Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

commit to user 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kampung Laweyan sudah ada sejak tahun 1500 sebelum masehi. Daerah Laweyan dulu banyak ditumbuhi pohon kapas dan merupakan sentra industri benang yang kemudian berkembang menjadi sentra industri kain tenun dan bahan pakaian. Kain-kain hasil tenun dan bahan pakaian ini sering disebut dengan Lawe, sehingga daerah ini kemudian disebut dengan Laweyan. Industri dan perdagangan di Laweyan semakin berkembang semenjak digunakannya Kali Kabangan sebagai jalur transportasi dari dan menuju Kerajaan Pajang. Sejak masa Dinasti Mataram, kawasan ini memang sudah dikenal sebagai daerah para pengrajin batik. Lantas muncul Panembahan Senapati cucu dari Ki Ageng Pemanahan yang masa mudanya mempunyai julukan Ngabehi Loring Pasar, yang banyak menandai artefak-artefak atau situs kawasan sejarah yang ditinggalkannya. Laweyan semakin pesat ketika Kyai Ageng Henis keturunan Brawijaya V dan cucunya yaitu Raden Ngabehi Lor Ing Pasar Sutawijaya yang kelak menjadi raja pertama Mataram bermukim di Laweyan tahun 1546 M. Kyai Ageng Henis dulunya beragama Hindu Jawa, namun semenjak singgahnya Sunan Kalijaga di daerah ini ketika hendak menuju Kerajaan Pajang, Kyai Ageng Henis pun kemudian masuk Islam. Wawasan, Minggu 8 Agustus 2004. Kyai Ageng Henis bersama Sunan Kalijaga kemudian menyebarkan agama Islam di kawasan Laweyan. Seorang tokoh yang amat disegani saat itu atas pengaruh Kyai Ageng Henis akhirnya juga masuk Islam. Beliau adalah Kyai Ageng Beluk. Setelah masuk Islam, Kyai Ageng Beluk kemudian mengubah sanggarnya menjadi sebuah masjid untuk menunjang dakwahnya. Masjid ini lah yang kemudian dikenal sebagai Masjid Laweyan yang dibangun pada tahun 1546 Masehi. Agama Islam pun menyebar dengan sangat pesat di Laweyan. Soedarmono, 2006: 20. Batik sendiri awalnya diperkenalkan oleh Kyai Ageng Henis yang memang menyukai kesenian. Selain menyebarkan agama, Kyai Ageng Henis juga commit to user 2 mengajarkan masyarakat bagaimana cara membuat batik. Jadilah Laweyan yang dulunya hanya memproduksi kain tenun berubah menjadi produsen batik. Karena letaknya yang strategis, Laweyan pun menjadi salah satu kota perdagangan yang maju. Sebagai kota perdagangan, dibangunlah sebuah bandar pelabuhan yang berada di sisi selatan kampung dan di sebelah timur masjid di pinggir Kali Kabangan. Namun peninggalan bandar ini sudah tidak dapat ditemukan lagi. Kehidupan masyarakat di Laweyan ini dapat kita lihat dari bentuk- bentuk bangunan yang ada. Setiap rumah saudagar biasanya dikelilingi oleh tembok-tembok tinggi. Tujuannya adalah saat itu demi alasan keamanan. Namun walau setiap rumah dibatasi dengan tembok, antar rumah terdapat pintu yang menghubungkan rumah satu dengan yang lainnya sehingga silaturahmi tetap terjaga. Konon di beberapa rumah juga terdapat lorong bawah tanah dan bunker yang berfungsi untuk mengungsi bila terjadi serangan Soedarmono, 2006: 21 Ketika masa penjajahan Belanda, pada tahun 1905 muncullah organisasi Serikat Dagang Islam yang diprakarsai oleh K.H. Samanhudi, salah satu saudagar batik. Tujuan didirikannya SDI saat itu sebenernya untuk menyatukan para saudagar batik muslim bumiputra yang ada di Laweyan untuk menghadapi Belanda yang pengaruhnya semakin kuat di dalam kraton. Laweyan yang merupakan sebuah kampung para saudagar sekaligus pusat perdagangan industri batik yang mulai tumbuh pada awal abad XX. Jiwa enterpreneurship yang dimiliki masyarakat Laweyan telah mengantar pada masa kejayaan ekonomi batik dalam abad tersebut. Lama kelamaan Laweyan berkembang menjadi pusat industri batik sejak jaman kerajaan Mataram. Dulu para saudagar batik yang tinggal di Laweyan membangun rumah besar-besar dengan tembok menjulang. Para juragan batik juga membangun lorong atau jalan rahasia di dalam rumah mereka menuju rumah juragan batik lainnya di Laweyan. Kabarnya ketika itu mereka bersikap berseberangan dengan pihak keraton. Sehingga lewat jalan-jalan rahasia mereka bisa leluasa melakukan pertemuan-pertemuan dengan sesama saudagar batik untuk membahas kondisi sosial politik saat itu. commit to user 3 Pada masa sebelum kemerdekaan kampung Laweyan memegang peranan yang sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia,di Laweyan ini pada tahun 1911 muncul organisasi politik yang bernama Sarekat Dagang Islam SDI yang didirikan oleh KH. Samanhudi,dalam bidang ekonomi para pedagang batik di laweyan juga memelopori pergerakan koperasi dengan mendirikan Persatoean Peroesahaan Batik Boemiputra Soerakarta PPBBS pada tahun 1935. Kesuksesan dalam bidang ekonomi ternyata memberikan dampak terhadap predikat yang disandang. Oleh karena itu kampung Laweyan identik dengan kampung para saudagar batik. Akibatnya, corak kehidupan serta orientasi nilai masyarakat Laweyan berbeda dengan masyarakat Surakarta pada umumnya Mulyono dan Sutrisno Kutoyo,1980: 54. Sesuai dengan perjalanan waktu, maka para pengusaha batik Laweyan ikut berproses dari pertumbuhannya pada awal abad XX sampai masa kemerdekaan Indonesia, bahkan sampai sekarang. Sebagai kampung yang memiliki karakteristik berbeda dengan kampung lain di sekitarnya, tentu saja memiliki proses perkembangan yang berbeda dengan kampung lain di sekitarnya Mitsuo Nakamura, 1983: 44. Karakteristiknya sangat berbeda dengan kampung-kampung lain dikota Surakarta juga disebut kota sala, karena itu masyarakat sala menyebut daerah itu sebagai ”kampung dagang” Laweyan. Profesi kerja para pengusaha batik itu jelas menunjukkan bidang pekerjaan yang berada di luar kebiasaan pekerjaan masyarakat feodal, yang umumnya bekerja dalam lapangan pertanian dan birokrat kerajaan. Oleh karena itu kampung Laweyan, terasa sebagai pemukiman yang ”asing” dengan lingkungan sosialnya. Dalam mayarakat feodal, telah berlaku suatu asumsi bahwa kedudukan dan kekuasaan serta hak seseorang banyak ditentukan oleh besar kecilnya kekayaan yang mereka miliki. Semakin besar kekayaan yang mereka miliki, maka semakin besar kedudukan dan kekuasaannya Tikno Pranoto, 2004: 56. Dengan kekayaan yang dimiliki, para saudagar memiliki pengaruh di tengah masyarakat seperti halnya para bangsawan kerajaan. Demikian pula commit to user 4 sebaliknya, semakin kecil kekayaan yang mereka miliki, maka semakin kecil kedudukan dan kekuasaan yang mereka miliki. Naiknya kekayaan para pengusaha batik berhubungan erat dengan naiknya status sosial mereka sebagai ”mbok mase:, yaitu gelar untuk majikan pemilik perusahaan batik di Laweyan Korver, 1985: 65. Bila dibandingkan dengan kategori gelar yang ada dalam lingkungan abdi dalem istana kerajaan, maka status sosial ”mbok mase” di Laweyan itu sejajar dengan kedudukan para abdi dalem kriya pembatik dalam dinas istana. Gaya hidup orang-orang Laweyan adalah persepsi kekayaan kebudayaan mereka kelihatan menonjol menyejajarkan diri dengan para abdi dalem istana itu. Akan tetapi dari segi yang lain para saudagar Laweyan justru mengkounter gaya hidup para priyayi istana itu yang dirasa tidak cocok dengan lingkungan sosial Laweyan. Misalnya, sikap hidup berfoya-foya, gila hormat, dan poligami yang mencerminkan kondisi umum gaya hidup priyayi istana, adalah masalah yang dipandang negatif dimata saudagar Laweyan. Soedarmono,2006: 30 Daerah itu juga punya sebutan unik yakni Galgendu. Tempat keberadaan orang-orang kaya. Pada masa itu yang menjadi ciri khas adalah para saudagar batik dalam teknik pengerjaannya masih dengan teknik tulis tangan langsung memakai lilin atau Malam di atas kain mori memakai media canting. Mereka telah terbiasa dengan batik gagrak atau gaya Surakarta. Sementara yang menanamkan pertama kali pengaruh itu adalah Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan SISKS Paku Buwono II. Pasalnya sejak geger Kartosuro atau yang disebut pula geger Pecinan, lantaran para pemberontaknya adalah warga Tiong Hoa masa itu, tatanan dalam menggunakan kain batik menjadi kabur. Tak ada perbedaan jelas motif batik antara bangsawan dan kawula, sehingga sulit membedakan status mereka Wawasan, Minggu 8 Agustus 2004. Lantas pada pemerintahan SISKS PB III dikeluarkan pernyataan bahwa ada beberapa jenis kain batik yang menjadi larangan jika dipakai kawula, yakni batik Lar, parang yang berujung seperti paruh podang, bangun tulak lenga teleng berwujud tumpal dan batik cemukiran berbentuk ujung daun yang merembet di commit to user 5 tanah. Atas larangan itu, maka para saudagar yang menjadi abdi dalem kraton memutar otaknya membuat kreasi baru, meski tidak keluar dari gaya Surakarta. Dalam perkembangannya Laweyan pun kemudian muncul sebagai sebuah pusat bisnis yang sangat berpengaruh. Tidak hanya bagi kerajaan Mataram, tapi juga sampai ke luar kerajaan. Batik-batik gaya Surakarta pun secara umum mulai merajai ke berbagai pelosok tanah air. Diantaranya ragam hias Sawat, Slobog, Sido Mukti, Sido Luhur, Ratu Ratih, Truntum, Satrio Manah, Pamiluto. Sementara untuk motif batik dalem kraton sendiri terdapat diantaranya motif Semen Rama yang dibuat pada masa PB IV tahun 1787 sampai tahun 1816. Motif Indrabrata, Bayubrata, Agnibrata, Babon Angrem, Semen Sida Raja, Naga Raja, Semen Candra, Semen Prabu, Parang Kusuma, Wirasat dan lain-lain. Dari kesemua desain motif itu, rata-rata mempunyai makna filosofi yang cukup tinggi Wawasan, Minggu 8 Agustus 2004. Untuk kasus pembatikan di Laweyan Surakarta, dapat dikatakan bahwa perdagangan dan perkembangan batik mengalami pasang surut yang sangat tajam, sehingga tinggal beberapa orang yang bergerak dalam bidang bisnis batik tradisional. Dalam tahun 1950-an industri batik Laweyan mengalami perkembangan yang pesat. Perkembangan ini terjadi ketika Koperasi Batik masuk menjadi anggota GKBI Gabungan Koperasi Batik Indonesia dan peran serta pemerintah. Kampung Laweyan tumbuh di tengah-tengah masyarakat birokrat kerajaan dan rakyat biasa. Secara sosiologis dapat dikatakan bahwa masyarakat Laweyan sebagai inclave society. Keberadaan masyarakat tersebut sangat berbeda dengan komunitas yang lebih besar di sekitarnya, sehingga keberadaan dan interaksi sosial demikian tertutup Geertz, 1973: 74. Untuk mempertahankan komunitasnya, lebih banyak tergantung pada masyarakat Laweyan itu sendiri. Bertambahnya kekayaan para pengusaha batik ternyata erat kaitannya dengan naiknya status sosial para pengusaha batik. Hal ini dibuktikan dengan pemberian gelar mbok mase, yaitu gelar untuk para majikan pengusaha besar batik di Laweyan. Sebagai suatu konstelasi sosial, tentu saja pemilikan gelar tersebut memiliki implikasi wibawa terhadap hak-hak yang mereka miliki dalam masyarakar tradisional Van Neil,1984: 52. commit to user 6 Kebangkitan klas menengah Jawa, justru lahir ditengah-tengah sturktur masyarakat feodal yang justru memperhatikan pada budaya ”feodom sistem Apanage”, dan cenderung menolak iklim perdagangan. Memang dalam beberapa hal, proses pertumbuhan kelompok klas menengah Jawa di Laweyan ada perbedaan yang cukup berarti. Ada hubungan historis dan fungsional antara islam dan perdagangan maka kasus yang terjadi di Laweyan justru menunjukkan fenomena berbeda, bahwa para pengusaha sebagian besar lahir dari kalangan islam abangan Geertz, 1973: 20. Menurut Castle, munculnya kelompok pengusaha batik Laweyan justru berada ditengah-tengah struktur masyarakat feodal yang hanya mengenal dua klas, klas pengusaha dan klas rakyat. Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik terhadap perkembangan industri batik di kalangan pribumi khususnya masyarakat Laweyan, penulis terdorong untuk mengangkatnya menjadi sebuah judul penulisan skripsi dengan judul “ Saudagar Laweyan Abad XX Peran Dan Eksistensi Membangun Perekonomian Muslim”.

B. Perumusan Masalah