Kondisi Sosial Politik GAMBARAN UMUM
47
memperlemah potensi politik umat Islam, yang bisa sangat membahayakan bagi pemerintahan baru.
Naiknya rezim orde baru dipanggung kekuasaan pasca Soekarno sebenarnya telah memberikan harapan besar bagi umat Islam setelah
dilarangnya Masyumi sebagai partai politik oleh Soekarno. Politik Islam sepertinya akan kembali bergairah di bawah kekuasaan orde baru. Tapi
ternyata harapan ini tidak terwujud setelah rezim Soeharto menunjukkan sikapnya yang berlawanan dengan aspirasi umat islam.
Posisi politik umat Islam setelah orde baru berkuasa tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. Seperti halnya gengan rezim orde lama
Soekarno, orde baru pun menerapkan strategi politik yang tidak aspiratif terhadap Islam. Hal ini dilakukan untuk membonsai kekuatan politik Islam
yang dianggap sebagai ancaman terhadap kelangsungan rezim orde baru. Akibatnya kekuatan politik umat Islam yang sajikan oleh partai-partai politik
Islam, seperti Parmusi, NU, Perti dan PSII di pemilu pertama orde baru berkuasa tahun 1971 tidak memiliki kakuatan politik yang kuat untuk
menandingi kekuasaan orde baru.
63
Dengan kondisi demikian, jelaslah kiranya apabila sepanjang tahun rezim orde baru, paling tidak hingga pertengahan atau akhir dekade 1980-an,
politik Islam diperlakukan tidak wajar. Proses penyelesaian konstitusional yang tidak kunjung selesai secara substansial, mengakibatkan persoalan Islam
dalam kerangka ideologis tetap bergulir. Pergantian rezim dari Soekarno kepada Soeharto tidak juga menyurutkan persoalan Islam sebagai ideologi.
Bahkan hal tersebut pernah digunakan sebagai salah satu instrument atau alat untuk menyudutkan masyarakat Islam.
Selama dua dasawarsa pertama kekuasaan orde baru umat Islam sering dikambingkan dalam pergumulan ideologi politik negara. Sebanding dengan
itu, umat Islam menjadi kelompok yang terus menerus dicurigai, dianggap sebagai pihak yang tidak memepercayai ideologi negara pancasila seratus
persen. Situasi ideologi yang tidak mengenakkan inilah yang kemudian
63
Ibid. H xv
48
melahirkan antaginisme politik pemerintah terhadap umat Islam. Ini berarti, kecurigaan politik negara tersebut umat Islam merupakan kelanjutan dari
adanya gesekan-gesekan ideologis. Bahkan kecurigaan itu terus berkembang menjadi antaginisme politik yang semakin menyudutkan posisi umat Islam.
Lebih parah lagi, kecurigaan dan antaginisme itu muncul dikedu belah pihak, Islam dan negara. Kenyataan yang seperti itu merupakan sesuatu yang aneh
dan sekaligus membingungkan mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
64
Cara lain Orde Baru dalam mengambil kebijakannya yaitu perlindungan dan pengamanan Pancasila sebagai dasar negara dan idiologi
Nasional negara menjadi prioritas utama. Kebijakan ini didorong oleh banyak faktor. Faktor pertama, adalah setelah pemberontakkan parta komunis PKI
tahun 1965 dapat dipadamkan, pemerintah terus diwaspadai kebangkitan kembali partai tersebut meskipun telah resmi dilarang. Faktor kedua, adalah
munculnya gerakan fundamentalis muslim di berbagai wilayah di dunia Islam pada tahun 1970-an, khususnya di Iran, khawatir akan menyebarnya pengaruh
revolusi Iran di Indonesia. Oleh sebab itu pemerintah melakukan perlindungan terhadap Pancasila. Faktor ketiga yang mendorong pemerintah terus
melindungi Pancasila,
karena munculnya
gerakaan separatis
dan fundamentalis di Indonesia.
Kiai Emet Ahmad Khatib dalam menyikapi situasi sosial politik yang dilancarkan Orde Baru tetap melakukan pendekatan akomodatif dengan tidak
melawan arus, tetapi tidak pula larut dalam arus tersebut. Beliau tidak menjadikan Orde Baru sebagai lawan politiknya, karena Kiai Emet Ahmad
Khatib tidak mau menutup mata terhadap realitas kekuatan politik Orde Baru, justru beliau menghadapinya dengan jurus politik yang cerdas dengan
berafiliasi ke parta Golkar yang menjadi mesin politiknya Orde Baru yang kuat.
Sikap politik Kiai Emet Ahmad Khaatib pada zamannya sering kali mendapat cibiran dari keluarga dan saudara terdekat, karena di anggap
64
Ibid. H xvi
49
berbeda haluan sikap politiknya. Bagi Kiai Emet politik bukan tujuan akhir untuk mencari sesuatu yang fragmatis dan mencari peluang kekuasaan.
Baginya politik dijadikan sebagai kendaraan untuk menyalurkan kepentingan dakwah yang berjangka panjang. Dan disamping itu juga tujuan lainnya
adalah untuk tetap menjaga eksistensi Al-Ishlah sebagai ladang amal dan sarana dakwah.
65