Latar Belakang Keluarga, Pendidikan dan Pengalaman Hidup
44
mengajar MDA berlangsung tidak kurang dan tidak lebih hanya tiga jam, yaitu dari siang hari pukul 13.00 sampai sore hari pukul 16.00 WIB.
58
Setelah selesai atau tamat dari At-Talibin, Emet menghilang dari lingkungan dan sempat menggegerkan sanak saudara, pada akhirnya
didapatkan informasi bahwa Emet berada di pesantren Sukamanah di desa Cimerah sekarang desa Sukarapih Kecamatan Singaparna Kabupaten
Tasikmalaya. Pimpinan pesantrennya adalah KH. Zaenal Mustafa, dimana beliau merupakan salah seorang tokoh NU Tasikmalaya yang dikenal heroik
dan anti penjajahan. Karena selalu memimpin para santri dan ulama untuk melawan dominasi Jepang yang terbesar terjadi pada 25 Februari 1944. Dan
oleh karenanya KH. Zaenal Mustafa telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui SK. Presiden Nomor 064TK1972.
59
Belajar di pondok pesantren pada masa kolonial atau penjajahan, dimanapun keadaannya hampir sama, yakni para kiai pimpinan pesantren
selalu mengkampanyekan jihad dan memimpin perlawanan. Ilmu-ilmu yang diajarkanpun bukan materi baku pondok pesantren, tetapi ilmu-ilmu praktis
yang bermanfaat untuk perlawanan dan penjagaan seperti pencak silat, tarekat, ilmu hikmah tenaga dalam dan wirid-wirid kekebalan.
Sekembalinya dari Sukamanah, beliau langsung mengajarkan ilmu- ilmu penjagaan diri seperti diatas tadi kepada remaja muda desa Bobos dan
sekitarnya. Oleh karena itu, tak heran disaat remaja pak Emet lebih dikenal orang sebagai pendekar ketimbang sebagai santri. Namun, jauh didasar lubuk
hatinya beliau sebenarnya ingin sekali menjadi orang pintar, bukan sebagai pendekar atau jagoan silat. Kiai Emet tidak patah arang untuk mewujudkan
keinginannya dan tidak mau menyerah pada situasi yang kurang kondusif tersebut.
Sebagai keturunan langsung dari pendiri pesantren Bobos mendapat pengaruh langsung dari santri yang menuntut ilmu di pesantren. Pesantren
Bobos yang telah ada sejak tahun 1850 pernah disinggahi KH. Abdul Halim
58
Wawancara dengan pak Solahuddin. Tgl 30 Mei 2013, pkl 16. 45 WIB
59
Ibid. H xxx
45
1887-1962 sebelum beliau belajar ke Mekkah. Pada tahap kebangkitan I pesantren Bobos dengan tokoh ulama KH. Ahmad Sujai W 1940, mulai
membuka diri terhadap kalangan luar melalui kegiatan Majelis Taklim, berdiri Diniyah Awaliyah, berdiri cabang Organisasi Syarikat Islam serta berdiri
Perserikatan Oelama PO pimpinan KH. Abdul Halim. Pemuda Emet Ahmad Khatib tidak luput dari pelibatan pergerakan organisasi KH. Abdul Halim.
Pengalaman ini turut serta mempengaruhi seorang otodidak dalam pola pikir dan pola tindak kehidupannya.
Setiap hari ketika menjelang malam pemuda Emet selalu mempelajari sendiri kitab-kitab milik ayahnya atau teman-teman ayahnya. Seluruh buku
yang ada baik kecil maupun besar, berbahasa Sunda maupun berbahasa Indonesia atau Arab atau lainnya dibacanya dengan tuntas dan tidak lupa
mencatatnya dalam buku tulis bila ada hal-hal yang dirasakan penting. Karena banyak orang yang tidak tahu tentang cara dan waktu belajar pak Emet, maka
masyarakat banyak yang berkata: “si Emet ujung-ujung pinter” atau “pendekar silat jadi Ustadz.”
60
Ketekunan membaca dan belajar sendiri, ditambah kepandaian berimprovisasi, Emet Ahmad Khatib bukan saja bisa sejajar dengan orang-
orang yang mesantren secara benar dan tuntas, malah memungkinkan baginya menjadi salah seorang yang diperhitungkan di tingkat Kabupaten Cirebon.
karena itu, walaupun beliau tidak memiliki selembar ijazahpun, Emet Ahmad Khatib diminta menjadi pegawai penerangan di Departemen Agama
Kabupaten Cirebon. Dan didorong oleh keadaan dirinya yang tidak bisa belajar secara benar tapi bisa menjadi pegawai, maka Emet Ahmad Khatib
memiliki pandangan bahwa pendidikan adalah jembatan emas untuk melakukan perubahan. Merubah individu, merubah masyarakat dan merubah
bangsa. tapi Kiai Emet Ahmad Khatib memilih keluar dari Departemen Agama dan memilih hidup miskin di tengah-tengah masyarakat kecil.
Menjelang usia 60 tahun, kejutan baru kembali menghampiri, beliau yang hanya sebatas tamatan MDA dan tidak memiliki ijazah, diminta menjadi
60
Ibid. H xxxi
46
anggota dewan DPRD Partai Golkar dari unsur Ulama atau Cendekiawan. Dengan menggunakan roda dua Honda Bebek 70, beliau selalu pulang pergi
Bobos-Cirebon dilakukannya dengan kesungguhan dan penuh tanggung jawab. Pernah atau hampir sering saat ada orang yang bertanya mengapa kalau
naik motor terlihat pelan sekali? Pak Emet menjawabnya dengan senyum sambil berucap saya takut asap motor saya mencemari lingkungan dan dihirup
oleh orang miskin atau rakyat kecil, padahal saya adalah wakil mereka.
61
Meskipun sudah menjadi ulama besar dan menjadi anggota Dewan Tingkat Kabupaten, namun kesehariaan Emet Ahmad Khaatib tidak berubah.
Hidup sederhana, membaca buku sampai larut malam dan menulis makalah tetap beliau kerjakan. Ibu Nafsiah, istrinya tetap harus berjualan ngawarung,
sebab honor anggota Dewan semuanya untuk perjuangan berjihad. Harta yang diperolehnya bukan untuk menumpuk atau memperkaya diri dan
membangun rumah mewah. Kiai Emet Ahmad Khatib juga adalah penulis produktif. Pikiran-
pikiran beliau tentang pendidikan, perubahan individu dan masyarakat, tentang siyasah dan lain-lain selalu ditulis dan disebar-luaskan.