin, enzim lisosom, prostaglandin, leukotrien, faktor penggiat trombosit (PAF), nitrat oksida, dan sitokin (Kumar, 2005).

Vasodilatasi adalah salah satu manifestasi paling dini pada peradangan akut. Vasodilatasi mulanya mengenai arteriol dan kemudian menyebabkan terbukanya jaringan-jaringan kapiler baru di daerah yang bersangkutan. Hal ini menyebabkan peningkatan aliran darah yang menimbulkan panas dan kemerahan


(41)

(Kumar,2005). Vasodilatasi meningkatkan persediaan darah untuk mengalirkan lebih banyak molekul dan sel yang diperlukan untuk memerangi antigen yang mencetuskan inflamasi (Baratawidjaja, 2010). Permeabilitas vaskular yang meningkat tidak saja mengakibatkan pemindahan beberapa zat protein yang penting seperti opsonin atau antibodi lain ke tempat pertempuran. Selanjutnya, salah satu dari protein-protein yang bocor ke dalam daerah peradangan adalah fibrinogen, yang secara cepat mengendap untuk membentuk fibrin yang dapat bekerja sebagai suatu penutup atau lem pada luka-luka, dan karena sifat fibrilnya, ia dapat bekerja sebagai sarana bagi migrasi leukosit fagosit dan akhirnya sebagai sarana perbaikan (Price,1984). Dalam beberapa jam leukosit menempel ke sel endotel di daerah inflamasi dan bermigrasi melewati dinding kapiler masuk ke rongga jaringan yang disebut ekstravasasi. Pada pemeriksaan histologik ditemukan cairan edem dan infiltrasi sel leukosit. Berbagai faktor plasma seperti imunoglobulin, komplemen, sistem aktivasi kontak- koagulasi fibrinolitik dan sel-sel inflamasi seperti neutrofil, mastosit, eosinofil, monosit-fagosit, sel-sel endotel dan molekul adhesi, trombosit, limfosit, dan sitokin berinteraksi satu dengan yang lain untuk memulai proses-proses perbaikan jaringan (Baratawidjaja, 2010).

Bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu rangsangan kimiawi, fisik, atau mekanis, maka enzim fosfolipase diaktifkan untuk mengubah fosfolipida menjadi asam arakhidonat (Tjay dan Rahardja, 2002). Asam arakhidonat adalah suatu asam lemah poli-tidak jenuh yang terdapat dalam jumlah banyak sebagai fosfolipid selaput sel. Bila terdapat kerusakan pada sel, maka enzim fosfolipase A2 diaktifkan untuk membebaskan asam arakhidonat yang ada


(42)

dari fosfolipid. Turunan asam arakhidonat adalah eikosanoid (prostanoids dan leukotriens). Prostanoids terdiri dari zat-zat prostaglandin (PG) dan tromboksan (TX). Leukotriens terdiri dari zat-zat leukotrien (Rang, 2003). Prostaglandin dan leukotrien bertanggung jawab bagi sebagian besar dari gejala peradangan. Selain itu radikal bebas oksigen yang dihasilkan peroksida juga berperan dalam menimbulkam nyeri yang merupakan salah satu gejala peradangan (Tjay dan Rahardja, 2002).

Ada dua jalan utama sintesis eikosanoid dari asam arakidonat, yaitu : 1. Jalan siklo-oksigenase. Siklooksigenase terdiri dari dua isoenzim, yaitu

COX-1 dan COX-2 (Mycek, 200COX-1). Enzim COX-COX-1 terdapat di kebanyakan jaringan antara lain di pelat-pelat darah, ginjal, dan saluran cerna. Sedangkan, enzim COX-2 dalam keadaan normal tidak terdapat di jaringan tapi dibentuk selama proses peradangan (Tjay dan Rahardja, 2002). Asam arakidonat nantinya akan diubah menjadi prostaglandin dan tromboksan oleh enzim-enzim ini (Mycek, 2001).

2. Jalan lipoksigenase. Beberapa lipoksigenase dapat bekerja pada asam arakidonat untuk membentuk 5-HPETE, 12-HPETE, dan 15-HPETE yang merupakan turunan peroksidasi tidak stabil yang dikonversi menjadi turunan hidroksilasi yang sesuai (HETES), atau menjadi leukotrien atau lipoksin, tergantung pada jaringan (Mycek, 2001). Ada beberapa subtipe lipoksigenase yang disintesis melalui jalur ini yaitu leukotrien, lipoksin, atau komponen lainnya (Rang, 2003).


(43)

Jalur siklooksigenase yang diaktikan oleh enzim COX-1 dan COX-2 menyebabkan pembentukan prostaglandin. Prostaglandin yang terpenting dalam peradangan yang disintesis melalui jalur ini adalah PGE2, PGD2, PGF2α, PGI2 (Prostasiklin) dan tromboksan (TXA2) yang masing-masing dihasilkan oleh kerja enzim spesifik pada suatu zat antara dalam jalur siklooksigenase ini. Sebagian dari enzim ini terdistribusi hanya di jaringan tertentu. Contohnya, trombosit mengandung enzim tromboksan sintetase, sehingga produk utama di sel ini adalah TXA2. Di sisi lain, endotel vaskular tidak memiliki tromboksan sintetase, tetapi mempunyai prostasiklin sintetase, yang menyebabkan terbentuknya prostasiklin (PGI2) (Kumar, 2005).

Melalui jalur siklooksigenase, prostaglandin-D2 (PGD2) merupakan metabolit utama pada jalur siklooksigenase di sel mast, bersama dengan prostaglandin-E2 (PGE2) dan prostaglandin-F2α (PGF2α) menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas venula pascakapiler sehingga meningkatkan pembentukan edema (Kumar, 2005). PGE2 dan PGF2 berfungsi untuk vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas dinding pembuluh dan membran sinovial yang menyebabkan terjadinya radang dan nyeri. Prostasiklin (PGI2) dibentuk terutama di dinding pembuluh darah. PGI2 berperan dalam vasodilatasi, anti trombosis atau inhibitor agregasi trombosit yang paten, dan memperkuat peningkatan permeabilitas dan efek kemotaktik dari mediator lain. Tromboxan (TXA2) yang dibentuk khusus dalam trombosit, berfungsi sebagai vasokonstriksi dan menstimulasi agregasi platelet darah (trombotis) (Tjay dan Rahardja, 2002). PGE2, PGI2, dan PGD2 pada dasarnya adalah vasodilator yang sangat kuat dan


(44)

bersinergi dengan vasodiator inflamasi lain seperti histmain dan bradikinin. Aksi kombinasi vasodilator tersebut berperan pada timbulnya kemerahan dan peningkatan aliran darah inflamasi akut (Rang, 2003).

Enzim COX-1 diproduksi sebagai respon terhadap rangsangan peradangan dan juga secara konstitutif diekspresikan oleh sebagian besar jaringan. Sedangkan, enzim COX-2 diproduksi karena enzim ini terinduksi oleh beragam rangsang inflamatorik dan tidak terdapat di sebagian besar jaringan pada keadaan istirahat normal. Perbedaan ini menimbulkan anggapan bahwa COX-1 bertanggung jawab dalam peradangan, tetapi juga memiliki fungsi homeostatis, misalnya keseimbangan cairan dan elektrolit di ginjal dan sitoproteksi di saluran cerna. Sebaliknya, COX-2 merangsang pembentukan prostaglandin yang berperan pada reaksi peradangan (Kumar, 2005).

Jalur lipoksigenase merupakan jalur yang penting untuk membentuk bahan-bahan proinflamasi yang kuat. 5-lipoksigenase adalah enzim metabolit asam arakidonat utama pada neutrofil. Asam 5-hidroperoksiekosatetranoik (5-HPTE) merupakan derivat 5-hidroperoksi asam arakidonat yang tidak stabil dan direduksi menjadi asam 5-hidroksiekosatetraenoik (5-HETE) sebagai kemotaktik bagi neutorif yang kemudian diubah menjadi golongan senyawa yang disebut leukotrien (Kumar, 2005). Leukotrien adalah senyawa sulfidopeptida yang dibentuk sebagai hasil metabolisme asam arakidonat dan merupakan mediator radang dan nyeri. Leukotrien (LT) ini terdiri dari LTB4, LTC4, LTD4, dan LTE4. LTC4, LTD4, dan LTE4 terutama dibentuk di granulosit eosinofil yang berfungsi sebagai vasokonstriktif di bronkus dan mukosa lambung dan peningkatan


(45)

permeabilitas, sedangkan LTB4 khusus disintesis di makrofag dan neutrofil alveolar dan bekerja kemotaktis yaitu menstimulasi migrasi leukosit dengan jalan meningkatkan mobilitas dan fungsinya. Dengan adanya leukotrien ini, sejumlah besar leukosit akan menginvasi daerah peradangan dan mengakibatkan gejala radang juga (Tjay dan Rahardja, 2002).

Lipoksin juga termasuk hasil dari jalur lipoksigenase yang disintesis menggunakan jalur transeluler. Lipoksin A4 dan B4 (LXA4 dan LXB4) dihasilkan oleh kerja 12-lipooksigenase trombosit pada trombosit LTA4, yang berasal dari neutrofil. Lipoksin menghambat kemotaktis neutrofil dan perlekatannya pada endotel (Kumar, 2005). Jadi, lipoksin beraksi pada reseptor spesifik pada polimorf untuk menentang aksi LTB4 untuk menyampaikan semacam sinyal untuk menghentikan beberapa aspek peradangan (Rang, 2003). Aksi lipoksin sebagai antiinflamasi yaitu LXA4 dan LXB4 berfungsi sebagai vasodilatasi, menghambat kemotaksis neutrofil, dan merangsang perlekatan monosit (Kumar, 2005).

F. Obat Anti Inflamasi

Terapi pasien dengan peradangan melibatkan dua sasaran utama, pertama, meredakan gejala dan mempertahankan fungsi, yang biasanya merupakan keluhan utama pasien; dan kedua, memperlambat atau menghentikan proses yang merusak jaringan (Katzung, 2012).

Antiinflamasi bekerja dengan mengikat enzim siklooksigenase (COX) dan lipoksigenase sehingga menghambat sintesis prostaglandin dan leukotrin. Adanya penghambatan tersebut dapat menyebabkan peningkatan stabilitas sel, menurunkan permeabilitas membran yang dapat mengurangi edema, serta rasa


(46)

nyeri menjadi lebih berkurang (Priyanto, 2010). Berdasarkan cara kerjanya, terdapat dua golongan senyawa yang banyak digunakan sebagai anti inflamasi yaitu kortikosteroid dan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) (Neal, 2005).

G. Mekanisme Obat Antiinflamasi

1. Kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh korteks adrenal yang pembuatan bahan sintetik analognya telah berkembang dengan pesat. Efek utama penggunaan kortikosteroid secara topikal pada epidermis dan dermis ialah efek vasokonstriksi, efek antiinflamasi, dan efek antimitosis (Ardhie, 2004).

Kortikosteroid menekan semua fase respons inflamasi, termasuk pembengkakan dini, kemerahan, nyeri, dan selanjutnya perubahan proliferatif yang tampak pada inflamasi kronis. Kortikosteroid menghambat pembentukan mediator proinflamasi, seperti prostaglandin, leukotrien, dan platelet activating

faktor (PAF). Golongan obat ini menghambat fosfolipase A2, enzim yang bertanggung jawab atas pembebasan asam arakhidonat dari fosfolipid sehingga dapat mengurangi peradangan yang terjadi (Neal, 2005). Efek antiinflamasi kortikosteroid mempengaruhi berbagai sel imunokompeten seperti sel T, makrofag, sel dendritik, eosinofil, neutrofil, dan sel mast, yaitu dengan menyebabkan apoptosis berbagai sel tersebut (Sitompul, 2011).

Kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid (Neal, 2005). Glukokortikoid (GK) berdifusi pasif dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid (RG) di sitosol.


(47)

Ikatan GK-RG mengakibatkan translokasi kompleks tersebut ke inti sel untuk berikatan dengan sekuens DNA spesifik, yaitu glucocorticoid response elements (GRE). Ikatan GK-RG dengan DNA mengakibatkan aktivasi atau supresi proses transkripsi. Mekanisme GK terjadi melalui aktivasi endothelial nitric oxide

synthetase (eNOS) yang menyebabkan lebih banyak pelepasan nitric oxide (NO),

suatu mediator anti-inflamasi (Sitompul,2011).

Kelebihan kortikosteroid dibandingkan OAINS yaitu mampu menghambat fosfolipase, sehingga mampu menghambat pembentukan baik dari prostaglandin maupun leukotrien sehingga mampu menekan gejala yang ditimbulkan dari peradangan lebih baik. Akan tetapi, apabila kortikosteroid digunakan pada dosis tinggi dan penggunaan yang lama akan menimbulkan efek samping yang lebih berbahaya dibandingkan NSAID (Tjay dan Rahardja, 2002). 2. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)

Obat-obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) merupakan suatu grup obat yang secara kimiawi tidak sama, yang berbeda aktivitas antipiretik, analgesik, dan antiinflamasinya. Obat-obat ini bekerja dengan jalan menghambat enzim siklo-oksigenase tetapi tidak enzim lipsiklo-oksigenase (Mycek, 2001). Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu (Ganiswarna, 1995). Pada inflamasi, prostaglandin berperan dalam menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas vaskular. Akan tetapi, inhibisi sintesis prostaglandin oleh OAINS mengurangi inflamasi daripada menghilangkannya karena obat ini tidak menghambat mediator inflamasi lainnya. Sayangnya, inhibisi sintesis prostaglandin dalam mukosa gaster sering


(48)

menyebabkan gangguan gastrointestinal (dispepsia, mual, gastritis). Efek samping yang paling serius adalah perdarahan gastrointestinal dan perforasi (Neal, 2005).

Contoh obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) adalah derivat asam salisilat (aspirin), derivat asam propionat (ibuprofen, naproksen), lainnya (diklofenak, indometasin, nabumeton, fenilbutazon, dan inhibitor COX-2 selektif (etoricoxib, celecoxib, dan valdecoxib). COX terdapat pada jaringan sebagai suatu isoform konstitutif (COX-1), tetapi sitokin pada lokasi inflamasi menstimulasi induksi isoform kedua (COX-2). Inhibisi COX-2 diduga bertanggung jawab untuk efek antiinflamasi OAINS, sementara inhibisi COX-1 bertanggung jawab untuk toksisitas gastrointestinalnya. Inhibitor COX-2 adalah OAINS yang paling banyak digunakan karena selektif untuk COX-1 dan inhibitor COX-2 selektif., sehingga insidensi perforasi gaster, obstruksi, dan pendarahan lambung berkurang paling tidak sebanyak 50% (Neal, 2005). Mekanisme kerja dari antiinflamasi steroid dan nonsteroid dapat dilihat pada gambar 3.


(49)

Gambar 3. Mekanisme kortikosteroid dan antiinflamasi nonsteroid sebagai antiinflamasi (Tjay dan Rahardja, 2002).

H. Metode Pengujian Antiinflamasi

Aktivitas antiinflamasi dari suatu senyawa dapat diukur dengan beberapa metode. Metode pengujian aktivitas antiinflamasi yaitu :

1. Metode pembentukan edema buatan

Metode ini berdasarkan pengukuran volume dari edema buatan. Volume edema diukur sebelum dan sesudah pemberian zat yang di uji. Beberapa iritan yang dipakai sebagai penginduksi edema antara lain formalin, kaolin, ragi, dan dekstran. Iritan yang umum digunakan dan memiliki kepekaan yang tinggi adalah karagen (Vogel, 2002).


(50)

2. Metode eritema ultraviolet

Metode uji aktivitas antiinflamasi yang menggunakan sinar ultraviolet untuk membentuk eritema yang dilakukan pada kulit hewan uji. Hewan uji yang digunakan dicukur bulunya pada bagian kedua sisi dan di bagian belakang. Kemudian, diberi krim penghilang bulu atau dapat menggunakan suspensi dari barium sulfida. Dua puluh menit kemudian, krim penghilang bulu yang diaplikasikan dibersihkan dengan air hangat yang mengalir. Keesokan harinya, dilakukan pemaparan sinar ultraviolet selama 2 menit. Pengukuran eritema dilakukan 2 dan 4 jam setelah pemaparan. Penilaian setelah 2 dan 4 jam memberikan beberapa indikasi durasi efek. Senyawa uji dapat diberikan setengah jam sebelum pemaparan dan setengahnya lagi setelah pemaparan sinar ultraviolet (Vogel, 2002).

3. Metode pembentukan kantong granuloma

Metode ini berdasarkan pengukuran volume eksudat yang terbentuk di dalam kantong granuloma. Mula-mula benda terbentuk pelet yang terbuat dari kapas yang ditanam di bawah kulit abdomen tikus menembus lapisan linia alba. Respon yang terjadi berupa gejala iritasi, migrasi leukosit, dan makrofag ke tempat radang yang mengakibatkan kerusakan jaringan dan terbentuklah granuloma (Vogel, 2002).

4. Metode edema telinga pada tikus dan mencit

Peradangan pada telinga kanan hewan uji dibuat dari pemberian

croton-oil sebanyak 0,01 mL pada mencit dan 0,02 mL pada tikus yang diberikan di


(51)

kontrol normal. Senyawa yang akan diujikan dilarutkan dalam cairan iritan yang digunakan dengan konsentrasi 0,03 mg/mL sampai 1 mg/mL pada mencit dan pada tikus lebih tinggi 3 sampai 10 kalinya. Empat jam setelah diaplikasikan, hewan uji dikorbankan dengan anastesi. Kedua telinganya diambil dan kemudian langsung ditimbang. Derajat edema diindikasikan dari selisih berat dari telinga kanan dan telinga kiri (Vogel, 2002).

5. Metode iritasi dengan panas

Metode ini berdasarkan pengukuran luas radang dan berat edema yang terbentuk setelah diiritasi dengan panas. Mula-mula hewan diberi zat warna tripan biru yang disuntik secara IV, dimana zat ini akan berikatan dengan albumin plasma. Kemudian pada daerah penyuntikan tersebut dirangsang dengan panas yang cukup tinggi. Panas menyebabkan pembelahan histamin endogen sehingga timbul inflamasi. Zat warna akan keluar dari pembuluh darah yang mengalami dilatasi bersama-sama dengan albumin plasma sehingga jaringan yang meradang kelihatan berwarna. Penilaian derajat inflamasi diketahui dengan mengukur luas radang akibat perembesan zat ke jaringan yang meradang. Pengukuran juga dapat dilakukan dengan menimbang edema yang terbentuk, dimana jaringan yang meradang dipotong kemudian ditimbang (Vogel, 2002).

6. Permeabilitas vaskuler

Senyawa induksi yang digunakan merupakan senyawa radang yang dapat memicu mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin, dan leukotrien. Hal tersebut mengakibatkan dilatasi pada pembuluh darah dan peningkatan


(52)

permeabilitas vaskuler, sehingga terbentuk edema dari cairan dan protein plasma yang dikeluarkan (Vogel, 2002).

Pengujian dilakukan dengan menginjeksikan senyawa radang secara intrakutan atau subkutan pada kulit. Sembilan puluh menit kemudian, hewan uji dikorbankan dan bagian yang diinjeksikan diambil dan diwarnai dengan Evan’s

blue yang dapat meresap untuk mengetahui peningkatan permeabilitas vaskuler.

Diameter resapan pewarna Evan’s blue diukur dan dibandingkan antara kelompok kontrol dan kelompok uji dan dinyatakan sebagai persen penghambatan. Kelompok uji yang menunjukkan nilai kurang dari 50% dari kontrol dinyatakan positif memiliki aktivitas penghambatan inflamasi (Vogel, 2002).

7. Metode edema kaki

Uji antiinflamasi dengan menggunakan edema pada kaki tikus atau mencit ini merupakan metode yang umum digunakan. Banyak senyawa radang yang telah digunakan dalam metode ini seperti formaldehida, ragi, dekstran, albumin telur, kaolin, polisakarida sulfat seperti karagenin atau naphthoylheparamine. Edema dibuat dengan menginjeksikan senyawa radang secara intraplantar pada kaki hewan uji kemudian dilakukan pengukuran (Vogel, 2002).

I. Radikal Bebas dan Antioksidan

Radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya. Adanya elektron yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di


(53)

sekitarnya. Sebagai dampak kerja radikal bebas tersebut akan terbentuk radikal bebas baru yang berasal dari atom atau molekul yang elektronnya diambil untuk berpasangan dengan radikal sebelumnya (Winarsi, 2007). Salah satu contoh akibat dari radikal bebas adalah timbulnya peradangan. Peradangan merupakan salah satu kelainan tubuh yang paling sering terjadi, berkaitan dengan produksi radikal bebas, tetapi radikal bebasnya lebih bersifat sebagai penyebab dan bukan efek dari peradangan. Meskipun demikian, sebenarnya tubuh menggunakan radikal bebas untuk membunuh bakteri di dalam sel-sel pemakan dari sistem imun yaitu fagosit dan apabila radikal bebas ada di daerah peradangan dalam jumlah yang sangat besar maka radikal bebas dapat menambah kerusakan jaringan (Youngson, 2005). Proses perusakan organ tubuh oleh radikal bebas dapat dihambat dengan memberikan antioksidan. Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil tapi mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi dengan cara mencegah terbentuknya radikal. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Akibatnya, kerusakan sel akan dihambat (Winarsi, 2007). Antioksidan terbagi menjadi antioksidan enzim dan vitamin. Antioksidan enzim meliputi superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase (GSH.Prx). Antioksidan vitamin lebih popular sebagai antioksidan dibandingkan enzim. Antioksidan vitamin meliputi alfa tokoferol (vitamin E), beta karoten dan asam askorbat (vitamin C). Mekanisme kerja dari antioksidan berdasarkan


(54)

sifatnya yang mudah dioksidasi (menyerahan elektron) sehingga menetralkan sebagian besar radikal bebas yang berlebihan (Sofia, 2005).

Ketika terjadi inflamasi, fosfolipid akan dipecah menjadi asam arakidonat dimana asam arakidonat dibantu oleh enzim siklooksigenase dan lipoksigenase untuk memetabolisme prostaglandin dan leukotrien yang merupakan mediator penting dalam inflamasi (Baratawidjaja, 2010). Selama inflamasi berlangsung, radikal bebas yang berasal dari oksigen akan dikeluarkan ke ruang ekstrasel dari leukosit setelah sel ini terpajan oleh mikroba, kemokin, dan kompleks imun, atau setelah rangsangan fagositik. Rangsangan ini akan melepaskan anion superoksida (O2-), hidrogen peroksida (H2O2), dan radikal hidroksil (OH) yang mana metabolit-metabolit ini dapat berikatan dengan nitrat oksida (NO), suatu mediator pleiotropik inflamasi. Radikal reaktif ini dapat menyebabkan kerusakan sel dan jaringan secara langsung melalui degradasi oksidatif dari komponen sel. Sebenarnya tubuh juga memiliki antioksdan alamiah yang berfungsi mengendalikan reaksi radikal agar tidak merusak organ-organ di dalam tubuh, akan tetapi jumlahnya terbatas. Jika pengendalian tersebut gagal maka terjadi kelebihan radikal bebas di dalam tubuh karena antioksidan alamiah tidak mampu menetralkannya. Hal inilah yang dapat menyebabkan terjadinya stress oksidatif yang mengakibatkan kerusakan jaringan dan memicu terjadinya proses inflamasi (Kumar, 2005). Oleh karena itu tubuh kita memerlukan antioksidan dari luar untuk mengatasi dampak buruk yang ditimbulkan dari radikal bebas.


(55)

Peran spesies oksigen reaktif dalam cedera sel adalah dimulai dengan O2 diubah menjadi superoksida (O2-) oleh enzim-enzim oksidatif di retikulum endoplasma (RE), mitokondria, membran plasma, dan sitosol. O2- diubah menjadi H2O2 melalui proses dismutasi dan kemudian menjadi OH oleh reaksi Fenton yang dikatalisis oleh Cu2+/Fe2+. H2O2 juga diperoleh secara langsung dari oksidase di peroksisom. Kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas pada lemak (peroksidasi), protein, dan DNA menyebabkan berbagai bentuk cedera sel (Kumar, 2005).

Radikal-radikal bebas, dengan keberadaan oksigen dapat menyebabkan peroksidase lemak di dalam membran plasma dan organel. Kerusakan oksidatif terjadi jika ikatan-ikatan ganda di asam-asam lemak tidak jenuh pada lemak membran diserang oleh radikal bebas yang berasal dari oksigen, terutama OH. Interaksi radikal bebas dengan lemak menghasilkan peroksida, yang merupakan zat tidak stabil dan bersifat reaktif sehingga memicu reaksi berantai autokatalis. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan yang parah pada membran, organel, dan sel. Selain itu, radikal bebas juga dapat meningkatkan oksidasi residu asam amino rantai samping, pembentukan ikatan silang antar protein (misalnya ikatan disulfida) dan oksidasi kerangka protein yang menyebabkan fragmentasi protein. Modifikasi oksidatif meningkatkan penguraian protein-protein penting oleh kompleks proteasom multikatalitik sehingga terjadi kerusakan di seluruh sel. Spesies reaktif apabila bereaksi dengan timin di DNA nukleus dan mitokondria dapat menyebabkan kerusakan-kerusakan di salah satu untai DNA. Kerusakan DNA ini diperkirakan berperan pada penuaan sel dan dalam transformasi


(56)

keganasan sel. Ketika terjadi kerusakan sel, sel-sel mengembangkan berbagai mekanisme untuk menyingkirkan radikal bebas dan memperkecil cedera, misalnya serangkaian enzim yang bekerja sebagai penyapu radikal bebas dan menguraikan hidrogen peroksida serta anion superoksida. Enzim-enzim antioksidan utama adalah superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase (Kumar, 2005). Pengaruh ROS pada sel dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Patologi radical oxidative stress (ROS) menyebabkan kerusakan sel (Kumar, 2005).

J. Karagenin

Karagenin adalah polimer linear yang tersusun dari sekitar 25.000 turunan galaktosa yang strukturnya tergantung pada sumber dan kondisi ekstraksi. Karagenin dikelompokkan menjadi 3 kelompok utama yaitu kappa, iota, dan lambda karagenin. Karagenin lambda (π karagenin) adalah karagenin yang


(57)

diisolasi dari ganggang Gigartina pistillata atau Chondrus crispus, yang dapat larut dalam air dingin. Karagenin dipilih untuk menguji obat antiinflamasi karena tidak bersifat antigenik dan tidak menimbulkan efek sistemik (Hidayati, 2008).

Teknik yang paling sering digunakan untuk mengetahui efek antiinflamasi suatu obat adalah pemberian iritan berupa karagenan. Injeksi karagenan akan menyebabkan terbentuknya edema dan inflamasi secara cepat, yaitu mencapai maksimal 3-5 jam setelah pemberian karagenan. Tanda kardinal dari inflamasi yang terjadi akibat injeksi karagenan secara subkutan adalah edema, hiperalgesia, dan eritema. Inflamasi yang diinduksi oleh karagenan ditandai dengan peningkatan rasa sakit, pembengkakan, dan sintesis prostaglandin hingga 4 sampai 5 kali (Utami, 2011).

Mekanisme pembentukan udem oleh karagenin terbagi atas dua tahap. Tahap pertama yaitu disebabkan oleh pelepasan histamin dan serotonin yang dimulai segera setelah diinduksi dan berkurang setelah dua jam. Tahap kedua adalah karena pelepasan bradikinin dan prostaglandin yang dimulai pada akhir tahap pertama dan bertahan pada jam ketiga sampai jam kelima (Suralkar, 2008). Dalam pembentukan edema yang berperan adalah intermediet prostaglandin yang terbentuk melalui biosintesa prostaglandin yang bereaksi dengan jaringan di sekitarnya dan menyebabkan perubahan-perubahan pada pembuluh darah yang merupakan awal mula terjadinya edema (Vinegar, Truax, and Selph, 1976).

Dalam penelitian ini yang digunakan untuk menginduksi inflamasi adalah karagenin karena ada beberapa keuntungan yang didapat antara lain tidak


(58)

menimbulkan kerusakan jaringan, tidak menimbulkan bekas, serta memberikan respon yang lebih peka terhadap obat antiinflamasi (Vogel, 2002).

K. Hidrokortison Asetat

Hidrokortison Asetat mengandung tidak kurang dari 97,0 % dan tidak lebih dari 102 % C23H32O6, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian hidrokortison asetat berupa serbuk hablur, putih atau hampir putih, tidak berbau, rasa tawar, kemudian pahit. Kelarutannya praktis tidak larut dalam air, sukar larut dalam etanol (95%) P dan kloroform serta melebur pada suhu lebur lebih kurang 2200 disertai peruraian (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979).

Hidrokortison Asetat adalah salah satu golongan kortikosteroid yang digunakan untuk menekan inflamasi, dimana salah satu pemerian hidrokortison asetat yaitu dapat digunakan secara topikal. Kortikosteroid menekan semua fase respon inflamasi, termasuk pembengkakan dini, kemerahan, nyeri, dan selanjutnya perubahan proliferatif yang tampak pada inflamasi kronis (Neal, 2005). Krim hidrokortison merupakan contoh-contoh dari glukokortikoid topikal yang membantu menyembuhkan dermatitis. Berdasarkan kekuatannya dalam menghilangkan rasa gatal dan peradangan akibat dermatitis, glukokortikoid topikal dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kekuatan tinggi, sedang, dan rendah, dimana hidrokortison termasuk kortikosteroid dengan kekuatan rendah. Absorbsi hidrokortison akan lebih banyak pada kulit yang lebih permeabel. Efek samping dan reaksi yang merugikan dapat terjadi pada pemakaian topikal jangka panjang


(59)

karena dapat menyebabkan penipisan kulit disertai dengan atrofi epidermis dan dermis, serta purpura akibat erupsi pembuluh darah kecil (Kee, 1996).

L. Biocream®

Obat topikal adalah obat yang mengandung dua komponen dasar yaitu zat pembawa (vehikulum) dan zat aktif. Zat aktif merupakan komponen bahan topikal yang memiliki efek teraupetik, sedangkan zat pembawa adalah bagian inaktif dari sediaan topikal dapat berbentuk cair atau padat yang membawa bahan aktif berkontak dengan kulit. Idealnya zat pembawa mudah dioleskan, mudah dibersihkan, dan tidak mengiritasi. Selain itu, bahan aktif harus berada di dalam zat pembawa dan kemudian mudah dilepaskan. Salah satu contoh bahan pembawa berbentuk krim yang sudah jadi, yaitu Biocream®. Biocream® ini bersifat ambifilik artinya berkhasiat sebagai W/O atau O/W (Yanhendri, 2012).

M. Landasan Teori

Inflamasi merupakan respon fisiologis terhadap berbagai rangsangan seperti infeksi dan cedera jaringan. Ketika proses inflamasi berlangsung, terjadi reaksi vaskular di mana cairan, elemen-elemen darah, sel darah putih (leukosit), dan mediator kimia berkumpul pada tempat cedera jaringan atau infeksi. Proses inflamasi merupakan suatu mekanisme perlindungan di mana tubuh berusaha untuk menetralisir dan membasmi agen-agen yang berbahaya pada tempat cedera selanjutnya mempersiapkan keadaan untuk perbaikan jaringan. Gejala terjadinya


(60)

inflamasi, yaitu panas (calor), kemerahan (rubor), bengkak (tumor), nyeri (dolor), dan perubahan fungsi (function laesa).

Bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu rangsangan kimiawi, fisik, atau mekanis, maka enzim fosfolipase diaktifkan untuk mengubah fosfolipida menjadi asam arakhidonat. Pada saat terjadi kerusakan pada sel, maka enzim fosfolipase A2 diaktifkan untuk membebaskan asam arakhidonat yang ada dari fosfolipid. Turunan asam arakhidonat adalah eikosanoid (prostanoids dan leukotriens). Prostanoids terdiri dari zat-zat prostaglandin (PG) dan tromboksan (TX). Leukotriens terdiri dari zat-zat leukotrien. Prostaglandin dan leukotrien bertanggung jawab bagi sebagian besar dari gejala peradangan.

Pendekatan dari ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Ugbabe, dkk., (2010) melaporkan bahwa kandungan fitokimia dari ekstrak daun

C.cujete menunjukkan adanya kandungan fenolik, saponin, tanin, terpenoid dan

flavonoid. Flavonoid berfungsi sebagai antiinflamasi dengan cara menghambat enzim siklooksigenase dan lipooksigenase. Senyawa aktif dari ekstrak daun

C.cujete yang bersifat sebagai antiinflamasi menurut penelitian Parvin, dkk.,

(2015) adalah fenolik, tanin, dan flavonoid. Senyawa aktif ini bertindak sebagai antiinflamasi dengan menghambat pelepasan enzim fosfolipase A2 sehingga menghambat sintesis prostaglandin yang merupakan mediator inflamasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Das, dkk., (2014) melaporkan bahwa ekstrak etanol dari daun C.cujete ditemukan adanya kandungan fitokimia berupa steroid, saponin, tanin, glikosida, terpenoid, dan flavonoid yang memperlihatkan adanya aktivitas penangkapan radikal terhadap DPPH. Adanya aktivitas


(61)

penangkapan radikal bebas terhadap DPPH inilah yang menyebabkan peradangan dapat dihambat sehingga kandungan yang terdapat pada C.cujete diduga memiliki aktifitas antiinflamasi.

Pengujian efek antiinflamasi dari ekstrak etanol daun C.cujete dilakukan dengan menggunakan metode inflammation-assosiated edema (Vetriselvan, 2013) yaitu dengan mengukur edema dari tebal lipat kulit punggung mencit terinduksi karagenin yang terjadi setiap jam selama 6 jam. Apabila terjadi penurunan edema setiap jamnya selama 6 jam setelah pemberian perlakuan maka menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun Crescentia cujete memiliki efek antiinflamasi topikal.

N. Hipotesis

Ekstrak etanol daun Crescentia cujete memiliki aktivitas antiinflamasi topikal terhadap edema tebal lipat kulit punggung mencit betina galur Swiss yang terinduksi oleh karagenin 3%.


(62)

42

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Peneletian tentang efek antiinflamasi secara topikal dengan menggunakan ekstrak etanol daun C.cujete pada mencit betina galur Swiss merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan menggunakan rancangan acak lengkap pola searah.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel penelitian

a. Variabel utama.

1) Variabel bebas : konsentrasi dari ektrak etanol Crescentia cujete L.

2) Variabel tergantung : tebal edema kulit punggung mencit (mm) b. Variabel pengacau.

1) Variabel pengacau terkendali

a) Subyek uji : mencit betina b) Umur subyek uji : 2-3 bulan c) Berat badan subyek uji : 20–30 g d) Keadaan subyek uji : sehat

2) Variabel pengacau tidak terkendali : kondisi patofisiologis mencit yang digunakan dalam penelitian.


(63)

2. Definisi operasional

a. Inflamasi merupakan mekanisme pertahanan tubuh sebagai respon normal terhadap trauma fisik, zat kimia berbahaya atau agen mikrobiologi. Gejalanya meliputi rubor , kalor, dolor,tumor, dan function laesa. Dalam hal ini, yang diamati berupa edema (bengkak).

b. Tebal edema merupakan tebal lipat kulit punggung mencit yang meningkat dari tebal lipat kulit punggung normal setiap 1 jam selama 6 jam setelah diinjeksikan karagenin 3% yang diukur dengan menggunakan jangka sorong digital.

c. Daun C.cujete yang digunakan merupakan daun yang berwarna hijau segar, tidak berlubang, serta tidak terdapat kotoran dari binatang kecil yang didapat dari tanaman milik warga di Gg. Garuda No. 168, Priwulung, Yogyakarta.

d. Ekstrak etanol daun C.cujete adalah ekstrak yang didapatkan dengan cara mengekstraksi simplisia daun C.cujete seberat 15 g yang dilarutkan dalam 100 ml pelarut etanol 70% secara maserasi selama dua hari. Kemudian dengan jumlah pelarut yang sama dilakukan remaserasi selama satu hari, disaring dengan kertas saring dan diuapkan menggunakan oven hingga menjadi ekstrak kental.

e. Konsentrasi ekstrak etanol daun C.cujete merupakan sejumlah berat ekstrak kental daun C.cujete (g) dalam setiap bobot basis (g) yang


(1)

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 15.000

Z -2.611

Asymp. Sig. (2-tailed) .009 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .008a

a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Perlakuan

Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

PersenPI kontrol biocream 5 3.00 15.00

EEDCC 3,75% 5 8.00 40.00

Total 10

Test Statisticsb

PersenPI

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 15.000

Z -2.611

Asymp. Sig. (2-tailed) .009 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .008a

a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Perlakuan

Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

PersenPI kontrol positif 5 3.20 16.00

EEDCC 1,67% 5 7.80 39.00


(2)

Test Statisticsb

PersenPI

Mann-Whitney U 1.000

Wilcoxon W 16.000

Z -2.410

Asymp. Sig. (2-tailed) .016 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .016a

a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Perlakuan

Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

PersenPI kontrol positif 5 5.80 29.00

EEDCC 2,5% 5 5.20 26.00

Total 10

Test Statisticsb

PersenPI

Mann-Whitney U 11.000

Wilcoxon W 26.000

Z -.313

Asymp. Sig. (2-tailed) .754 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .841a

a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Perlakuan

Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

PersenPI kontrol positif 5 4.30 21.50

EEDCC 3,75% 5 6.70 33.50


(3)

Wilcoxon W 21.500

Z -1.257

Asymp. Sig. (2-tailed) .209 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .222a

a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Perlakuan

Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

PersenPI EEDCC 1,67% 5 6.00 30.00

EEDCC 2,5% 5 5.00 25.00

Total 10

Test Statisticsb

PersenPI

Mann-Whitney U 10.000

Wilcoxon W 25.000

Z -.524

Asymp. Sig. (2-tailed) .600 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .690a

a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Perlakuan

Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

PersenPI EEDCC 1,67% 5 6.00 30.00

EEDCC 3,75% 5 5.00 25.00


(4)

Test Statisticsb

PersenPI

Mann-Whitney U 10.000

Wilcoxon W 25.000

Z -.524

Asymp. Sig. (2-tailed) .600 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .690a

a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Perlakuan

Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

PersenPI EEDCC 2,5% 5 4.80 24.00

EEDCC 3,75% 5 6.20 31.00

Total 10

Test Statisticsb

PersenPI

Mann-Whitney U 9.000

Wilcoxon W 24.000

Z -.731

Asymp. Sig. (2-tailed) .465 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .548a

a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Perlakuan


(5)

(6)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi dengan judul : “Uji Efek

Antiinflamasi Topikal Ekstrak Etanol Daun

Majapait (Crescentia cujete L.) pada Edema Kulit

Punggung

Mencit

Galur

Swiss

Terinduksi

Karagenin” bernama lengkap Monika Febrianti,

dilahirkan di Pontianak pada tanggal 14 Febuari

1994 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari

pasangan Antonius Pawi dan Elisabet.

Penulis menempuh pendidikan di TK

hingga SMA di Pontianak, Kalimantan Barat, yaitu

TK Suster (2000-2001), SD Suster (2001-2007),

SMP Suster (2007-2010), SMA N 3 (2010-2012),

kemudian melanjutkan pendidikan di Fakultas

Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

(2012-2016).

Semasa kuliah, penulis aktif dalam kepanitiaan, baik dalam fakultas maupun di

luar fakultas. Penulis pernah menjadi Divisi Acara Desa Mitra 2012, Divisi

keamanan Pagelaran Seni Tangkuban Perahu 2012, Divisi Dana Usaha Bulan

Budaya 2013, dan anggota kelompok Program Kreativitas Mahasiswa bidang

Pengabdian Masyarakat yang lolos dibiayai DIKTI pada tahun 2015.