Perkembangan wayang orang pada masa Mangkunegara V

commit to user kejayaanya, yang ditandai adanya pembakuan tata busana wayang orang. Mangkunegara V melakukan pembaharuan dalam hal penari, pada masa Mangkunegara V mulai tampil penari wanita yang memerankan tokoh-tokoh wanita selain itu Mangkunegara V juga mengembangkan lakon-lakon carangan. 12

C. Perkembangan wayang orang pada masa Mangkunegara V

Perkembangan wayang orang, menurut Clifford Geertz munculnya wayang orang pada abad pertengahan abad ke-18 merupakan bagian dari kebangkitan seni klasik Jawa setelah mendapat pukulan karena masuknya agama Islam. Pernyataan Greetz itu kiranya cukup beralasan mengingat bahwa pada masa Kerajaan Demak, kemudian Kerajaan Pajang dan diteruskan Kerajaan Mataram Islam sampai Kerajaan mataram Kartasura tidak ditemukan data-data tentang pertunjukan wayang orang. Baru sesudah perjanjian Giyanti yang ditandai pecahnya Kerajaan Mataram di bagi menjadi dua yaitu Kerajaan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, kemudian Kerajaan Kasultanan dibagi lagi menjadi Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran pada perjanjian Salatiga tahun 1757, secara bersamaan Sri Sultan Hamengku Buwana I dan Sri Mangkunegara I menciptakan wayang orang sebagai suatu atribut kebesaran pemerintahannya. 13 Krisis ekonomi di istana berpengaruh besar pada perkembangan wayang orang. Penghapusan pemanggungan wayang orang sebagai agenda rutin di istana Mangkunegaran, tidak membuat keberadaan wayang orang hilang. Hal ini 12 Rustopo, Menjadi Jawa “Orang-Orang Tionghoa Dan Kebudayaan Jawa”, Yogyakarta: Ombak, 2007, hlm; 110-111 13 Hersapandi. Op.cit. hlm; 17-19 commit to user dikarenakan, para aktor wayang orang, entah lebih disebabkan oleh alasan ekonomi ataukah karena memang adanya motivasi estetis, justru mengembangkan kemampuan mereka di wilayah publik. Sejak itu, wayang orang berkembang sebagai seni panggung rakyat, tentu saja dengan beberapa sentuhan perubahan dari format awalnya sebagai seni elit. Wayang orang di istana Mangkunegaran mengalami masa kejayaannya pada masa Mangkunegara V, karena dalam pementasannya wayang orang Mangkunegaran, Mangkunegara V sangat mementingkan kekuatan dramatis tanpa kehilangan sifat Jawa-nya. Berdasarkan pemikiran dan penekanan kekuatan dramatis itu, maka sudah sewajarnya bila dalam pementasan wayang orang dikembangkan kembali dengan melakukan pembaharuan. Pembaharuan baru itu tampak pada busana yang dikenakan para pemain, pemain wayang orang dan lakon-lakon yang dimainkan. a Perkembangan busana Guna meperkuat nilai dramatik pementasan wayang orang, Mangkunegara V mengadakan pembaharuan dalam bidang busana. Pada awal kemunculanya pada masa Mangkunegara I hingga masa Mangkunegara IV busana yang dikenakan para penari wayang orang Mangkunegaran masih sangat sederhana, yakni tidak jauh berbeda dengan pakaian adat Mangkunegaran yang digunakan sehari-hari. Pada awalnya busana wayang orang selalu kembar mirip busana tari Wireng, Baru pada masa Mangkunegara V, diciptakan busana khusus yang digunakan para penari wayang orang Mangkunegaran. Adapun busana itu adalah busana baru yang mengikuti perwujudan busana wayang kulit purwa. Penggubahan busana baru itu di ilhami oleh patung Bima dan relief-relief pada candi sukuh. Dari sumber-sumber itu commit to user kemudian diciptakan perabot busana wayang orang, Busana-busana baru itu antara lain: makutha, kelat bahu, sumping, praba, dan uncal badhong. Dengan perubahan busana ini akan memberi kemudahan bagi penonton, untuk membedakan antara tokoh yang satu dengan tokoh lainya. 14 Penggolongan perwatakan tari dalam wayang orang diselaraskan dengan perwatakan tata rias dan busana, sehingga perpaduan unsur-unsur itu memberi makna dan simbol tertentu bagi tokoh wayang yang bersangkutan. Sebagaimana dalam wayang kulit atribut-atribut tertentu menunjuk pada tokoh-tokoh tertentu baik menunjuk pada karakteristik maupun status sosial. Wayang orang Mangkunegaran mengalami transformasi tata busana dan perkembangan pada masa pemerintahan Mangkunegara V. Tata busana wayang orang mengambil bentuk-bentuk tata busana wayang kulit purwa, yaitu tata busana manusia pada zaman Budha, terutama bagi orang yang sudah masuk di lingkungan Negara keraton seperti raja, pandhita, pembesar-pembesar kerajaan, pangeran atau para sentana, dan prajurit. Sebagai gambaran, berikut ini adalah deskripsi tata busana wayang orang ciptaan Mangkunegara V, yaitu: Kelengkapan tata busana kebesaran raja Binathara pada wayang kulit: 1. a Makutha, ngukasri martu kuntha b Jamang madrakara c Kawaca garudawali d Karawistha hendra braja 14 R. M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, Yogyakarta: UGM Press, 2002, hlm; 222-223 commit to user 2. a Sumping ngambara b Sengkang boma 3. Cacandhang hendrakala 4. a Dawala tali praba b Calumpring bujang kara 5. a Kalung tri ujung b Tebah jaja sulardi c Praba kuntha bajra 6. Gelang bau warna kelad bau mas sinangling 7. Binggel waliyasa 8. a Karencong kara wali b Bidaka ganda wari 9. Celana 15 Tata busana untuk Harya Prabu Anom dengan tata busana nata-binathara, bedanya hanya tanpa menggunakan mahkota dan praba. Untuk tata busana kebesaran patih dan wiradikara senopati perang, bedanya dengan Harya Prabu Anom hanya pada pemakaian praba. Untuk tata busana pandhita atau brahmana menggunakan kopiah, baju dan kain sedangkan perlengkapannya sama seperti lainnya. Berikuti ini adalah kelengkapan tata busana wayang orang Mangkunegaran yang diilhami dari tata busana wayang kulit K.G.P.A.A Prabu Prangwadana V, yaitu: 15 K.G.P.A.A. Prabu Prangwadana V, Pratelan Busananing Ringgit Tiyang, Surakarta: Rekso Pustoko, D 171 commit to user 1. Mahkota kerajaan Binathara digubah menjadi tropong dari kain sutera atau beludru. Untuk raja bawahan memakai kethu dari sutera atau beludru yang di atasnya diletakkan nyamat tombol kuluk saduran. 2. Jejamang digubah kulit ditatah karawitan pinarada, disebut jamang. 3. Sanggening gelung pekesi garudha anglayang. 4. Gegombyoking makhutha tidak pakai. 5. Sesumping yang digubah dari kulit tatahan pinarada, disebut sumping dengan ronce pipontoning renda ginombyok. 6. Anting-anting tidak pakai. 7. Cacandhang yang digubah menjadi semacam sondher sampur dibuat dari sutera, diujung ada yang diberi lugasan atau binara. 8. Ulur-ulur yang digubah menjadi semacam kalung herloji dengan karset, emas atau saduran tiruan. 9. Calumping tidak pakai. 10. Kalung yang digubah menjadi sangsangan wulan tumanggal. 11. Tebah jaja tidak pakai. 12. Praba yang digubah menjadi semacam kulit yang ditatah lung-lungan pinarada, disebut sraba. 13. Kelat bau yang digubah menjadi semacam tiruan rineka paksi. 14. Gegelang yang digubah tiruan binggel aben unjung atau seperti ular. 15. Keroncong yang digubah semacam kulit pinarada disebut rencong. 16. Tarumpah tidak pakai. 17. Badhong yang digubah menjadi kulit pinarada disebut badhong. commit to user 18. Celana yang digubah menjadi lancingan panji-panji dengan timbangan slaka, memakai kain prajuritan yaitu jenis kain parang rusak atau praosan, peningset cinde dengan bara, tinimangan sela dengan janur wenda dan bludru, memakai wangkingan, jejeripun sinelut sela ginombtok ing puspita rumonce diberi hiasan rangkain bunga. 16 Seperti halnya pada tata busana wayang kulit untuk tata busana Haryo Prabu Anom dengan tata busana kebesaran raja Binathara, tetapi tidak memakai tropong dan praba. Demikian juga untuk tata busana patih dan senopati, perbedaan dengan tata busana Haryo Prabu Anom terletak pada pemakaian praba. Tata busana para ksatria dan para prajurit agak mirip dengan tata busana patih dan senopati, akan tetapi dengan memakai kain batik bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan. Disamping tata busana, dikreasi juga beberapa senjata wayang kulit dengan bentuk modifikasi sesuai dengan kebutuhan wayang orang seperti dhuwung keris, jemparing jekrek atau gendhewa dan nyenyep, gada, sing dikreasi lameng. 17 Tata busana tiap tokoh disesuaikan dengan perwatakan tarinya. Simbolisasi warna selaras dengan karakteristik seperti merah sebagai simbol sifat pemberani, suka marah, sombong, dan jahat digunakan untuk tokoh Rahwana atau Baladewa, warna hitam untuk tokoh rendah hati sebagai simbol kebijaksanan dan kematangan untuk tokoh Yudistira dan Arjuna serta Rama, warna putih untuk simbol kesucian untuk tokoh pendita atau brahmana, warna kuning sebagai simbol kemegahan. Pemakaian 16 Hersapandi. Op.cit. hlm; 52-54 17 Ibid. hlm; 54 commit to user tata warna didasarkan pada warna yang kuat atau dominan dengan kombinasi warna- warna lain yang selaras. 18 b Perkembangan Penari wayang orang Pada masa Mangkunegara V mulai tampil para penari wanita yang memerankan tokoh-tokoh wanita. Semula wayang orang hanya dimainkan oleh penari pria saja dan terbatas pada abdi dalem saja, penari wayang orang berkembang tidak hanya abdi dalem saja, para sentana atau keluarga bangsawan juga ikut memainkan wayang orang di istana Mangkunegaran, perkembangan tidak terbatas hanya itu saja para wanita yang semula dianggap sakral dan tidak pernah ada dalam pementasan wayang orang di istana pada masa Mangkunegara V mulai dimunculkan. 19 Mangkunegara V dalam pementasan wayang orang sangat mementingkan kekuatan dramatis. Berdasarkan pemikiran dan kekuatan dramatis itu, maka sudah sewajar bila Mangkunegara V dalam pementasan wayang orang dikembangkan kembali dengan melakukan pembaharuan. Karena telah terjadi pergeseran fungsi pementasan dari sakral menjadi hiburan, maka Mangkunegara V memasukkan penari wanita dalam wayang orang di istana Mangkunegaran untuk menambah daya tarik penonton. Tampilnya penari wanita dalam wayang orang di istana Mangkunegaran merupakan bentuk pertunjukan yang baru, karena di daerah lain belum ditemukan. Mangkunegara V sangat menghargai kebangkitan wanita di Surakarta dari status kanca wingking teman belakang kearah emansipasi, persamaan hak dan derajat 18 Ibid. hlm; 5 19 Rustopo. Op.cit. hlm; 110 commit to user dengan kaum pria. Pandangan Mangkunegara V yang mendukung emansipasi wanita mengilhaminya, untuk melakukan penataan kembali seni-seni pertunjukan, terutama dalam menghadirkan peran penari wanita dalam wayang orang Mangkunegaran. Hadirnya peran wanita dalam wayang orang, dijadikan monumen Mangkunegara V dalam melukiskan kondisi sosial masyarakat Surakarta pada saat itu. 20 Selain memasukkan penari wanita kedalam wayang orang istana Mangkunegaran, Mangkunegara V juga orang pertama yang mencetuskan peran campuran dalam pertunjukan wayang orang. Peran campuran di sini adalah, wayang orang yang dipentaskan secara campuran antara para bangsawan, abdi dalem dan penari wanita. Pada sajian sebelumnya, wayang orang di istana Mangkunegaran hanya diperankan para abdi dalem saja, kemudian dalam perkembanganya Mangkunegara V membagi wayang orang Mangkunegaran menjadi 3 kelompok, yakni wayang orang sentana keluarga istana, wayang orang abdi dalem, dan wayang orang putri. Yang membedakan dari ketiganya antara lain adalah pemain dan busana yang dikenakan. 21 Wayang orang sentana ialah wayang orang yang diperankan oleh para sentana atau keluarga bangsawan istana, seperti: KPH Handoyokusumo, RM Subyakto, dan RM Suprapto. Busananya dibuat dari sutra, emas, intan, dan berlian. Cara berbusananya telah disiapkan dari rumah masing-masing, kemudian bila akan dimulai pentas baru berkumpul pada sebuah kamar khusus. Karena jenis wayang 20 Bandung Gunadi, Mangkunegara V 1891-1896, Seniman Besar Penampil Peran Penari Wanita Dalam Teater Tradisional Wayang Orang, Surakarta, 1992, hlm; 72 21 Sayid, Babad Sala, Surakarta: Rekso Pustoko, hlm; 11. B. 291 commit to user sentana ini, mulai dari pemain dan busananya mempunyai nilai tinggi; maka wayang orang ini hanya dapat disaksikan oleh kaum bangsawan saja. 22 Wayang orang abdi dalem ialah wayang orang yang diperankan oleh para abdi dalem atau pegawai istana Mangkunegaran. Dalam hal berbusana, para pemain tidak diperbolehkan untuk mengenakan busana seperti wayang orang sentana, mereka hanya diperbolehkan untuk mengenakan busana imitasi wayang orang sentana. Wayang orang ini pementasanya dapat disaksikan oleh kaum bangsawan dan rakyat kebanyakan. 23 Wayang orang wanita ialah wayang orang yang diperankan oleh para abdi dalem wanita Kinasih pelayan wanita kesayangan atau Kenya Puspita gadis cantik kaum bangsawan istana Mangkunegaran. Kelompok wayang orang ini dapat dipentaskan secara campuaran, sewaktu-waktu dapat bergabung dengan kelompok wayang orang sentana, dan sewaktu-waktu dapat bergabung dengan kelompok wayang orang abdi dalem. Untuk kelompok wayang orang abdi dalem dan kelompok wayang orang wanita, dalam mempersiapkan diri maupun berbusana berkumpul pada kamar yang dekat dengan pementasan. 24 c Perkembangan lakon Masa kejayaan wayang orang Mangkunegaran tidak terbatas pada perkembangan busana dan penari saja, tetapi juga pada penciptaan naskah lakon. Persoalan lain di sini, ialah suatu ide atau gagasan apa yang ada di balik pementasan wayang orang. Dalam sebuah pentasannya wayang orang di istana Mangkunegaran 22 Ibid. hlm; 11 23 Ibid. hlm; 11-12 24 Ibid. hlm; 12 commit to user mempunyai makna yang tersirat di dalam lakon yang dibawakannya. Perlu diketahui, bahwa Mangkunegara V seorang penguasa tertinggi di istananya, sekaligus seniman besar. Di dalam pertunjukan wayang orang Mangkunegara V dikenal sebagai seorang dalang, yang menjadi panutan dan mampu menuangkan gagasan-gagasan yang baik bagi masyarakat. Banyak ditemukan sumber mengenai naskah lakon carangan wayang orang di istana Mangkunegaran yang disusun berdasarkan ide dan gagasan Mangkunegara V. Pada waktu itu selain menampilkan lakon-lakon pokok dari epos Ramayana dan Mahabarata, Mangkunegara V juga mengadakan pembaharuan wayang orang dalam bidang lakon. Bila dibandingkan dengan wayang orang di keraton Yogyakarta, dalam periode yang sama, yakni pada masa Hamengku Buwono VII 1887-1921 wayang orang di istana Mangkunegaran di masa Mangkunegara V mengalami perkembangan yang lebih maju terutama dalam menampilkan lakon-lakon carangan. Persoalan lain sangat menarik dalam wayang orang di istana Mangkunegaran berkaitan dengan lakon carangan yang di tampilkannya, Mangkunegara V sangat berani menampilkan lakon-lakon carangan yang diilhami oleh nilai-nilai kewanitaan, yang belum banyak ditampilkan di keraton Yogyakarta. 25 Dari kesekian pembaharuan yang dilakukan Mangkunegara V, nampaknya tampilnya lakon-lakon carangan baru mempunyai nilai yang paling dalam. Hal ini dalam kaitannya dengan fungsi seorang dalang, dalam hal ini Mangkunegara V sebagai juru hibur, komunikator sosial, dan pelestari budaya. 25 R. M. Soedarsono. Op.cit. hlm; 29 commit to user Untuk mengantar uraian mengenai gagasan-gagasan Mangkunegara V yang tertuang dalam lakon-lakon carangan wayang orang yang disusunnya, lebih dahulu dapat diambilkan contoh lakon carangan yang dalam pementasannya mempunyai tujuan seperti itu. Dua lakon carangan yang terciptanya mengungkap gagasan penting dari si pencipta yaitu lakon Gandawardaya karya Hamengku Buwono I dan lakon Wijanarka karya Mangkunegara I. Lakon Gandawardaya merupakan lakon wayang orang pertama di keraton Yogyakarta. Lakon ini menceritakan pertarungan antara dua saudara tiri, Gandawardaya dan Gandakusuma, keduanya putra Arjuna. Terjadi peperangan diantara keduanya itu, karena mereka saling mengenal. Pada akhir cerita, Punakawan Semar dan Prabu Kresna menasehati mereka yang sedang bertengkar. Isi nasehatnya, bahwa mereka berdua adalah masih bersaudara, putra Arjuna. Dengan nasehat itu akhirnya keduanya salaing memaafkan dan hidup rukun. 26 Menurut Soedarsono, lakon Gandawardaya merupakan simbol perang sipil antara Mangkubumi Hamengku Buwono I dengan Pakubuwono III 1749-1788 dan berakhir setelah ditengahi oleh orang Belanda melalui perundingan antara keduanya. Dalam hal ini bahwa orang Belanda sering dianggap oleh orang Jawa sebagai Punakawan Semar dan Prabu Kresna, yang nasehatnya bagi kedua saudara di sini mengandung kebijaksanaan paling tinggi. Lakon Wijanarka merupakan lakon wayang orang pertama di istana Mangkunegaran. Lakon ini merupakan lakon sempalan dari lakon pokok Babad Wanamarta, menceritakan tentang peranan Wijanarka nama muda Arjuna dalam 26 Bandung Gunadi. Op.cit. hlm; 85-86 commit to user turut membersihkan hutan Wanamarta, hingga menjadi kota besar dan ramai yaitu Negara Amarta. Wijanarka sendiri menerima sebagian wilayah Negara itu dari Prabu Puntadewa kakaknya dan kemudian di bangun menjadi Kesatrian madukara. Lakon ini diinterpretasikan, merupakan simbol perjuangan Mangkunegara I RM Said melawan Pakubuwono II, Pakububono III, Hamengku Buwono I, dan Belanda. Perjanjian Salatiga tahun 1757 mengakhiri perjuangan Mangkunegara I, kemudian ia menerima sebagian wilayah Pakubuwono III. Wilayah itu ialah Mangkunegaran, yang dilukiskan dalam cerita sebagi Kesatrian Madukara. Ulasan dua lakon carangan di muka, lakon Gandawardaya dan lakon wijanarka, pada hakekatnya merupakan monumen perjuangan Hamengku Buwono I dan Mangkunegara I. berdasarkan fenomena-fenomena ini, maka seorang dalang dalam menyusun lakon carangan tidak dapat dianggap mudah. Seorang dalang mempunyai pekerjaan yang sulit serta berkewajiban luhur, ia harus dapat menjadi panutan dan mampu menuangkan gagasan-gagasan yang baik dalam hasil karyanya di masyarakat. Kecuali bahasan dua lakon carangan itu, wayang dan lakon-lakon carangan merupakan media untuk menuangkan gagasan-gagasan seorang dalang. Seni pertunjukan wayang orang dan tema-tema ceritanya dijadikan monumen perjuangan serta media untuk penuangan gagasan seorang dalang, seperti seniman terdahulu Hamengku Buwono I, Mangkunegara I, dan Mangkunegara IV. Begitu juga dengan Mangkunegara V menggunakan wayang orang sebagai media komunikasi sosial. Lakon-lakon carangan yang berhasil disusun dan dapat berkembang di masanya, antara lain lakon yang bersumber dari Epos Mahabarata; seperti Kresna Saraya 1883, Pergiwa 1883, Abimanyu Yagnya 1884, Arjunawibawa 1884, commit to user Irawan Maling 1885, Gilingwesi 1885, Irawan Yagnya 1885, dan Sembadra Larung. Lakon yang bersumber dari Cerita Panji; seperti Ngrenasmara 1885, Dewi Endrawati 1886, Angreni Leno, dan Madubranta. Serata lakon yang bersumber dari Babad Majapahit seperti Damarwulan Ngarit dan Menakjinggo Leno 1884, dan Sri Kenya Wibawa. 27 Tidak kurang 15 lakon carangan wayang orang berkembang di istana Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegara V. 27 Ibid. hlm; 88-89 commit to user

BAB IV PERUBAHAN FUNGSI KESENIAN WAYANG ORANG