Stategi dakwah Kiai Emet Ahmad Khatib melalui Ishlah Tsamaniyah
(Studi Kasus Pengembangan Dakwah di Pesantren Al-Ishlah Bobos Cirebon)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I)
Oleh: ABDUL BASIT NIM:106051001769
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/ 2014 M
(2)
(Studi Kasus Pengembangan Dakwah di Pesantren Al-Ishlah Bobos Cirebon)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I)
Oleh :
ABDUL BASIT NIM: 106051001769
Pembimbing
Umi Musyarrofah, MA NIP. 19710816 199703 2 002
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/ 2014 M
(3)
(4)
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya oraang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, Januari 2013
(5)
i
“Strategi Dakwah Kiai Emet Ahmad Khatib Melalui Ishlah
Tsamaniyah, Studi Kasus Pengembangan Dakwah di Pesantren
Al-
Ishlah Bobos Cirebon”
Dunia pesantren sejarah dan perkembangannya tidak pernah lepas dari peran penting seorang kiai. kiai ini merupakan tokoh sentral kesuksesan dalam pengembangan pesantren. Pesantren bisa eksis dan maju berkat adanya kontribusi dari pemikiran kiai dengan perencanaan yang matang dalam usaha pengembangan dakwah di pesantren.
Permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan: Bagaimana strategi dakwah Kiai Emet Ahmad Khotib melalui Ishlah Tsamaniyah? Apa implementasi dari strategi dakwah Kiai Emet Ahmad Khotib tersebut? Apa pengaruh yang diperoleh dari strategi dakwah Kiai Emet Ahmad Khotib tersebut?
Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui bagaimana strategi Kiai Emet Ahmad Khotib dalam berdakwah di Pesantren Al-Ishlah Bobos Cirebon, ingin mengetahui implementasi dari dakwah tersebut dan pengarunya apa dari dakwah Kiai Emet tersebut. Dengan mencermati fokus masalah yang perlu dijawab dalam penelitian ini, maka penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis datanya deskriptif-analisis.
Strategi dakwah yang dilakukan Kiai Emet adalah dengan dakwah bil lisan, bil kolam dan bil hal. Dalam dakwah melalui Ishlah Tsamaniyah diwujudkan atau diimplementasikan dalam bentuk sikap, prilaku maupun tindakan, diantaranya adalah pembangunan lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non formal. Formal seperti didirikannya MI, Mts dan Aliyah, sedangkan non Formal salah satunya seperti berdirinya Pesantren Darut Tauhid (DT). Pengaruhnya secara intern bertambah banyak para santri yang mondok, baik dari dalam daerah maupun luar daerah. Dan eksternnya banyak pemuka agama, pejabat maupun Instalasi-instalasi lain yang berkunjung ke Al-Ishlah.
(6)
ii
Puji syukur penulis haturkan kepada ilahi robbi Allah SWT, penguasa alam semesta dimana hati dan pikiran manusia berada dalam genggaman-Nya, dan kuasa-Nya lah yang selalu menggerakan keduanya untuk berfikir dan beramal, termasuk kesanggupan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan atas sayidul anam Muhammad SAW, sebagai referensi teladan setiap insan.
Penulis sadari bahwa penulis skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, dikarenakan kelemahan penulis sebagai manusia, namun itulah bagian dari hasil penulis selama belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua, amiiin.
Oleh karena itu untuk kesempurnaan skripsi ini penulis menerima dengan gembira kritik dan saran dari siapapun. Dalam menyelesaikan skripsi ini tak lepas dari partisipasi berbagai pihak, karenanya lewat tulisan ini, penulis bermaksud mengucapkan terima kasih dengan penghargaan sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Arief Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Dakwah, Bapak Drs. Wahidin Saputra, MA. selaku pembantu dekan bidang akademik, Bapak Drs. Jumroni M,Si.Selaku ketua Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Ibu Umi Musyarofah, selaku Skretaris Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, serta segenap dosen yang telah memberi bekal pengetahuan kepada penulis, baik secara teoritis maupun praktis selama penulis berada diperkuliahan.
2. Bapak Drs. Jumroni, M, Si, penulis mengucapkan terimakasih banyak atas segala nasihat dan dorongan motivasi kepada penulis agar terus maju dan sukses. Khusus kepada Ibu Umi Musyarofah, selaku pembimbing yang dengan baik hati serta dengan penuh kesabaran dan ikhlas meluangkan waktunya untuk memberi arahan dan masukan kepada penulis. Penulis tidak bisa membalas kebaikan ibu umi hanya doa yang bisa penulis haturkan semoga ibu umi beserta keluarga diberikan kesehatan selalu oleh Allah SWT,
(7)
iii
dan segala nasihat berharga untuk penulis semoga Allah SWT membalasnya dengan balasan baik yang besar. Amiiin.
4. Kedua orangtuaku, Umi Siti Khuzairiyyah dan Bapak Ru’yat Hidayat, yang
penuh kasih sayang dan kesabaran yang tidak terhingga, sehingga tidak terlukis betapa besar jasanya dalam mengasuh, mendidik dan membimbing penulis sejak lahir, serta tak lupa dengan tiada henti-hentinya selalu mendoakan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
5. Kakak dan adik-adikku tercinta. Ang Ani beserta suami a Ali trims atas segala masukannya baik secara moril maupun materil dalam penyelesaian skripsi ini. Adik-adiku Ina, Syarif, Affa dan Istiqomah semoga kalian tumbuh dan sukses dalam kehidupan ini. Amiin.
6. Kepada Istriku tercinta Bo Ay terima kasih atas kesabarannya, terimakasih
juga atas do’anya yang selalu kau panjatkan untukku untuk dapat kemudahan
dalam menyelesaikan tulisan skripsi ini. Semoga buah kasih dan cinta kita dede Luna (Maeluna Hakikah Islamiyah) tumbuh besar menjadi anak yang sholeh, berbakti kepada kedua orang tua, tumbuh menjadi anak yang bisa dibanggakan baik oleh orang tua, bangsa maupun negara. Amiiin ya Robb. 7. Kepada teman-teman seperjuanganku, Afdhal, Kisti, Ahmad, Akbar, dan
kepada teman-temanku yang lainnya yang tidak mungkin penulis sebut satu persatu. Semoga pertemanan kita akan abadi meskipun sekarang kita sudah menjalani kehidupan masing-masing. Semoga kau Afdhal sukses menjadi guru yang disenangi murid-muridnya dan salam untuk istri dan anak, kisti semoga amanah yang dikasih Allah SWT bisa dijalankan dengan baik, Akbar teruslah merakit agar kau kelak menjadi ahli komputer terkenal dan Ahmad yang jauh di Sulawesi sana teruslah menjadi anak nusantara yang mampu dibanggakan oleh siapapun.
(8)
iv
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Fokus dan Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5
D. Metodologi Penelitian ... 6
E. Sistematika penulisan... 8
BAB II KAJIAN TEORI A. Strategi ... 9
1. Pengertian Strategi ... 9
B. Dakwah ... 11
1. Pengertian Dakwah ... 11
2. Unsur-unsur Dakwah ... 13
a. Subjek Dakwah ... 13
b. Objek Dakwah ... 14
c. Materi Dakwah ... 15
d. Metode Dakwah ... 15
3. Tujuan Dakwah ... 18
C. Strategi Dakwah ... 20
1. Pengertian Strategi Dakwah ... 20
2. Asas-asas Strategi Dakwah ... 22
3. Teori-teori Strategi Dakwah ... 23
D. Ishlah Tsamaniyah ... 24
1. Pengertian Ishlah ... 24
(9)
v
Hidup ... 43 B. Kondisi sosial Politik ... 46 C. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Al-Ishlah Bobos ... 49 BAB IV ANALISIS DATA
A. Strategi Dakwah Kiai Emet Ahmad Khatib ... 55 B. Implementasi Ishlah Tsamaniyah ... 57 C. Pengaruh Dakwah Kiai Emet Ahmad Khatib terhadap
Ponpes dan Masyarakat ... 75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 77 B. Saran-saran ... 77 DAFTAR PUSTAKA ... 79 LAMPIRAN
(10)
1 A. Latar Belakang
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang menjadi tempat santri belajar berbagai macam ilmu, khususnya agama. Mengutip pendapat M. Abdullah bahwasannya pesantren merupakan pusat persemaian, pengamalan dan sekaligus menjadi tempat penyebaran ilmu-ilmu keislaman.1
Secara umum pengetahuan yang diajarkan pesantren berasal dari kajian pokok yang bersumber dari Al-Quranul karim dan hadits nabi. Sumber pengetahuan lain yang diajarkan pesantren berasal dari kitab klasik (kuning) karangan ulama-ulama besar, seperti ilmu Tauhid, ilmu Fiqih, ilmu Tasawuf yang semuanya dapat digolongkan kedalam ilmu-ilmu agama atau ilmu pengetahuan Islam.
Gerak laju pesantren sangat tergantung sekali oleh kiai tentunya dalam hal kebijakan dan orientasi program pesantren. Oleh karenanya, kiai merupakan figur penting untuk mengembangkan pendidikan yang ada di pesantren, sehingga pesantren itu bisa eksis dan maju. Dan kiai ini memiliki peran yang strategis dalam pengembangan dakwah baik didalam maupun diluar pesantren. Dan dengan adanya kiai bisa merubah paradigma masyarakat mengenai agama, sebab pemahaman keagamaan masyarakat biasanya sangat dipengaruhi oleh para kiai.2
Peran kiai dalam kehidupan masyarakat sangatlah besar. Keberadaannya dianggap sebagai agen perubahan (change) yang mampu membawa perbaikan disegala sektor, baik sosial, ekonomi, aqidah, politik dsb. Di bidang sosial kemasyarakatan kontribusinya adalah menjaga keharmonisan antar warga dengan kegiatan-kegiatan keagamaan, seperti saba desa atau bakti sosial, sembahyang berjamaah di masjid, slametan atau syukuran, dan lain
1
Jamali, Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren. (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h 132
2
Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h 26
(11)
sebagainya yang dapat menumbuhkan ikatan ukhuwa diantara sesama santri maupun masyarakat sekitar pesantren.
Di bidang politik (kenegaraan) kiai memiliki andil dalam menyukseskan perjalanan bangsa. Kiai memiliki kekuatan mempercepat proses pembangunan terutama di pedesaan yang artinya kiai menuntun pada pembangunan bangsa kearah lebih baik. Pesan-pesan pemerintah sebagai perancang, pelaksana dan pengawas pembangunan sering kali cukup efektif dipahami rakyat bila pesan itu dibantu oleh para kiai.3
Terlepas dari peranannya yang sangat luar biasa, kiai pun memiliki posisi atau kedudukan yakni sebagai penyambung lidah dari pengembangan pesantren dimasyarakat sekitar dan ini semuanya berlaku dipesantren-pesantren Indonesia. Termasuk didipesantren-pesantren Al-Ishlah Bobos yang berdiri sejak tahun 1850 oleh Kiai Adro‟i sampai kepada generasi-generasi berikutnya yang dimulainya oleh KH. Ahmad Suja‟i sebagai perintis kebangkitan pertama pengembangan pondok pesantren Al-Ishlah Bobos di Kabupaten Cirebon. Kiai Suja ini merupakan cikal bakal berkembangnya dakwah dikawasan Kabupaten Cirebon, khususnya didesa Bobos Kecamatan Dukupuntang Kabupaten Cirebon.
Kemudian dari kiai Ahmad Suja ini telah melahirkan beberapa keturunan, diantara keturunan yang paling sentral sampai melahirkan pembaharuan pendidikan di Al-Ishlah adalah Kiai Emet Ahmad Khatib yang lahir dan hidup pada tahun 1925 dan beliau wafat pada tahun 1990. Kiai Emet ini merupakan seorang tokoh pembaharuan (mujadid) pendidikan dakwah di Pondok Pesantren Al-Ishlah Bobos yang banyak melahirkan pemikiran-pemikiran cemerlang sehingga menjadi inspirasi bagi generasi Al-Ishlah dibelakangnya.
Kiai Emet Ahmad Khatib telah melalang buana diberbagai Pesantren Jawa Barat dan beliau terakhir berada di pesantren Singaparna, kabupaten Tasik Malaya. Beliau berguru pada seorang Kiai yang bernama Zaenal
3
Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h 194
(12)
Mustafa yang kebetulan pada saat itu masih berhadapan dengan kolonial Jepang. Selama menimba ilmu kepada kiai Zaenal Mustafa, kiai Emet Ahmad Khatib telah banyak mengkaji berbagai ilmu keagamaan yang dikaji dari berbagai kitab klasik (kuning) yang didalamnya meliputi bidang Aqidah, Fiqih, Syari‟ah, Muammalah dsb. Dari Pesantren inilah kiai Emet Ahmad Khatib telah dibesarkan dan cukup berpengaruh keilmuan-keilmuan Kiai Zaenal Mustafa kepada pribadi Kiai Emet Ahmad Khatib.
Untuk mengembangkan dakwahnya kiai Emet Ahmad Khatib mulai merintis pemikiran di Pesantren Al-Ishlah Bobos setelah beliau pulang dari Pesantren Singaparna, diawali dengan membenahi pendidikan di Madrasah Diniyyah (MD), Madrasah Ibtidaiyyah (MI), dan juga pendidikan Madrasah Tsanawiyyah (MTS) Bobos yang berdiri pada tahun 1971. Kemudian setelah itu barulah sekitar tahun 1984 beliau mendirikan Madrasah Aliyah (MA). Dan sebelumnya pada tahun 1980 Kiai Emet Ahmad Khatib ini telah terlebih dahulu mendirikan Pondok Pesantren Darut Tauhid (DT).
Seiring waktu dan perkembangan zaman yang semakin mutakhir dengan ditandai kemajuan informasi-komunikasi, maka Pesantren mau tak mau harus memberikan respon yang mutualistik. Karena sebab itu pesantren Al-Ishlah tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, tujuannya agar para santri-santrinya memiliki bekal-bekal keilmuan yang seimbang antara pengetahuan agama dengan pengetahuan sains dan tekhnologi yang sudah mengglobal.
Dakwah-dakwah kiai Emet Ahmad Khatib di Pesantren Bobos kabupaten Cirebon terinspirasi oleh Kiai Abdul Halim (1887-1962) yang mendirikan organisasi PUI (Pesantren Umat Islam) di Majalengka yang cukup berpengaruh, dan kiai H. Abdul Halim ini merupakan salah satu murid santri Kiai Ahmad Suja yang merupakan perintis pembaharu pertama dan merupakan pendiri salah satu Pondok Pesantren Al-Ishlah Bobos.
Dakwah yang dikembangkan Kiai Emet Ahmad Khatib di Pondok Pesantren Bobos adalah dengan upaya Ishlah Tsamaniyah yang merupakan wujud atau aplikasi dari Intisab yang merupakan ajaran PUI. Adapun arti secara singkat Ishlah Tsamaniyah adalah delapan jalur perbaikan yang
(13)
didalamnya meliputi berbagai bidang, seperti perbaikan dalam bidang Aqidah (Ishlahul Aqidah), Ibadah (Ishlahul Ibadah), Pendidikan (Ishlahut Tarbiyah), Rumah Tangga atau keluarga (Ishlahul „Ailah), Budaya (Ishlahul A‟dah), Umat (Ishlahul Ummah), Ekonomi (Ishlahul Iqtishad) dan Masyarakat atau sosial (Ishlahul Mujtama).
Dari delapan aspek itulah yang menjadi pendekatan sekaligus sebagai cara atau strategi dakwah Kiai Emet Ahmad Khatib di pesantren Al-Ishlah Bobos. Dan kedelapan aspek itu juga yang menjadi program dakwahnya Kiai Emet Ahmad Khatib yang sangat monumental di pesantren Al-Ishlah Bobos dan berpengaruh di masyarakat desa Bobos maupun masyarakat Cirebon.
Dengan latar belakang diatas penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian dan menuliskannya dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi dengan judul: “Strategi Dakwah Kiai Emet Ahmad Khatib Melalui Ishlah Tsamaniyah (Studi Kasus Pengembangan Dakwah di Pesantren Al-Ishlah
Bobos, Cirebon)”.
B. Fokus dan Perumusan Masalah 1. Fokus Masalah
Agar penelitian ini dapat dilaksanakan dengan mudah, terarah dan mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang diinginkan, maka penulis memfokuskan kajian wilayahnya kepada kajian tokoh yang berpengaruh di Pesantren Al-Ishlah Bobos yang bernama Kiai Emet Ahmad Khatib dan kontribusi pemikirannya terhadap perkembangan dan perubahan di pesantren Al-Ishlah yang meliputi Strategi Dakwah dengan melalui konsep Ishlah Tsamaniyah. Konsep ini merupakan pemikiran dari tokoh Persatuan Umat Islam (PUI) yaitu K.H Abdul Halim yang mempengaruhi gerak dakwah dan pemikiran keagamaan Kiai Emet Ahmad Khatib.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pemfokusan masalah diatas, maka untuk memudahkan penelitian ini penulis menyusun rumusan masalah penelitian sebagai berikut:
(14)
a Bagaimana strategi dakwah Kiai Emet Ahmad Khatib melalui Ishlah Tsamaniyah?
b Apa implementasi dari strategi dakwah Kiai Emet Ahmad Khatib melalui Ishlah Tsamaniyah?
c Apa pengaruh yang diperoleh dari strategi dakwah Kiai Emet Ahmad Khatib tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui bagaimana Strategi Dakwah Kiai Emet Ahmad Khatib melalui Ishlah Tsamaniyah dalam usaha pengembangan dakwah di pesantren Al-Ishlah Bobos Cirebon
b. Untuk mengetahui implementasi Strategi Dakwah Kiai Emet Ahmad Khatib melalui Ishlah Tsamaniyah dalam usaha pengembangan dakwah di pesantren Al-Ishlah Bobos.
c. Untuk mengetahui pengaruh yang dihasilkan dari kedelapan strategi dakwah Kiai Emet Ahmad Khatib baik di dalam maupun di luar pesantren Al-Ishlah bobos.
2. Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Segi Akademis
Memberikan kontribusi positif dalam studi tentang dakwah, khususnya tentang Strategi Dakwah Kiai Emet Ahmad Khatib melalui Ishlah Tsamaniyah di pondok pesantren Al-Ishlah Bobos Cirebon. b. Segi Praktis
Menambah wawasan bagi pengemban dakwah. Penelitian ini diharapkan dapat membangkitkan motivasi untuk lebih semangat dan berani mengembangkan dakwah dan berani memperjuangkan nilai-nilai islam dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dimasyarakat desa Bobos serta pada masyarakat umum lainnya.
(15)
D. Metodologi Penelitian 1. Sumber Data
a. Data Primer yaitu data utama yang digunakan untuk penelitian ini. Berupa data dari pengurus Yayasan Pondok Pesantren Al-Ishlah Bobos Cirebon yang dijadikan informan oleh penulis.
b. Data Sekunder yaitu data tambahan yang digunakan oleh penulis dalam penulisan skripsi ini. Berupa dokumen-dokumen, yaitu data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, serta buku-buku perpustakaan.
2. Pendekatan
Penulis dalam melakukan penelitian ini melalui pendekatan Kualitatif dimana data diperoleh bukan dari hasil perhitungan angka, tapi melalui kajian observasi, wawancara serta dokumentasi yang hasilnya berupa kata-kata (words) .
3. Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data untuk menunjang kesuksesan penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Observasi
Observasi yaitu pengamatan langsung kelapangan dengan mendatangi tempat yayasan Pondok Pesantren Al-Ishlah Bobos Cirebon guna untuk mendapatkan data-data yang akurat sesuai dengan pembahasan penelitian ini.
b. Wawancara
Wawancara adalah cara untuk mencari fakta dengan meminjam indra (mengingat, merekonstruksikan) sebuah peristiwa dengan mengutip pendapat dan opini nara sumber.4 Atau wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu antara dua orang (Interviewer dan Interview) yang salah satunya memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu.
4
Hikmah Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat. Jurnalistik Teori dan Praktik, (Bandung; PT remaja Rosda Karya,2005), h 189
(16)
Penulis mendengarkan dan memperoleh informasi dan keterangan – keterangan dengan cara tanya jawab sambil tatap muka secara langsung dengan mengajukan pertanyaan yang kemudian penulis tulis dan penulis rekam dengan menggunakan alat recorder yaitu Mp3 dan Hp kepada nara sumber yang penulis anggap penting. Seperti Ust. Sholahuddin AR selaku teman sejawatnya (Alm. Kiai Emet) dan sekaligus Ketua Pondok Pesantren Bobos. Dan kemudian Ust. Hajam Masy‟ali Mag selaku pengurus yayasan yang masih aktif yang pernah belajar pada Kiai Emet Ahmad Khatib. Dan masih banyak lagi yang nantinya akan diwawancarai demi terkumpulnya bahan atau data yang terkait permasalahan penelitian.
c. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu data yang diperoleh berkaitan dengan apa yang diteliti penulis. Dalam hal ini penulis memperoleh dokumen yang digunakan dalam bentuk buku-buku, catatan-catatan, gambar dan foto-foto beliau selama masih hidup.
4. Analisa Data
Dalam teknik analisis data penulis menggunakan penelitian deskriptif-analisis dengan memaparkan data apa adanya dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penyusunan skripsi ini terdiri dari 5 bab dan tiap bab terdiri dari beberapa sub bab sebagai berikut:
Bab I adalah pendahuluan yang membahas tentang latar belakang masalah, fokus dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
Bab II adalah kerangka teori, berisi uraian mengenai definisi Strategi, definisi dakwah, unsur-unsur dakwah, tujuan dakwah, definisi Strategi Dakwah, Asas-asas Strategi Dakwah dan definisi Ishlah Tsamaniyah.
(17)
Bab III adalah gambaran umum, berisi mengenai latar belakang keluarga, pendidikan dan pengalaman hidup, kondisi sosial politik dan sejarah berdirinya pondok pesantren Al-Ishlah Bobos
Bab IV adalah analisis data, berisi Strategi Dakwah K. E. A. Khatib melalui Ishlah Tsamaniyah, Implementasi dari Dakwah Ishlah Tsamaniyah Kiai Emet Ahmad Khatib
Bab V adalah berisi tentang kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang diangkat dan telah diteliti yang mungkin bisa bermanfaat bagi penulis, pondok pesantren Al-Ishlah Bobos, khazanah keilmuan di perpustakaan fakultas maupun umum.
(18)
9 A. Strategi
1. Pengertian Strategi
Strategi asal katanya berasal dari bahasa yunani “strategos” yang bermakna jendral dalam militer. Definisi secara umum strategi adalah cara-cara yang telah diatur untuk memenangkan suatu pertempuran.5
Kata ini lebih akrab dikenal dalam dunia militer. Penggunaan katanya lebih dominan dalam situasi peperangan dan komandanlah yang bertugas mengatur cara untuk memenangkan peperangan. Oleh karena itu, tugas seorang komandan sangatlah berat disamping bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dia juga bertanggung jawab terhadap orang yang dibawahinya (prajurit), karena jika keliru dalam memilih dan mengatur cara, maka dampaknya akan fatal. Jika dikaitkan dengan kajian dakwah maka seorang komandan diibaratkan sebagai da‟i dan prajurit sebagai mad‟u.
Definisi lain menyebutkan strategi merupakan suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan.6Langkah atau tindakan yang ditempuh tidaklah asal atau sembarangan, melainkan langkah dan tindakan yang telah dipikirkan, dirumuskan dan dipertimbangkan secara benar baik buruknya, dampak positif dan negatifnya. Secara pasti strategi digunakan sebagai upaya membantu dalam pencapaian maksud atau tujuan.
Dalam buku Pengembangan Masyarakat Islam menjelaskan strategi adalah suatu rencana atau langkah-langkah yang akan ditempuh dalam upaya memecahkan masalah yang dihadapi ditengah-tengah masyarakat.7
5
Hadari Nawawi. Manajemen Strategik Organisasi Non Profit Bidang Pemerintahan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000), h 147
6
Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h 207
7
Nanih Machendrawaty dan Agus Ahmad Safei, Pengembangan Masyarakat Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h 97
(19)
Strategi yang dipakai dalam setiap hal untuk memecahkan persoalan tertentu sudah pasti akan berbeda dengan strategi yang diterapkan untk memecahkan masalah yang sama sekali lain (berbeda).
Sebuah strategi menurut FM Loewenberg, bukanlah pernyataan (statemen) yang bersifat menggenalisir bisa digunakan oleh siapa saja dalam menghadapi persoalan apa saja. Strategi yang digunakan sangat ditentukan oleh tujuan apa yang hendak dicapai, serta kondisi macam apa yang tercipta.8
Dalam beberapa buku Kamus ditemukan pengertian kata strategi, yaitu pertama, dalam kamus Manajemen dikatakan strategi adalah rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus dan saling hubungan dalam waktu dan ukuran. 9 kedua, menurut kamus Sosiologi dan Kependudukan arti strategi adalah suatu siasat dalam menjalankan sesuatu maksud atau tujuan tertentu atas suatu prosedur yang memiliki alternatif-alternatif pada berbagai langkah.10
Drs. Samsul Munir Amin dalam bukunya Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Islam mendefinisikan kata strategi sebagai suatu konsep atau upaya untuk mengerahkan dan mengarahkan potensi dan sumber daya kedalam rangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.11
Dengan demikian dapat disimpulkan oleh penulis bahwa strategi adalah cara, taktik, upaya atau siasat yang dilakukan dengan penuh perhitungan secara cermat dan pertimbangan yang matang demi tercapainya maksud atau tujuan dari suatu masalah yang dihadapi.
8
Ibid, h 99
9
B. N. Marbun, Kamus Manajemen (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), h 340
10
G. Kartasapoetra dan Hartini. Kamus Sosiologi dan Kependudukan (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), h 406
11
Samsul Munir Amin, Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Islam (Jakarta: AMZAH, 2008), h 165
(20)
B. Dakwah
1. Pengertian Dakwah
Dakwah secara etimologi atau kebahasaan mengandung arti menyeru, mengajak, teriakan atau memanggil.12 Dakwah bisa juga di artikan sebagai permohonan. Dari beberapa makna yang berfariasi tersebut, mengandung unsur usaha atau upaya yang dinamis.
Sedangkan menurut terminologi dakwah merupakan suatu cara atau proses mengajak untuk berpindah dari suatu keadaan yang tidak baik menuju keadaan atau situasi yang baik.
Menyeru atau mengajak disini sekiranya wajib bagi setiap muslim untuk berdakwah menegakkan kalimat Allah meskipun satu ayat.
Rasulullah SAW Bersabda:
Artinya:
Sampaikanlah yang (kamu terima) dariku, walaupun satu ayat.13 Dari hadits diatas jelas bahwasannya seorang muslim hendaklah menyampaikan petunjuk-petunjuk (hudan) kepada manusia yang diperolehnya tidak boleh menghindarkan diri dari kewajiban berdakwah. karena dakwah merupakan risalah untuk mengembangkan agama Allah.
Dakwah merupakan suatu pekerjaan yang mulia dan merupakan suatu keharusan yang telah ditetapkan hukumnya wajib oleh nash Al-Qur‟an. Berbicara mengenai kewajiban berdakwah juga telah disinggung oleh Jum‟ah Amin Abdul Aziz dalam bukunya Fiqih Dakwah yang merupakan studi atas berbagai prinsip dan kaidah yang harus dijadikan acuan dalam dakwah islamiah. Dalam buku tersebut menjelaskan bahwasannya, setiap muslim yang membawa identitas islam (baik secara akidah atau syariat) mengetahui, bahwa ia diperintahkan untuk
12
A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah; Rekayasa Membangun Agama dan peradaban Islam. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h 27
13
Shadiq Amin. Mencari Format Gerak Dakwah Ideal. (jakarta timur: Al-I‟tishom, 2006), h 5
(21)
menyampaikan Islam kepada seluruh manusia. Sehingga manusia dapat bernaung di bawah keteduhan naungannya.14
Banyak para pakar bidang keilmuan islam mendefinisikan dakwah. Diantaranya adalah sebagai berikut:
Menurut M. Quraish Shihab dakwah merupakan ajakan atau seruan kepada keinsyafan atau usaha merubah diri sendiri atau masyarakat kepada yang lebih baik dan sempurna.15
M. Natsir mendefinisikan dakwah sebagai usaha menyerukan dan menyampaikan kepada perorangan manusia dan seluruh umat tentang pandangan dan tujuan hidup manusia didunia ini yang meliputi amar
ma‟ruf nahi munkar, dengan berbagai macam media dan cara yang diperbolehkan dan membimbing pengalamannya dalam perikehidupan perorangan, berumah tangga (usrah) bermasyarakat dan bernegara.16
Definisi dakwah secara istilahi juga diutarakan oleh Dr. H. Asep Muhiddin, M.A. dalam bukunya yang berjudul Dakwah dalam Perspektif Al-Qur‟an, ia mengatakan dakwah adalah upaya mengajak dan mengembalikan manusia pada fitrah dan kehanifannya secara integral, serta merupakan upaya penjabaran nilai-nilai ilahi menjadi amal shaleh dalam kehidupan nyata.17
Ahmad Ghalwasy dalam kitabnya Ad-Da‟wat Al-Islamiyyat menjelaskan bahwasannya dakwah adalah pengetahuan yang dapat memberikan segenap usaha yang bermacam-macam yang mengacu kepada upaya penyampaian ajaran islam kepada seluruh manusia yang mencakup Aqidah, Syariah dan Akhlah.18
Dari beberapa pendapat tentang pengertian dakwah yang telah dipaparkan diatas, penulis menyimpulkan bahwa dakwah adalah suatu usaha ajakan atau seruan kepada seluruh umat manusia baik individu
14 Jum‟ah Amin Abdul Aziz.
Fiqih Dakwah; Prinsip dan Kaidah Asasi Dakwah Islam. (Solo: PT Era Adicitra Intermedia, 2011), h 34
15
A. Suriani, Manajemen Dakwah Dalam Kehidupan Pluralis Indonesia. (Ciputat: The Media Of Social and cultural communication (MSCL), 2005), h
16
Armawati Arbi, Dakwah dan Komunikasi. (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003), h 34
17
Asep Muhiddin, Dakwah Dalam Perspektif Al-Qur‟an (Bandung: CV Pustaka Media,
18
(22)
maupun kelompok dalam hidupnya untuk melangkah dari satu situasi kepada situasi lain yang lebih baik sesuai ajaran islam dan menegakan syariat islam diatas muka bumi ini.
2. Unsur-unsur Dakwah a. Subjek Dakwah
Subjek dakwah adalah orang yang mengajak (da‟i). Secara arti da‟i merupakan orang yang mengajak atau menyeru kepada semua manusia dengan perkataan dan perbuatannya agar kembali kepada jalan yang lurus dengan menegakan syariat Allah diatas muka bumi (Islam).
Dalam konteks lainnya da‟i (juru dakwah) disebut juga sebagai Ahludz Dzikir.19 Ahludz Dzikir adalah orang yang diberi tugas untuk menjadi pelopor dalam dakwah.
Da‟i merupakan manusia contoh yang segala tingkah laku perbuatannya akan selalu diikuti oleh pengikutnya, baik individu maupun masyarakat. Oleh karena itu, hendaklah seorang da‟i memiliki sifat-sifat baik (shaleh) terutama imannya, berjiwa luhur dan berhati lapang. Diantara sifat-sifat terpenting yang harus dimiliki da‟i adalah jujur, ikhlas, arif, sabar, disiplin waktu, konsisten dengan islam dan segala perbuatannya sesuai dengan ucapannya.
Seorang juru dakwah tidak mungkin dapat melakukan amar ma‟ruf nahi munkar kecuali memiliki tiga sifat, yaitu:20
lembut dalam memerintah dan melarang, adil dalam memerintah dan melarang, serta mengetahui sesuatu yang diperintah dan dilarang-Nya. Seorang da‟i tidak dapat melakukan kebajikan kecuali dengan cara lembut, sabar dan arif, dimana ketiga sifat tersebut saling melengkapi satu sama lain.
Sifat-sifat terpuji tersebut setidaknya akan menjadi salah satu yang memungkinkan masyarakat dapat mengikuti jalan kebenaran yang diserukan da‟i.
19
Musthafa Ar-Rafi‟i. Potret Juru Dakwah (Jakarta: CV Pustaka Al-Kautsar, 2002), h 51
20
(23)
b. Objek Dakwah
Objek dakwah adalah mad‟u atau orang yang diajak untuk kembali kepada agama Allah. Mad‟u merupakan sasaran pokok dalam berdakwah. Mad‟u sering disebut juga dengan jamaah yang sedang menuntut ajaran agama dari seorang da‟i, baik mad‟u itu orang dekat atau jauh, seiman atau tidak seiman, laki-laki maupun perempuan.
Yang menjadi mad‟u atau sasaran dakwah adalah manusia secara keseluruhan, baik individu maupun masyarakat luas yang satu sama lain memiliki perbedaan ras, agama, budaya, kebiasaan (SARA). Mad‟u atau sasaran dakwah dapat diklasifikasikan meliputi masyarakat dari berbagai segi, seperti:21
1. Dari segi tingkat usia, berupa golongan anak-anak, remaja, dan orang tua
2. Dari segi okupasional (profesi atau pekerjaan) seperti petani, pedagang, guru, seniman, dsb.
3. Dari segi sosiologis, berupa masyarakat pedesaan dan perkotaan. 4. Dari segi struktur kelembagaan, seperti golongan priyayi, abangan
dan santri, terutama pada masyarakat jawa.
5. Dari segi khusus, seperti tunasusila, tunawisma, narapidana dan sebagainya.
6. Dll.
Sedangkan menurut Muhammad Abduh mad‟u terbagi menjagi tiga golongan, yaitu sebagai berikut:22
7. Golongan cerdik cendekiawan yang cinta kebenaran dan dapat berpikir secara kritis dan cepat menangkap persoalan
8. Golongan awam. Kebanyakan orang yang belum dapat berpikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian-pengertian yang tinggi.
9. Golongan yang berbeda dengan golongan diatas, yaitu mereka yang senang membahas sesuatu, tetapi hanya dalam batas tertentu, tidak sanggup mendalami benar.
21
Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h 280
22
(24)
c. Materi Dakwah
Materi dakwah dalam bahasa arab disebut maddah da‟wah adalah ajaran islam itu sendiri yang esensinya berpangkal pada landasan pokok manusia yaitu Al-Qur‟an dan Hadits.
Dalam penyampaian materi atau ajaran dakwah hendaklah dikemukakan dengan baik, sehingga mad‟u akan terpikat hatinya dan mau mendengarkan dan mengikuti apa yang da‟i serukan.
Materi dakwah itu cakupannnya sangat luas sekali, namun secara umum pokok-pokok materi dakwah adalah sebagai berikut:23 1. Aqidah Islam, Tauhid dan keimanan
2. Pembentukan pribadi yang sempurna
3. Pembangunan masyarakat yang adil dan makmur 4. Kemakmuran dan kesejahteraan dunia dan akhirat
Materi dakwah yang pertama dan yang sangat penting sekali adalah berdakwah atau mengajak kepada perbaikan aqidah, mengajak manusia kepada tauhid, mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah, dan melarang kepada kesyirikan serta mengajak manusia untuk senantiasa melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan agama, seperti shalat, puasa, zakat dan sebagainya.
Dari beberapa uraian materi dakwah diatas menjadi prinsip dasar yang harus senantiasa da‟i ingat dalam setiap penyampaian dakwahnya.
d. Metode Dakwah
Hendaknya bagi para pelaku dakwah agar dakwahnya bisa diterima dimasyarakat haruslah mengetahui cara atau metode-metodenya. Al-Qur‟an sendiri sudah merumuskannya yaitu seperti didalam surat An-Nahl, 16:125. Allah Berfirman:
23Hamzah Yaqub. Publistik Islam; Teknik Da‟wah dan Leadership (Bandung: CV. Diponegoro, 1981), h 30
(25)
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Dari penjelasan ayat di atas terdapat tiga cara atau metode dalam berdakwah, yaitu:
1 Bil-Hikmah
Hikmah secara arti adalah meletakan sesuatu pada tempatnya. Definisi lain mengatakan bahwasannya hikmah merupakan bijaksana baik sikap maupun perbuatan atau segala ucapan dan perbuatan dilakukan secara tepat dalam waktu bersamaan. Menurut Prof. Toha Jahja Omar MA, bijaksana artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya dan kitalah yang harus berpikir, berusaha menyusun dan mengatur cara-cara dengan menyesuaikan kepada keadaan dan zaman, asalkan tidak bertentangan dengan hal-hal yang dilarang oleh Allah.24
Hikmah menurut Syekh Zamakhsyari adalah perkataan yang pasti benar, ia merupakan dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan atau kesamaran.25
Metode ini dilakukan dengan mengajak bicara kepada akal manusia dengan penjelasan dalil-dalil ilmiah yang memuaskan dan dengan bukti konkrit yang sesuai dengan kebenaran logika. Semua itu dimaksudkan untuk menolak segala hal yang mengandung unsur keragu-raguan (syubhat) dengan penjelasan dan argumentasi yang mudah dipahami.
Salah satu wujud nyata hikmah adalah bersikap penuh ramah tamah dalam berbicara dan berdialog.26 Bersikap baik dan ramah akan membuat hati (qolbu) orang-orang yang didakwahi menerimanya dengan baik.
24
Hasanuddin, Hukum Dakwah; Tinjauan Aspek Hukum Dalam Berdakwah di Indonesia (Jakarta: Pedoman ilmu Jaya, 1996), h. 36
25
Husain Fadhlullah. Metodologi Dakwah Dalam Al-Qur‟an; Pegangan Bagi para Aktivis (Jakarta: Lentera, 1997), h 41
26
(26)
2 Mauidhah Hasanah
Secara bahasa Mauidhah hasanah terdiri dari dua kata, yaitu Mauidhah dan Hasanah. Mauidhah diartikan sebagai nasihat, bimbingan, pendekatan dan peringatan. Sementara Hasanah memiliki arti baik yang merupakan antonim dari kata Sayyi‟ah yang artinya jelek.27
Berdakwah dengan memberikan nasihat-nasihat yang baik, halus, sopan dan penuh rasa kasih sayang sehingga materi ajaran islam yang disampaikan bisa diterima dengan baik oleh sasaran dakwah.
Menurut Yakub ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pendekatan mauidzah hasanah,28 yaitu: Pertama, bertutur kata dengan menggunakan kata-kata yang sopan, lembut sehingga terkesan di hati. Kedua, menghindari dari sikap diri yang tegar dan kasar. Ketiga, tidak mengungkit dan menyebut-nyebut kesalahan yang telah dilakukan oleh orang-orang yang didakwahi karena boleh jadi hal tersebut dilakukan atas dasar ketidaktahuan.
3 Mujadalah
Mujadalah adalah perdebatan. Kata ini mengandung pengertian diskusi terbatas pada ide dengan melontarkan argumen yang benar dan menjatuhkan argumentasi yang bathil.29 Mujadalah dilakukan saat menghadapi orang-orang yang tidak sepaham atau berbeda pendapat.
Ada beberapa hal atau perkara yang mesti seorang penyeru (da‟i) hindari dalam bermujadalah, karena dampaknya sangat berbahaya. Adapun mujadalah yang tidak baik adalah sebagai berikut:30
27
Munzier Suparta dan Aparjani Hefni, Metode Dakwah (Jakarta: Prenada Media, 2003), h 15
28
Asep Muhyiddin dan Agus Ahmad Safei, Metode Pengembangan Dakwah. (Bandung: Cv Pustaka Setia, 2002), h 177
29
Saifullah. Islam, Dakwah dan Politik. (Bogor: Pustaka Tharikul Izzah, 2002), h 36
30
Nanih Machendrawaty dan Aep Kusnawan. Teknik Debat dalam Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2003), 58
(27)
a. Bermujadalah dengan menolak dan bertujuan meruntuhkan segala kebenaran yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Al -Hadits.
b. Bermujadalah untuk membela kebatilan.
c. Bermujadalah yang diniatkan bukan karena Allah, melainkan hanya mencari sensasi, popularitas, menampilkan kepandaian, serta menjatuhkan kehormatan salah satu pihak yang terlibat dalam diskusi.
3. Tujuan dakwah
Pada dasarnya, dakwah merupakan rangkain kegiatan atau proses dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Tujuan ini dimaksudkan sebagai pemberi arah atau pedoman bagi gerak langkah kegiatan dakwah. Sebab, tanpa tujuan yang jelas seluruh kegiatan dakwah akan sia-sia.
Berpedoman pada Al-Qur‟an dan Hadits bahwasannya tujuan dari pelaksanaan dakwah adalah mengajak dan merubah tatanan kehidupan menjadi lebih baik (ahsan) sesuai dengan prinsip dan aturan Allah untuk menegakan amar ma‟ruf nahi munkar di alam semesta ini.
Dalam buku wawasan islam yang ditulis oleh H. Endang Saifuddin Anshari membagi tujuan dakwah kedalam dua hal yaitu:31
a. Tujuan Vertikal, yaitu mengharapkan keridhaan Allah SWT. Sesuai firman Allah dalam QS. Al-An‟aam ayat 162-163
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan seluruh alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (Muslim).”
b. Tujuan Horizontal, yaitu rahmat bagi segenap jagat raya. Hal itu bisa dibuktikan dalam QS. Al-Anbiyaa ayat 108.
31
Endang Saefuddin Anshari, Wawasan Islam; Pokok-pokok Pikiran Tantang Paradigma dan Sistem Islam. (Jakarta: Gema Insani, 2004), h 153
(28)
Artinya:”katakanlah (Muhammad), sesungguhnya apa yang diwahyukan kepadaku ialah bahwa Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa, maka apakah kamu telah berserah diri (kepada-Nya)?”
Berikut adalah beberapa ayat Al-Qur‟an yang menjelaskan tentang tujuan dakwah, yaitu:
QS. yusuf ayat 108:
Artinya: “Katakanlah, inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan hujjah yang nyata, maha suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang
musyrik.”32
Berdasarkan firman Allah diatas, salah satu tujuan dakwah adalah membentangkan jalan Allah diatas bumi agar mudah dilalui umat manusia.
QS. Al-Anfal ayat 24:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman penuhilah seruan Allah dan rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberikan kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatai antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan.”
Ayat ini menjelaskan makna tujuan dakwah adalah untuk menghidupkan hati yang mati agar kembali hidup dengan takwa.
QS. Al-Mu‟minuun ayat 73:
32(29)
Artiya: “Dan sungguh engkau pasti telah menyeru mereka kepada jalan
yang lurus.”
Ayat ini menjelaskan tujuan dakwah untuk mengajak dan menuntun kejalan yang lurus (mustakim).
Dalam bukunya Dr. Thohir Luth yang menceritakan tentang dakwah dan pemikiran M. Natsir, menyebutkan bahwasannya tujuan dakwah menurut M. Natsir adalah sebagai berikut:33
1. Memanggil kita kepada syariat yang bertujuan untuk mengatasi segala masalah, baik yang dihadapi sendiri atau perseorangan atau persoalan berumah tangga, bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara.
2. Memanggil kita kepada fungsi hidup kita sebagai hamba Allah yang satu sama lain saling berbeda, baik pendirian maupun kepercayaannya 3. Memanggil kita pada tujuan hidup kita yang hakiki, yakni menyembah
Allah semata.
Jadi pada dasarnya tujuan dari kegiatan dakwah tidak lain dan tidak bukan adalah menginginkan adanya perubahan sikap mental dan tingkah laku manusia yang kurang baik menjadi lebih baik atau meningkatkan kualitas iman dan islam seseorang secara sadar dan timbul dari keinginannya sendiri tanpa ada paksaan dari siapapun.
C. Strategi Dakwah
1. Pengertian Strategi Dakwah
Strategi Dakwah adalah suatu cara, taktik atau siasat dalam usaha mencari jalan untuk mengajak manusia tak terkecuali agar kembali kepada jalan yang benar. Dalam pengertian lainnya strategi dakwah adalah perencanaan yang berisi rangkaian kegiatan yang didesain atau dirancang untuk mencapai tujuan tertentu.34 Tujuan ini berkaitan dengan kegiatan dakwah yang menginginkan adanya perubahan.
33
Thohir Luth. M. Natsir; Dakwah dan Pemikirannya (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h 70
34
(30)
Adapun definisi lain mengenai strategi dakwah adalah suatu proses menentukan cara dan daya upaya untuk menghadapi sasaran dakwah dalam berbagai keadaan tertentu yang menginginkan tercapainya tujuan dakwah secara optimal.35 Dengan kata lain strategi dakwah adalah taktik atau manuver yang ditempuh dalam rangka mencapai tujuan dakwah.
Pada dasarnya strategi dakwah menuntut para kader dakwah untuk dapat memahami dan mengenal situasi dan kondisi masyarakat yang terus mengalami perputaran hidup (perubahan) baik secara kultural maupun sosial keagamaan. Oleh karenanya diperlukan adanya pengenalan yang tepat dan akurat terhadap segala realitas hidup manusia yang berjalan secara dinamika.
Strategi dakwah erat hubungannya dengan mengatasi persoalan-persoalan yang kompleks seperti pembebasan manusia dari kemiskinan, pengangguran, pemerosotan moral atau akhlak yang mengakibatkan munculnya berbagai tindakan kriminalitas, penindasan atas nama agama, konflik etnis dan lain sebagainya.
Menurut Mulkan,36 strategi dakwah adalah sebagai sarana atau upaya strategis yang diarahkan pada pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat dilapangan. Strategi tersebut dipandang baik atau berhasil apabila dari pemecahan masalah tersebut menghasilkan tiga kondisi, yaitu sebagai berikut:
a. Tumbuh atau lahirnya kepercayaan dan kemandirian umat sehingga melahirkan sikap optimisme masyarakat.
b. Tumbuhnya kepercayaan umat terhadap kegiatan dakwah untuk mencapai kehidupan yang lebih baik (ideal).
c. Berkembangnya suatu kondisi sosio-ekonomi-budaya-politik-iptek sebagai landasan peningkatan kualitas hidup, atau peningkatan kualitas sumber daya umat (SDU).
35
Awaludin Pimay, Paradigma Dakwah Humanis; Strategi dan Metode Dakwah Prof. KH. Saifuddin Zuhri
36
(31)
2. Prinsip-Prinsip Strategi Dakwah
Berdasarkan pada makna dan urgensi dakwah tersebut serta kenyataan dakwah dilapangan dan aspek-aspek normatif tentang dakwah yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan sunah, maka dapat ditemukan prinsip strategi dakwah, yaitu diantaranya sebagai berikut:
a. Memperjelas secara gamblang sasaran-sasaran ideal sebagai langah awal dalam berdakwah terlebih dahulu harus diperjelas sasaran-sasaran apa yang ingin dicapai, kondisi umat Islam bagaimana yang diharapkan. Baik dalam wujudnya sebagai individu maupun sebagai suatu komunitas masyarakat.
b. Merumuskan masalah pokok umat Islam. Dakwah bertujuan menyelamatkan umat dari kehancuran dan untuk mewujudkan cita-cita ideal masyarakat. Rumuskan terlebih dahulu masalah pokok yang dihadapi umat, kesenjangan antara sasaran ideal dan kenyataan yang konkret dari pribadi-pribadi muslim, serta kondisi masyarakat dewasa ini. Jenjang masalah ini pun tidak sama antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain tentunya tidak sama. Setiap kurun waktu tertentu harus ada kajian ulang terhadap masalah itu seiring dengan pesatnya perubahan masyarakat tersebut.
c. Merumuskan isi dakwah. Jika kita sudah berhasil merumuskan sasaran dakwah beserta dengan masalah yang dihadapi masyarakat Islam, maka langkah selanjutnya adalah menentukan isi dakwah itu sendiri. Isi dakwah harus sinkron dengan masyarakat Islam sehingga tercapai sasaran yang telah ditetapkan. Ketidak sinkronan dalam menentukan isi dakwah ini bisa menimbulkan dampak apa yang disebut dengan istilah “split personality” / “double morality” pribadi muslim. Misalnya seorang muslim yang beribadah, tetapi pada waktu yang sama ia dapat menjadi seorang pemeras, penindas, koruptor dan pelaku perbuatan tercela lainnya. Jadi, untuk bisa menyususn isi dakwah secara tepat dibutuhkan penguasaan ilmu yang komprehenif.37
37
(32)
3. Teori-teori Strategi Dakwah
Allah SWT telah mewajibkan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang mukmin untuk berdakwah, akan tetapi Allah mengikat perintah-Nya itu dengan syarat harus dikerjakan dengan pengetahuan yang mendalam (bashirah) dan bijaksana (al-hikmah). Allah SWT berfirman dalam surat An-Nahl: 125:
Artinya: serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Secara historis dapat dilihat bagaimana setiap dakwah rasul telah diberikan Allah SWT sifat-sifat mulia agar tujuan dakwah tercapai dan diantara sifat-sifat itu yang dimiliki oleh Rasul. Allah SWT telah menganugrahi karunia ini seperti yang terdapat dalam surat Ali-Imran: 164:
Artinya: sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
Dalam rangka menyusun strategi dakwah diperlukan suatu pemikiran yang lugas dan rasional dengan memperlihatkan faktor-faktor yang mempengaruhi strategi tersebut.
(33)
Syarif Usman mengatakan bahwa dalam menyusun strategi ada lima faktor yang harus diketahui, yaitu:
1) Tujuan. Baik tujuan jangka panjang (tujuan akhir) atau tujuan jangka pendek (tujuan sementara)
2) Ilmu Medan (situasi dan kondisi) 3) Kekuatan-kekuatan
4) Kebujakan Pemimpin 5) Pemimpin.38
Sedangkan menurut Asmuni Syukir, strategi dakwah yang dipergunakan dalam usaha dakwah harus memperhatikan beberapa azaz dakwah, antara lain:
a. Asas filosofis, asas ini erat hubungannya dengan perumusan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam proses atau aktivitas dakwah. b. Asas kemampuan dan keahlian da‟i.
c. Asas sosiologis. Asas ini membahas tentang persoalan-persoalan yang berhubngan dengan kondisi dan situasi masyarakat obyek dakwah. Misalnya situasi politik, ekonomi, keamanan dan lain sebagainya. d. Asas psikologis. Asas ini merupakan asas yang membahas tentang
aspek kejiwaan manusia, untuk memahami kualitas penerima dakwah agar kegiatan dakwah berjalaan dengan baik.
e. Asas efektif dan efisien. Hal ini merupakan penerapan prinsip ekonomi dalam dakwah, yaitu pengeluaran sedikit untuk mendapatkan penghasilan yang semaksimal mungkin. Setidaknya seimbang antara tenaga yang dikeluarkan dengan pencapain hasilnya.
D. Ishlah Tsamaniyah 1. Pengertian Ishlah
Definisi Ishlah menurut bahasa sangat bervariasi maknanya. Ada yang mengatakan ishlah artinya damai atau mendamaikan dan ada pula
38
Syarif Usman. Strategi Pembangunan Indonesia dan Pembangunan Dalam Islam, (Jakarta: Firma Djakarta, 2003), h 6
(34)
yang mengartikan baik atau memperbaiki. Definisi pertama yang menjurus pada pengertian damai atau mendamaikan seperti yang tertera dalam beberapa buku kamus yang diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Dalam kamus Bahasa Indonesia ishlah mengandung makna perdamaian atau melakukan upaya perdamaian.
b. Dalam kamus pintar Agama Islam yang ditulis oleh Drs. Cholil uman, Mas‟ud Nawi dan Mahmuddin menyebutkan kata ishlah sebagai definisi dari arti mendamaikan pertengkaran. Dalam kajian ilmu agama ishlah adalah suatu jenis akad untuk mengakhiri perlawanan antara dua orang yang bersengketa. Dan demi tercapainya ishlah atau kesepakatan damai sebagai pengganti dari pada perpecahan, dan agar permusuhan antara dua pihak yang sedang berselisih dapat dilerai maka disyariatkan dari petunjuk Al-Qur‟an, Hadits dan Ijma.39
Dalam pengertian yang kedua ishlah sebagai unsur kata yang mengandung definisi baik atau memperbaiki terdapat dalam kamus Al-Munawwir, Arab-Indonesia, dimana didalamnya menyebutkan ishlah berasal dari kata saleh, ashlaha yang berarti baik atau memperbaiki. Secara istilah ishlah adalah memperbaiki suatu keadaan menjadi lebih baik, lebih berfaedah dalam segala sendi-sendi kehidupan. pengertian ishlah ini termaktub didalam Al-Qur‟an. Allah berfirman didalam surat Al -Anfal ayat 1:
Artinya: “Dan perbaikilah hubungan diantara sesamamu.”
Ayat tersebut menjelaskan secara umum, memperbaiki suatu keadaan, hubungan (hal ihwal) yang terjadi diantara sesama umat Islam dengan taqwa.
Dalam pemikiran dan tulisan Kiai Emet Ahmad Khatib yang berjudul Intisab PUI dan Janji Amal, di dalamnya menyebutkan bahwasannya Ishlah adalah
39
(35)
Artinya: Berkehendak keras untuk merubah sesuatu yang jelek hari ini agar hari esok lebih baik.
Karakter inilah yang dimiliki oleh para Nabi, auliya, syuhada dan ulama. Sebagaimana Allah menjelaskan betapa tinginya karakter Al-Ishlah dimiliki oleh Nabi Syu‟aeb dalam menghadapi ummat yang amat kharbatak ternyata berhasil.
Kami berbuat tiada maksud dan kehendak kecuali merubah dan perubahan sesuai dengan kemampuan kami, tiada penolong bagi kami kecuali Allah, kepada-Nya kami berserah diri dan hanya kepada-Nya kami kembali.40
Kalimat Al-Ishlah merupakan satu unsur kepribadian muslim yang telah ditetapkan oleh Allah. Ada unsur lainnya yang sama, yaitu As-Shilah. Pribadi seorang muslim harus bersih dan baik, bisa jadi orang yang bersih dan baik setelah bekerja dan memperbaiki dan membersihkan dirinya. Memperbaiki dan membersihkan diri, pekerjaannya disebut As-Shilah, orangnya disebut As-Sholihun. Setelah dirinya baik dan bersih orang yang iqror amal beralih memperbaiki dan membersihkan orang lain agar orang lainpun baik dan bersih. Pekerjaannya disebut Al-Ishlah, orangnya disebut Al-Mushlihun.
Menurut pendapat Alimam Al-Qusyaery, yang dimaksud Ishlah adalah memperbaiki sifat kikir hingga menjadi munfiqun (dermawan), jangan merampas hak orang lain menjadi miliknya dan membersihkan hati dari sifat dendam dan hasud. Sedangkan menurut hadits nabi yang disampaikan kepada sahabat Abu Ayyub, bahwa yang dimaksud Ishlah itu adalah: “Kamu harus berusaha memperbaiki manusia tatkala mereka
saling menghancurkan.” Dan menurut pandangan ahli shufi yang
40
Emet Ahmad Khatib. Intisab PUI dan Janji Amal. (Jakarta: Panitia Seabad PUI, 2009), h 146
(36)
dimaksud dengan ishlah adalah Harus membuktikan dakwah dengan kerja, dengan muamalah, dan dengan perbuatan menjadi contoh yang luhur, jadi panutan yang luhur.
Untuk dapat menjadi orang yang sholihun dan Mushlihun, adalah Pertama terlebih dahulu harus melakukan pertaubatan yang nasuha dengan membersihkan dan memurnikan diri dari dosa dan huru-hara hidup. Kedua harus menyandang sifat-sifat terpuji yang sempurna agar dapat memperbaiki orang lain.
Pandangan M. Quraish Shihab mengenai ishlah sedikit diuraikan dalam bukunya Wawasan Al-Qur‟an yang merupakan kajian tafsir Maudhui atas pelbagai persoalan umat. Dimana disebutkan bahwasannya ishlah yang banyak disebutkan berulang-ulang dalam Al-Qur‟an tidak hanya dikaitkan dengan sikap kejiwaan, melainkan ishlah itu harus digunakan atau diwujudkan dalam perbuatan nyata. Lanjutnya menurut beliau kata ishlah hendaknya tidak hanya dipahami sebatas mendamaikan antara dua orang (lebih) yang berselisih, melainkan harus dipahami sesuai makna semantiknya dengan memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadapnya.
Puluhan ayat berbicara tentang kewajiban melakukan shalah atau ishlah. Dalam kamus-kamus bahasa arab, kata shalah diartikan sebagai antonim dari kata fasad (kerusakan), yang juga dapat diartikan sebagai yang bermanfaat. Sedangkan kata ishlah digunakan oleh Al-Quran dalam dua bentuk, yaitu: pertama, ishlah yang selalu membutuhkan objek, kedua adalah shalah yang digunakan sebagai bentuk kata sifat. Sehingga, shalah dapat diartikan terhimpunnya sejumlah nilai tertentu pada sesuatu agar bermanfaat dan berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan kehadirannya. Apabila pada sesuatu ada satu nilai yang tidak menyertainya hingga tujuan yang dimaksudkan tidak tercapai, maka manusia dituntut untuk menghadirkan nilai tersebut. Dan hal yang dilakukannya itu dinamai ishlah (perbaikan).41
41
M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), h 498
(37)
2. Macam dan makna Ishlah Tsamaniyah
Ishlah tsamaniyah terdiri dari delapan bidang yang diperuntukan sebagai target sasaran (jalan yang ditempuh) dalam perbaikan menuju perubahan hidup agar lebih baik. Adapun Ishlah Tsamaniyah tersebut adalah sebagai berikut:
a. Ishlahul Aqidah (Perbaikan Aqidah)
Aqidah asal katanya dari bahasa Arab, yaitu aqada yang secara harfiyah berarti menghubungkan antara dua ujung dari sesuatu secara kokoh atau kuat.42 Aqidah merupakan dasar-dasar kepercayaan dalam agama yang mengikat seseorang dengan persoalan-persoalan yang prinsipil dari agama. Islam mengikat kepercayaan atau aqidah dengan tauhid, yaitu keyakinan bahwa Allah itu Esa.
Ishlahul Aqidah berarti memperbaiki polapikir atau pandangan hidup yang mendasari seseorang dalam bersikap dan bergerak. Aqidah seseorang dapat diimplementasikan dalam bentuk prilaku (suluk), moralitas (akhlak), visi (wijhatun-nazhar) dan ittijahnya dalam kehidupan yang nyata.43
Dengan demikian semakin dangkal aqidah atau tauhid seseorang, maka semakin rendah pula akhlak, watak kepribadian, serta kesiapannya menerima konsep Islam sebagai pegangan hidupnya. Sebaliknya, bilamana aqidah seseorang telah kokoh dan mapan (established), maka ia akan jelas terlihat dalam operasoinalnya. Setiap konsep yang berasal dari Islam, pasti akan diterima secara utuh dan dengan lapang dada tanpa rasa keberatan dan terkesan mencari-cari alasan untuk menolaknya.
Seorang muslim yang memiliki aqidah yang kuat akan menampakkan hidupnya sebagai amal shaleh. Jadi amal shaleh merupakan fenomena yang tampak sebagai pancaran dari aqidah.
42
Ibid, h 557
43
(38)
Amal shaleh merupakan perbuatan yang baik yang lahir dari seorang muslim yang memiliki aqidah (mu‟min). 44
Menurut Sayyid Sabiq Al-„Aqaid al-Islamiyyah aqidah merupakan prinsip perbuatan. Artinya segala macam perbuatan (amal) niscaya dilakukan dan berpijak diatas landasan akidah. Oleh karena itu baik buruknya suatu amal perbuatan bergantung penuh pada benar salahnya keyakinan atau akidah yang dibangun.45
Lemahnya akidah merupakan kunci dari sumber malapetaka yang mengancam manusia dari perbuatan yang menyimpang, khususnya kaum muslimin. Salah satu malapetaka tersebut adalah munculnya kerusakan fatal yang menyeluruh, baik individu, masyarakat, maupun negara dan seterusnya.
Agar manusia terhindar dari segala penyimpangan (perbuatan jahiliyyah), maka berkenaan dengan itu Islam menunjukan kepada umat manusia dengan menuntunnya kepada Tuhan yang Hak (Allah). Apabila didalam hatinya sudah tertanam keyakinan bahwa Allah itu Esa, niscaya jiwa mereka mau mendengar dan patuh kepada larangan dan perintah-Nya. Maka apabila jiwa mereka telah terfokus kepada Allah serta memilih sesuatu yang merupakan pilihannya, maka taklif (pembenahan hukum) serta proses pembenahan dan perbaikan dalam berbagai sektor kehidupan (sosial, politik, ekonomi, moral dsb) yang sebelumnya dirusak dan dicemari akidah jahiliyyah dapat segera dimulai.
b. Ishlahul Ibadah (Perbaikan Ibadah)
Ibadah dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan dengan perbuatan yang menyatakan bakti kepada Allah SWT, yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah mempunyai efek pendekatan pribadi kepada Allah SWT yang
44
Syahidin, et al.Moral dan Kognisi Islam. (Bandung: CV ALFABETA, 1993), h 94
45
Muhammad As-Sayyid Yusuf dan Ahmad Durmah. Pustaka Pengetahuan Al-Qur‟an I; dalam Al-Qur‟an dan Reformasi (Pembenahan dan Perbaikan). (Jakarta: PT Rehal Publika, 2007), h 99
(39)
mengandung arti penginsyafan diri pribadi akan makna hidupnya, yakni makna hidup yang berpangkal dari kenyataan bahwa kita berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya.
Ibadah merupakan bentuk cerminan dari aqidah seseorang. Bagi yang kuat aqidahnya akan merasa ringan dalam melakukan segala macam ibadah.
Pelaksanaan ibadah akan menjamin terpeliharanya hubungan manusia dengan Allah. Dengan terpeliharanya hubungan tersebut, akan menyebabkan segala tingkah laku manusia itu didasari dan dijiwai (dispiritualisir) oleh kesadaran akan kewajiban mentaati peraturan-peraturan dan berbakti kepada Allah SWT. Hanyalah karena Allah semata.46
Dengan pelaksanaan ibadah ini terhindarlah manusia dari perbuatan syirik, maksiat, munkar, buruk dan jahat. Agar manusia itu tetap terpelihara, maka manusia diwajibkan mengevaluasi dirinya,
i‟tikadnya, tingkah lakunya dan kemudian mengulang kembali
ikrarnya seperti tercantum dalam surat Al-An‟aam ayat 162-163:
artinya: “Katakanlah (Muhammad), Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).”
Melalui shalat lima waktu sehari yang dikerjakan secara sungguh-sungguh, giat dan ikhlas dalam mengharap maghfirah dan rahmat kasih sayang-Nya. Sehingga dengan demikian shalat itu
46
Ahmad Surjadi, Da‟wah Islam Dengan Pembangunan Masyarakat Desa. (Bandung: Mandar Maju, 1989),h 4
(40)
mencegah manusia dari perbuatan-perbuatan yang kotor dan munkar. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Ankabut ayat 45:
artinya: “Bacalah kitab (Al-Qur‟an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuataan) keji dan munkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” c. Ishlahul A‟dah (Perbaikan Budaya)
Budaya berasal dari bahasa sansekerta “buddhayah,” bentuk jamak dari budhi yang artinya akal. Jadi budaya adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan akal pikiran, nilai-nilai dan sikap mental. Budaya lahir atau muncul bermula dari kebiasaan. Kebiasaan itu bisa baik dan bisa juga tidak.
Dalam hal ini maksud dari Islahul A‟dah adalah Membersihkan kebiasaan yang tidak berfaedah atau yang mengandung madhorot menggantikannya dengan sesuatu yang berguna. Membersihkan dan menghilangkan adat kebiasaan yang mengandung kemusyrikan, mengandung bahaya, khususnya bagi generasi yang akan datang, apabila dari generasi sekarang mengamalkan segala kebiasaan buruk yang telah disebutkan diatas. Pada umumnya kebiasaaan buruk yang dilakukan umat islam terlahir dari kebiasaan nenek moyang atau terlahir dari penetrasi kebudayaan barat akibat dari kolonialisme.
Bahwa usaha untuk memperbaikinya adalah dengan kembali atau menengok kepada aturan hidup Islam yang segalanya telah dirumuskan dalam Al-Qur‟an dan Hadits.
d. Ishlahut Tarbiyah (Perbaikan pendidikan)
Pendidikan atau tarbiyah merupakan proses mendewasakan manusia. Mengubah manusia dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak
(41)
baik menjadi baik. Menurut pendapat Abdurrahman An-Nahlawi tarbiyah mengandung makna memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga dan memelihara.47 Dari penjelasan tersebut tarbiyah mengandung empat unsur, yaitu:
1) Menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh.
2) Mengembangkan seluruh potensi dan kesiapan bermacam-macam hal.
3) Mengerahkan seluruh fitrah dan potensi ini menuju kebaikan dan kesempurnaan yang layak baginya.
4) Proses ini dilakukan secara bertahap.
Pendidikan sangat penting dalam Islam sehingga merupakan suatu kewajiban. Sebagaimana yang rasulullah sabdakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Barri: “menuntut ilmu itu diwajibkan atas setiap orang islam.”
Ilmu merupakan suatu kemestian bagi setiap manusia, karena ilmu yang benar adalah mukaddimah iman yang benar. Dengan ilmu manusia memahami alam sekitarnya, yang kemudian dipergunakan untuk membangun bumi. Al-Qur‟an telah menegaskan bahwa orang yang berilmu akan memiliki takwa yang tinggi kepada Allah, karena mereka mengetahui dan memahami tanda-tanda kebesaran dan keagungan Allah, baik yang tertulis dalam Al-Qur‟an maupun yang terlihat dalam alam semesta.
Islam sangat menuntut sekali agar umat manusia gemar mencari ilmu (pengetahuan), khususnya kaum muslimin melalui pendidikan agama maupun umum. Kedua-duanya merupakan bekal masa depan yang dapat membawa kepada kemaslahatan umat menjadi lebih baik. Dengan pendidikan yang baik dan benar akan melahirkan kehidupan yang beradab yang menandai tingginya martabat manusia dan keluhuran moralnya.
47
Heri Jauhari Muchtar. Fiqh Pendidikan. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h 124
(42)
Maksud melakukan perbaikan dalam pendidikan adalah dengan menciptakan pendidikan secara muslim, baik dalam lingkungan keluarga maupun sekolah atau lembaga formal. Pendidikan itu hendaknya mengasah moral anak menjadi baik, santun dan memiliki sifat-sifat yang baik.
Pendidikan hendaklah dibangun dengan tujuan mengubah tingkah laku yang dilandasi oleh nilai islam, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga atau kehidupan masyarakat dan kehidupan dalam alam sekitar.
Masalah pendidikan erat kaitannya denga persoalan manusia dalam rangka memberikan makna dan arah moral kepada eksistensi fitrinya. Oleh karena itu menurut Prof. Dr. Ahmad Syafi‟i Ma‟arif mengatakan bahwasannya pendidikan seharusnya bertujuan untuk memberikan bekal moral, intelektual dan keterampilan agar peserta didik siap menghadapi masa depannya.
Dunia pendidikan atau keilmuan saat ini lebih banyak memusatkan perhatiannya pada dimensi pengajaran terutama menyangkut administrasi dan kurikulum pengajaran. Sedangkan aspek mendasar dari pendidikan itu sendiri yakni upaya melahirkan manusia yang cerdas, terampil dan memiliki akhlak mulia seringkali terabaikan.
Pendidikan harus diarahkan untuk membentuk pribadi yang seimbang antara pengetahuan intelektual dan emosional. Seseorang yang hanya fokus pada kecerdasan intelektualnya saja dengan mengabaikan kecerdasan emosionalnya, maka yang terjadi banyak tindak kejahatan. karena itu seharusnya pendidikan difungsikan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi manusia yang memiliki prilaku, nilai dan norma sesuai dengan sistem yang berlaku sehingga dapat mewujudkan totalitas manusia yang utuh dan mandiri sesuai tata cara hidup agama dan bangsa.
(43)
Menurut Prof. Dr. Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, bahwasannya pendidikan harus bertujuan untuk memberikan bekal moral, intelektual dan keterampilan agar peserta didik dapat menghadapi masa depannya dengan percaya diri.48
e. Ishlahul „Ailah (Perbaikan Keluarga)
Keluarga merupakan suatu unit dasar atau aspek terkecil dari masyarakat. Baik tidaknya suatu masyarakat ditentukan oleh baik tidaknya keadaan keluarga pada masyarakat tersebut. Oleh karena itu, apabila kita menghendaki terwujudnya suatu masyarakat yang baik, tertib dan diridhai Allah, mulailah dari keluarga.
Sering kali terjadi beberapa kasus mengenai keluarga yang berantakan, keluarga yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, tidak ada suasana yang menyenangkan, tidak ada komunikasi (datang lalu pergi), malah kadang kala suasananya seperti di neraka. Keluarga seperti itu pada umumnya disebut “broken home” (keluarga yang pecah). peristiwa tersebut biasanya disebabkan oleh beberapa hal: 1) Kehidupan keluarga yang tidak berlandaskan pada pondasi agama. 2) Terlalu sibuk mencari kehidupan dunia, sehingga keluarga
terabaikan.
3) Terpengaruhi oleh pola hidup yang tidak islami, seperti matrealisme, individualisme dan sebagainya.
Oleh sebab itu dalam ishlahul „Ailah adalah menciptakan keluarga yang sakinah (tentram) serta mawaddah warrahmah (cinta dan kasih sayang).
Islam telah memiliki cara supaya terwujud keluarga yang sakinah, mawaddah dan warrahmah, yakni dengan upaya-upaya sebagai berikut:49
48
Nana Rukmana, Masjid dan Dakwah; Merencanakan, Membangun dan mengelola Masjid Mengemas Substansi Dakwah Upaya Pemecahan Krisis Moral dan Spiritual. (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2002), h 35
49
Hakim abdul Hameed, Aspek-aspek Pokok Agama Islam. (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1982) h, 44
(44)
1) Untuk mewujudkan keluarga yang sakinah maka harus dimulai dari memilih pasangan hidup yang shaleh atau shalehah. Ukuran pasangan yang shaleh itu harus memiliki empat kriteria, yaitu kecantikan atau ketampanan, keluarga, keturunan atau kedudukan dan agama. Dari keempat kriteria dalam memilih pasangan yang lebih utama adalah harus kuat dalam agamanya.
2) Menikah dan berkeluarga diniatkan karena untuk beribadah semata.
3) Melaksanakan setiap tugas dalam keluarga dengan ikhlas. 4) Memenuhi kebutuhan keluarga dengan cara yang halal. 5) Mendidik serta membina keluarga secara Islam.
Kehidupan keluarga apabila diibaratkan menurut M. Quraish Shihab adalah seperti sebuah bangunan. Demi terpeliharanya bangunan itu dari hantaman badai dan goncangan gempa, maka ia harus didirikan fondasi yang kuat dengan berbahan bangunan yang kokoh serta jalinan perekat yang lengket. Gambaran dari fondasi bangunan kehidupan keluarga adalah ajaran agama disertai dengan kesiapan fisik dan mental dari calon ayah dan ibu. Sedangkan kekokohaan bagian-bagian bangunan tercermin antara lain dalam kewajiban memperhatikan buah perkawinan itu, yaitu perhatian terhadap anak, baik semenjak masih di dalam kandungan sampai masa dewasanya.50
f. Ishlahul Mujtama (Perbaikan Sosial)
Manusia pada umumnya hidup saling bergantungan antara satu dengan yang lainnya. Karena itulah manusia disebut sebagai makhluk sosial yang artinya manusia tidak bisa hidup sendiri. Seorang manusia umumnya saling berinteraksi dengan orang lain di masyarakat banyak.
Untuk memudahkan pemahaman hubungan antara manusia dengan masyarakatnya ini, maka perilaku manusia dibagi menjadi
50
M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur‟an; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007) h, 396
(1)
nasional maupun internasonal seperti kyai- kyai besar yang datang dari Negara Mesir, Malaysia, dan Saudi Arabia.
7. Strategi apa yang dilakukan Kyai Emet dalam berdakwah?
Jawab:
Yaitu dengan ceramah-ceramah di masyarakat baik yang ada didalam maupun diluar pesantren. Selain ceramah-ceramah, beliau pun aktif menyebarkan tulisan-tulisan berbentuk buku atau seperti makalah. Dan dakwah selanjutnya dengan mencontohkan perbuatan- perbuatan beliau agar dapat ditiru oleh santri maupun masyarakat sekitar pesantren .
(2)
Lampiran 4
(3)
Lampiran 5
(4)
(5)
(6)