2.2 Dramatisme dan Komunikasi Politik
Dramatisme merupakan pendekatan yang berpikir tentang perilaku politik yang menggunakan metafora “hidup adalah panggung sandiwara”. Pelaku drama
tidak menganggap modus pemahaman mereka menjadi metafora; mereka percaya bahwa kerangka secara akurat menggambarkan perilaku politik Kaid dan Bacha,
2008: 193 Pelaku drama menggunakan bahasa dalam dialog untuk menciptakan dunia dimana tokoh-tokohnya bertindak, seperti pelaku drama, politisi dan warga
negara menggunakan bahasa untuk mengatur dunia yang mereka hadapi dan bagaimana mereka bertindak. Dengan bahasa ini, aktor politik memilah kejadian
nyata di dalam dunia membentuk pemahaman tentang hal tersebut. Konflik politik timbul dari perbedaan interpretasi dan tanggapan.
Dramatisme adalah salah satu bagian kontekstualisme dari gerakan intelektual yang berpengaruh pada abad 20. Para kontekstualis percaya bahwa hal
yang mendasar pada kegiatan manusia adalah terletak pada kekuatan interaksi berbasis bahasa yang berorientasi pada orang ke peristiwa lalu membentuk
respon. Mereka mempelajari strategi lewat interaksi yang membentuk respon ke peristiwa dan membentuk struktur yang stabil dari hubungan manusia. Meskipun
filsuf kontektualisme ternama Wittgenstein, dan penulis paling berpengaruh adalah Kenneth Burke. Burke mengembangkan teori umum dari peran bahasa
dalam kegiatan manusia. Bukunya Permanence and Change, Attitudes Toward History, Grammar of Motives, dan Rhetoric of Motives adalah buku yang paling
berpengaruh dalam pendekatan dramatisme dalam komunikasi politik. “The Rhetoric of Hitler’s Battle” adalah contoh kuat dari penjelasan dan kekuatan yang
telah diprediksi dari penelitian dramatisme ke dalam wacana politik. Teori penting lain dari aktivitas manusia termasuk di dalamnya Analisis Tema Fantasi-
Ernest Bormann sebelumnya Teori Konvergensi Simbolis, Analisis Naratif- Walter Fisher, Dramaturgi-Erving Goffman adalah contoh dari kontekstualis dan
teori dramatisme yang masing–masing mempunyai tingkatan berbeda dalam pencaplokan teori Burke. Pengadopsi awal dramatisme dalam komunikasi politik
adalah Murray Edelman, Bernard L. Brock, James E. Combs, Michael Calvin McGee, dan Dan Nimmo. Kaid, 2004: 74
Universitas Sumatera Utara
Akademisi yang belajar tentang komunikasi politik dengan pendekatan dramatisme membingkainya dalam dua aktivitas. Teori menyaring kosa kata
umum dan munggunakan kosa kata untuk menjelaskan bagaimana aktor politik menampilkan politik melalui pilihan strategis dari bahasa dan simbol terkait
lainnya dan bagaimana masyarakat mengorganisir aktivitas–aktivitas tersebut secara politik melalui kesamaan dan kemampuan beradaptasi dari sistem simbolik
bersama. Kritikus yang berkonsentrasi pada penampilan politik, menyinggung tentang arti dari pembatas dan pilihan bahasa dari aktivitas politik per harinya.
Banyak akademisi yang mencampuradukkan tentang aktivitas tersebut, mengetahui lebih dalam proses politik bahkan mereka berkontribusi dalam dialog
langsung tentang kegiatan politik kontemporer. Kaid dan Bacha, 2008: 193 Tiga contoh berikut mengilustrasikan bagaimana pelaku dramatisme
mengerti tentang komunikasi politik. Murray Edelman meletakkan dasar dari pengertian yang luas tentang simbol dan politik. Dia mempelajari cara bagaimana
pemimpin menguasai simbol dan cara berbicara yang umum untuk menumbuhkan kekuatan legitimasinya. Seperti kebanyakan para kontekstualis,
bagaimanapun ia tidak bisa fokus pada satu sudut pandang politik saja. Ia juga mengeksplorasi bagaimana bahasa menghasilkan isu kebijakan membentuk
pelaksanaan dari kebijakan tersebut di dalam birokrasi yang didorong kebijakan dan mengubah tindakan politik kepada respon kepuasan untuk merasakan
kebutuhan. Akhirnya ia menyajikan pandangan tentang bagaimana tindakan politik tidak hanya berbentuk ekspresi kepercayaan tetapi kekuatan yang berarti
masyarakat mengorganisir setiap hari untuk merespon keadaan yang terbentuk sebagai masalah publik. Kaid, 2004: 414
Bernard Brock berfokus pada aktor politik sebagai seorang penyebar strategi yang berorientasi pada tujuan dengan menggunakan simbol untuk
mencapai tujuannya. Brock melihat pidato politik dalam sebuah bingkai kerja dari pilihan bahasa si pembicara dari antara kemungkinan dari situasi pidato yang
berlangsung. Brock menangkap drama konflik politik dengan cara yang berbeda dan dalam orientasi yang berbeda untuk mencapai politik. Kaid dan Bacha,
2008: 193
Universitas Sumatera Utara
Robert Ivie berfokus pada kelanjutan bagaimana kita berbicara tentang politik dalam suatu waktu. Artikelnya “Presidential Motives of War” menjejaki
keberlanjutan melewati 2 abad dalam pembenaran bahasa ketika pemimpin amerika mengadakan perang. Kritik Ivie mengilustrasikan cara dramatisme
melihat komunikasi politik yaitu pemilihan bahasa bukan karena dibatasi oleh keadaan tetapi karena bentuk panggilan yang stabil dan tidak dikembangkan.
Bentukan ini adalah bahasa politik yang sebenarnya, diperkuat dan disusun atas hal itu, dan disebut dari konteks retorika ketika aktor politik mencari pembenaran
atas tindakan. Kaid dan Bacha, 2008: 193 Tidak ada dari kedua konsep yang secara baik mengilustrasikan tentang
perbedaan antara dramatisme dan pendekatan lain untuk memahami politik daripada ideologi dan motivasi. Dalam pemahaman yunani, “ide-ology” adalah
pembelajaran tentang ide, dan banyak yang memandang bahwa ideologi dilakukan dengan mengkonseptualisasi cara orang berpikir. Ketika kita melihat
ideologi sebagai bahasa, kita melihat melalui bahasa kepada ide untuk mengekspresikannya. Pelaku dramatisme tidak melihat hubungan bahasa kepada
ide dengan cara yang begitu jelas. Faktanya, mereka percaya bahwa ide adalah milik bahasa. Ide yang besar adalah produk sosial. Mereka mencapai kekuatan
mereka melalui pernyataan dalam konteks dimana mereka berhasil mengarahkan penampilan sistem politik. Kaid dan Bacha, 2008: 193
Bagi pelaku dramatisme, kunci untuk memahami motivasi adalah pola kosa kata dan bahasa yang digunakan untuk menggerakkan masyarakat melalui
respon kepada lingkungan. Motivasi bukanlah sesuatu yang ada di dalam aktor politik dan dijadikan perilaku baik verbal maupun sebaliknya. Namun, motivasi
adalah objek bahasa yang dibuat oleh manusia yang membentuk perilaku sosial, terbangun melalui penggunaannya dalam kegiatan sehari–hari, membawa
pemahaman tentang masyarakat, lalu bersedia mengatur respon terhadap kejadian yang tengah berlangsung. Para pelaku dramatisme, seperti Ivie, menemukan
pola–pola motivasi ini benar ada dalam teks yang dihasilkan oleh kultur politik dan disebut sebagai momen penting bagi pembentuk tindakan politik. Kaid dan
Bacha, 2008: 193
Universitas Sumatera Utara
Pendekatan dramatisme mengangkat komunikasi politik sebagai peran utama dalam pemahaman tentang politik. Dalam bidang tindakan manusia kita
menyebutnya “politik” mengatur orang untuk menghadapi dunia dengan bingkai kekuatan dan kepemimpinan dari hari ke hari, dengan interaksi politik dibangun
melalui penyebaran dari pemilihan oleh pemimpin dan masyakatnya dari sumber simbolis budaya mereka bersama. Kaid dan Bacha, 2008: 193
2.3 Pentad Drama