commit to user
BAB II LATAR BELAKANG KEHIDUPAN MANGKUNEGARA V
SEBAGAI SEORANG BUDAYAWAN
A. Sejarah Terbentuknya Pura Mangkunegaran
Kadipaten  Mangkunegaran  berdiri  pada  tahun  1757  atas  dasar  perjanjian Salatiga.  Perjanjian  itu  melahirkan  sebuah  wilayah  baru  yaitu  Kadipaten
Mangkunegaran, yang masih merupakan bawahan dari Keraton Kasunanan Surakarta. Perjanjian  Salatiga  diprakarsai  antara  Raden  Mas  Said  dengan  Pakubuwono  III,
Hamengkubuwono  I  dan  Belanda.
1
Berdirinya  istana  Mangkunegaran  adalah  buah hasil dari perjuangan Raden Mas Said selama 16 tahun yaitu antara tahun 1741-1757,
Raden  Mas  Said  melakukan  pemberontakan  karena  merasa  kecewa  diperlakukan tidak  adil  dan  tidak  puas  terhadap  pemerintahan  Pakubuwono  II  atas  campur  tangan
Kumpeni.  Perjuangan  ditunjukkan  dengan  melakukan  pemberontakan  dan pertempuran di Laroh, Sukowati dan tempat lain.
Raden  Mas  Said  adalah  putra  pangeran  Mangkunegara  dari  Kartasura.  Maka Raden  Mas  Said  mempunyai  hak  untuk  menggantikan  kedudukan  ayahnyasebagai
raja.  Namun  dalam  kenyataanya,  beliau  hanya  mendapatkan  kedudukan  sebagai Menteri  Anom  dengan  sebutan  Raden  Mas  Suryokoesoemo.  Hal  ini  tidak  berbeda
jauh dengan apa yang dialami oleh ayahnya. Semasa Sunan Amangkurat Jawi masih berkuasa, beliau berpesan bahwa sepeninggalnya nanti yang berhak menduduki tahta
1
M.  Husodo  Pringgokusumo,  Isi  “Perjanjian  Salatiga”  G.P  Rouffaer,  “Vorstenlanden” dalam Adatrecht-bundels Jilid XXXIV, s Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1905,
hlm; 5.
commit to user
adalah  putranya  yang  tertua  yakni  Raden  Mas  Said .
Akan  tetapi  ketika  Sunan Amangkurat  Jawi  meninggal,  tahta  kerajaan  Kartasura  diserahkan  kepada  Pangeran
Adipati Anom Mangkunegara putra Sunan  yang ke sepuluh dengan  gelar Sinuwun Paku Buwono II. Dengan demikian Raden Mas Said gagal menggantikan kedudukan
ayahnya.
2
Pemberontakan  Raden  Mas  Said  merupakan  dampak  dari  perang-perang perebutan  tahta  yang  terjadi  sebelumnya.  Konflik  ini  diawali  dengan  peristiwa  yang
disebut  dengan  Geger  Pecinan,  yaitu  peristiwa  pemberontakan  orang-orang  Cina  di Batavia pada tahun 1740. Peristiwa ini kemudian menjalar ke sepanjang pantai utara
Jawa hingga melibatkan para bangsawan Mataram termasuk di dalamnya Raden Mas Said.  Pemberontakan  orang-orang  Cina  di  bawah  pimpinan  Kapten  Sepanjang  Tai
Wan  Sui,  merupakan  ungkapan  atas  tekanan  yang  terjadi  di  Batavia  semasa Valkenier menjabat sebagai Gubernur Jendral.
Adanya  tekanan  ini  menyebabkan  orang-orang  Cina  melakukan  perlawanan dengan  harapan  dapat  terlepas  dari  pengawasan  Pemerintah  Kolonial  Belanda.
Pemberontakan ini mendapat dukungan dari para Bupati pesisir pantai utara Jawa dan secara diam-diam Sri Susuhunan Paku Buwono II juga mendukung tindakan tersebut.
Namun  pada  akhirnya  Sri  Susuhunan  Paku  Buwono  II  mengingkari  keputusannya sendiri  dan  sebaliknya  memihak  kembali  kepada  pemerintah  Kolonial  Belanda,
karena para pemberontak Cina dianggap gagal merebut kota Semarang.
2
Mulat Sariro,  Suatu Uraian Singkat, Surakarta: Rekso Pustoko,1978, hlm;  4.
commit to user
Akibat  dari  pemberontakan  Cina  ini,  keraton  Kartasura  semakin  kacau,  Sri Susuhunan  beserta  para  pengikutnya  diungsikan  ke  Ponorogo.  Situasi  tersebut  di
manfaatkan  oleh  Raden  Mas  Said  untuk menggabungkan diri  dengan  Sunan  Kuning Raden  Mas  Garendi  yang  pada  saat  itu  diangkat  sebagai  Sunan  Mangkurat  V  di
Kartasura oleh pemberontak Cina. Setelah bergabung, Raden Mas Said diangkat oleh Raden Mas Garendi sebagai Panglima perang dengan gelar Pangeran Prangwadana.
3
Pemerintahan Sunan Mangkurat V atau Raden Mas Garendi tidak berlangsung lama, karena keraton Kartasura dapat direbut kembali oleh Paku Buwono II dengan bantuan
Kumpeni.  Berhasilnya  Paku  Buwono  II  merebut  kembali  keraton  Kartasura meyebabkan  dipindahnya  istana  ke  Surakarta.  Sementara  itu  intervensi  pemerintah
Kolonial  atas  kerajaan  ini  semakin  dalam,  Paku  Buwono  II  semakin  tidak  bebas dalam menentukan keputusan-keputusan politik dan pemerintahannya. Paku Buwono
II  banyak  berhutang  budi  pada  Kumpeni  yang  berhasil  mengusir  para  pemberontak. Sejak peristiwa berpindahnya istana Kartasura ke Surakarta, kekuasaan Sunan
semakin  merosot.  Pemerintah  Belanda  menuntut  upah  sebagai  ganti  rugi  atas  jasa penumpasan  pemberontak  berupa  wilayah  kekuasaan  di  daerah  pantai  bagian  barat
dan  seluruh  pantai  utara  Jawa.  Pemberian  ganti  rugi  tersebut  menyebabkan  wilayah kekuasaan  kerajaan  semakin  sempit,  selain  itu  wilayah  pangeran  Mangkubumi  juga
ikut  dikurangi.  Peristiwa  ini  menyebabkan  perselisihan  antara  Pangeran Mangkubumi,  Sunan  dan  Pemerintah  Belanda.  Setelah  peristiwa  tersebut,  para
pangeran banyak yang meninggalkan keraton termasuk Pangeran Mangkubumi.
3
R.I.W.  Dwidjasunanana,  R.  Ng  Sastradihardja,  RMF  Swidjasaputra,  Sejarah  Perjuangan Radean Mas Said
, Sala: KS, 1972, hlm; 10
commit to user
Pada  tahun  1743,  pemberontakan  Cina  bisa  dipadamkan,  namun  Raden  Mas Said tidak mau menyerah.  Ia dengan Raden Mas Garendi tetap berani tinggal di ibu
kota  Surakarta,  meskipun  dalam  ancaman  Paku  Buwono  II.  Persekutuan  mereka semakin kuat setelah bergabungnya Pangeran Buminata yaitu paman Raden Mas Said
yang juga mendapat perlakuan tidak adil dari Sunan dan Kumpeni, yang sebelumnya telah  melakukan  pemberontakan  di  desa  Sembuyan  Matesih.  Pada  akhirnya  ketiga
tokoh  ini  mengambil  keputusan  untuk  berpencar,  di  mana  Raden  Mas  Garendi menuju  ke  timur,  sedangkan  Raden  Mas  Said  bersama  Pangeran  Buminata  menuju
Sukowati. Di tempat tersebut mereka mendapat bantuan dari Pangeran Singosari yang sudah lama mengadakan pemberontakan.
Untuk  menumpas  pemberontakan  Raden  Mas  Said  dan  kawan-kawan,  Paku Buwono II menjanjikan hadiah tanah lungguh sebesar 3000 cacah di daerah sukowati
Sragen.  Mangkubumi  yang  sebelumnya  juga  berkonflik  dengan  Susuhunan menerima  tawaran  tersebut.  Pada  tahun  1746  Mangkubumi  berhasil  mengalahkan
Raden  Mas  Said  dan  menuntut  hadiah  dari  Paku  Buwono  II.  Akan  tetapi,  para penasehat  Susuhunan  Paku  Buwono  II  mendesak  agar  beliau  tidak  memenuhi
janjinya.  Mangkubumi  yang  merasa  kecewa,  akhirnya  meninggalkan  keraton  dan justru bergabung dengan pasukan Raden Mas Said untuk melakukan pemberontakan.
Pemberontakan dua orang pangeran ini dipusatkan di Sukowati. Sementara  itu  keadaan  Sunan  di  keraton  semakin  buruk  karena  menderita
suatu  penyakit.  Sebelum  Sunan  meninggal  keraton  Surakarta  sudah  diserahkan kepada  Kumpeni,  karena  hasutan  dari  Pemerintah  Belanda.  Tindakan  pemerintah
commit to user
belanda  ini  menyebabkan  rasa  tidak  senang  para  pangeran  sehingga  banyak  yang keluar dari keraton untuk bergabung dengan pangeran Mangkubumi.
Pada tahun 1752, terjadi perselisihan antara Raden Mas Said dengan Pangeran Mangkubumi.  Pada  waktu  itu  Raden  Mas  Said  harus  berjuang  sendiri  menghadapi
Sunan dan Kumpeni disatu pihak juga dengan Pangeran Mangkubumi. Situasi seperti itu  dimanfaatkan  oleh  komandan  Belanda  Van  Hodondorf  untuk  mengadakan
perundingan antara Raden Mas Said dengan pihak Kumpeni. Namun usaha itu tidak ada  hasilnya,  karena  pasukan  Raden  Mas  Said  tidak  juga  menghentikan  perangnya.
Dengan  mengamati  situasi  yang  semakin  runcing  itu,  Van  Hodondorf  menyarankan kepada  Dewan  Hindia  agar  Raden  Mas  Said  diberi  jabatan  sebagai  putra  mahkota
karena  pangeran  Buminata  yang  seharusnya  menduduki  jabatan  sebagi  putera mahkota sudah tidak mau lagi. Dalam perundingan tanggal 30 Februari 1753 Raden
Mas Said menuntut dinobatkan sebagai raja, bukan putera mahkota. Sikap Raden Mas Said  ini  bertentangan  dengan  Pangeran  Mangkubumi  yang  justru  mau  mengadakan
perundingan  dengan  pihak  Kumpeni  melalui  Gubernur  wilayah  Pesisir  Timur  Laut, Nicholas  Hartingh  pada  tahun  1754.  Dari  hasil  perundingan  tersebut,  Pangeran
Mangkubumi menerima setengah dari tanah kerajaan, mengakui kekuasaan Kumpeni atas wilayah pesisir dan bersekutu dengan Kumpeni untuk melawan Raden Mas Said.
Hasil  perundingan  antara  Pangeran  Mangkubumi  dan  Kumpeni  membuat Raden  Mas  Said  kecewa.  Raden  Mas  Said  mengirim  surat  kepada  Pangeran
Mangkubumi  dan  Kumpaeni,  tujuannya  untuk  memperbaiki  hubungan  mereka  yang sempat  terputus,  dan  membagi  pulau  Jawa  menjadi  dua.  Tetapi  permintaan  Raden
Mas  Said  ditolak  oleh  Pangeran  Mangkubumi.  Akhirnya  dari  pihak  Belanda
commit to user
memutuskan  untuk  berunding  dengan  Pangeran  Mangkubumi  dan  Sunan  Paku Buwono  III.  Perundingan  dilaksanakan  pada  tanggal  13  Februari  1755  di  desa
Giyanti,  yang selanjutnya lebih dikenal dengan Perjanjian Giyanti. Dalam perjanjian tersebut  Sunan  Paku  Buwono  III  menyerahkan  setengah  kerajaannya  yaitu  Mataram
kepada  Pangeran  Mangkubumi  dan  Hartingh  selaku  wakil  dari  pemerintah  Belanda meresmikan Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan bergelar Hamengkubuwono I.
4
Perjanjian  Giyanti  tersebut  nampaknya  tidak  mampu  meredakan  konflik dinasti  yang  berkepanjangan  di  Surakarta,  meskipun  telah  ada  persekutuan  antara
Kumpeni Belanda, Susuhunan Surakarta, dan Sultan Yogyakarta, namun Raden Mas Said tidak juga mau menghentikan perlawananya. Pada bulan Oktober 1755 ia masih
berhasil  mengalahkan  pasukan  Kumpeni  dan  pada  bulan  Februari  1756  hampir berhasil  membakar  istana  baru  di  Yogyakarta.  Lama-kelamaan  pasukan  Raden  Mas
Said  semakin  berkurang,  dan  situasi  semacam  ini  dimanfaatkan  oleh  Sunan  untuk mengajaknya berunding. Dari pihak pemerintah Belanda yang diwakili oleh Hartingh
juga  mendesak  agar  segera  diadakan  perundingan.  Akhirnya  perundingan  dapat dilaksanakan  di  Salatiga  pada  tanggal  17  Maret  1757  yang  juga  dihadiri  oleh  wakil
dari  Sunan  Yogyakarta,  yakni  Patih  Danureja.  Dari  perundingan  tersebut  dicapai beberapa  kesepakatan  yang  isinya  antara  lain  bahwa  Raden  Mas  Said  diangkat  oleh
Susuhunan  menjadi  Pangeran  Miji  seorang  Pangeran  langsung  dibawah  raja  dan berhak menggunakan gelar ayahnya, yakni Pangeran Mangkunegara. Raden Mas Said
juga  mendapatkan  tanah  apanage  yang  luasnya  4000  karya,  yang  meliputi  daerah
4
R. Ng. Yosodipuro, Babad Giyanti XVII, Surakarta: Rekso Pustoko, 1938, hlm; 76-78. B. 647
commit to user
Kedawung,  Laroh,  Matesih,  dan  Gunung  Kidul.  Bersamaan  dengan  itu  Sunan  Paku Buwono  III  juga  menobatkan  Raden  Mas  Said  menjadi  Sri  Mangkunegara  dengan
gelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I. Hak  istimewa  yang  didapat  Raden  Mas  Said  antara  lain,  boleh  duduk  sejajar
dengan  Sunan  dan  diperkenakan  berpakaian  seperti  Sunan,  juga  berhak  mengambil alih rumah kepatihan Sindurejo termasuk kampung dan bangunan sekitarnya menjadi
tempat  tinggalnya.
5
Selain  memberikan  hak  istimewa,  Sunan  juga  menetapkan larangan-larangan  yang  harus  dipatuhi  oleh  Raden  Mas  Said.  Larangan  tersebut
antara  lain,  Raden  Mas  Said  tidak  boleh  duduk  di  Dampar  atau  Singgasana,  tidak boleh  membuat  Bale  Witana,  tidak  boleh  menjatuhkan  hukuman  mati,  tidak  boleh
membuat  alun-alun  dan  menanam  pohon  beringin  waringin  kuning  sakembar. Selain  itu  Raden  Mas  Said  juga  mempunyai  kewajiban,  yakni  pada  hari  pisowanan
Senin, Kamis dan Sabtu harus hadir dan menerima perintah dari Sunan. Akan tetapi dalam  kenyataanya  Raden  Mas  Said  tidak  pernah  melaksanakan  kewajiban  tersebut
dan selanjutnya Raden Mas Said justru ditetapkan sebagai raja Mangkunegaran. Hasil  dari  Perjanjian  Salatiga  dijadikan  dasar  bagi  Raden  Mas  Said  untuk
meneguhkan  kekuatan  dan  membangun  dinasti  baru,  yaitu  dinasti  Mangkunegaran. Untuk menegakkan pemerintahan maka Raden Mas Said membangun istananya yang
kemudian dikenal dengan nama Pura Mangkunegaran. Pendiri  Mangkunegaran  adalah  Raden  Mas  Said  yang  juga  dikenal  dengan
sebutan  pangeran  Sambernyawa,  Raden  Mas  Ngabehi  Surya  Kusuma,  juga  Sultan
5
Pakempalan  Ngarang,  Serat  Ing  Mangkunegaran,  Babad  Panambang,  Surakarta:  Rekso Pustoko, hlm; 139. B 370
commit to user
Adi  Prakoso  Senopati  Ingalaga,  terakhir  bertahta  sebagai  kangjeng  Gusti  pangeran Adipati Arya KGPAA Mangkunegara I.
6
Mangkunegara I adalah seorang Adipati  yang mengepalai wilayah Kadipaten atau daerah Swapraja atau Praja, maka dari itu wilayah Mangkunegaran disebut Praja
Mangkunegaran, adapun tempat kediaman Adipati atau kepala Praja Mangkunegaran disebut Pura Puro Mangkunegaran atau Istana Mangkunegaran.
Mangkunegara II berasal dari keluarga Prabuwijaya yang lahir dari Ratu Alit. Dalam diri Mangkunegara II mengalir darah Paku Buwono III dan Mangkunegara I.
Tampil sebagai raja Mangkunegaran menggantikan kakeknya yang wafat tahun 1795. Tampilnya Mangkunegara II menggantikan Mangkunegara I merupakan catatan yang
menarik  berhubung  suksesi  di  Istana  Pangeran  Sambernyawa  berbeda  dengan  dua Kerajaan  lainnya.  Perbedaan  ini  segera  tampak  dalam  sistem  pergantian  dan  masa
pemerintahannya. Mangkunegara  II  berasal  dari  Dinasti  pejuang  yang  kental  sekali  dengan
warna  kemiliteran  sehingga  dalam  hal  suksesi  pergantian  pimpinan  Istana,  selain telah  dipersiapkan  seorang  calon  juga  mewarisi  tradisi  cita  cita  dari  pendahulunya
untuk diwujudkan dalam masa masa pemerintahan penerusnya. Tradisi dan adat Jawa yang tidak membedakan laki laki dan wanita dalam mengurus negara terbukti dengan
keberadaan  pasukan  tempur  wanita  sejak  perjuangan  pendahulunya  Pangeran Sambernyawa.  Dalam  masa  pemerintahannya  pula  calon  penerus  sudah  tampak
dipersiapkan dan jalur wanita bukan persoalan yang menghambat.
6
Suwaji Bastomi, Karya Budaya Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Harya I-VIII, Semarang: IKIP Press, 1996,  hlm; 21-28
commit to user
Mangkunegara  II  merupakan  seorang  penguasa  di  wilayah  Kadipaten Mangkunegaran  yang  selama  masa  pemerintahannya  disibukan  oleh  perang  dan
perluasan  wilayah  sehingga  dibandingkan  dengan  Mangkunegara  yang  lainnya penguasa kedua Mangkunegaran ini bisa dikatakan tidak menghasilkan karya seni.
Ketika masih muda KGPAA Mangkunegara III bernama Raden Mas Sarengat, lahir pada tanggal 16 Januari 1803. RM Sarengat sejak kecil dipungut menjadi putra
KGPAA  Mangkunegara  II  dengan  panggilan  Raden  Mas  Galemboh.  Raden  Mas Sarengat putra Bandara Raden Ayu Natakusuma putri sulung KGPAA Mangkunegara
II. Dengan demikian Raden Mas Sarengat adalah cucu KGPAA Mangkunegara II. Sejak  kecil  Raden  Mas  Galemboh  memang  berminat  pada  bidang
keprajuritan.  Suatu  kesempatan  yang  baik,  pada  waktu  usia  muda  Raden  Mas Galemboh  mendapat  pendidikan  kadet.  Ketika  terjadi  pemberontakan  Diponegoro
1825  KGPAA  Prangwadana  bersama-sama  dengan  KGPAA  Mangkunegara  II memimpin  prajurit  Mangkunegaran  menghadapi  prajurit  Pangeran  Diponegoro.
Menjelang  berakhirnya  perang  Diponegoro  KGPAA  Prangwadana  bekerja  sama dengan  Jendral  Van  Geen  berhasil  menumpas  pemberontakan  di  Jatinom  dan
Kapuran.  Sehabis  perang  Diponegoro  para  prajurit  Mangkunegaran  mendapat penghargaan  dari  pemerintah  Belanda,  sedangkan  pangeran  Harya  Prangwadana
mendapat hadiah bintang militer berpangkat empat 1832.
7
Mangkunegara IV adalah putra ke-7 dari GRAy Pangeran Arya Hadiwijaya I di  Surakarta.  Ayahnya  adalah  putra  dari  RMT  Kusumadiningrat,  menatu  PB  III.
Dengan  demikian,  Mangkunegara  IV  adalah  cucu  dari  Mangkunegara  II  dan  buyut
7
Suwaji Bastomi, Ibid, hlm; 47-52
commit to user
dari PB III, juga buyut dari KPA Hadiwijaya. Jadi Mangkunegara IV adalah saudara sepupu dari Mangkunegara III. Setelah lahir beliau langsung diminta oleh kakeknya,
kemudian diasuh oleh selirnya, Mbok Ajeng Dayaningsih yang sangat mengasihinya. Mangkunegra  IV  semasa  kecil  bernama  RM  Sudira.  Beliau  sejak  kecil  tidak
memperoleh  pendidikan  formal.  Hal  itu  dikarenakan  pada  masa  itu  belum  ada pendidikan  formal  di  Surakarta.  Pendidikan  RM  Sudira  diberikan  secara  privat  oleh
guru-guru  yang  datang  kerumah.  Guru  yang  didatangkan  antara  lain  guru  agama, pendidikan umum, guru membaca, bahasa dan tulisan Jawa. Dengan kata lain, tujuan
akhir  pendidikan  saat  itu  tidak  mutlak  pendidikan  Jawa  tetapi    untuk  memasukkan berbagai ilmu pengetahuan, tetapi memberikan jalan kearah pengembangan pribadi.
8
Dari  latar  belakang  Mangkunegara  IV  yang  sejak  kecilnya  sudah  dididik dengan berbagai pengetahuan umum maupun pengetahuan kejawen, serta bakat yang
luar  biasa  di  dalam  bidang  sastra  dan  seni,  menjadikan  beliau  sebagai  seorang sastrawan  dan  seniman  yang  terkenal  bahkan  sampai  sekarang.  Hal  inilah  yang
menjadi dasar  Mangkunegara IV menjadi sastrawan yang amat menonjol.
9
B. Latar belakang kehidupan Mangkunegara V