commit to user
kejayaanya,  yang  ditandai  adanya  pembakuan  tata  busana  wayang  orang. Mangkunegara  V  melakukan  pembaharuan  dalam  hal  penari,  pada  masa
Mangkunegara  V  mulai  tampil  penari  wanita  yang  memerankan  tokoh-tokoh  wanita selain itu Mangkunegara V juga mengembangkan  lakon-lakon carangan.
12
C. Perkembangan wayang orang pada masa Mangkunegara V
Perkembangan  wayang  orang,  menurut  Clifford  Geertz  munculnya  wayang orang  pada  abad  pertengahan  abad  ke-18  merupakan  bagian  dari  kebangkitan  seni
klasik  Jawa  setelah  mendapat  pukulan  karena  masuknya  agama  Islam.  Pernyataan Greetz  itu  kiranya  cukup  beralasan  mengingat  bahwa  pada  masa  Kerajaan  Demak,
kemudian Kerajaan Pajang dan diteruskan Kerajaan Mataram Islam sampai Kerajaan mataram  Kartasura  tidak  ditemukan  data-data  tentang  pertunjukan  wayang  orang.
Baru  sesudah  perjanjian  Giyanti  yang  ditandai  pecahnya  Kerajaan  Mataram  di  bagi menjadi  dua  yaitu  Kerajaan  Kasunanan  Surakarta  dan  Kasultanan  Yogyakarta,
kemudian  Kerajaan  Kasultanan  dibagi  lagi  menjadi  Kasunanan  Surakarta  dan Kadipaten Mangkunegaran pada perjanjian Salatiga tahun 1757, secara bersamaan Sri
Sultan  Hamengku  Buwana  I  dan  Sri  Mangkunegara  I  menciptakan  wayang  orang sebagai suatu atribut kebesaran pemerintahannya.
13
Krisis  ekonomi  di  istana  berpengaruh  besar  pada  perkembangan  wayang orang.  Penghapusan  pemanggungan  wayang  orang  sebagai  agenda  rutin  di  istana
Mangkunegaran,  tidak  membuat  keberadaan  wayang  orang  hilang.    Hal  ini
12
Rustopo,  Menjadi  Jawa  “Orang-Orang  Tionghoa  Dan  Kebudayaan  Jawa”,  Yogyakarta: Ombak, 2007, hlm; 110-111
13
Hersapandi. Op.cit. hlm; 17-19
commit to user
dikarenakan,  para  aktor  wayang  orang,  entah  lebih  disebabkan  oleh  alasan  ekonomi ataukah karena memang adanya motivasi estetis, justru mengembangkan kemampuan
mereka  di  wilayah  publik.  Sejak  itu,  wayang  orang  berkembang  sebagai  seni panggung  rakyat,  tentu  saja  dengan  beberapa  sentuhan    perubahan  dari  format
awalnya sebagai seni elit. Wayang  orang  di  istana  Mangkunegaran  mengalami  masa  kejayaannya  pada
masa Mangkunegara V, karena dalam pementasannya wayang orang Mangkunegaran, Mangkunegara  V  sangat  mementingkan  kekuatan  dramatis  tanpa  kehilangan  sifat
Jawa-nya. Berdasarkan pemikiran dan penekanan kekuatan dramatis itu, maka sudah sewajarnya  bila  dalam  pementasan  wayang  orang  dikembangkan  kembali  dengan
melakukan pembaharuan. Pembaharuan baru itu tampak pada busana yang dikenakan para pemain, pemain wayang orang dan lakon-lakon yang dimainkan.
a  Perkembangan busana Guna meperkuat nilai dramatik pementasan wayang orang, Mangkunegara V
mengadakan  pembaharuan  dalam  bidang  busana.  Pada  awal  kemunculanya  pada masa  Mangkunegara  I  hingga  masa  Mangkunegara  IV  busana  yang  dikenakan  para
penari  wayang  orang  Mangkunegaran  masih  sangat  sederhana,  yakni  tidak  jauh berbeda  dengan  pakaian  adat  Mangkunegaran  yang  digunakan  sehari-hari.  Pada
awalnya  busana  wayang  orang  selalu  kembar  mirip  busana  tari  Wireng,  Baru  pada masa  Mangkunegara  V,  diciptakan  busana  khusus  yang  digunakan  para  penari
wayang  orang  Mangkunegaran.  Adapun  busana  itu  adalah  busana  baru  yang mengikuti  perwujudan  busana  wayang  kulit  purwa.  Penggubahan  busana  baru  itu  di
ilhami oleh patung Bima dan relief-relief pada candi sukuh. Dari sumber-sumber itu
commit to user
kemudian  diciptakan  perabot  busana  wayang  orang,  Busana-busana  baru  itu  antara lain:  makutha,  kelat  bahu,  sumping,  praba,  dan  uncal  badhong.  Dengan  perubahan
busana ini akan memberi kemudahan bagi penonton, untuk membedakan antara tokoh yang satu dengan tokoh lainya.
14
Penggolongan  perwatakan  tari  dalam  wayang  orang  diselaraskan  dengan perwatakan tata rias dan busana, sehingga perpaduan unsur-unsur itu memberi makna
dan  simbol  tertentu  bagi  tokoh  wayang  yang  bersangkutan.  Sebagaimana  dalam wayang  kulit  atribut-atribut  tertentu  menunjuk  pada  tokoh-tokoh  tertentu  baik
menunjuk pada karakteristik maupun status sosial. Wayang  orang  Mangkunegaran  mengalami  transformasi  tata  busana  dan
perkembangan  pada  masa  pemerintahan  Mangkunegara  V.    Tata  busana  wayang orang  mengambil  bentuk-bentuk  tata  busana  wayang  kulit  purwa,  yaitu  tata  busana
manusia  pada  zaman  Budha,  terutama  bagi  orang  yang  sudah  masuk  di  lingkungan Negara  keraton  seperti  raja,  pandhita,  pembesar-pembesar  kerajaan,  pangeran  atau
para sentana, dan prajurit. Sebagai gambaran, berikut ini adalah deskripsi tata busana wayang orang ciptaan Mangkunegara V, yaitu:
Kelengkapan tata busana kebesaran raja Binathara pada wayang kulit: 1.  a Makutha, ngukasri martu kuntha
b Jamang madrakara c Kawaca garudawali
d Karawistha hendra braja
14
R.  M.  Soedarsono,  Seni  Pertunjukan  Indonesia  di  Era  Globalisasi,  Yogyakarta:  UGM Press, 2002, hlm; 222-223
commit to user
2.  a Sumping ngambara b Sengkang boma
3.  Cacandhang hendrakala 4.  a Dawala tali praba
b Calumpring bujang kara 5.  a Kalung tri ujung
b Tebah jaja sulardi c Praba kuntha bajra
6.  Gelang bau warna kelad bau mas sinangling 7.  Binggel waliyasa
8.  a Karencong kara wali b Bidaka ganda wari
9.  Celana
15
Tata  busana  untuk  Harya  Prabu  Anom  dengan  tata  busana  nata-binathara, bedanya hanya tanpa menggunakan mahkota dan praba. Untuk tata busana kebesaran
patih  dan  wiradikara  senopati  perang,  bedanya  dengan  Harya  Prabu  Anom  hanya pada  pemakaian  praba.  Untuk  tata  busana  pandhita  atau  brahmana  menggunakan
kopiah, baju dan kain sedangkan perlengkapannya sama seperti lainnya. Berikuti  ini  adalah  kelengkapan  tata  busana  wayang  orang  Mangkunegaran
yang diilhami dari tata busana wayang kulit K.G.P.A.A Prabu Prangwadana V, yaitu:
15
K.G.P.A.A. Prabu Prangwadana V, Pratelan Busananing Ringgit Tiyang, Surakarta: Rekso Pustoko, D 171
commit to user
1.  Mahkota kerajaan Binathara digubah menjadi tropong dari kain sutera atau  beludru.  Untuk  raja  bawahan  memakai  kethu  dari  sutera  atau
beludru yang di atasnya diletakkan nyamat tombol kuluk saduran. 2.  Jejamang digubah kulit ditatah karawitan pinarada, disebut jamang.
3.  Sanggening gelung pekesi garudha anglayang. 4.  Gegombyoking makhutha tidak pakai.
5.  Sesumping yang digubah dari kulit tatahan pinarada, disebut sumping dengan ronce pipontoning renda ginombyok.
6.  Anting-anting tidak pakai. 7.  Cacandhang yang digubah menjadi semacam sondher sampur dibuat
dari sutera, diujung ada yang diberi lugasan atau binara. 8.  Ulur-ulur  yang  digubah  menjadi  semacam  kalung  herloji  dengan
karset, emas atau saduran tiruan. 9.  Calumping tidak pakai.
10. Kalung yang digubah menjadi sangsangan wulan tumanggal. 11. Tebah jaja tidak pakai.
12. Praba  yang  digubah  menjadi  semacam  kulit  yang  ditatah  lung-lungan pinarada, disebut sraba.
13. Kelat bau yang digubah menjadi semacam tiruan rineka paksi. 14. Gegelang yang digubah tiruan binggel aben unjung atau seperti ular.
15. Keroncong yang digubah semacam kulit pinarada disebut rencong. 16. Tarumpah tidak pakai.
17. Badhong yang digubah menjadi kulit pinarada disebut badhong.
commit to user
18. Celana yang digubah menjadi lancingan panji-panji dengan timbangan slaka,  memakai  kain  prajuritan  yaitu  jenis  kain  parang  rusak  atau
praosan,  peningset  cinde  dengan  bara,  tinimangan  sela  dengan  janur wenda  dan  bludru,  memakai  wangkingan,  jejeripun  sinelut  sela
ginombtok ing puspita rumonce diberi hiasan rangkain bunga.
16
Seperti halnya pada tata busana wayang kulit untuk tata busana Haryo Prabu Anom  dengan  tata  busana  kebesaran  raja  Binathara,  tetapi  tidak  memakai  tropong
dan  praba.  Demikian  juga  untuk  tata  busana  patih  dan  senopati,  perbedaan  dengan tata  busana  Haryo  Prabu  Anom  terletak  pada  pemakaian  praba.  Tata  busana  para
ksatria dan para prajurit agak mirip dengan tata busana patih dan senopati, akan tetapi dengan memakai kain batik bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan.  Disamping
tata  busana,  dikreasi  juga  beberapa  senjata  wayang  kulit  dengan  bentuk  modifikasi sesuai  dengan  kebutuhan  wayang  orang  seperti  dhuwung  keris,  jemparing  jekrek
atau gendhewa dan nyenyep, gada, sing dikreasi lameng.
17
Tata  busana  tiap  tokoh  disesuaikan  dengan  perwatakan  tarinya.  Simbolisasi warna selaras dengan karakteristik seperti merah sebagai simbol sifat pemberani, suka
marah,  sombong,  dan  jahat  digunakan  untuk  tokoh  Rahwana  atau  Baladewa,  warna hitam  untuk  tokoh  rendah  hati  sebagai  simbol  kebijaksanan  dan  kematangan  untuk
tokoh  Yudistira  dan  Arjuna  serta  Rama,  warna  putih  untuk  simbol  kesucian  untuk tokoh  pendita  atau  brahmana,  warna  kuning  sebagai  simbol  kemegahan.  Pemakaian
16
Hersapandi. Op.cit. hlm; 52-54
17
Ibid. hlm; 54
commit to user
tata warna didasarkan pada warna yang kuat atau dominan dengan kombinasi warna- warna lain yang selaras.
18
b  Perkembangan Penari wayang orang Pada  masa  Mangkunegara  V  mulai  tampil  para  penari  wanita  yang
memerankan tokoh-tokoh wanita. Semula wayang orang hanya dimainkan oleh penari pria  saja  dan  terbatas  pada  abdi  dalem  saja,  penari  wayang  orang  berkembang  tidak
hanya  abdi  dalem  saja,  para  sentana  atau  keluarga  bangsawan  juga  ikut  memainkan wayang orang di istana Mangkunegaran, perkembangan tidak terbatas hanya itu saja
para  wanita  yang  semula  dianggap  sakral  dan  tidak  pernah  ada  dalam  pementasan wayang orang di istana pada masa Mangkunegara V mulai dimunculkan.
19
Mangkunegara  V  dalam  pementasan  wayang  orang  sangat  mementingkan kekuatan  dramatis.  Berdasarkan  pemikiran  dan  kekuatan  dramatis  itu,  maka  sudah
sewajar  bila  Mangkunegara  V  dalam  pementasan  wayang  orang  dikembangkan kembali  dengan  melakukan  pembaharuan.  Karena  telah  terjadi  pergeseran  fungsi
pementasan dari sakral menjadi hiburan, maka Mangkunegara V memasukkan penari wanita  dalam  wayang  orang  di  istana  Mangkunegaran  untuk  menambah  daya  tarik
penonton. Tampilnya  penari  wanita  dalam  wayang  orang  di  istana  Mangkunegaran
merupakan  bentuk  pertunjukan  yang  baru,  karena  di  daerah  lain  belum  ditemukan. Mangkunegara  V  sangat  menghargai  kebangkitan  wanita  di  Surakarta  dari  status
kanca  wingking  teman  belakang  kearah  emansipasi,  persamaan  hak  dan  derajat
18
Ibid. hlm; 5
19
Rustopo. Op.cit. hlm; 110
commit to user
dengan kaum pria. Pandangan Mangkunegara V yang mendukung emansipasi wanita mengilhaminya,  untuk  melakukan  penataan  kembali  seni-seni  pertunjukan,  terutama
dalam  menghadirkan  peran  penari  wanita  dalam  wayang  orang  Mangkunegaran. Hadirnya  peran  wanita  dalam  wayang  orang,  dijadikan  monumen  Mangkunegara  V
dalam melukiskan kondisi sosial masyarakat Surakarta pada saat itu.
20
Selain  memasukkan  penari  wanita  kedalam  wayang  orang  istana Mangkunegaran,  Mangkunegara  V  juga  orang  pertama  yang  mencetuskan  peran
campuran dalam pertunjukan wayang orang. Peran campuran di sini adalah, wayang orang  yang  dipentaskan  secara  campuran  antara  para  bangsawan,  abdi  dalem  dan
penari wanita. Pada  sajian  sebelumnya,  wayang  orang  di  istana  Mangkunegaran  hanya
diperankan para abdi dalem saja, kemudian dalam perkembanganya Mangkunegara V membagi  wayang  orang  Mangkunegaran  menjadi  3  kelompok,  yakni  wayang  orang
sentana keluarga  istana,  wayang  orang  abdi  dalem,  dan  wayang  orang  putri.  Yang
membedakan dari ketiganya antara lain adalah pemain dan busana yang dikenakan.
21
Wayang  orang  sentana  ialah  wayang  orang  yang  diperankan  oleh  para sentana
atau  keluarga  bangsawan  istana,  seperti:  KPH  Handoyokusumo,  RM Subyakto,  dan  RM  Suprapto.  Busananya  dibuat  dari  sutra,  emas,  intan,  dan  berlian.
Cara  berbusananya  telah  disiapkan  dari  rumah  masing-masing,  kemudian  bila  akan dimulai  pentas  baru  berkumpul  pada  sebuah  kamar  khusus.  Karena  jenis  wayang
20
Bandung  Gunadi,  Mangkunegara  V  1891-1896,  Seniman  Besar  Penampil  Peran  Penari Wanita Dalam Teater Tradisional Wayang Orang,
Surakarta, 1992, hlm; 72
21
Sayid, Babad Sala, Surakarta: Rekso Pustoko, hlm; 11. B. 291
commit to user
sentana ini, mulai dari pemain dan busananya mempunyai nilai tinggi; maka wayang
orang ini hanya dapat disaksikan oleh kaum bangsawan saja.
22
Wayang  orang  abdi  dalem  ialah  wayang  orang  yang  diperankan  oleh  para abdi dalem
atau pegawai istana Mangkunegaran.  Dalam hal berbusana, para pemain tidak diperbolehkan untuk mengenakan busana seperti wayang orang sentana, mereka
hanya  diperbolehkan  untuk  mengenakan  busana  imitasi  wayang  orang  sentana. Wayang  orang  ini  pementasanya  dapat  disaksikan  oleh  kaum  bangsawan  dan  rakyat
kebanyakan.
23
Wayang  orang  wanita  ialah  wayang  orang  yang  diperankan  oleh  para  abdi dalem wanita Kinasih pelayan wanita kesayangan atau Kenya Puspita gadis cantik
kaum  bangsawan  istana  Mangkunegaran.  Kelompok  wayang  orang  ini  dapat dipentaskan  secara  campuaran,  sewaktu-waktu  dapat  bergabung  dengan  kelompok
wayang  orang  sentana,  dan  sewaktu-waktu  dapat  bergabung  dengan  kelompok wayang orang abdi dalem. Untuk kelompok wayang orang abdi dalem dan kelompok
wayang orang  wanita, dalam mempersiapkan diri maupun berbusana berkumpul pada kamar yang dekat dengan pementasan.
24
c  Perkembangan lakon Masa  kejayaan  wayang  orang  Mangkunegaran  tidak  terbatas  pada
perkembangan  busana  dan  penari  saja,  tetapi  juga  pada  penciptaan  naskah  lakon. Persoalan lain di sini, ialah suatu ide atau gagasan apa yang ada di balik pementasan
wayang  orang.  Dalam  sebuah  pentasannya  wayang  orang  di  istana  Mangkunegaran
22
Ibid. hlm; 11
23
Ibid. hlm; 11-12
24
Ibid. hlm; 12
commit to user
mempunyai makna yang tersirat di dalam lakon yang dibawakannya. Perlu diketahui, bahwa  Mangkunegara  V  seorang  penguasa  tertinggi  di istananya,  sekaligus  seniman
besar. Di dalam pertunjukan wayang orang Mangkunegara V dikenal sebagai seorang dalang,  yang  menjadi  panutan  dan  mampu  menuangkan  gagasan-gagasan  yang  baik
bagi  masyarakat.  Banyak  ditemukan  sumber  mengenai  naskah  lakon  carangan wayang  orang  di  istana  Mangkunegaran  yang  disusun  berdasarkan  ide  dan  gagasan
Mangkunegara V. Pada  waktu  itu  selain  menampilkan  lakon-lakon  pokok  dari  epos  Ramayana
dan  Mahabarata,  Mangkunegara  V  juga  mengadakan  pembaharuan  wayang  orang dalam bidang lakon. Bila dibandingkan dengan wayang orang di keraton Yogyakarta,
dalam  periode  yang  sama,  yakni  pada  masa  Hamengku  Buwono  VII  1887-1921 wayang  orang  di  istana  Mangkunegaran  di  masa  Mangkunegara  V  mengalami
perkembangan yang lebih maju terutama dalam menampilkan lakon-lakon carangan. Persoalan  lain  sangat  menarik  dalam  wayang  orang  di  istana  Mangkunegaran
berkaitan  dengan  lakon  carangan  yang  di  tampilkannya,  Mangkunegara  V  sangat berani menampilkan lakon-lakon carangan yang diilhami oleh nilai-nilai kewanitaan,
yang belum banyak ditampilkan di keraton Yogyakarta.
25
Dari  kesekian  pembaharuan  yang  dilakukan  Mangkunegara  V,  nampaknya tampilnya  lakon-lakon  carangan  baru  mempunyai  nilai  yang  paling  dalam.  Hal  ini
dalam  kaitannya  dengan  fungsi  seorang  dalang,  dalam  hal  ini  Mangkunegara  V sebagai juru hibur, komunikator sosial, dan pelestari budaya.
25
R. M. Soedarsono. Op.cit. hlm; 29
commit to user
Untuk  mengantar  uraian  mengenai  gagasan-gagasan  Mangkunegara  V  yang tertuang  dalam  lakon-lakon  carangan  wayang  orang  yang  disusunnya,  lebih  dahulu
dapat  diambilkan  contoh  lakon  carangan  yang  dalam  pementasannya  mempunyai tujuan  seperti  itu.  Dua  lakon  carangan  yang  terciptanya  mengungkap  gagasan
penting dari si pencipta  yaitu lakon Gandawardaya karya Hamengku  Buwono  I dan lakon Wijanarka karya Mangkunegara I.
Lakon  Gandawardaya  merupakan  lakon  wayang  orang  pertama  di  keraton Yogyakarta.  Lakon  ini  menceritakan  pertarungan  antara  dua  saudara  tiri,
Gandawardaya  dan  Gandakusuma,  keduanya  putra  Arjuna.  Terjadi  peperangan diantara keduanya itu, karena mereka saling mengenal. Pada akhir cerita, Punakawan
Semar dan Prabu Kresna menasehati mereka yang sedang bertengkar. Isi nasehatnya, bahwa  mereka  berdua  adalah  masih  bersaudara,  putra  Arjuna.  Dengan  nasehat  itu
akhirnya keduanya salaing memaafkan dan hidup rukun.
26
Menurut  Soedarsono,  lakon  Gandawardaya  merupakan  simbol  perang  sipil antara Mangkubumi Hamengku Buwono I dengan Pakubuwono III 1749-1788 dan
berakhir setelah ditengahi oleh orang Belanda melalui perundingan antara keduanya. Dalam  hal  ini  bahwa  orang  Belanda  sering  dianggap  oleh  orang  Jawa  sebagai
Punakawan  Semar  dan  Prabu  Kresna,  yang  nasehatnya  bagi  kedua  saudara  di  sini mengandung kebijaksanaan paling tinggi.
Lakon  Wijanarka  merupakan  lakon  wayang  orang  pertama  di  istana Mangkunegaran.  Lakon  ini  merupakan  lakon  sempalan  dari  lakon  pokok  Babad
Wanamarta,  menceritakan  tentang  peranan  Wijanarka  nama  muda  Arjuna  dalam
26
Bandung Gunadi. Op.cit. hlm; 85-86
commit to user
turut  membersihkan  hutan  Wanamarta,  hingga  menjadi  kota  besar  dan  ramai  yaitu Negara Amarta. Wijanarka sendiri menerima sebagian wilayah Negara itu dari Prabu
Puntadewa kakaknya dan kemudian di bangun menjadi Kesatrian madukara. Lakon ini  diinterpretasikan,  merupakan  simbol  perjuangan  Mangkunegara  I  RM  Said
melawan  Pakubuwono  II,  Pakububono  III,  Hamengku  Buwono  I,  dan  Belanda. Perjanjian Salatiga tahun 1757 mengakhiri perjuangan Mangkunegara I, kemudian ia
menerima sebagian wilayah Pakubuwono III. Wilayah itu ialah Mangkunegaran, yang dilukiskan dalam cerita sebagi Kesatrian Madukara.
Ulasan  dua  lakon  carangan  di  muka,  lakon  Gandawardaya  dan  lakon wijanarka,  pada  hakekatnya  merupakan  monumen  perjuangan  Hamengku  Buwono  I
dan  Mangkunegara  I.  berdasarkan  fenomena-fenomena  ini,  maka  seorang  dalang dalam  menyusun  lakon  carangan  tidak  dapat  dianggap  mudah.  Seorang  dalang
mempunyai  pekerjaan  yang  sulit  serta  berkewajiban  luhur,  ia  harus  dapat  menjadi panutan dan mampu menuangkan gagasan-gagasan yang baik dalam hasil karyanya di
masyarakat.  Kecuali  bahasan  dua  lakon  carangan  itu,  wayang  dan  lakon-lakon carangan merupakan media untuk menuangkan gagasan-gagasan seorang dalang.
Seni pertunjukan wayang orang dan tema-tema ceritanya dijadikan monumen perjuangan  serta  media  untuk  penuangan  gagasan  seorang  dalang,  seperti  seniman
terdahulu Hamengku Buwono I, Mangkunegara I, dan Mangkunegara IV. Begitu juga dengan  Mangkunegara  V  menggunakan  wayang  orang  sebagai  media  komunikasi
sosial.  Lakon-lakon  carangan  yang  berhasil  disusun  dan  dapat  berkembang  di masanya,  antara  lain  lakon  yang  bersumber  dari  Epos  Mahabarata;  seperti  Kresna
Saraya  1883,  Pergiwa  1883,  Abimanyu  Yagnya  1884,  Arjunawibawa  1884,
commit to user
Irawan  Maling  1885,  Gilingwesi  1885,  Irawan  Yagnya  1885,  dan  Sembadra Larung. Lakon yang bersumber dari Cerita Panji; seperti Ngrenasmara 1885, Dewi
Endrawati 1886, Angreni Leno, dan Madubranta. Serata lakon yang bersumber dari Babad Majapahit seperti Damarwulan Ngarit dan Menakjinggo Leno 1884, dan Sri
Kenya  Wibawa.
27
Tidak  kurang  15  lakon  carangan  wayang  orang  berkembang  di istana Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegara V.
27
Ibid. hlm; 88-89
commit to user
BAB IV PERUBAHAN FUNGSI KESENIAN WAYANG ORANG