UU No. 31 Tahun 2000. Perlindungan hukum bagi pemegang hak desain industri dikatakan dengan asas sistem pendaftaran pertama: Analisis putusan MA nomor 01/K/N/HaKI/2005

Pengadilan Niaga dapat melaksanakan penetapan yang menyangkut hal-hal tersebut dan dengan segera memberi tahu pihak yang dikenai tindakan dengan catatan pihak yang dikenai tindakan tersebut diberi kesempatan untuk didengar keterangannya. Pasal 51 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 menentukan bahwa jika Hakim Pengadilan Niaga tetap menerbitkan surat penetapan sementara, Hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa harus memutuskan dengan beberapa alternatif putusan sebagai berikut: 1 Mengubah, 2 Membatalkan, atau 3 Menguatkan penetapan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 49 dalam jangka waktu maksimal 30 hari sejak dikeluarkannya surat penetapan sementara Pengadilan tersebut. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 secara seimbang juga melindungi pihak-pihak yang dituntut secara adil. Pada ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 yang menyatakan dalam hal penetapan sementara Pengadilan Niaga dibatalkan, pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang meminta penetapan sementara pengadilan atas segala kerugian yang ditimbulkan oleh penetapan sementara pengadilan tersebut. 35 35 Ranti Fauza Mayana, Perlindungan Desain Industri Di Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas, Cetakan Pertama, Jakarta: PT Grasindo, 2004, h. 173-176.

2. Penyelesaian Sengketa Melalui Alternative Dispute Resolution ADR

Bentuk-bentuk ADR meliputi negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Ketiga bentuk ADR ini dapat diterapkan dalam kasus-kasus sengketa di bidang HAKI, termasuk desain industri. Dalam negosiasi, penyelesaian sengketa pada dasarnya diupayakan oleh para pihak yang bersangkutan sendiri. Mediasi dan konsiliasi saling menggantikan karena pada hakikatnya adalah sama, yaitu penyelesaian sengketa dimana para pihak secara sukarela mencari penyelesaian dengan jalan merundingkan suatu kesepakatan tentang penyelesaian yang mengikat dengan bantuan pihak ketiga yang tidak berpihak. 36 Garry Goopaster memberikan definisi sebagai berikut: Mediasi sebagai proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak imparsial bekerja sama dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan. 37 Pada mediasi, kadar keterlibatan pihak ketiga lebih banyak bertindak selaku fasilitator, yaitu mengupayakan agar para pihak dapat dengan mudah menyelesaikan sendiri sengketa yang bersangkutan, sedangkan konsiliasi pihak ketiga secara aktif membantu menemukan penyelesaian sengketa untuk dapat 36 Ranti Fauza Mayana, Perlindungan Desain Industri Di Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas, Cetakan Pertama, Jakarta: PT Grasindo, 2004, h. 179 37 Syahrial Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah Hukum Adat dan Nasional, Cetakan Pertama, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,2009,h.5. disepakati para pihak. Arbitrase dalam arti luas menempatkan peranan pihak ketiga dalam menyelesaikan sengketa dimana pihak ketiga tersebut membuat putusan yang mengikat para pihak untuk dilaksanakan seperti halnya putusan pengadilan. 38 Negosiasi yaitu cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui diskusi musyawarah secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya diterima oleh para pihak tersebut. 39 Negosiasi banyak dibutuhkan orang dalam hal mereka membutuhkan sesuatu yang dapat diberikan oleh pihak lain atau juga dalam hal mereka mengiginkan adanya suatu kerja sama atau bantuan. Negosiasi juga dibutuhkan dalam hal penyelesaian sengketa yang terjadi di antara para pihak yang berkepentingan dalam lingkungan yang sederhana. Pada awalnya, mediasi adalah prosedur yang tidak mengikat sama sekali yang memberikan kesempatan para pihak untuk meningkatkan prosedur dalam beberapa tingkatan dan netral dalam suatu keadaan di mana ia tidak mempunyai kekuatan untuk menjatuhkan suatu keputusan yang mengikat para pihak. Putusan mediasi mengikat berdasarkan iktikad bak dari para pihak, tetapi 38 Ranti Fauza Mayana, Perlindungan Desain Industri Di Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas, Cetakan Pertama, Jakarta: PT Grasindo, 2004, h. 180. 39 Gatot P. Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006, h. 1. tidak memiliki kekuatan hukum seperti halnya putusan hakim. 40

3. Penyelesaian Sengeketa Secara Pidana

Masalah desain industri dimungkinkan diselesaikan melalui sistem hukum pidana. Proses pidana dimulai dari penyidikan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 53 UU Nomor 31 Tahun 2000. Ayat 1 dari Pasal 53 UU Nomor 31 Tahun 2000 tersebut berbunyi, selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi Hak Kekayaan Intelektual diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Desain Industri. Kewenangan penyidik diatur lebih lanjut dalam Pasal 53 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 2000 yang meliputi hal-hal sebagai berikut: a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran pengaduan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Desain Industri; b. Melakukan pemeriksaan terhadap pihak yang diduga telah melakukan tindak pidana di bidang Desain Industri; c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari para pihak sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang Desain Industri; d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang Desain Industri; 40 Ranti Fauza Mayana, Perlindungan Desain Industri Di Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas, Cetakan Pertama, Jakarta: PT Grasindo, 2004, h. 180. e. Melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain; f. Melakukan penyitaan terhadap bahan danatau barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Desain Industri; danatau g. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Desain Industri. Pelanggaran pidana terhadap hak desain industri diklasifikasikan sebagai delik aduan dengan ancaman hukuman maksimum empat tahun. Hakim juga dapat menjatuhkan hukuman alternatif berupa denda paling banyak Rp. 300.000.000,00. atau menggabungkan kedua ancaman pidana tersebut. Ketentuan mengenai hal ini terdapat dalam Pasal 54 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 2000 tentang desain industri. Seperti halnya pada hak cipta, UU Nomor 31 Tahun 2000 mengatur mengenai hak moral pendesain, yaitu hak yang tetap melekat pada pendesain meskipun hak desain industri telah dialihkan kepada pihak lain sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pelanggaran hak moral dikenakan ancaman hukuman paling lama satu tahun danatau denda paling banyak Rp. 45.000.000,00 ketentuan mengenai hal ini terdapat dalam pasal 54 ayat 2 UU. Nomor 31 Tahun 2000. 41 41 Ranti Fauza Mayana, Perlindungan Desain Industri Di Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas, Cetakan Pertama, Jakarta: PT Grasindo, 2004, h. 184-185.

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA DESAIN INDUSTRI ANTARA PT.

CAHAYA BUANA MELAWAN ROBERT ITO

A. Posisi Kasus

Putusan MA Nomor 01 KNHaKI2005 merupakan kasus antara PT. Cahaya Buana Intitama dengan Robert Ito. Cahaya Buana Intitama selaku penggugat dan sebagai termohon kasasi adalah pemegang hak desain industri yang bergerak dalam industri lemari CBK 124 yang telah terdaftar dengan Nomor ID 0 006 689 yang permohonannya diajukan pada tanggal 1 Agustus 2003 dan memperoleh sertifikat desain industri pada tanggal 23 Desember 2003. Kemudian Robert Ito selaku tergugat dan pemohon kasasi mengajukan permohonan pendaftaran desain industri pada tanggal 28 Oktober 2003 dan memperoleh sertifikat desain industri pada tanggal 13 April 2004 berupa lemari. PT Cahaya Buana Berpendapat jika desain lemari yang dimiliki oleh Robert Ito menyerupai danatau sama dengan desain industri lemari CBK 124 milik PT Cahaya Buana Intitama dan telah terdaftar dalam daftar umum desain industri dengan Nomor ID 0 006 357 atas nama Robert Ito dan Dirjen HaKI sebagai turut tergugat. Dalam hal ini PT Cahaya Buana Intitama merasa keberatan dengan pendaftaran desain industri lemari yang diajukan oleh Robert Ito. Karena desain industri lemari milik Robert Ito bukan desain industri yang baru yang telah 44 terungkap dan telah ada sebelumnya, yaitu desain industri lemari CBK 124 milik penggugat. Maka sudah sepatutnya desain industri milik Robert Ito tidak dapat didaftarkan. Maka sudah sepatutnya desain industri milik Robert Ito tidak dapat didaftarkan dan haruslah dibatalkan oleh Pengadilan Niaga dan diikutsertakan turut Robert ito untuk memuat pembatalannya dalam berita resmi desain industri.

B. Analisis Kasus Berbeda

Putusan Mahkamah Agung Nomor 022 KNHaKI2005 Tanggal 24 Oktober 2005 Jo. Putusan Pengadilan Niaga Nomor 05HAKI2004PN.Niaga.Sby Tanggal 23 Febuari 2005 Sepeda Motor Garuda merupakan kasus antara PT. Anglo Sama Permata Motor sebagai termohon kasasi dahulu tergugat mendapatkan sertifikat desain industri Nomor ID 0 0006493 pada tanggal 3 Oktober 2003 untuk sepeda motor garuda yang sebagian sudah dan hendak dipasarkan di Indonesia. Sepeda motor garuda juga telah mengiklankan penjualannya melalui media cetak harian jawa pos sebelum tanggal 3 Oktober 2003. Dengan Honda Giken Kogyo Kabushiki Kaisha sebagai pemohon kasasi dahulu penggugat desain sepeda motor tersebut serupa dengan desain industri yang telah didaftarkan sebelumnya dengan Nomor ID 0 000 109 pada tanggal 19 Juni 2001 yaitu berupa motor scooter, antara lain persamaan pada tampak depan seperti bidang segitiga lampu depan yang dicirikan dengan lubang vertikal. Selain itu juga pada tampak belakang serta bagian samping yang berupa knalpot dengan variasi berbentuk segitiga. Secara garis besar dua desain itu sama. Putusan Hakim dalam Pengadilan Niaga Surabaya Tanggal 23 Febuari 2005 Nomor 05HAKI2004PN.Niaga.Sby menolak gugatan yang diajukan oleh Honda Giken Kogyo Kabushiki Kaisha berupa pembatalan sertifikat desain industri milik PT. Anglo Sama Permata Motor. Dasar pertimbangan Hakim dalam menentukan desain industri Sepeda Motor Garuda milik PT. Anglo Sama Permata Motor adalah desain yang baru karena tidak sama atau identik dengan pengungkapan desain industri motor scooter milik penggugat. Perbedaannya terletak pada desain industri Sepeda Motor Garuda tidak ada penutup mesin bagian bawah dan sistem rem belakang adalah rem cakram. Serta oleh Honda Giken Kogyo Kabushiki Kaisha tidak dapat menghadirkan contoh motor garuda di muka persidangan, maka tidak dapat dibuktikan apakah dua desain itu serupa atau sama. Akan tetapi dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung Tanggal 24 Oktober 2005 Nomor 022 KNHaKI2005 mengabulkan permohonan kasasi Honda Giken Kogyo Kabushiki Kaisha berupa pembatalan sertifikat desain industri sepeda motor garudamilik PT. Anglo Sama Permata Motor dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga Tanggal 23 Febuari 2005 Nomor 05HAKI2004PN.Niaga.Sby. Mahkamah Agung. Dalam putusannya mempertimbangkan bahwa desain industri milik Honda Giken Kogyo Kabushiki Kaisha serupa alias sama dengan desain motor Honda Giken Kogyo Kabushiki Kaisha karena tidak mempunyai perbedaan