Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam Membangun Perekonomian Muslim)

(1)

commit to user

i

SAUDAGAR LAWEYAN ABAD XX

(PERAN DAN EKSISTENSI DALAM MEMBANGUN PEREKONOMIAN MUSLIM)

Skripsi Oleh :

AN NUUR SAKHAA. HP K4406008

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(2)

commit to user

ii

SAUDAGAR LAWEYAN ABAD XX

(PERAN DAN EKSISTENSI DALAM MEMBANGUN PEREKONOMIAN MUSLIM)

Oleh :

An Nuur Sakhaa Hazmitha Putri K4406008

Skripsi

Ditulis Dan Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Progam Pendidikan Sejarah

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(3)

Halaman persetujuan

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi fakultas keguruan dan ilmu pendidikan universitas sebelas maret surakarta.

Surakarta, 02 Februari 2011

Pembimbing I

Dr. Hermanu Joebagyo, M. Pd.

NIP. 19560303 198603 1 001

Pembimbing II

Drs. Leo Agung.S. M.Pd


(4)

commit to user

Skripsi ini dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi fakultas keguruan dan ilmu pendidikan universitas sebelas maret surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan.

Pada hari : ...

Tanggal : ...

Tim Penguji Skripsi

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Drs. Djono, M. Pd ………

Sekretaris : Dra. Sri Wahyuni, M. Pd ………..

Anggota I : Dr. Hermanu. J. M. Pd ………...

Anggota II : Drs. Leo Agung S. M. Pd ………..

Disahkan oleh

Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Dekan

Prof.Dr. M.Furqon Hidayatullah, M.Pd


(5)

commit to user

v

ABSTRAK

An Nuur Sakhaa Hazmita Putri. K4406008. Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam Membangun Perekonomian Muslim). Skripsi, Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,Universitas Sebelas Maret, Januari 2011.

Kata kunci : saudagar batik, peran dan eksistensinya.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan : (1) Perkembangan batik Laweyan abad XIX - XX, (2) peran politik saudagar Laweyan, (3 ) Peran dan eksistensi saudagar Laweyan dalam perkembangan perekonomian muslim .

Penelitian ini menggunakan metode historis dengan langkah-langkah heuristik, kritik sumber, interpretasi, historiografi. Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sumber tertulis yang meliputi sumber primer dan sumber sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan. Data dianalisis dengan menggunakan analisis historis yang mengutamakan ketajaman interpretasi sejarah. Langkah-langkah menganalisis data adalah: (1) pengumpulan data yang kemudian diklasifikasikan sesuai tema penelitian, (2) terhadap sumber yang didapat dilakukan kritik intern (content analysis) dan kritik ekstern (contruct analysis) untuk menentukan kredibilitas dan otentitas sumber, (3) Dari data yang didapatkan digunakan pendekatan kerangka teori, konsep, metodologi yang berfungsi sebagai kritria penyelesaian, identifikasi dan pengklasifikasian, (4) merangkaikan fakta-fakta untuk mengetahui hubungan sebab–akibat antar peristiwa satu dengan peristiwa yang lain, (5) Fakta–fakta yang sudah didapatkan dan dihubungkan kemudian disusun menjadi sebuah karya yang menyeluruh.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan : (1) Daerah Laweyan, Surakarta dikenal sebagai salah satu sentra industri batik di Jawa Tengah. Kegiatan pembatikan pada mulanya masih mempergunakan peralatan yang sederhana, yaitu canting. Industri batik tradisional di Laweyan yang semakin maju, membuat para pengusaha berpikir untuk menciptakan peralatan membatik yang dapat menghasilkan batik lebih cepat daripada dengan menggunakan canting. Kemudian dibuatlah alat cap, di samping canting untuk memproduksi batik secara tradisional. Dari masa ke masa dunia perbatikan banyak mulai mengalami perubahan (2) Organisasi Sarekat Islam (SI) bermula dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan pada tahun 1911 di kota Solo oleh seorang saudagar batik bernama Haji Samanhudi. SDI yang berdasarkan koperasi dengan tujuan memajukan perdagangan pribumi dengan panji-panji Islam yang menaunginya.Perubahan nama menjadi Sarekat Islam, berawal dari saat perkumpulan SDI tersebut menyusun statuennya. (3) Saudagar laweyan berperan penting dalam memajukan perekonomian muslim laweyan. Dengan mempertimbangkan begitu besar peranan saudagar Laweyan dalam menumbuhkan sektor ekonomi kota maka kehadiran mereka dalam masyarakat Solo, tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, trikhotomi Geertz, dalam melihat masyarakat Jawa atas pembagian abangan, santri dan priyayi dirasakan tidak cocok, terutama dalam masyarakat Solo.


(6)

commit to user

vi

ABSTRACT

An Nuur Sakhaa Hazmita Putri. K4406008. The enterpreneurs Laweyan Abad XX (The Role and Their existence of Developing Muslim Economies). Thesis, Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education, University Eleven March, January 2011.

Key word : batik merchants, the role and existence.

The purpose of this study was to described: (1) The development of batik Laweyan since nineteenth century, (2) political role the enterpreneurs Laweyan, (3) The Role and Their existence of Developing Muslim Economies.

This study uses the historical method with i.e heuristic, critical sources, interpretation, historiography. The data used in writing this essay was written sources including primary sources and secondary sources. Data collection techniques using literature study. Data were analyzed using a historical analysis that prioritizes acuity interpretation of history. The steps to analyze the data are: (1) collecting data and then classified according to the research theme., (2) of the sources that get done internal criticism (content analysis) and external criticism (contruct analysis) to determine the credibility and authenticity of sources, (3 ) From the data obtained is used approach the theoretical framework, concepts, methodology that serves as kritria settlement, identify and classify, (4) weave the facts to determine cause-effect relationship between one event with another event, (5) The facts which has been established and connected then compiled into a comprehensive work.

Based on the results of this study concluded: (1) Regional Laweyan, Surakarta, known as one of the centers of batik industry in Central Java. Activities at first batik still use simple tools, that is canting. Ornamental pattern produced batik is still imitating decoration of the palace, as well as dark coloring that tends to and use of natural dyes. Laweyan traditional batik industry in which the more advanced, making employers think to create equipment that can produce batik batik faster than using a canting. Then the stamp was made tools, in addition to producing batik canting traditionally. From time to time many batik world began to change (2) Organization of SI (SI) SI Trade originated from Islam (SDI), which was founded in 1911 in the city of Solo by a merchant named Haji Samanhudi batik. SDI is based on cooperative with the aim of promoting indigenous trade with the banner of Islam which menaunginya.Perubahan its name to SI, starting from when SDI is set statuennya associations. (3) Merchant Laweyan play an important role in advancing the economy Laweyan Muslim. Considering the enormous role of entrepreneurs in growing sectors of the economy Laweyan city then their presence in society Solo, can not be ignored. Therefore, trikhotomi Geertz, in view of the division abangan Javanese society, students and aristocratic feel is not suitable, especially in people of Solo.


(7)

commit to user

vii

Motto

Pendidikan merupakan perlengkapan paling baik untuk hari

tua.(Aristoteles)

Barang siapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu maka Allah


(8)

commit to user

viii

PERSEMBAHAN :

Bapak dan Ibu tercinta, yang telah memberikan kasih sayang, doa dan dukunganmya.

Kakak-kakakku tercinta.

keluarga besarku.

Sahabat-sahabatku : Dian, Anggi, Sri Wahyuni, Wendha, Farukh, Brian.

Seseorang yang telah memberi doa, dan kasih sayang untukku.


(9)

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana pendidikan.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bantuannya, disampaikan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin untuk penyusunan skripsi ini. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial FKIP Universitas Sebelas Maret

Surakarta, yang telah memberikan ijin untuk penyusunan skripsi ini. 3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial

FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang juga telah memberikan ijin untuk penyusunan skripsi ini.

4. Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd, selaku pembimbing I yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.

5. Drs. Leo Agung.S,M.Pd, selaku pembimbing II yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.

6. Semua dosen Pendidikan sejarah FKIP UNS.

7. Masyarakat Laweyan Surakarta dan sekitarnya, atas segala informasinya yang sangat bermanfaat bagi penulis.

8. Bapak dan Ibu tercinta yang telah memberikan semua bantuan baik berupa semangat dan dorongan maupun materiil.

9. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebut satu persatu, yang telah memberikan bantuan, doa dan dorongan guna penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.


(10)

commit to user

x

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.

Surakarta, Januari 2011

Penulis


(11)

commit to user

xi

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL... i

PENGAJUAN... ii

PERSETUJUAN... iii

PENGESAHAN... iv

ABSTRAK... v

ABSTRACT... vi

MOTTO... vii

PERSEMBAHAN... viii

KATA PENGANTAR... ix

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah... 7

C. Tujuan Penelitian... 7

D. Manfaat Penelitian... 7

BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka... 8

1. Struktur Masyarakat Jawa... 8

2. Kebudayaan Jawa... 11

3. Saudagar Dan Batik... 18


(12)

commit to user

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian... 21

1. Tempat Penelitian... 21

2. Waktu Penelitian... 21

B. Metode Penelitian... 21

C. Sumber Data... 23

D. Teknik pengumpulan data... 24

E. Teknik Analisis Data... 24

F. Prosedur Penelitian Data... 25

1. Heuristik... 25

2. Kritik... 26

3. Interprestasi... 26

4. Historiografi... 27

BAB IV. HASIL PENELITIAN A. Perkembangan Batik Di Laweyan Abad XIX – XX... 28

1. Asal Mula Batik Laweyan... 28

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Batik Laweyan... 31

a. Kondisi Masyarakat... 31

b. Semangat Kerja... 36

B. Peran Politik Saudagar Laweyan... 40

a. Sejarah Berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI)... 40

b. Tujuan Organisasi Sarekat Dagang Islam... 42

c. Masuknya Pengaruh Komunisme... 43

d. Perkembangan Sarekat Islam Pra Kemerdekaan... 44

C. Peran Dan Eksistensi Saudagar Laweyan Dalam Membangun Perekonomian Muslim... 48


(13)

commit to user

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan... 54

B. Implikasi... 56

1. Implikasi Teoritis... 56

2. Implikasi Praktis... 57

C. Saran ... 58

1. Mahasiswa... 58

2. Masyarakat... 58

DAFTAR PUSTAKA... 59


(14)

commit to user

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Bunker Kampung Batik Laweyan Jadi Tempat Wisata

Suara Merdeka, 08 Agustus 2010... 62

Lampiran 2 Kebangkitan kampung batik laweyan Suara Merdeka, 7 November 2009... 63

Lampiran 3 Samanhoedi, Batik, dan Kota Solo Wawasan, 18 Oktober 2010... 66

Lampiran 4 Menggagas Laweyan Living Museum Suara Merdeka, 10 Nopember 2008... 68

Lampiran 5 Kawasan Wisata Kampung Batik Laweyan (1) Dari Bandar hingga Pusat Pengembangan Islam Suara Merdeka, Senin, 27 September 2004 ... 71

Lampiran 6 Laweyan, Kiai Ageng Ngenis dan Cikal Bakal Mataram Islam Suara merdeka, Rabu, 21 Agustus 2002... 73

Lampiran 7 Tabel Daftar Industri batik di Laweyan ... 75

Lampiran 8 Daftar Nama informan... 79

Lampiran 9 Hasil Wawancara... 80

Lampiran 9 Surat ijin penelitian... 86


(15)

commit to user

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kampung Laweyan sudah ada sejak tahun 1500 sebelum masehi. Daerah Laweyan dulu banyak ditumbuhi pohon kapas dan merupakan sentra industri benang yang kemudian berkembang menjadi sentra industri kain tenun dan bahan pakaian. Kain-kain hasil tenun dan bahan pakaian ini sering disebut dengan Lawe, sehingga daerah ini kemudian disebut dengan Laweyan. Industri dan perdagangan di Laweyan semakin berkembang semenjak digunakannya Kali Kabangan sebagai jalur transportasi dari dan menuju Kerajaan Pajang. Sejak masa Dinasti Mataram, kawasan ini memang sudah dikenal sebagai daerah para pengrajin batik. Lantas muncul Panembahan Senapati cucu dari Ki Ageng Pemanahan yang masa mudanya mempunyai julukan Ngabehi Loring Pasar, yang banyak menandai artefak-artefak atau situs kawasan sejarah yang ditinggalkannya. Laweyan semakin pesat ketika Kyai Ageng Henis (keturunan Brawijaya V) dan cucunya yaitu Raden Ngabehi Lor Ing Pasar/ Sutawijaya yang kelak menjadi raja pertama Mataram bermukim di Laweyan tahun 1546 M. Kyai Ageng Henis dulunya beragama Hindu Jawa, namun semenjak singgahnya Sunan Kalijaga di daerah ini ketika hendak menuju Kerajaan Pajang, Kyai Ageng Henis pun kemudian masuk Islam. (Wawasan, Minggu 8 Agustus 2004).

Kyai Ageng Henis bersama Sunan Kalijaga kemudian menyebarkan agama Islam di kawasan Laweyan. Seorang tokoh yang amat disegani saat itu atas pengaruh Kyai Ageng Henis akhirnya juga masuk Islam. Beliau adalah Kyai Ageng Beluk. Setelah masuk Islam, Kyai Ageng Beluk kemudian mengubah sanggarnya menjadi sebuah masjid untuk menunjang dakwahnya. Masjid ini lah yang kemudian dikenal sebagai Masjid Laweyan yang dibangun pada tahun 1546 Masehi. Agama Islam pun menyebar dengan sangat pesat di Laweyan. (Soedarmono, 2006: 20).

Batik sendiri awalnya diperkenalkan oleh Kyai Ageng Henis yang memang menyukai kesenian. Selain menyebarkan agama, Kyai Ageng Henis juga


(16)

commit to user

mengajarkan masyarakat bagaimana cara membuat batik. Jadilah Laweyan yang dulunya hanya memproduksi kain tenun berubah menjadi produsen batik. Karena letaknya yang strategis, Laweyan pun menjadi salah satu kota perdagangan yang maju. Sebagai kota perdagangan, dibangunlah sebuah bandar (pelabuhan) yang berada di sisi selatan kampung dan di sebelah timur masjid di pinggir Kali Kabangan. Namun peninggalan bandar ini sudah tidak dapat ditemukan lagi.

Kehidupan masyarakat di Laweyan ini dapat kita lihat dari bentuk-bentuk bangunan yang ada. Setiap rumah saudagar biasanya dikelilingi oleh tembok-tembok tinggi. Tujuannya adalah saat itu demi alasan keamanan. Namun walau setiap rumah dibatasi dengan tembok, antar rumah terdapat pintu yang menghubungkan rumah satu dengan yang lainnya sehingga silaturahmi tetap terjaga. Konon di beberapa rumah juga terdapat lorong bawah tanah dan bunker yang berfungsi untuk mengungsi bila terjadi serangan (Soedarmono, 2006: 21)

Ketika masa penjajahan Belanda, pada tahun 1905 muncullah organisasi Serikat Dagang Islam yang diprakarsai oleh K.H. Samanhudi, salah satu saudagar batik. Tujuan didirikannya SDI saat itu sebenernya untuk menyatukan para saudagar batik muslim bumiputra yang ada di Laweyan untuk menghadapi Belanda yang pengaruhnya semakin kuat di dalam kraton. Laweyan yang merupakan sebuah kampung para saudagar sekaligus pusat perdagangan industri batik yang mulai tumbuh pada awal abad XX. Jiwa enterpreneurship yang dimiliki masyarakat Laweyan telah mengantar pada masa kejayaan ekonomi batik dalam abad tersebut.

Lama kelamaan Laweyan berkembang menjadi pusat industri batik sejak jaman kerajaan Mataram. Dulu para saudagar batik yang tinggal di Laweyan membangun rumah besar-besar dengan tembok menjulang. Para juragan batik juga membangun lorong atau jalan rahasia di dalam rumah mereka menuju rumah juragan batik lainnya di Laweyan. Kabarnya ketika itu mereka bersikap berseberangan dengan pihak keraton. Sehingga lewat jalan-jalan rahasia mereka bisa leluasa melakukan pertemuan-pertemuan dengan sesama saudagar batik untuk membahas kondisi sosial politik saat itu.


(17)

Pada masa sebelum kemerdekaan kampung Laweyan memegang peranan yang sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia,di Laweyan ini pada tahun 1911 muncul organisasi politik yang bernama Sarekat Dagang Islam ( SDI ) yang didirikan oleh KH. Samanhudi,dalam bidang ekonomi para pedagang batik di laweyan juga memelopori pergerakan koperasi dengan mendirikan Persatoean Peroesahaan Batik Boemiputra Soerakarta ( PPBBS ) pada tahun 1935.

Kesuksesan dalam bidang ekonomi ternyata memberikan dampak terhadap predikat yang disandang. Oleh karena itu kampung Laweyan identik dengan kampung para saudagar batik. Akibatnya, corak kehidupan serta orientasi nilai masyarakat Laweyan berbeda dengan masyarakat Surakarta pada umumnya (Mulyono dan Sutrisno Kutoyo,1980: 54).

Sesuai dengan perjalanan waktu, maka para pengusaha batik Laweyan ikut berproses dari pertumbuhannya pada awal abad XX sampai masa kemerdekaan Indonesia, bahkan sampai sekarang. Sebagai kampung yang memiliki karakteristik berbeda dengan kampung lain di sekitarnya, tentu saja memiliki proses perkembangan yang berbeda dengan kampung lain di sekitarnya (Mitsuo Nakamura, 1983: 44).

Karakteristiknya sangat berbeda dengan kampung-kampung lain dikota Surakarta (juga disebut kota sala), karena itu masyarakat sala menyebut daerah itu sebagai ”kampung dagang” Laweyan. Profesi kerja para pengusaha batik itu jelas menunjukkan bidang pekerjaan yang berada di luar kebiasaan pekerjaan masyarakat feodal, yang umumnya bekerja dalam lapangan pertanian dan birokrat kerajaan. Oleh karena itu kampung Laweyan, terasa sebagai pemukiman yang ”asing” dengan lingkungan sosialnya. Dalam mayarakat feodal, telah berlaku suatu asumsi bahwa kedudukan dan kekuasaan serta hak seseorang banyak ditentukan oleh besar kecilnya kekayaan yang mereka miliki. Semakin besar kekayaan yang mereka miliki, maka semakin besar kedudukan dan kekuasaannya (Tikno Pranoto, 2004: 56).

Dengan kekayaan yang dimiliki, para saudagar memiliki pengaruh di tengah masyarakat seperti halnya para bangsawan kerajaan. Demikian pula


(18)

commit to user

sebaliknya, semakin kecil kekayaan yang mereka miliki, maka semakin kecil kedudukan dan kekuasaan yang mereka miliki. Naiknya kekayaan para pengusaha batik berhubungan erat dengan naiknya status sosial mereka sebagai ”mbok mase:, yaitu gelar untuk majikan pemilik perusahaan batik di Laweyan (Korver, 1985: 65).

Bila dibandingkan dengan kategori gelar yang ada dalam lingkungan abdi dalem istana kerajaan, maka status sosial ”mbok mase” di Laweyan itu sejajar dengan kedudukan para abdi dalem kriya pembatik dalam dinas istana. Gaya hidup orang-orang Laweyan adalah persepsi kekayaan kebudayaan mereka kelihatan menonjol menyejajarkan diri dengan para abdi dalem istana itu. Akan tetapi dari segi yang lain para saudagar Laweyan justru mengkounter gaya hidup para priyayi istana itu yang dirasa tidak cocok dengan lingkungan sosial Laweyan. Misalnya, sikap hidup berfoya-foya, gila hormat, dan poligami yang mencerminkan kondisi umum gaya hidup priyayi istana, adalah masalah yang dipandang negatif dimata saudagar Laweyan. (Soedarmono,2006: 30)

Daerah itu juga punya sebutan unik yakni Galgendu. Tempat keberadaan orang-orang kaya. Pada masa itu yang menjadi ciri khas adalah para saudagar batik dalam teknik pengerjaannya masih dengan teknik tulis tangan langsung memakai lilin atau Malam di atas kain mori memakai media canting. Mereka telah terbiasa dengan batik gagrak atau gaya Surakarta. Sementara yang menanamkan pertama kali pengaruh itu adalah Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwono II.

Pasalnya sejak geger Kartosuro atau yang disebut pula geger Pecinan, lantaran para pemberontaknya adalah warga Tiong Hoa masa itu, tatanan dalam menggunakan kain batik menjadi kabur. Tak ada perbedaan jelas motif batik antara bangsawan dan kawula, sehingga sulit membedakan status mereka (Wawasan, Minggu 8 Agustus 2004).

Lantas pada pemerintahan SISKS PB III dikeluarkan pernyataan bahwa ada beberapa jenis kain batik yang menjadi larangan jika dipakai kawula, yakni batik Lar, parang yang berujung seperti paruh podang, bangun tulak lenga teleng berwujud tumpal dan batik cemukiran berbentuk ujung daun yang merembet di


(19)

tanah. Atas larangan itu, maka para saudagar yang menjadi abdi dalem kraton memutar otaknya membuat kreasi baru, meski tidak keluar dari gaya Surakarta.

Dalam perkembangannya Laweyan pun kemudian muncul sebagai sebuah pusat bisnis yang sangat berpengaruh. Tidak hanya bagi kerajaan Mataram, tapi juga sampai ke luar kerajaan. Batik-batik gaya Surakarta pun secara umum mulai merajai ke berbagai pelosok tanah air. Diantaranya ragam hias Sawat, Slobog, Sido Mukti, Sido Luhur, Ratu Ratih, Truntum, Satrio Manah, Pamiluto. Sementara untuk motif batik dalem kraton sendiri terdapat diantaranya motif Semen Rama yang dibuat pada masa PB IV tahun 1787 sampai tahun 1816. Motif Indrabrata, Bayubrata, Agnibrata, Babon Angrem, Semen Sida Raja, Naga Raja, Semen Candra, Semen Prabu, Parang Kusuma, Wirasat dan lain-lain. Dari kesemua desain motif itu, rata-rata mempunyai makna filosofi yang cukup tinggi (Wawasan, Minggu 8 Agustus 2004).

Untuk kasus pembatikan di Laweyan Surakarta, dapat dikatakan bahwa perdagangan dan perkembangan batik mengalami pasang surut yang sangat tajam, sehingga tinggal beberapa orang yang bergerak dalam bidang bisnis batik tradisional. Dalam tahun 1950-an industri batik Laweyan mengalami perkembangan yang pesat. Perkembangan ini terjadi ketika Koperasi Batik masuk menjadi anggota GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) dan peran serta pemerintah. Kampung Laweyan tumbuh di tengah-tengah masyarakat birokrat kerajaan dan rakyat biasa. Secara sosiologis dapat dikatakan bahwa masyarakat Laweyan sebagai inclave society. Keberadaan masyarakat tersebut sangat berbeda dengan komunitas yang lebih besar di sekitarnya, sehingga keberadaan dan interaksi sosial demikian tertutup (Geertz, 1973: 74).

Untuk mempertahankan komunitasnya, lebih banyak tergantung pada masyarakat Laweyan itu sendiri. Bertambahnya kekayaan para pengusaha batik ternyata erat kaitannya dengan naiknya status sosial para pengusaha batik. Hal ini dibuktikan dengan pemberian gelar mbok mase, yaitu gelar untuk para majikan (pengusaha besar) batik di Laweyan. Sebagai suatu konstelasi sosial, tentu saja pemilikan gelar tersebut memiliki implikasi wibawa terhadap hak-hak yang mereka miliki dalam masyarakar tradisional (Van Neil,1984: 52).


(20)

commit to user

Kebangkitan klas menengah Jawa, justru lahir ditengah-tengah sturktur masyarakat feodal yang justru memperhatikan pada budaya ”feodom (sistem Apanage)”, dan cenderung menolak iklim perdagangan. Memang dalam beberapa hal, proses pertumbuhan kelompok klas menengah Jawa di Laweyan ada perbedaan yang cukup berarti. Ada hubungan historis dan fungsional antara islam dan perdagangan maka kasus yang terjadi di Laweyan justru menunjukkan fenomena berbeda, bahwa para pengusaha sebagian besar lahir dari kalangan islam abangan (Geertz, 1973: 20).

Menurut Castle, munculnya kelompok pengusaha batik Laweyan justru berada ditengah-tengah struktur masyarakat feodal yang hanya mengenal dua klas, klas pengusaha dan klas rakyat. Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik terhadap perkembangan industri batik di kalangan pribumi khususnya masyarakat Laweyan, penulis terdorong untuk mengangkatnya menjadi sebuah judul

penulisan skripsi dengan judul “ Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan

Eksistensi Membangun Perekonomian Muslim)”.

B. Perumusan Masalah

Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah perkembangan batik di Laweyan Surakarta Abad XIX -

XX?

2. Bagaimanakah peran politik saudagar Laweyan?

3. Bagaimanakah peran dan eksistensi saudagar Laweyan dalam membangun perekonomian Muslim?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan :

1. Perkembangan batik di Laweyan Surakarta abad XIX - XX. 2. Peran politik saudagar Laweyan.

3. Peran dan eksistensi saudagar Laweyan dalam membangun perekonomian Muslim.


(21)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat :

a. Dapat memberikan sumbangan bagi penelitian sejarah terutama sejarah kebudayaan dan sejarah dalam bidang perekonomian.

b. Memberikan pengetahuan tentang dampak perkembangan industri batik tradisional bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat Laweyan

khususnya dan masyarakat Surakarta pada umumnya.

c. Memberikan sumbangan lebih lanjut, khususnya mengenai kelebihan dan kekurangan demi kemajuan industri batik tradisional di Laweyan

Surakarta.

2. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini bermanfaat :

a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar sarjana kependidikan program pendidikan sejarah fakultas keguruan dan ilmu pendidikan universitas sebelas maret surakarta.


(22)

commit to user

8

BAB II KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Struktur Sosial Masyarakat Jawa

Dalam struktur sosial masyarakat Jawa di bagi menjadi tiga golongan yaitu, priyayi, santri dan abangan. Istilah itu menjadi terkenal saat Clifford Geertz melakukan penelitian tentang masyarakat Jawa pada tahun 1960-an.

Dalam kebudayaan Jawa, istilah priyayi atau berdarah biru merupakan

suatu kelas sosial yang mengacu kepada golongan bangsawan. Suatu golongan tertinggi dalam masyarakat karena memiliki keturunan dari keluarga kerajaan. Golongan priyayi tertinggi disebut Priayi Ageng (bangsawan tinggi). Gelar dalam golongan ini terbagi menjadi bermacam-macam berdasarkan tinggi rendahnya suatu kehormatan. Beberapa gelar dari yang tertinggi hingga dengan hanya satu gelar saja yaitu Raden.

Gelar seorang priyayi juga dapat meningkat seiring dari usianya. Misalnya ketika seorang anak laki-laki lahir diberi nama Bomantara, ia bergelar Raden Mas, jadi nama lengkapnya adalah Raden Mas Bomantara, ketika menginjak akil balik gelarnya bertambah satu kata menjadi Bandara Raden Mas, ketika menapak dewasa (18 atau 21 tahun) bertambah lagi menjadi Bandara Raden Mas Aryo. Pada saat dewasa dan telah memiliki jabatan dalam hierarki kebangsawanan, ia akan memiliki gelar yang berbeda dari gelar yang telah ia miliki. Misalnya ia menduduki jabatan pemimpin ksatrian maka gelarnya akan berubah menjadi Gusti Pangeran Adipati Haryo. Dan setiap kedudukan yang ia jabat ia akan memilki gelar tambahan atau gelar yang berubah nama.

Kelompok santri digunakan untuk mengacu pada orang yang memiliki pengetahuan dan mengamalkan agama. Santri adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren. Pondok Pesantren adalah sekolah pendidikan umum yang persentasi ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan

agama Islam. Kebanyakan muridnya tinggal di asrama yang disediakan


(23)

Abangan adalah sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks. Istilah ini, yang berasal dari kata bahasa Jawa yang berarti merah, pertama kali digunakakan oleh Clifford Geertz, namun saat ini maknanya telah bergeser.

Abangan dianggap lebih cenderung mengikuti sistem kepercayaan lokal

yang disebut adatdaripada hukum Islam murni (syariah). Dalam sistem

kepercayaan tersebut terdapat tradisi-tradisi Hindu, Buddha, dan animisme. Namun beberapa sarjana berpendapat bahwa apa yang secara klasik dianggap bentuk varian Islam di Indonesia, seringkali merupakan bagian dari agama itu sendiri di negara lain. Sebagai contoh, Martin van Bruinessen mencatat adanya kesamaan antara adat dan praktik yang dilakukan dahulu kala di kalangan umat Islam di Mesir, sebagaimana yang dijelaskan oleh Edward Lane.

Abangan digunakan untuk mereka yang bukan priyayi dan juga bukan santri. Namun penggolongan ini tidaklah terlalu tepat, karena pengelompokkan priyayi - non priyayi adalah berdasarkan garis keturunan seseorang, sedangkan pengelompokkan santri - abangan dibuat berdasarkan sikap dan perilaku seseorang dalam mengamalkan agamanya (Islam). Dalam realita, ada priyayi yang santri dan ada pula yang abangan, bahkan ada pula yang non muslim.

Skema konsepsi bagi pembagian masyarakat Jawa yang dibuat oleh Clifford Geertz berdasarkan penelitian lapangan di Majokuto adalah tiga tipologi budayawi utama;abangan, santri, dan priyayi. Tiga varian tersebut secara ringkas dideskripsikan sebagai berikut :

Abangan yang mewakili sikap menitikberatkan segi-segi animisme

sinkretisme Jawa yang menyeluruh, dan secara luas berhubungan dengan unsur-unsur petani di antara penduduk; Santri yang mewakili sikap menitikberatkan pada segi-segi Islam dalam sinkretisme tersebut, pada umumnya berhubungan dengan unsur pedagang (maupun juga dengan unsur-unsur tertentu di antara para petani); dan Priyayi yang sikapnya menitikberatkan pada segi-segi Hindu dan berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi.


(24)

commit to user

Istilah abangan oleh Clifford Geertz diterapkan pada kebudayaan orang desa, yaitu para petani yang kurang terpengaruh oleh pihak luar dibandingkan dengan golongan-golongan lain di antara penduduk. Adapun istilah santri diterapkan pada kebudayaan muslimin yang memegang peraturan dengan keras dan biasanya tinggal bersama di kota dalam perkampungan dekat sebuah masjid yang terdiri dari para pedagang di daerah-daerah yang lebih bersifat kota. Istilah priyayi diterapkannya pada kebudayaan kelas-kelas tertinggi yang pada umumnya merupakan golongan bangsawan berpangkat tinggi atau rendah.

Pembagian tersebut menurut Clifford Geertz (1973: 25) merupakan pembagian yang dibuat sendiri oleh orang-orang Jawa sendiri. Namun menurut beberapa peneliti berikutnya pembagian tersebut telah mendapat banyak kritik. Salah satu diantaranya dianggap kurang tepat dan tidak relevan, jika dikaitkan dengan perkembangan masyarakat Jawa sekarang.

Menurut Harsja W. Bachtiar (1981: 25) pembagian tersebut kurang tepat, karena klasifikasi abangan dan santri selalu dikaitkan dengan perilaku keagamaan masyarakat. Seorang santri lebih taat kepada agama dibandingkan dengan seorang abangan, sedangkan ukuran ketaatan itu tergantung kepada nilai-nilai pribadi orang-orang yang menggunakan istilah-istilah itu. Demikian juga istilah priyayi tidak bisa dianggap sebagai kategori dari klasifikasi yang sama, karena ada orang-orang priyayi yang taat kepada agama, dan karenanya ia disebut santri, dan ada orang-orang priyayi yang tidak taat atau tidak seberapa memperhatikan soal-soal agama, dan karenanya ia disebut abangan. Istilah priyayi biasanya diperuntukan kepada orang-orang yang memiliki status sosial tertentu yang berbeda dari rakyat biasa yang disebut wong cilik, wong widah atau kaum mayoritas, dan wong tani.

Koentjaraningrat (1963: 30) telah menggambarkan stratifikasi Jawa dengan mencoba menganalisa dan membuat perbedaan yang jelas antara pembagian-pembagian masyarakat Jawa yang horisontal dan vertikal. Menurutnya orang jawa sendiri membedakan empat tingkat sosial sebagai stratifikasi status; yaitu dhara (bangsawan), priyayi (birokrat), wong dagang atau


(25)

2. Kebudayaan Jawa

a. Pengertian Kebudayaan.

Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa, dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa Sansekerta budhayah yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal. Dalam bahasa Inggris, kata budaya berasal dari kata culture, dalam bahasa Latin, berasal dari kata Colera yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, mengembangkan tanah (Elly M Setiadi, 2006: 27).

Banyak batasan tentang budaya yang pada dasarnya bertolak dari sudut pandang masing-masing pemberi batasan itu. Salah seorang ahli yaitu Kroeber mengemukakan batasan yang agak lengkap; ”budaya adalah keseleruhan kompleks yan terdiri atas pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat kebiasaan dan kapabilitas lain, serta kebiasaan apa saja yang diperoleh seorang manusia sebagai anggota suatu masyarakat.” Batasan lain seperti dikemukakan Linton; ”budaya berarti keseluruhan bawaan sosial umat manusia”. Herkovitz juga mengemukakan ”budaya adalah bagian buatan manusia yang berasal dari lingkungan manusia” (Nani Tuloli, 2003:2).

Kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Kebudayan dalam arti ilmu antropologi adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.

Pengertian ini berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Berikut pengertian budaya atau kebudayaan dari beberapa ahli:

1. E. B. Tylor, budaya adalah sesuatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

2. R. Linton, kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, di mana unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya.


(26)

commit to user

3. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, mengatakan bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

4. Herkovits, kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia (Koentjaraningrat, 1985: 181-182).

Beberapa ilmuwan seperti Talcott Parson (Sosiolog) dan Al Kroeber (Antropolog) menganjurkan untuk membedakan wujud kebudayaan secara tajam sebagai suatu sistem. Di mana wujud kebudayaan itu adalah sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola. Demikian pula J. J. Honigman dalam bukunya The World of Man (1959: 89) membagi budaya dalam tiga wujud, yaitu: ideas, activities, and artifact. Sejalan dengan pikiran para ahli tersebut, Koentjaraningrat mengemukakan bahwa kebudayaan itu dibagi atau digolongkan dalam tiga wujud, yaitu:

1. Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan. Wujud tersebut menunjukan wujud ide dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tak dapat diraba, dipegang, ataupun difoto, dan tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Kebudayaan ideal ini disebut pula tata kelakuan, hal ini menunjukan bahwa budaya ideal mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memeberi arah kepada tindakan, kelakuan, dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud tersebut dinamakan sistem sosial, karena menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Wujud ini bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan karena dalam sistem sosial ini terdapat aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi dan berhubungan serta bergaul satu dengan yang lainnya dalam masyarakat. Lebih jelasnya tampak dalam bentuk perilaku dan bahasa pada saat mereka berinteraksi dalam pergaulan hidup sehari-hari di masyarakat. Kesimpulan, sistem sosial ini merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat konkret, dalam bentuk perilaku dan bahasa.


(27)

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud yang terakhir ini disebut pula kebudayaan fisik. Di mana wujud budaya ini hampir seluruhnya merupakan hasil fisik (aktivitas perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat). Sifatnya paling konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto yang berwujud besar ataupun kecil. Contohnya: Candi Borobudur (besar) dan Kain Batik (kecil). Kesimpulannya, kebudayaan fisik ini merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat konkret, dalam bentuk materi/artefak (Koentjaraningrat, 1993:5).

b. Kebudayaan Jawa.

Kebudayaan Jawa bukanlah suatu kesatuan yang homogen, melainkan beraneka ragam. Keanekaragaman kebudayaan Jawa dapat dilihat dari aneka ragam logat bahasa, makanan, upacara-upacara adat, dan kesenian tradisional.

Manusia Jawa adalah menjadi individu atau kelompok individu di bawah pengarahan pola-pola kebudayaan Jawa beserta sistem-sistem maknanya yang tercipta secara historis. Pola-pola kebudayaan Jawa tersebut, melainkan mengalami perubahan-perubahan. Semakin banyak dan semakin kompleks simbol-simbol yang diadopsi, apalagi dapat memproduksi simbol-simbol Jawa ̏barȕ, maka semakin tinggi derajat kejawan seseorang atau sekelompok orang. Orang dewasa normal yang mampu bertindak menurut pola-pola kebudayaan Jawa beserta sistem-sistem maknanya, dikatakan sampun Jawa (sudah menjadi Jawa). Sebaliknya anak-anak kecil, orang-orang gila, orang-orang yang tidak bermoral, dikatakan durung Jawa (belum Jawa). Dengan demikian menjadi Jawa memerlukan proses yang dapat berlangsung lama (Rustopo, 2007:10-27).

Daerah kebudayaan Jawa itu luas, yaitu meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari pulau Jawa. Daerah-daerah tersebut secara kolektif disebut daerah kejawen. Sebelum terjadi perubahan-perubahan status wilayah seperti sekarang ini, daerah-daerah itu ialah Banyumas, Kedu, Yogyakarta , Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri. Daerah di luar itu dinamakan Pesisir dan Ujung Timur. Oleh sebab itu, secara dikotomis wilayah kebudayaan spiritual Jawa pun dapat


(28)

commit to user

dibedakan antara kebudayaan spiritual pesisir dan kebudayaan spiritual pedalaman (Imam S, 2005: 53). Sehubungan dengan hal itu, maka dalam seluruh rangka kebudayaan Jawa ini, dua daerah luas bekas kerajaan Mataram sebelum terpecah pada tahun 1755, yaitu Yogyakarta dan Surakarta adalah merupakan pusat dari kebudayaan tersebut.

Dalam pergaulan-pergaulan hidup maupun perhubungan-perhubungan sosial sehari-hari mereka berbahasa Jawa. Pada waktu mengucapkan bahasa daerah ini, seseorang harus memperhatikan dan membeda-bedakan keadaan orang yang diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan, berdasarkan usia maupun status sosialnya.Ada dua jenis bahasa Jawa yaitu bahasa Jawa Ngoko dan bahasa Jawa Krama.

Di dalam kenyataan hidup masyarakat orang Jawa, orang masih membeda-bedakan antara orang priyayi yang terdiri dari pegawai negeri dan kaum terpelajar dengan orang kebanyakan yang disebut wong cilik, seperti petani-petani, tukang-tukang, dan pekerja kasar lainnya, disamping keluarga kraton dan keturunan bangsawan atau bendara-bendara. Dalam kerangka susunan masyarakat ini secara bertingkat yang berdasarkan lapisan atas gensi-gensi itu, kaum priyayi dan bendara merupakan lapisan atas, sedangkan wong cilik menjadi lapisan masyarakat bawah. Kemudian menurut kriteria pemeluk agamanya, orang Jawa biasanya membedakan orang santri dengan orang agama kejawen. Di berbagai daerah di Jawa baik yang bersifat kota maupun pedesaan orang santri menjadi mayoritas, sedangkan di lain daerah orang beragama kejawen-lah yang dominan (Koentjaraningrat. 1976: 329-344).

Perjalanan budaya Jawa yang berabad-abad bagaimanapun mengalami transformasi. Transformasi dapat diandaikan sebagai suatu proses pengalihan total ke suatu bentuk budaya baru yang akan mapan. Juga dapat dibayangkan sebagai suatu proses yang lama dan bertahap-tahap, atau sebaliknya sebagai suatu titik balik yang begitu cepat. Akan tetapi, dalam proses perubahan itu, unsur-unsur budaya yang menjadi pilar-pilar penyangganya pada suatu saat akan meruyak, membusuk, dan tidak dapat berfungsi lagi sebagai pengikat kesatuan kebuadayaan. Yang menarik dari transformasi budaya di Jawa adalah bahwa


(29)

nenek moyang kita bersikap luwes, lentur, adaptable, dan kreatif dalam menghadapi berbagai pengaruh (asing) dari luar (Rustopo, 2007:28).

Gaya Jawa mulai muncul dalam khazanah busana raja berlawanan dengan gaya ”Belanda”, yang ini sendiri juga merupakan hasil dari lintas-busana kultural. Pada akhir abad kesembilan belas, jas rokkie Jawi merupakan alternatif mode yang mencampurkan gaya-gaya ”Belanda” dan ”Jawa” tanpa sepenuhnya menghapuskan perbedaan antara keduanya. Busana yang disebut ”Langenharjan” ini (dari nama tempat ketika pertama kali dipakai) yang menampilkan jas rokkie yang sudah diubah itu merupakan gaya yang benar-benar bukan Belanda tanpa buntut, dengan keris, dan kain batik sebagai bawahan, namun jelas bukan busana resmi di Keraton. Jas rokkie menjadi busana yang dipilih bagi pengantin-pengatin laki-laki priyayi pada pergantian abad ke duapuluh yang ingin mencapai, seperti Mangkunagara IV sendiri, puncak-puncak prestise ”Jawa”.

Jas yang dipribumikan ini akan merupakan busana ritual yang diisyaratkan untuk (yang kemudian disebut sebagai) pengantin laki-laki Jawa Tengah ”tradisional”, sebagai gambaran-gambaran dari subjek-subjek kultural yang dimaksudkan untuk memunculkan kembali wibawa ”Jawa”. Setelah terbukkti memiliki wewenang dan kesetiaan kultural dalam kreasi-kreasi seperti Weddhatama dan Wiwahan Dalem atau menciptakan model ”jas Jawa”, maka menjelang tahun 1870-an, garis keturunan Mangkunagara tampaknya telah mapan mandiri.

Ilmu mewarnai batik sudah menjadi pusaka dari Tanah Djawa, yang semenjak dahulu kala oleh orang-orang Eropa, meskipun mereka mempunyai banyak pengetahuan-pengetahuan keterampilan yang luhur, akan tetapi sampai hari ini belum bisa menyamai produk asli dari Jawa. Mewarnai batik sebagai satu lagi bentuk dari suatu pengetahuan esoterik dari ”Tanah Jawa” yang tidak bisa disamai oleh Barat, sebagai suatu sarana produksi yang hasil-hasilnya bisa diterapkan sebagai asli sebagaimana berbagai jiwa-jiwa ”Jawa” akan mengidentifikasi diri mereka berdasarkan produk-produk itu. Batik ”asli Jawa” dari Surakarta merupakan inti dari bisnis busana ini (John Pemberton, 2003:152-181).


(30)

commit to user

Tradisi-tradisi dalam kebudayaan secara kasar dapat di kelompokkan menjadi dua yaitu tradisi besar dan tradisi kecil. Tradisi kecil hidup di kalangan rakyat kecil yang meneruskan warisan tradisi itu dari generasi ke generasi tanpa banyak refleksi dan perubahan sebagai hasil refleksi. Tradisi besar hidup di kalangan atas dan masyarakat yang lebih refleksif dan mampu mengungkapkan hasil repleksi itu. Hal ini tidak berarti bahwa tradisi-tradisi itu tidak saling mempengaruhi. Misalnya, tradisi besar merefleksikan apa yang hidup di kalangan rakyat dan kemudian mengungkapkan dalam bentuk pementasan wayang yang bias di nikmati oleh tradisi kecil dan dengan demikian juga mempengaruhi apa yang hidup dalam tradisi kecil. Kedua arus tersebut tidaklah terpisah dan statis, tetapi saling mempengaruhi dan dinamis.

Melalui pengelompokan itu dapat diduga bahwa gerakan pembebasan lahir di kalangan rakyat atau dalam tradisi kecil. Sedangkan dalam tradisi besar, dalam sastra jawa misalnya, lebih ditemukan unsur pembebasan spiritual individu, bukan pembebasan sosial kolektif. Namun, refleksi mengenai gerakan pembebasan itu di jalankan dalam tradisi besar dan akhirnya mempengaruhi pada tradisi kecil.

Perubahan tradisi budaya bukan hanya di sebabkan oleh pengaruh-pengaruh internal, tetapi juga oleh pengaruh-pengaruh dari luar. Secara umum dapat dikatakan bahwa kebudayaan jawa dan indonesia umumnya sekarang ini berada dalam masa transisi dari kebudayaan tradisional ke kebudayaan pasca tradisional. Tidak ada satu kebudayaanpun yang bebas dari macam-macam pengaruh luar, khususnya pada era globalisasi sekarang ini

Perubahan tradisi budaya tidaklah tanpa masalah bagi masyarakat. Pada umumnya, perubahan itu akan membawa disorientasi dan krisis nilai. Nilai-nilai lama sudah tidak berlaku lagi dan nilai baru belum terintegrasi sepenuhnya. Lebih parah lagi jika tradisi feodal patriarkal dimanipulasikan oleh kekuasaan dan kekuatan yang tidak adil dengan didukung oleh sarana-sarana pasca tradisional. Kekuasaan tidak adil kemudian dilegitimasikan melalui slogan-slogan keselarasan, kesejukan, harmoni, kekeluargaan dan sebagainya. Akibatnya lebih parah dari tradisi tradisional. Demikianlah terjadi pada tradisi jawa yang dibidani


(31)

oleh mantan Presiden Soeharto dan lingkungan kekuasaannya (Sindhunata, 1999 : 29).

Terhadap macam-macam pengaruh, identitas budaya dapat mereaksi dalam bentuk sektarianisme atau primordialisme. Bentuk reaksi ini melihat pengaruh-pengaruh baru sebagai ancaman, dan oleh karena itu mengambil sikap bermusuhan,bahkan dapat agresif. Pengaruh-pengaruh luar juga dapat diterima secara kritis dan diintegrasikan dalam identitas budaya. Wujudnya bergantung pada pengolahan kritis kelompok penyangga kebudayaan itu. Sejalan dengan kemungkinan-kemungkinan itu, kebudayaan jawa bukanlah suatu tradisi singular, melainkan plural. Bukan hanya dalam arti terdapat tradisi besar dan tradisi kecil, melainkan juga dalam tradisi besar dan tradisi kecil terdapat kemajemukan.

Pengaruh dan perkembangan kebudayaan juga membawa identitas yang menurut istilah dislocated, tidak mempunyai tempat yang tepat. Identitas kebudayaam dengan seseorang dapat berubah-ubah atau bahkan dapat dengan beberapa arus sekaligus. Identitas ini didasarkan atas pilihan-pilihan politis, seperti gerakan perempuan, gerakan anti apartheid, gerakan pembebasan nasional, anti nuklir, gerakan ekologis. Identitas menjadi terbuka, dapat hilang dan dapat dimiliki secara baru, sebab ada tidaknya tidaklah secara otomatis, tetapi berdasarkan pada pilihan. Dalam arti ini, identitas tidak ditentukan oleh karena pengaruh etnis jawa misalnya, tetapi karena pilihan moral (Stuart hall, 1992 : 280).

3. Saudagar dan Usaha Batik

Saudagar berasal dari bahasa Persia atau dari bahasa Sanskerta (terdiri dari dua suku kata, sau= seribu, dan dagar = akal) berarti seribu akal. Dalam pengertian sehari-hari saudagar adalah pedagang besar yang lincah, kreatif dan punya jaringan usaha yang cukup luas. Saudagar pada dasarnya memang hanya sebuah profesi. Namun sejarah membuktikan dalam menjalankan profesinya itu para saudagar selain berperan sebagai pedagang yang mencari keuntungan ia juga menjalankan misi sebagai budayawan dan bahkan pahlawan bagi satu suku atau bangsa.


(32)

commit to user

Sedangkan munculnya pedagang batik di Laweyan Surakarta pada awal abad ke-20 menunjukkan adanya dinamika sosial ekonomi yang penting di Kota Surakarta. Kegiatan perdagangan yang dikendalikan oleh Mbok Mase juga menunjukkan bahwa peran perempuan dalam kegiatan ekonomi perkotaan cukup menonjol. Komunitas Laweyan dapat dipandang sebagai ”counter-elite” terhadap kekuasaan yang berpusat di karaton maupun terhadap hegemoni kekuasaan asing. Etos kerja dan jiwa enterpreunership yang tumbuh di Laweyan bertumpu pada nilai-nilai tradisi Jawa dan Islam. Sejarah lokal Laweyan menunjukkan bahwa kegiatan perdagangan bukanlah kultur asing di tengah-tengah budaya Jawa yang seringkali hanya diidentikan dengan budaya agraris (Soedarmono, 2006: 40).

Munculnya saudagar batik di laweyan membawa dampak yang cukup besar bagi kampung laweyan. Tidak hanya dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang politik. Pada sebelum kemerdekaan kampung Laweyan memegang peranan yang sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia,di Laweyan ini pada tahun 1911 muncul organisasi politik yang bernama Sarekat Dagang Islam ( SDI ) yang didirikan oleh KH. Samanhudi,dalam bidang ekonomi para pedagang batik di laweyan juga memelopori pergerakan koperasi dengan mendirikan Persatoean Peroesahaan Batik Boemiputra Soerakarta ( PPBBS ) pada tahun 1935 (Mulyono dan Sutrisno Kutoyo,1980: 21).

B. Kerangka Berpikir

Keterangan :

Masyarakat

Santri

Batik

Perkembangan Perekenomian

Nasional


(33)

Masyarakat di Jawa terbagi dalam tiga golongan yaitu golongan Priyayi, golongan Santri, dan golongan Abangan. Saudagar adalah para pengusaha-pengusaha sukses yang mampu mengangkat perekonomian di daerahnya.

Saudagar yang cukup berkembang di kota Solo adalah saudagar batik. Saudagar-saudagar batik di kota Solo berkumpul dalam satu wilayah yaitu di daerah kampung Laweyan. Di dalam kampung Laweyan ini terdapat banyak saudagar-saudagar batik sukses yang disebut “ mbok mase”.

Keberadaan saudagar-saudagar batik di Laweyan membawa dampak baik terhadap perkembangan ekonomi di kampung tersebut. Selalin itu keberadaan saudagar-saudagar batik tersebut sangat berperan penting dalam peningkatan ekonomi muslim di Laweyan.


(34)

commit to user

20

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat Dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan yaitu mendapatkan data tertulis di perpustakaan atau tempat lain di mana data itu diketemukan. Adapun perpustakaan atau tempat-tempat yang penulis gunakan untuk melakukan penelitian ini, adalah:

a. Perpustakaan Program Pendidikan Sejarah / Jurusan PIPS, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Perpustakaan Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

c. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.

d. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

e. Perpustakaan Pusat Universitas Gajah Mada Yogyakarta. f. Perpustakaan Universitas Negeri Yogyakarta.

g. Perpustakaan Kodya Surakarta.

h. Perpustakaan Monumen Pers.

2. Waktu Penelitian

Waktu yang digunakan untuk penelitian ini direncanakan mulai dari disetujuinya judul skripsi yaitu pada bulan Juli 2009, sampai dengan selesainya penulisan skripsi ini yaitu pada bulan Januari 2011.

B. Metode Penelitian

Metode adalah suatu prosedur, teknik, atau cara melakukan penyelidikan yang sistematika suatu ilmu (sains), seni, atau disiplin tertentu. Pemilihan metode penelitian yang tepat harus mempertimbangkan kesesuain dengan obyek atau masalah yang di teliti. Metode penelitian dipilih berdasarkan beberapa


(35)

petimbangan antara lain tujuan penelitian, obyek penelitian dan fenomena atau waktu yang terjadinya peristiwa yang diteliti. Metode adalah suatu cara kerja yang utama untuk mencapai tujuan dengan menggunakan alat tertentu (Winarno Surachmad, 1978: 25).

Metode historis digunakan berdasarkan data masa lampau yang merupakan hasil karya sastrawan. Berdasarkan data temuan dapat direkonstruksikan peristiwa dimasa lampau, keadaan sosial budaya dan politik serta biografi dari saudagar-saudagar di laweyan yang mempunyai peran penting dalam perkembangan batik laweyan.

Dalam metode historis, Louis Gottschalk (1975: 108), terdapat kegiatan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Rekonstruksi yang imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses historiografi. Dengan menggunakan metode historis dan historiografi yang sering dipersatukan dengan nama metode historis, sejarawan berusaha untuk merekonstruksikan masa lampau secara sistematis dan obyektif.

Menurut Hadari Nawawi (1993: 78), metode historis adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lampau atau peninggalan-peninggalan baik untuk memahami kejadian atau suatu keadaan yang berlangsung pada masa lampau terlepas dari keadaan masa sekarang maupun untuk memahami kejadian atau keadaan masa sekarang dalam hubungannya dengan kejadian atau keadaan masa lampau.

Metode sejarah adalah prosedur-prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data-data masa lampau atau peninggalan-peninggalan, untuk memahami suatu peristiwa yang berlangsung pada masa lampau. Dengan kata lain, metode sejarah merupakan seperangkat asas dan kaidah-kaidah yang sistematis untuk membantu secara efektif dalam mengumpulkan sumber-sumber sejarah, menilainya secara kritis dan menyajikan suatu sintesis, yang dicapai dalam bentuk historiografi (Ibrahim Alfian, 1987: 45).

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode sejarah adalah kegiatan untuk mengumpulkan, menguji dan menganalisis secara kritis mengenai data rekaman-rekaman dan peninggalan-peninggalan masa


(36)

commit to user

lampau serta usaha untuk melakukan sintesa dan menyajikanya ke dalam bentuk historiografi.

C. Sumber Data

Dalam metode historis dikenal sumber-sumber tulisan dan lisan. Menurut Louis Gottschalk (1975: 110) kedua sumber tersebut masih dibagi lagi menjadi dua jenis sumber yakni sumber primer dan sumber sekunder.

Data sejarah adalah segala sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung menceritakan kepada kita tentang suatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (Helius Sjamsudin, 1994:2).

Sumber yang dikumpulkan harus sesuai dengan jenis sejarah yang akan ditulis. Sumber sejarah, bila dilihat dari bahannya, terdiri atas dua macam : tertulis atau dokumen dan tidak tertulis atau artefact. Sumber tertulis itu dapat berupa surat-surat, notulen rapat, kontrak kerja, bon-bon, dan sebagainya. Sedangkan artefact dapat berupa foto-foto, bangunan atau alat0alat. Bila dilihat dari urutan penyampaiannya, sumber dapat dibedakan menjadi sumber primer dan sumber sekunder. Sumber sejarah disebut primer bila suatu kejadian atau peristiwa sejarah disampaikan oleh saksi mata. Adapun yang dinamakan sumber sekunder adalah apabila suatu peristiwa disampaikan bukan oleh saksi mata (Kuntowijoyo, 2001:98-100).

Sumber primer yang penulis gunakan di dalam penelitian ilmiah ini adalah berupa buku-buku literature, maupun artikel-artikel yang relevan dengan penelitian. Sumber tertulis sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah “Mbok Mase Pengusaha Batik di Laweyan Solo Awal abad 20”, Karangan Drs. Soedarmono.

Adapun sumber sekunder yang digunakan di dalam penelitian ini berupa koran dan majalah yang terbit sekitar tahun 1970-an, diantaranya adalah Koran Suara Merdeka dan Koran Kompas. Sumber primer yang berasal dari koran tersebut berisi tentang saudagar-saudagar laweyan pada abad XIX-XX.


(37)

D. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka dalam melakukan pengumpulan data digunakan teknik kepustakaan, yaitu melakukan pengumpulan data tertulis melalui literatur-literatur dan dokumen-dokumen.

Dalam teknik kepustakaan ini, dilakukan kegiatan membaca dan pengkajian terhadap berbagai mater (data) yang sesuai dengan tema penelitian ini. Dalam pengumpulan tiap-tiap data dilakukan kritik ekstern. Kritik ekstern berfungsi menanyakan masalah apakah data tersebut autentik atau palsu yaitu dengan meneliti bahan yang digunakan atau jenis tulisan, gaya bahasa dan lain sebagainya. Setelah teruji melalui kritik ekstern, kemudian dilanjutkan dengan kritik intern untuk menguji kredibilitas sumber, apakah isi pernyataan, fakta-fakta dan ceritanya dapat dipercaya. Setelah data-data terkumpul berkenaan dengan masalah atau tema tertentu maka dilanjutkan interprestasiyang berfungsi untuk membandingkan antara data yang satu dengna data yang lain, setelah melalui proses kritik sehingga ditemukan fakta sejarah yang obyektif. Fakta-fakta sejarah yang disajikan dalam bentuk tulisan.

E. Teknik Analisis Data

Penelitian ini diadakan dengan tujuan pokok adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan untuk mengungkap tentang Saudagar Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Membangun Perekonomian Muslim), dalam mencapai tujuan pokok tersebut maka perlu diadakan analisis data.

Penelitian ini mnggunakan analisis data historis, yaitu analisis yang mngutamakan ketajaman dalam melakukan interpretasi data sejarah atau suatu analisis yang memiliki ketajaman dan kekuatan dalam menginterpretasikan data sejarah. Interprestasi dilakukan karena fakta sejarah tidak dapat berbicara sendiri. Kategoridari fakta-fakta sejarah mempunyai sifat yang sangat komplek, sehingga suatu fakta tidak dapat mengerti atau dilukiskan oleh fakta itu sendiri (Sartono Kartodirjo, 1982: 65).


(38)

commit to user

Fakta merupakan bahan yang utama yang dijadikan sejarawan utnuk menyusun historiografi, dan fakta itu sendiri merupakan hasil dari pemikiran para sejarawan, sehingga fakta yang terkumpul mengandung subyektifitas.

Suatu kenyataan bahwa sulit menemukan fakta yang benar-benar mencerminkan keadaan yang sesungguhnya, fakta-fakta yang telah tersusun selalu mengandung unsur subyektifitas dari sejarawan, sehingga untuk dapat menganalisis diperlukan konsep-konsep dan teori-teori yang berfungsi sebagai kriteria penyeleksian, identifikasidan pengklasifikasian (Sartono Kartodirjo,1982).

Berkaitan dengan penyajian atau presentasi fakta, interpretasi dan kesimpulan yang cenderung memiliki subyektifitas, terutama dalam abstraksi fakta, maka seorang teoritik dan metodologi yang kuat. Fakta sejarah yang telah melalui teknik analisis, kritik sumber dan interpretasi akan menjadi cerita sejarah yang dapat dipercaya kebenarannya (Taufik Abdullah, 1978: 65).

F. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian adalah langkah-langkah penelitian awal yaitu persiapan pembuatan proposal sampai pada penulisan hasil penelitian. Karena penelitian ini menggunakan metode historis, maka ada empat tahap yang harus dipenuhi. Empat langkah itu terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Prosedur penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Keterangan :

a. Heuristik

Heuristik berasal dari kata Yunani yang artinya memperoleh. Dalam pengertiannya yang lain adalah suatu teknik yang membantu kita untuk mencari

Heuristik Kritik Intepretasi Historiografi


(39)

jejak-jejak sejarah. Sidi Gazalba (1981 :15) mengemukakan bahwa heuristik adalah kegiatan mencari bahan atau menyelidiki sumber sejarah untuk mendapatkan hasil penelitian.Dengan demikian heuristik adalah kegiatan pengumpulan jejak-jejak sejarah atau dengan kata lain kegiatan mencari sumber sejarah.

Pada tahap ini peneliti berusaha mencari dan menemukan sumber-sumber tertulis berupa buku-buku serta bentuk kepustakaan lain yang relevan dengan penelitian. Sumber tertulis primer, berupa buku-buku dan literatur yang diperoleh dari beberapa perpustakaan; maupun sumber sekunder berupa surat kabar, dan majalah , dan diantaranya: Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Jurusan FKIP, Perpustakaan Program Studi Sejarah FKIP UNS, Perpustakaan Monumen Pers Surakarta, dan Perpustakaan Reksopustolo Mangkunegaran.

b. Kritik

Kritik sumber adalah kegiatan untuk memilih, menyeleksi, meneliti, mengidentifikasi, menilai, dan membandingkan sumebr data sejarah yang akan digunakan dalam penulisan sejarah. Kritik terhadap sumber data sejarah ini melalui beberapa proses, antara lain : pertama, penilaian dengan menentukan sifat sumber sejarah, kedua, membuat suatu perbandingan antara sumber-sumber data yang telah terkumpul.

c. Interpretasi

Dalam penelitian ini, interpretasi dilakukan dengan cara menghubungkan atau mengaitkan sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah lain, sehingga dapat diketahui hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa masa lampau yang menjadi obyek penelitian. Kemudian sumber tersebut ditafsirkan, diberi makna dan ditemukan arti yang sebenarnya sehingga dapat dipahami makna tersebut sesuai dengan pemikiran yang logis berdasarkan obyek penelitian yang dikaji. Dengan demikian dari kegiatan kritik sumber dan interpretasi tersebut dihasilkan fakta sejarah atau sintesis sejarah.


(40)

commit to user

d. Historiografi

Historiografi merupakan suatu kegiatan menyusun fakta sejarah menjadi kisah yang disajikan dalam bentuk tulisan atau cerita sejarah yang dapat dibuktikan kebenarannya.

Di dalam penelitian ini berusaha untuk menyusun suatu cerita sejarah mengenai Saudagar Batik Laweyan Abad XX (Peran Dan Eksistensi Dalam Membangun Perekonomian Muslim), dengan berdasarkan fakta sejarah yang diperoleh. Di dalam penelitian ini berusaha menyususn fakta yang satu dengan fakta yang lainnya dalam suatu bentuk kisah sejarah yang menarik,logis dan dapat dipercaya.


(41)

commit to user

27 BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Perkembangan Batik Di Laweyan Surakarta Abad

XIX – XX.

1. Asal Mula Batik Laweyan

Asal mula batik di Laweyan itu sendiri asalnya dari kraton dengan rajanya Pakubuwono II. Mula-mula batik di dalam kerajaan/kraton hanya merupakan kerja sambilan bagi putri kraton yang nantinya akan dipersembahkan untuk kekasihnya, juga untuk kepentingan (pakaian) raja dan para kerabat kraton, raja hanya memilih orang-orang pandai membatik yang dikhususkan berdiam di kraton untuk membuat kain batik. Oleh karena raja dan seluruh kerabat kraton sampai ke hulu balang memerlukan kain batik, maka raja mengutus para lurah mencari daerah penghasil batik. Melalui lurah didapat daerah Laweyan. Laweyan sendiri berasal dari kata Lawe yang artinya benang, karena pada zaman dahulu tempat ini adalah tempat pembuatan kain tenun, sehingga raja memilih Laweyan yang dijadikan sebagai penghasil kain batik, karena raja memandang penduduk Laweyan hampir semuanya pandai menenun, rajin dan tekun dalam bekerja.

Pada mulanya penduduk Laweyan membuat batik masih dengan cara tulis (menggunakan tangan saja, dan motif-motifnya pun masih meniru motif dari kraton, berupa motif Ceplok, Limar, Semen, Parang, Lunglungan), juga cara mewarnainya masih memakai soga Jawa (pewarna dari bahan tumbuh-tumbuhan) yang otomatis memerlukan waktu yang lama. Hasilnya nanti diserahkan pada kraton, dan sebagian kecil saja yang disalurkan ke luar, karena masyarakat biasa kurang mampu membeli kain batik yang harganya mahal itu. Pada sekitar awal abad XVIII ditemukan alat cap, yang pada mulanya terbuat dari ketela pohon. Ketela pohon dipotong bulat, kemudian pada permukaannya digambari motif batik, dikarenakan ketela mudah busuk maka cap dari ketela diganti dengan kayu agar lebih awet dan tahan lama (Bejo Haryono, 2004: 45-60).


(42)

commit to user

Tahun 1900-an timbul keinginan pengusaha batik Laweyan, untuk menjual batik kepada rakyat biasa dengan harga yang terjangkau oleh mereka, karena dahulu masyarakat masih memakai kain tenun yang disebut kain lurik, sehingga pengusaha batik Laweyan memproduksi batik tulis dengan batik cap dan juga cara menyoganya dari bahan-bahan kimia, supaya lebih cepat proses pembuatannya, disamping itu juga harganya dapat dijangkau oleh rakyat biasa dan juga tidak meninggakan bentuk aslinya, akan tetapi alat yang untuk mengecap pada waktu itu masih menggunakan cap dari kayu, dengan motif-motif yang masih sangat sederhana sekali yaitu dengan bentuk yang besar-besar dan cecek-ceceknya (isen bulat kecil pada motif batik) pun tak dapat rapih dan halus.

Batik tulis dan batik cap berkembang berdampingan sampai saat ini. Ditinjau dari halus tidaknya, maka batik tulislah yang lebih halus daripada batik cap, sebab batik tulis motif-motifnya lebih hidup, karena dibuat dengan rasa seni atau unsur seni masih ada didalamnya, sedangkan walaupun batik cap prosesnya jauh lebih cepat dari batik tulis, akan tetapi hasil batik cap ini agak berbeda dengan batik tulis. Dari segi ketepatan pengulangan bentuk canting cap lebih menjamin, akan tetapi dari kesempurnaan goresan kurang baik. Batikan cap sering kali tidak tembus dan kadang-kadang dilain sisi tembus, bahkan blobor.

Semakin majunya teknologi, pada sekitar tahun 1960-an ditemukan alat pembuatan batik dengan “printing” atau “sablon” dengan alat cap yang terbuat dari kain yang telah dilukis dan bagian tepinya diberi plangkan (kayu) dengan ukuran lebar 80 cm dan panjang menurut lebar mori/cambric. Batik ini terkenal dengan batik printing. Proses dari pada cara ini lebih cepat dengan kalkulasi yang rendah sebab batik ini tidak memakai cara ngecap dengan malam dahulu, dan tidak juga melered (membabar), akan tetapi mori dicap langsung dengan motif yang dikehendaki (Wawancara, Bambang Slameto, pemilik perusahaan Batik Merak Manis, 9 Desember 2010).

Motif batik dari Surakarta memiliki perbedaan dengan motif batik Yogya meskipun sama-sama daerah kerajaan/Vorstenlanden. Perbedaan yang menyolok antara batik kedua daerah tersebut antara lain:


(43)

a. Yang paling utama adalah dalam hal perpaduan tata ragam hias. Ragam hias batik Yogya pada umumnya condong pada perpaduan berbagai ragam hias geometris, dan umumnya berukuran besar. Sedangkan ragam hias batik Surakarta condong pada perpaduan ragam hias geometris-non geometris-geometris dengan ukuran yang lebih kecil.

b. Warna putih batik Yogya lebih terang dan bersih, sedangkan batik Surakarta warna putihnya agak kecoklatan (ecru). Warna hitam pada batik Yogya agak kebiruan sedangkan batik Surakarta kecoklatan.

c. Umumnya warna babaran serta sogan antara batik dari kedua daerah tersebut agak berbeda. Babaran adalah proses pencelupan terakhir dengan sogan (Nian. S. Djoemena, 1986: 22).

Ragam hias pada suatu kain batikan terdapat corak dan motif. Corak sendiri adalah bentuk yang paling dominan, seperti warna, tema babaran dan simbol keseluruhan, seperti bang biru, sidoluhur, semen, dan sebagainya. Sedangkan motif adalah bentuk yang menjadi komponen ragam hias. Jadi, ragam hias, motif, dan corak merupakan satu kesatuan yang sangat penting pada unsur kain batik (Hasanudin, 2001: 197).

Ragam hias menurut lokasi daerahnya dibagi menjadi dua, yaitu batik pesisiran dan batik pedalaman/batik kraton. Ragam hias ini dalam perkembangannya dapat berubah dari waktu ke waktu. Perubahan ini berdasarkan pada lingkungan dan pemikiran masyarakatnya. Daerah Laweyan, Surakarta sendiri termasuk daerah pedalaman/ kraton. Batik di Laweyan ini merupakan batik yang tumbuh di atas dasar-fasar filsafat Jawa yang mengacu pada pemurnian nilai-nilai spiritual dengan memandang manusia yang tertib, serasi, dan seimbang. Ragam hias batik pedalaman cenderung memiliki corak dengan warna coklat kehitam-hitaman, hal ini sesuai dengan daerahnya yang banyak terdapat hutan sehingga untuk pewarnaannya mengambil dari tumbuhan.

Mengenai kebudayaan seni batik di Laweyan secara berangsur-angsur mengalami proses perubahan bentuk, variasi sesuai dengan kebudayaan yang mewarnai pada masa pembuatannya. Sebelum masuknya budaya dari luar, seni batik di Indonesia masih sederhana. Dalam proses perkembangannya seni batik


(44)

commit to user

Laweyan mengikuti kemajuan zaman, sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknik-teknik mekanis yang baru. Ragam hias batik Laweyan, Surakarta pada mulanya mengikuti ragam hias batik dari kerajaan/kraton. Ragam hias tersebut merupakan ragam hias yang telah baku atau istilah jawanya “dipakemkan”. Sebagai contoh ragam hias yang telah baku, antara lain: ragam hias Kawung, Sawat, dan Parang. Ragam hias tersebut memiliki ciri khas batik pedalaman, dari segi motif maupun warnanya.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Batik Di Laweyan.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan batik di Laweyan, yaitu :

a. Kondisi Masyarakat

Keberadaan Kampung Laweyan sudah sejak lama menjadi sorotan umum, selain karena penduduknya adalah pengusaha batik, karakteristik masyarakatnya juga sangat unik, karena hampir keseluruhannya berprofesi sebagai pedagang atau pengusaha yang menekuni usaha perbatikan. Hal ini dipandang sebagai sesuatu yang aneh di tengah kehidupan masyarakat Surakarta, yang umumnya bekerja di bidang pertanian dan birokrat kerajaan. Mayoritas jenis pekerjaan yang ditekuni, identitas masyarakat, nilai dan perilaku sosial serta kebudayaannya tampak jelas sangat dipengaruhi oleh jiwa entrepeneurship (Wawancara, Bambang Slameto, pemilik perusahaan Batik Merak Manis, 9 Desember 2010).

Informan ini menambahkan bahwa, pandangan umum yang tampak menonjol dari masyarakat Laweyan adalah, sikapnya yang skeptis terhadap sistem pendidikan, kegiatan sosial keagamaan dan kebudayaan. Mereka membentuk perkampungan sendiri, mengikuti gaya hidup mereka sendiri, sehingga apa yang tampak, baik secara sosial dan kultural nilai-nilai kehidupan orang Laweyan terlepas dari komunitas sosial yang lebih luas, yaitu masyarakat Jawa.

Gaya hidup masyarakatnya yang terasa asing dengan lingkungan di luar Laweyan, semua itu melekat dalam identitas masyarakat Laweyan. Akibat yang dirasakan penting dari perbedaan sosial kultural ini adalah tempat-tempat yang


(45)

ideal untuk kerajinan batik ini cenderung menjadi pusat sosio-kultural mereka, yang agak “mandiri” itu. Dalam hal ini, Laweyan adalah contoh yang tepat untuk itu, apabila dibandingkan dengan perkampungan pengrajin lainnya, dalam kota Surakarta (Wawancara, Bambang Slameto, pemilik perusahaan Batik Merak Manis, 9 Desember 2010).

Perbandingan yang lebih menyolok perbedaannya dengan identitas masyarakat Laweyan adalah pengelompokan abdi dalem pembatik dalam dinas kerajaan, di kampung Kratonan, tetapi beberapa perbedaan identitas yang kami amati di antara keduanya menunjukkan bahwa masalah persepsi kultural adalah faktor yang menentukan perbedaan kedua pengrajin batik itu. Para pengrajin kerajaan lebih tertarik pada gaya hidup model bangsawan Kraton, oleh karena itu identitas kelompok sosial ini lebih menyerupai “priyayi-priyayi istana“.

Kampung Kratonan dahulu, lebih dikenal sebagai pusat produksi batik kerajaan, sama sekali tidak mencerminkan karakternya sebagai perkampungan pengrajin, melainkan lebih membaur ke dalam kompleks bangunan bangsawan aristokrat. Rumah induk disertai halaman yang luas menyerupai alun-alun, dikelilingi oleh pengindung atau magersari.

Seolah-olah mencerminkan pusat kekuasaan kecil dari komunitas lingkungannya. Disana tidak muncul sikap kompetitif di antara pengrajin batik karena hasil pekerjaan tidak dinilai menurut prestasi kerja, melainkan di ukur menurut nilai-nilai pengabdian sebagai abdi dalem, oleh karena itu nilai entrepreneurship sama sekali tidak ada dalam diri para pengrajin batik istana (Wawancara, Dhani Arifmawan, Batik Cempaka, 9 Desember 2010).

Berbeda dengan para pengusaha batik Laweyan, sikap mereka justru mengantisipasi persepsi gaya hidup orang-orang bangsawan. Rasa percaya diri yang kuat tidak tertarik oleh cara hidup yang bermewah-mewah seperti di dalam kraton, tidak ingin kehormatan, tampaknya telah menciptakan kondisi umum di Laweyan, sehingga apa yang ada di hadapan kita sekarang adalah realitas sosial.

Sekarang keadaan di Laweyan jauh berbeda dengan kondisi sosial -ekonomi rumah tangga pengrajin kerajaan di Kratonan. Meskipun saudagar Laweyan menghadapi kemerosotan tingkat sosial-ekonomi, tetapi keadaannya


(46)

commit to user

sekarang masih banyak pengusaha yang lebih kaya dari pada kebanyakan hidup para bangsawan. Mereka masih bisa menikmati sisa kejayaannya di masa lampau, daripada pengrajin seprofesi di kampung Kratonan (Wawancara, Dhani Arifmawan, Batik Cempaka, 9 Desember 2010).

Sejak peranan pengrajin kerajaan ini memudar sebagai akibat pengambilalihan kekuasaan Swapraja banyak di antara mereka menjual rumah besar yang berhalaman luas itu kepada pengusaha batik Cina. Satu di antara meraka menjadi milik Go Tik Swap, seorang pengusaha batik Cina yang sukses memasuki gerbang kraton.

Orang Laweyan masa lalu lebih jelas membedakan dua profesi ini. Seorang pengusaha batik dalam kriteria saudagar kaya, menurut istilah setempat disebut juragan dan seorang pedagang batik disebut bakul ade. Keduanya ada keserasian dalam profesi sebagai spekulan, tetapi ketekunan kerja mereka masih kurang mendapat tempat dalam status tradisional Jawa. Ada kecenderungan memandang rendah pekerjaan berdagang, bagi kebanyakan orang Jawa. Dalam pengertian ini, orang Surakarta juga cenderung untuk memandang pedagang batik sebagai berada di luar etika kerja umum (Wawancara, Dhani Arifmawan, Batik Cempaka, 9 Desember 2010).

Informan lain, yaitu H. Akhmad Sulaiman menjelaskan, keterasingan adalah identitas kampung Laweyan, sebuah pemukiman saudagar-saudagar kaya orang Jawa. Mereka tetap beragama Islam tetapi abangan, tidak ingin kehormatan tetapi hemat, adalah persepsi budaya mereka bahwa uang dan kekayaan tidak untuk kepentingan bersama, tidak untuk berfoya-foya, melainkan untuk menaikkan status mereka sebagai “mas nganten/ mbok mase” (sebutan untuk juragan batik laki-laki/wanita). Barangkali ciri khas yang dirasakan paling menonjol dari gaya hidup orang-orang Laweyan adalah persepsinya mengenai kekayaan, baik di kalangan majikan maupun tenaga tukang dan buruhnya saling memahami bahwa bekerja keras yang sudah biasa mereka lakukan, semata-mata bukan hanya mencari nafkah melainkan juga untuk mengumpulkan kekayaan.

Menurut mereka, mengumpulkan kekayaan sama halnya orang menemukan identitas dirinya dalam status sosial tertentu. Kebanggaan mereka


(47)

tidak hanya ditentukan menurut klasifikasi jenis pekerjaan, sebagai sekelompok marginal melainkan nilai kekayaan itu secara realistis telah mengangkat harga dirinya kedalam status tertentu, yaitu orang Jawa yang kaya raya, lebih-lebih bila disertai predikat “mas nganten/mbok mase” dalam lingkungan Laweyan sendiri atau “juragan” di lingkungan masyarakat yang lebih luas (Wawancara, Akhmad Sulaiman, pemilik perusahaan Batik Puspa Kencana, 11 Desember 2010).

Mereka tidak tertarik pada gelar-gelar kepriyayian, karena gelar yang disertai kekayaan para bangsawan itu katanya bersifat hanya pemberian dari kraton, tidak diperoleh dari keringatnya sendiri. Mereka tidak bisa lebih bebas menikmati hasil jerih payah sendiri bila hal itu dinyatakan dalam pekerjaan mengabdi pada majikannya. Besarnya kekayaan orang Laweyan yang masih terkumpul, dengan mudah bisa dikenali dengan melihat pengelompokan rumah gedongan yang besar-besar di sepanjang jalan raya Laweyan dan di lorong-lorng sempit perkampungan dagang itu. Suatu pemandangan yang terasa asing di mata orang Jawa adalah setiap kapling pemukiman itu yang nampak dari luar hanyalah pagar tembok setinggi 3 meter sampai 5 meter.

Kekayaan mereka tidak begitu tampak dari luar, tetapi begitu memasuki pintu gerbang bersusun terlihat rumah besar itu mirip istana kecil yang dibangun selama dasa warsa-dasa warsa abad ini. Pendeknya gaya hidup orang Laweyan, dalam batas-batas tertentu senantiasa mengantisipasi kehidupan bangsawan istana. Mereka tidak sepenuhnya terlibat seperti dalam kehidupan aristokrat, tetapi jenis-jenis kekayaan yang menjadi simbol status para bangsawan mereka miliki.

Para juragan Laweyan yang tergolong kaya biasanya memiliki barang-barang sebagai simbol status kekayaan. Misalnya krobongan, dubang, perhiasan dan tata cara berpakaian Jawa seperti model priyayi. Pada sekitar tahun 1915 di Surakarta sering terjadi perkelahian anak-anak muda karena masalah pelanggaran tata cara berpakian adat. Kebanyakan diantara anak-anak priyayi, merasa tersinggung oleh perlakuan pemuda “ngecapan” (buruh tukang cap) yang meniru cara berpakaian priyayi kraton (Wawancara, Akhmad Sulaiman, pemilik perusahaan Batik Puspa Kencana, 11 Desember 2010).


(48)

commit to user

Para “juragan” Laweyan dalam kedudukannya sebagai majikan dalam perusahaan, memang tidak pernah menampilkan sikapnya seperti para bangsawan kraton. Tidak ingin dihormati secara berlebih-lebihan, tetapi sebaliknya tentang persepsi kekayaan yang ia miliki, ingin dipamerkan sampai yang sekecil-kecilnya. Satu contoh yang sederhana, yaitu cara mereka memamerkan pintu gerbang yang cukup besar. Biasanya pada rumah-rumah orang kaya disana, akan dijumpai pintu gerbang bersusun dengan anak pintu-pintu yang lebih kecil. Di atas pintu dilengkapi dengan ukiran “crown”, semacam lambang mahkota kerajaan Belanda. Anehnya mereka tidak banyak yang tahu tentang arti lambang itu.

Anak pintu yang hanya bisa dimasuki orang dengan membongkokkan badannya itu, memang berfungsi terutama untuk kepentingan tenaga buruhnya di saat ada urusan keluar rumah, sedangkan pintu gerbang baru dibuka jika majikan mengelurkan kendaraannya atau untuk keperluan perusahaan. Orang Laweyan ternyata tidak banyak mengetahui makna lambang dari pintu bersusun itu, selain hanya bisa membeli dan memakai untuk kepentingan ekonomi keluarganya. Mereka tidak ingin merepotkan diri dengan urusan lambang-lambang semacam itu, karena yang penting bagi orang Laweyan barang itu bisa mencerminkan sebagai simbol kekayaannya (Wawancara dengan Saud Effendy, Batik Saud Effendi, 11 Desember 2010).

Hasil pengamatan yang dilakukan di daerah itu memang menunjukkan hasil yang positif, bahwa orang-orang Laweyan sangat merasa kebutuhan untuk memamerkan standar kekayaan mereka, karena dari kekayaan itu menunjukkan status pemiliknya. Mereka mempunyai rumah-rumah “gedongan”, banyak tenaga buruh, beberapa kuda dan mobil dan berbagai simbol kekayaan lainnya. Faktor-faktor ini secara tidak langsung menuntut penghormatan orang lain kepada keluarganya. Dalam kaitannya dengan nilai hormat ini, maka permasalahan yang cukup menarik adalah sejauh mana kekayaan itu mengangkat status sosial penduduknya.

Sistem status dalam masyarakat Laweyan ditentukan berdasarkan klasifikasi pembagian kerja di perusahaan keluarga. Baik secara struktural maupun fungsionalnya, kedudukan seorang ibu menempati posisi teratas, baru


(1)

commit to user

52

hidup wanita-wanita bangsawan yang lemah, tidak kreatif dan apatis karena menggantungkan hidup pada nasib atau takdir (Soedarmono, 2006: 71).

Sebenarnya keberhasilan dalam lapangan usaha dan naiknya status sosial karenakekayaan mereka, memberikan sumbangan paling besar bagi perkembangan sikap mental yang istemewa pada pengusaha kaya di Laweyan. Rasa percaya diri, hemat, tidak tertarik gaya hidup yang foya-foya dan tidak hila hormat, menjadi karakteristik kondisi umum gaya hidup saudagar Laweyan.


(2)

commit to user

53

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berpijak dari uraian hasil penelitian dalam bab sebelumnya, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut:

1. Daerah Laweyan, Surakarta dikenal sebagai salah satu sentra industri batik di Jawa Tengah. Kegiatan pembatikan pada mulanya masih mempergunakan peralatan yang sederhana, yaitu canting. Ragam hias batik yang dihasilkan pun masih meniru ragam hias dari kraton, demikian pula dengan pewarnaannya yang cenderung gelap dan mempergunakan bahan pewarna dari alam. Industri batik tradisional di Laweyan yang semakin maju, membuat para pengusaha berpikir untuk menciptakan peralatan membatik yang dapat menghasilkan batik lebih cepat daripada dengan menggunakan canting. Kemudian dibuatlah alat cap, di samping canting untuk memproduksi batik secara tradisional. Dari masa ke masa dunia perbatikan banyak mulai mengalami perubahan. Mulai dari ragam hias batiknya hingga peralatan dalam pembatikannya. Demikian pula dengan batik di Laweyan, Surakarta. Ragam hias batik Laweyan yang mulanya berupa ragam hias klasik lambat laun berkembang ke ragam hias yang dinamis/bergaya kontemporer. Pewarnaannya pun mulai menggunakan warna yang beraneka ragam. Hal tersebut tak lepas dari permintaan pasar dengan kondisi yang berubah-ubah. Seperti adanya pengaruh dari kegiatan kenegaraan, motif yang sedang musim, maupun karya dari seseorang yang banyak digemari. Perkembangan peralatan untuk membatik secara tradisional, yaitu dari canting ke cap, dan ketika zaman semakin modern ditemukan teknologi baru dalam usaha perbatikan, yaitu alat printing/sablon.

2. Organisasi Sarekat Islam (SI) bermula dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan pada tahun 1911 di kota Solo oleh seorang saudagar batik bernama Haji Samanhudi. SDI yang berdasarkan koperasi dengan tujuan memajukan perdagangan pribumi dengan panji-panji Islam yang menaunginya.Perubahan nama menjadi Sarekat Islam, berawal dari saat perkumpulan SDI tersebut


(3)

commit to user

54

menyusun statuennya. Pada saat menyusun statuten tersebut Haji Samanhudi meminta bentuan seorang terpelajar yang bekerja pada sebuah perusahaan dagang di Surabaya, yakni Oemar Said Tjokroaminoto. Tjokroaminoto menyarankan agar perkumpulan tersebut tidak membatasi dirinya hanya untuk golongan pedagang saja, tetapi diperluas jangkauannya maka nama SDI diganti menjadi SI.Anggaran dasar SI di tetapkan tujuan organisasi sebagai berikut:1. memajukan perdagangan2. memberi pertolongan kepada anggota-anggota yang mengalami kesusahan3. memajukan kepentingan rohani dan jasmani bagi pribumi memajukan kehidupan keagamaan Islam SI merupakan organisasi yang menyentuh semua lapisan masyarakat pribumi.Perkembangan selanjutnya Central Sarekat Islam (CSI) di Surabaya pada 1915, berdasarkan sentral ini dimaksudkan untuk memajukan dan mambantu SI di dalam menjalankan dan memelihara hubungan serta kerjasama di antara mereka. Permintaan CSI untuk diakui sebagai organisasi berbadan hukum dikabulkan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan surat keputusan tanggal 18 maret 1916.Pada tahun 1920, diadakan kembali konggres nasional ke tujuh di Madiun dan SI resmi berubah menjadi partai politik dengan sekaligus merubah nama menjadi Partai Sarekat Islam (PSI).Kemudian pada tahun 1929 berubah lagui menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan pada tanggal 5 januari 1973 berubah kembali menjadi Sarekat Islam.

3. Saudagar laweyan berperan penting dalam memajukan perekonomian muslim laweyan. Sesungguhnya apa yang terjadi didalam pertumbuhan ekonomi pengusaha batik di Laweyan pada awal abad 20, adalah keunikan dalam sejarah daerah itu. Mereka tidak dapat disamakan dengan konsep Geertz, Castles dan Burger. Karena etos kerja pengusaha Laweyan tumbuh di dalam kondisi persaingan untuk memperoleh status yang sama dengan para abdi dalem pembatik dalam dinas Kerajaan. Agama Islam tidak dapat berkembang secara baik di sana ketika pertumbuhan ekonomi Laweyan mengalami pasang naik. Bahkan para pedagang Cina di Solo sebelum bangkit Serikat Islam memandang perlu menjalin hubungan dengan saudagar-saudagar Laweyan. Dengan mempertimbangkan begitu besar peranan


(4)

pengusaha Laweyan dalam menumbuhkan sektor ekonomi kota maka kehadiran mereka dalam masyarakat Solo, tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, trikhotomi Geertz, dalam melihat masyarakat Jawa atas pembagian abangan, santri dan priyayi dirasakan tidak cocok, terutama dalam masyarakat Solo. Sekiranya bila masih bisa disesuaikan dengan masyarakat di kota itu adalah, trikhotomi sosial berdasarkan struktur kelas: priyayi, pedagang/pengusaha dan wong cilik. Sementara abangan dan santri, adalah dikhotomi yang seharusnya terpisah dari pembagian di atas, karena klasifikasinya berdasarkan agama. Dengan mempertimbangkan perubahan arus modernisasi yang begitu cepat menguasai kota Solo, lewat berbagai media, tak pelak lagi Laweyan masih akan menghadapi masalah tentang identitasnya.

B. Implikasi

1. Teoritis

Dari hasil penelitian mengenai saudagar batik abad XX, dalam realitasnya, batik sudah menjadi pusat perhatian di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Di dalam struktur masyarakat Jawa dibagi menjadi tiga, yaitu priyayi, santri dan abangan. Golongan priyayi adalah golongan tertinggi diantara struktur masyarakat tersebut karena golongan priyayi terdiri dari golongan bangsawan-bangsawan kaya.

Yang kedua adalah golongan santri adalah sebutan bagi murid-murid yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren. Sedangkan golongan terakhir adalah golongan abangan, sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks. Akan tetapi pembagian struktur tersebut dirasakan tidak cocok dengan pembagian masyarakat Solo.

Salah satu kebudayaan Jawa yang cukup terkenal sampai sekarang adalah Batik. Pada jaman kerajaan batik masih menjadi barang yang cukup berharga. Dalam daerah kerajaan/ vorstenlanden batik hanya boleh digunakan oleh golongan priyayi atau orang-orang dari dalam kerajaan. Batik yang digunakan oleh para


(5)

commit to user

56

priyayi pada saat itu adalah batik tulis halus yang dibuat oleh para abdi dalem terpilih. Tidak sembarang orang yang dapat membuat batik tulis kraton.

Tahun 1900-an timbul keinginan pengusaha batik Laweyan, untuk menjual batik kepada rakyat biasa dengan harga yang terjangkau oleh mereka, karena dahulu masyarakat masih memakai kain tenun yang disebut kain lurik, sehingga pengusaha batik Laweyan memproduksi batik tulis dengan batik cap dan juga cara menyoganya dari bahan-bahan kimia, supaya lebih cepat proses pembuatannya, disamping itu juga harganya dapat dijangkau oleh rakyat biasa dan juga tidak meninggakan bentuk aslinya, akan tetapi alat yang untuk mengecap pada waktu itu masih menggunakan cap dari kayu, dengan motif-motif yang masih sangat sederhana sekali yaitu dengan bentuk yang besar-besar dan cecek-ceceknya (isen bulat kecil pada motif batik) pun tak dapat rapih dan halus.

Seiring perkembangan batik Laweyan, berkembang pula ekonomi masyarakat Laweyan. Perekonomian masyarakat Laweyan meningkat pesat, dan muncul saudagar-saudagar kaya di Laweyan. Dan keberadaan saudagar-saudagar di Laweyan tersebut, dapat mengangkat perekonomian dan derajat daerah tersebut. sehingga daerah tersebut dikenal dengan kampung saudagar.

2. Praktis

Penelitian ini dapat membantu pembaca, khususnya mahasiswa progam pendidikan sejarah memahami peranan saudagar batik Laweyan dalam perekonomian muslim, sehingga pembaca dapat memperoleh pengetahuan yang jelas tentang peranan saudagar batik Laweyan, khususnya dalam bidang ekonomi muslim. Ciri-ciri sosial yang berlainan nampak pada kedudukan lapangan pekerjaan yang kelihatan terasing di dalam masyarakat Surakarta, dan pemisahan yang tajam antara ikatan kerja yang bersifat ekonomis dan yang bersifat non ekonomis. Mereka menyatu dalam sistem sosialnya sendiri, yang didasarkan atas orientasi kerja wiraswasta. Oleh sebab ini, kampung Laweyan lebih menampakkan diri ke dalam ciri-ciri kampung dagang. Penduduk Laweyan sebenarnya bukan orang Jawa yang asing dengan masyarakat lingkungannya karena perbedaan kultur, melainkan terasing karena identitas lapangan


(6)

pekerjaan berbeda dengan kondisi umum komunitas yang lebih luas di sekitarnya. Oleh karena itu, penelitian ini dapat memberikan wawasan tentang saudagar batik Laweyan. Selain itu, hendaknya kita turut menggali dan mengembangkan budaya, khususnya budaya Jawa yang dalam istilah Jawa terkenal dengan sebutan Nguri-uri budaya Jawa.

C. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, saran-saran yang dapat penulis kemukakan adalah sebagai berikut:

1. Bagi Mahasiswa

Kepada para mahasiswa dan generasi muda Indonesia hendaknya dapat mengambil nilai-nilai keuletan dan semangat kerja yang ada pada para saudagar Laweyan. Meniru semangat kerja mereka yang berusaha untuk mencari kekayaan dan tidak terpengaruh dengan kemewahan dunia luar.

2. Bagi Masyarakat

Masyarakat hendaknya dapat mengembangkan, menjaga, dan melestarikan budaya Jawa agar tidak punah. Agar dapat tetap di nikmati oleh anak cucu kita.