commit to user
11
2. Kebudayaan Jawa
a. Pengertian Kebudayaan.
Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa, dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa Sansekerta budhayah
yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal. Dalam bahasa Inggris, kata budaya berasal dari kata culture, dalam bahasa Latin, berasal dari
kata Colera yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, mengembangkan tanah Elly M Setiadi, 2006: 27.
Banyak batasan tentang budaya yang pada dasarnya bertolak dari sudut pandang masing-masing pemberi batasan itu. Salah seorang ahli yaitu Kroeber
mengemukakan batasan yang agak lengkap; ”budaya adalah keseleruhan kompleks yan terdiri atas pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat
kebiasaan dan kapabilitas lain, serta kebiasaan apa saja yang diperoleh seorang manusia sebagai anggota suatu masyarakat.” Batasan lain seperti dikemukakan
Linton; ”budaya berarti keseluruhan bawaan sosial umat manusia”. Herkovitz juga mengemukakan ”budaya adalah bagian buatan manusia yang berasal dari
lingkungan manusia” Nani Tuloli, 2003:2. Kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Kebudayan
dalam arti ilmu antropologi adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
dari manusia dengan belajar. Pengertian ini berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai segala daya
dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Berikut pengertian budaya atau kebudayaan dari beberapa ahli:
1. E. B. Tylor, budaya adalah sesuatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat,
dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
2. R. Linton, kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, di mana unsur
pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya.
commit to user
12 3. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, mengatakan bahwa kebudayaan
adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. 4. Herkovits, kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan
oleh manusia Koentjaraningrat, 1985: 181-182. Beberapa ilmuwan seperti Talcott Parson Sosiolog dan Al Kroeber
Antropolog menganjurkan untuk membedakan wujud kebudayaan secara tajam sebagai suatu sistem. Di mana wujud kebudayaan itu adalah sebagai suatu
rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola. Demikian pula J. J. Honigman dalam bukunya The World of Man 1959: 89 membagi budaya dalam
tiga wujud, yaitu: ideas, activities, and artifact. Sejalan dengan pikiran para ahli tersebut, Koentjaraningrat mengemukakan bahwa kebudayaan itu dibagi atau
digolongkan dalam tiga wujud, yaitu: 1.
Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma- norma, dan peraturan. Wujud tersebut menunjukan wujud ide dari
kebudayaan, sifatnya abstrak, tak dapat diraba, dipegang, ataupun difoto, dan tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan yang
bersangkutan itu hidup. Kebudayaan ideal ini disebut pula tata kelakuan, hal ini menunjukan bahwa budaya ideal mempunyai fungsi mengatur,
mengendalikan, dan memeberi arah kepada tindakan, kelakuan, dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola
dari manusia dalam masyarakat. Wujud tersebut dinamakan sistem sosial, karena menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri.
Wujud ini bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan karena dalam sistem sosial ini terdapat aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi dan
berhubungan serta bergaul satu dengan yang lainnya dalam masyarakat. Lebih jelasnya tampak dalam bentuk perilaku dan bahasa pada saat mereka
berinteraksi dalam pergaulan hidup sehari-hari di masyarakat. Kesimpulan, sistem sosial ini merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat konkret,
dalam bentuk perilaku dan bahasa.
commit to user
13 3.
Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud yang terakhir ini disebut pula kebudayaan fisik. Di mana wujud budaya ini hampir
seluruhnya merupakan hasil fisik aktivitas perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat. Sifatnya paling konkret dan berupa benda-benda
atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto yang berwujud besar ataupun kecil. Contohnya: Candi Borobudur besar dan Kain Batik kecil.
Kesimpulannya, kebudayaan fisik ini merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat konkret, dalam bentuk materiartefak Koentjaraningrat,
1993:5. b. Kebudayaan Jawa.
Kebudayaan Jawa bukanlah suatu kesatuan yang homogen, melainkan beraneka ragam. Keanekaragaman kebudayaan Jawa dapat dilihat dari aneka
ragam logat bahasa, makanan, upacara-upacara adat, dan kesenian tradisional. Manusia Jawa adalah menjadi individu atau kelompok individu di bawah
pengarahan pola-pola kebudayaan Jawa beserta sistem-sistem maknanya yang tercipta secara historis. Pola-pola kebudayaan Jawa tersebut, melainkan
mengalami perubahan-perubahan. Semakin banyak dan semakin kompleks simbol-simbol yang diadopsi, apalagi dapat memproduksi simbol-simbol Jawa
̏barȕ, maka semakin tinggi derajat kejawan seseorang atau sekelompok orang. Orang dewasa normal yang mampu bertindak menurut pola-pola kebudayaan
Jawa beserta sistem-sistem maknanya, dikatakan sampun Jawa sudah menjadi Jawa. Sebaliknya anak-anak kecil, orang-orang gila, orang-orang yang tidak
bermoral, dikatakan durung Jawa belum Jawa. Dengan demikian menjadi Jawa memerlukan proses yang dapat berlangsung lama Rustopo, 2007:10-27.
Daerah kebudayaan Jawa itu luas, yaitu meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari pulau Jawa. Daerah-daerah tersebut secara kolektif disebut daerah
kejawen. Sebelum terjadi perubahan-perubahan status wilayah seperti sekarang ini, daerah-daerah itu ialah Banyumas, Kedu, Yogyakarta , Surakarta, Madiun,
Malang, dan Kediri. Daerah di luar itu dinamakan Pesisir dan Ujung Timur. Oleh sebab itu, secara dikotomis wilayah kebudayaan spiritual Jawa pun dapat
commit to user
14 dibedakan antara kebudayaan spiritual pesisir dan kebudayaan spiritual pedalaman
Imam S, 2005: 53. Sehubungan dengan hal itu, maka dalam seluruh rangka kebudayaan Jawa ini, dua daerah luas bekas kerajaan Mataram sebelum terpecah
pada tahun 1755, yaitu Yogyakarta dan Surakarta adalah merupakan pusat dari kebudayaan tersebut.
Dalam pergaulan-pergaulan hidup maupun perhubungan-perhubungan sosial sehari-hari mereka berbahasa Jawa. Pada waktu mengucapkan bahasa
daerah ini, seseorang harus memperhatikan dan membeda-bedakan keadaan orang yang diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan, berdasarkan usia maupun
status sosialnya.Ada dua jenis bahasa Jawa yaitu bahasa Jawa Ngoko dan bahasa Jawa Krama.
Di dalam kenyataan hidup masyarakat orang Jawa, orang masih membeda-bedakan antara orang priyayi yang terdiri dari pegawai negeri dan kaum
terpelajar dengan orang kebanyakan yang disebut wong cilik, seperti petani- petani, tukang-tukang, dan pekerja kasar lainnya, disamping keluarga kraton dan
keturunan bangsawan atau bendara-bendara. Dalam kerangka susunan masyarakat ini secara bertingkat yang berdasarkan lapisan atas gensi-gensi itu,
kaum priyayi dan bendara merupakan lapisan atas, sedangkan wong cilik menjadi lapisan masyarakat bawah. Kemudian menurut kriteria pemeluk agamanya, orang
Jawa biasanya membedakan orang santri dengan orang agama kejawen. Di berbagai daerah di Jawa baik yang bersifat kota maupun pedesaan orang santri
menjadi mayoritas, sedangkan di lain daerah orang beragama kejawen-lah yang dominan Koentjaraningrat. 1976: 329-344.
Perjalanan budaya Jawa yang berabad-abad bagaimanapun mengalami transformasi. Transformasi dapat diandaikan sebagai suatu proses pengalihan total
ke suatu bentuk budaya baru yang akan mapan. Juga dapat dibayangkan sebagai suatu proses yang lama dan bertahap-tahap, atau sebaliknya sebagai suatu titik
balik yang begitu cepat. Akan tetapi, dalam proses perubahan itu, unsur-unsur budaya yang menjadi pilar-pilar penyangganya pada suatu saat akan meruyak,
membusuk, dan tidak dapat berfungsi lagi sebagai pengikat kesatuan kebuadayaan. Yang menarik dari transformasi budaya di Jawa adalah bahwa
commit to user
15 nenek moyang kita bersikap luwes, lentur, adaptable, dan kreatif dalam
menghadapi berbagai pengaruh asing dari luar Rustopo, 2007:28. Gaya Jawa mulai muncul dalam khazanah busana raja berlawanan
dengan gaya ”Belanda”, yang ini sendiri juga merupakan hasil dari lintas-busana kultural. Pada akhir abad kesembilan belas, jas rokkie Jawi merupakan alternatif
mode yang mencampurkan gaya-gaya ”Belanda” dan ”Jawa” tanpa sepenuhnya menghapuskan perbedaan antara keduanya. Busana yang disebut ”Langenharjan”
ini dari nama tempat ketika pertama kali dipakai yang menampilkan jas rokkie yang sudah diubah itu merupakan gaya yang benar-benar bukan Belanda tanpa
buntut, dengan keris, dan kain batik sebagai bawahan, namun jelas bukan busana resmi di Keraton. Jas rokkie menjadi busana yang dipilih bagi pengantin-pengatin
laki-laki priyayi pada pergantian abad ke duapuluh yang ingin mencapai, seperti Mangkunagara IV sendiri, puncak-puncak prestise ”Jawa”.
Jas yang dipribumikan ini akan merupakan busana ritual yang diisyaratkan untuk yang kemudian disebut sebagai pengantin laki-laki Jawa
Tengah ”tradisional”, sebagai gambaran-gambaran dari subjek-subjek kultural yang dimaksudkan untuk memunculkan kembali wibawa ”Jawa”. Setelah
terbukkti memiliki wewenang dan kesetiaan kultural dalam kreasi-kreasi seperti Weddhatama dan Wiwahan Dalem atau menciptakan model ”jas Jawa”, maka
menjelang tahun 1870-an, garis keturunan Mangkunagara tampaknya telah mapan mandiri.
Ilmu mewarnai batik sudah menjadi pusaka dari Tanah Djawa, yang semenjak dahulu kala oleh orang-orang Eropa, meskipun mereka mempunyai
banyak pengetahuan-pengetahuan keterampilan yang luhur, akan tetapi sampai hari ini belum bisa menyamai produk asli dari Jawa. Mewarnai batik sebagai satu
lagi bentuk dari suatu pengetahuan esoterik dari ”Tanah Jawa” yang tidak bisa disamai oleh Barat, sebagai suatu sarana produksi yang hasil-hasilnya bisa
diterapkan sebagai asli sebagaimana berbagai jiwa-jiwa ”Jawa” akan mengidentifikasi diri mereka berdasarkan produk-produk itu. Batik ”asli Jawa”
dari Surakarta merupakan inti dari bisnis busana ini John Pemberton, 2003:152- 181.
commit to user
16 Tradisi-tradisi dalam kebudayaan secara kasar dapat di kelompokkan
menjadi dua yaitu tradisi besar dan tradisi kecil. Tradisi kecil hidup di kalangan rakyat kecil yang meneruskan warisan tradisi itu dari generasi ke generasi tanpa
banyak refleksi dan perubahan sebagai hasil refleksi. Tradisi besar hidup di kalangan atas dan masyarakat yang lebih refleksif dan mampu mengungkapkan
hasil repleksi itu. Hal ini tidak berarti bahwa tradisi-tradisi itu tidak saling mempengaruhi. Misalnya, tradisi besar merefleksikan apa yang hidup di kalangan
rakyat dan kemudian mengungkapkan dalam bentuk pementasan wayang yang bias di nikmati oleh tradisi kecil dan dengan demikian juga mempengaruhi apa
yang hidup dalam tradisi kecil. Kedua arus tersebut tidaklah terpisah dan statis, tetapi saling mempengaruhi dan dinamis.
Melalui pengelompokan itu dapat diduga bahwa gerakan pembebasan lahir di kalangan rakyat atau dalam tradisi kecil. Sedangkan dalam tradisi besar,
dalam sastra jawa misalnya, lebih ditemukan unsur pembebasan spiritual individu, bukan pembebasan sosial kolektif. Namun, refleksi mengenai gerakan
pembebasan itu di jalankan dalam tradisi besar dan akhirnya mempengaruhi pada tradisi kecil.
Perubahan tradisi budaya bukan hanya di sebabkan oleh pengaruh- pengaruh internal, tetapi juga oleh pengaruh dari luar. Secara umum dapat
dikatakan bahwa kebudayaan jawa dan indonesia umumnya sekarang ini berada dalam masa transisi dari kebudayaan tradisional ke kebudayaan pasca tradisional.
Tidak ada satu kebudayaanpun yang bebas dari macam-macam pengaruh luar, khususnya pada era globalisasi sekarang ini
Perubahan tradisi budaya tidaklah tanpa masalah bagi masyarakat. Pada umumnya, perubahan itu akan membawa disorientasi dan krisis nilai. Nilai-nilai
lama sudah tidak berlaku lagi dan nilai baru belum terintegrasi sepenuhnya. Lebih parah lagi jika tradisi feodal patriarkal dimanipulasikan oleh kekuasaan dan
kekuatan yang tidak adil dengan didukung oleh sarana-sarana pasca tradisional. Kekuasaan tidak adil kemudian dilegitimasikan melalui slogan-slogan
keselarasan, kesejukan, harmoni, kekeluargaan dan sebagainya. Akibatnya lebih parah dari tradisi tradisional. Demikianlah terjadi pada tradisi jawa yang dibidani
commit to user
17 oleh mantan Presiden Soeharto dan lingkungan kekuasaannya Sindhunata, 1999 :
29. Terhadap macam-macam pengaruh, identitas budaya dapat mereaksi
dalam bentuk sektarianisme atau primordialisme. Bentuk reaksi ini melihat pengaruh-pengaruh baru sebagai ancaman, dan oleh karena itu mengambil sikap
bermusuhan,bahkan dapat agresif. Pengaruh-pengaruh luar juga dapat diterima secara kritis dan diintegrasikan dalam identitas budaya. Wujudnya bergantung
pada pengolahan kritis kelompok penyangga kebudayaan itu. Sejalan dengan kemungkinan-kemungkinan itu, kebudayaan jawa bukanlah suatu tradisi singular,
melainkan plural. Bukan hanya dalam arti terdapat tradisi besar dan tradisi kecil, melainkan juga dalam tradisi besar dan tradisi kecil terdapat kemajemukan.
Pengaruh dan perkembangan kebudayaan juga membawa identitas yang menurut istilah dislocated, tidak mempunyai tempat yang tepat. Identitas
kebudayaam dengan seseorang dapat berubah-ubah atau bahkan dapat dengan beberapa arus sekaligus. Identitas ini didasarkan atas pilihan-pilihan politis,
seperti gerakan perempuan, gerakan anti apartheid, gerakan pembebasan nasional, anti nuklir, gerakan ekologis. Identitas menjadi terbuka, dapat hilang dan dapat
dimiliki secara baru, sebab ada tidaknya tidaklah secara otomatis, tetapi berdasarkan pada pilihan. Dalam arti ini, identitas tidak ditentukan oleh karena
pengaruh etnis jawa misalnya, tetapi karena pilihan moral Stuart hall, 1992 : 280.
3. Saudagar dan Usaha Batik