commit to user
8
BAB II KAJIAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Struktur Sosial Masyarakat Jawa
Dalam struktur sosial masyarakat Jawa di bagi menjadi tiga golongan yaitu, priyayi, santri dan abangan. Istilah itu menjadi terkenal saat Clifford
Geertz melakukan penelitian tentang masyarakat
Jawa pada tahun 1960-an.
Dalam kebudayaan Jawa, istilah
priyayi atau berdarah biru merupakan
suatu kelas sosial yang mengacu kepada golongan bangsawan. Suatu golongan tertinggi dalam masyarakat karena memiliki keturunan dari keluarga kerajaan.
Golongan priyayi tertinggi disebut Priayi Ageng bangsawan tinggi. Gelar dalam golongan ini terbagi menjadi bermacam-macam berdasarkan tinggi rendahnya
suatu kehormatan. Beberapa gelar dari yang tertinggi hingga dengan hanya satu gelar saja yaitu Raden.
Gelar seorang priyayi juga dapat meningkat seiring dari usianya. Misalnya ketika seorang anak laki-laki lahir diberi nama Bomantara, ia bergelar
Raden Mas, jadi nama lengkapnya adalah Raden Mas Bomantara, ketika menginjak akil balik gelarnya bertambah satu kata menjadi Bandara Raden Mas,
ketika menapak dewasa 18 atau 21 tahun bertambah lagi menjadi Bandara Raden Mas Aryo. Pada saat dewasa dan telah memiliki jabatan dalam hierarki
kebangsawanan, ia akan memiliki gelar yang berbeda dari gelar yang telah ia miliki. Misalnya ia menduduki jabatan pemimpin ksatrian maka gelarnya akan
berubah menjadi Gusti Pangeran Adipati Haryo. Dan setiap kedudukan yang ia jabat ia akan memilki gelar tambahan atau gelar yang berubah nama.
Kelompok santri digunakan untuk mengacu pada orang yang memiliki pengetahuan dan mengamalkan agama. Santri adalah sebutan bagi murid yang
mengikuti pendidikan di pondok pesantren. Pondok Pesantren adalah sekolah pendidikan umum yang persentasi ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan
agama Islam. Kebanyakan muridnya tinggal di
asrama yang disediakan
di sekolah itu. Pondok Pesantren banyak berkembang di pulau Jawa.
commit to user
9
Abangan adalah sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang
mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks. Istilah ini, yang berasal dari kata bahasa
Jawa yang berarti merah, pertama kali digunakakan oleh Clifford Geertz, namun saat ini maknanya telah bergeser.
Abangan dianggap lebih cenderung mengikuti sistem kepercayaan lokal yang disebut
adat daripada hukum Islam murni syariah. Dalam sistem
kepercayaan tersebut terdapat tradisi-tradisi Hindu, Buddha, dan animisme. Namun beberapa sarjana berpendapat bahwa apa yang secara klasik dianggap
bentuk varian Islam di Indonesia, seringkali merupakan bagian dari agama itu sendiri di negara lain. Sebagai contoh, Martin van Bruinessen mencatat adanya
kesamaan antara adat dan praktik yang dilakukan dahulu kala di kalangan umat Islam di Mesir, sebagaimana yang dijelaskan oleh Edward Lane.
Abangan digunakan untuk mereka yang bukan priyayi dan juga bukan santri. Namun penggolongan ini tidaklah terlalu tepat, karena pengelompokkan
priyayi - non priyayi adalah berdasarkan garis keturunan seseorang, sedangkan pengelompokkan santri - abangan dibuat berdasarkan sikap dan perilaku
seseorang dalam mengamalkan agamanya Islam. Dalam realita, ada priyayi yang santri dan ada pula yang abangan, bahkan ada pula yang non muslim.
Skema konsepsi bagi pembagian masyarakat Jawa yang dibuat oleh Clifford Geertz berdasarkan penelitian lapangan di Majokuto adalah tiga tipologi
budayawi utama;abangan, santri, dan priyayi. Tiga varian tersebut secara ringkas dideskripsikan sebagai berikut :
Abangan yang mewakili sikap menitikberatkan segi-segi animisme
sinkretisme Jawa yang menyeluruh, dan secara luas berhubungan dengan unsur- unsur petani di antara penduduk; Santri yang mewakili sikap menitikberatkan
pada segi-segi Islam dalam sinkretisme tersebut, pada umumnya berhubungan dengan unsur pedagang maupun juga dengan unsur-unsur tertentu di antara para
petani; dan Priyayi yang sikapnya menitikberatkan pada segi-segi Hindu dan berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi.
commit to user
10 Istilah abangan oleh Clifford Geertz diterapkan pada kebudayaan orang
desa, yaitu para petani yang kurang terpengaruh oleh pihak luar dibandingkan dengan golongan-golongan lain di antara penduduk. Adapun
istilah santri diterapkan pada kebudayaan muslimin yang memegang peraturan dengan keras dan biasanya tinggal bersama di kota dalam perkampungan dekat
sebuah masjid yang terdiri dari para pedagang di daerah-daerah yang lebih bersifat kota. Istilah priyayi diterapkannya pada kebudayaan kelas-kelas tertinggi yang
pada umumnya merupakan golongan bangsawan berpangkat tinggi atau rendah. Pembagian tersebut menurut Clifford Geertz 1973: 25 merupakan
pembagian yang dibuat sendiri oleh orang-orang Jawa sendiri. Namun menurut beberapa peneliti berikutnya pembagian tersebut telah mendapat banyak kritik.
Salah satu diantaranya dianggap kurang tepat dan tidak relevan, jika dikaitkan dengan perkembangan masyarakat Jawa sekarang.
Menurut Harsja W. Bachtiar 1981: 25 pembagian tersebut kurang tepat, karena klasifikasi abangan dan santri selalu dikaitkan dengan perilaku keagamaan masyarakat. Seorang
santri lebih taat kepada agama dibandingkan dengan seorang abangan, sedangkan ukuran ketaatan itu tergantung kepada nilai-nilai pribadi orang-orang yang menggunakan istilah-istilah
itu. Demikian juga istilah priyayi tidak bisa dianggap sebagai kategori dari klasifikasi yang sama, karena ada orang-orang priyayi yang taat kepada agama, dan karenanya ia disebut santri, dan ada
orang-orang priyayi yang tidak taat atau tidak seberapa memperhatikan soal-soal agama, dan karenanya ia disebut abangan. Istilah priyayi biasanya diperuntukan kepada orang-orang yang
memiliki status sosial tertentu yang berbeda dari rakyat biasa yang disebut wong cilik, wong widah atau kaum mayoritas, dan wong tani.
Koentjaraningrat 1963: 30 telah menggambarkan stratifikasi Jawa dengan mencoba menganalisa dan membuat perbedaan yang jelas antara pembagian-pembagian masyarakat Jawa
yang horisontal dan vertikal. Menurutnya orang jawa sendiri membedakan empat tingkat sosial sebagai stratifikasi status; yaitu dhara bangsawan, priyayi birokrat, wong dagang atau
saudagar pedagang dan wong cilik orang kecil, rakyat kecil.
commit to user
11
2. Kebudayaan Jawa