BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Ekstraksi Bunga Kecombrang
Proses ekstraksi bunga kecombrang menggunakan metode maserasi dengan pelarut air. Pada proses maserasi suhu yang digunakan adalah suhu ruang dalam
keadaan gelap, dengan waktu maserasi selama 3 x 24 jam. Setelah proses maserasi ekstrak air kecombrang disaring dengan menggunakan kertas Whatman no. 1.
Ekstrak yang dihasilkan dari bunga kecombrang beraroma kecombrang dan warna coklat tua. Hasil ekstrak air bunga kecombrang dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Ekstrak air bunga kecombrang Sumber: Hudaya, 2010
Hasil evaporasi dari ekstrak air bunga kecombrang sebanyak 102 ml kental dengan viskositas 0,01 menit 60 detik dari hasil maserasi 150 gram bubuk bunga
kecombrang dalam 2500 ml akuabides. Hasil yang didapatkan melalui proses
evaporasi sebanyak 102 ml ekstrak air bunga kecombrang selanjutnya digunakan untuk pengujian BSLT Brine Shrimp Lethality Test, antibakteri, antioksidan
dan analisa GCMS.
4.2. Uji BSLT Brine Shrimp Lethality Test
Metode BSLT adalah suatu metode pengujian dengan menggunakan hewan uji yaitu Artemia salina Leach, yang dapat digunakan sebagai bioassay yang
sederhana untuk meneliti toksisitas akut suatu senyawa, dengan cara menentukan nilai LC
50
yang dinyatakan dari komponen aktif suatu simplisia maupun bentuk sediaan ekstrak dari suatu tanaman. Apabila suatu ekstrak tanaman bersifat toksik
menurut harga LC
50
dengan metode BSLT, maka tanaman tersebut dapat dikembangkan sebagai obat anti kanker. Namun, bila tidak bersifat toksik maka
tanaman tersebut dapat diteliti kembali untuk mengetahui khasiat lainnya dengan menggunakan hewan coba lain yang lebih besar dari larva Artemia salina Leach
seperti mencit dan tikus secara in vivo Mayer, 1982. Pada penellitian ini jumlah kematian larva Artemia salina Leach pada setiap
tabung uji dalam berbagai konsentrasi 0 ppm, 10 ppm, 100 ppm, 200 ppm, 500 ppm, dan 1000 ppm perlakuan ekstrak air bunga kecombrang ditunjukkan pada
tabel 3. Tabel 3. Hasil uji BSLT
Konsentrasi ppm
Angka Hidup
Angka Mati
Akumulasi Mati
Akumulasi Hidup
Akumulasi MatiTotal
Mortalitas LC-50
ppm 0 18
12 12 36 1248 25 10 17
13 25 18 2543 58.14
100 1 29 54 1
5455 98.18 200 0
30 84 0 8484 100
500 0 30 114 0 114114
100 1000 0 30 144
0 144144 100
75.94
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa berbagai konsentrasi ekstrak air bunga kecombrang pada percobaan memperlihatkan pengaruh yang berbeda
terhadap kematian larva Artemia salina Leach. Pada konsentrasi 10 ppm belum memperlihatkan perbedaan yang sangat nyata terhadap kematian larva dengan
perlakuan 0 ppm, hal ini menunjukkan bahwa senyawa yang terdapat pada konsentrasi 10 ppm tidak cukup untuk membunuh larva. Konsentrasi yang
berpengaruh terhadap kematian larva terlihat pada konsentrasi 100 ppm, hal ini dapat dibuktikan pada jumlah kematian larva yang terjadi pada konsentrasi 100
ppm. Jumlah kematiam larva pada konsentrasi 100 ppm mencapai 29 ekor larva dari 30 larva yang diujikan. Sifat toksik ekstrak air bunga kecombrang terdapat
pada konsentrasi 200 ppm, hal ini dapat dilihat dari jumlah larva yang mati pada perlakuan ini. Pada konsentrasi 200 ppm semua larva yang diujikan mati total.
Jumlah kematian larva Artemia salina Leach. pada setiap perlakuan ekstrak air bunga kecombrang ditunjukkan pada Gambar 8.
Konsentrasi ppm M
o rt
al it
as
0.0 183.3
366.7 550.0
733.3 916.7
1100.0 17
.50 32
.50 47
.50 62
.50 77
.50 92
.50 107
.50
Gambar 8. Grafik mortalitas larva Artemia salina Leach
Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui bahwa berbagai konsentrasi
ekstrak air bunga kecombrang pada percobaan ini memperlihatkan pengaruh yang berbeda terhadap kematian larva Artemia salina Leach. Semakin tinggi
konsentrasi ekstrak air bunga kecombrang yang digunakan dalam uji BSLT, maka semakin tinggi kematian terhadap hewan uji.
Jumlah kematian larva dapat dilihat dari persen mortalitas hewan uji. Persentase mortalitas yang paling rendah terdapat pada konsentrasi 0 ppm yaitu
25. Matinya larva pada konsentrasi 0 ppm dimungkinkan sifat larva yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan baru. Menurut Nurhayati et al., 2006
menyatakan bahwa adanya larva uji dalam kontrol yang mati disebabkan karena kematian yang alami. Hal ini bisa dilihat dari perilaku Artemia salina Leach ini
sesaat sebelum mati. Artemia salina Leach yang mati pada kontrol mengalami penurunan aktivitas. Semakin lama, Artemia salina Leach dalam kontrol semakin
lemah dan terus berada di dasar tabung. Sedangkan Artemia yang mati dalam tabung percobaan karena perlakuan, mengalami disorientasi gerak gerakannya
tidak teratur. Artemia dalam tabung ini tetap aktif bergerak, akan tetapi tetap berputar-putar pada satu titik. Persentase mortalitas paling tinggi terdapat pada
konsentrasi 200 ppm, 500 ppm dan 1000 ppm yaitu mencapai 100 . Hal ini menunjukkan bahwa akumulasi hidup larva pada konsentrasi tersebut adalah 0,
dan akumulasi mati 100, dan konsentrasi 200 ppm merupakan konsentrasi minimal untuk mortalitas larva secara keseluruhan.
Berdasarkan hasil uji sitotoksik menggunakan metode BSLT, diketahui bahwa ekstrak air bunga kecombrang memiliki sifat toksik terhadap hewan uji.
Sifat toksik ini diketahui dari nilai LC
50
yaitu 75,94 ppm. Menurut Meyer dan Ferrigni 1982, Suatu senyawa dinyatakan mempunyai potensi toksisitas jika
mempunyai harga LC
50
kurang dari 1000 ppm. Sundari et al., 2007 menyatakan bahwa LC
50
Lethal Concentration 50 merupakan konsentrasi zat yang menyebabkan terjadinya kematian pada 50 hewan percobaan yaitu larva
Artemia salina Leach. Sifat toksik dari bunga kecombrang diperkirakan oleh
kandungan senyawa yang ada di dalam sampel tersebut Hasil analisa statistika anova satu-arah menunjukkan bahwa nilai F
hitung
masing-masing konsentrasi ekstrak air bunga kecombrang terhadap larva uji lebih besar daripada F
tabel
0,05 lampiran 7. Artinya bahwa ekstrak air bunga kecombrang terhadap perlakuan yang diberikan terdapat pengaruh yang sangat
signifikan. Hal ini menyebabkan adanya hubungan antara variasi konsentrasi ekstrak air bunga kecombrang dengan matinya hewan uji Artemia salina Leach.
4.3. Uji Antioksidan