BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Paradigma
Paradigma menjadi landasan dasar yang menjadi pijakan membangun teori. Paradigma memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan arah
pengembangan suatu ilmu pengetahuan, termasuk ilmu komunikasi. Pemahaman
atas komunikasi manusia, merupakan masalah paradigma yang dipakai untuk memahaminya Fisher, 1990: 86. Paradigma adalah sudut pandang dan cara
pandang kita terhadap sesuatu. Cara kita memandang atau pendekatan yang kita gunakan dalam mengamati kenyataan untuk menentukan pengetahuan yang kita
peroleh.
Nilai paradigma tidak terletak dalam nilai kebenarannya atau seberapa baik ia mencerminkan realitas yang ada. Semua paradigma yang dapat diperoleh
adalah benar dan mencerminkan realitas, walaupun setiap paradigma pada tahap tertentu kurang lengkap serta didistorsi. Jadi yang menjadi inti adalah upaya
mencari paradigma yang dapat memberikan kepada kita konseptualisasi realitas yang paling bermanfaat bagi pencapaian tujuan kita.
Konsekuensi dari penggunaan paradigma adalah kearifan untuk menyatakan bahwa apa yang kita ketahui sekarang bukanlah kebenaran mutlak,
melainkan hanya pemahaman yang diciptakan manusia. Dan karena pemahaman kita adalah produk kemanusiaan, maka ia tunduk terhadap perubahan konseptual
sebagaimana secara historis kita telah mengubah konsep dan paradigma untuk menciptakan pemahaman. Konsekuensi lain adalah bahwa kita sebenarnya tidak
menemukan realitas, melainkan menciptakan realitas. Memilih suatu paradigma sama artinya dengan memilih mengerjakan hal–
hal menurut suatu cara pandang tertentu, tidak menurut suatu cara lain, yang tidak serta merta berlaku universal. Pada paradigma yang dipilih terkandung
semua keuntungan dan keterbatasan, akan tetapi kita tidak memiliki hak untuk
Universitas Sumatera Utara
mengingkari nilai dan untuk mempermasalahkan validitas paradigma lain. Ardianto, 2007:78
Ilmu komunikasi bisa diberi paradigma apa saja. Tapi umumnya kajian fenomena komunikasi didominasi oleh analisis sosial dan kultural. Analisis sosial
terhadap fenomena komunikasi termasuk juga analisis politik. Pemilihan paradigma politik memiliki kaitan dengan kekuatan power dalam arti luas. Ilmu
komunikasi tidak menolak teori yang berasal dari ilmu lain dengan mengedepankan alasan, ia berguna untuk memperoleh kebenaran yang lebih
menyeluruh. Teori yang bisa menjelaskan fenomena komunikasi secara jitu dianggap bisa dipinjam dari paradigma. Apalagi data komunikasi, yang nota bene
nya adalah data sosial memerlukan analisis yang komprehensif demi tercapainya kebenaran. Begitu seringnya ilmu komunikasi meminjam teori yang berasal dari
ilmu lain sebagai paradigma sehingga teori itu seakan–akan menjadi bagian dari ilmu komunikasi sendiri. Prajarto 2004: 34.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma konstruktivisme. Konstruktivisme merupakan pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang
dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Delia dan rekan–rekan sejawatnya. Konstruktivisme menyatakan bahwa individu menginterpretasikan dan beraksi
menurut kategori konseptual dari pikiran. Realitas tidak menggambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara pandang orang terhadap realitas
tersebut
Morissan, 2009:107
Prinsip dasar konstruktivisme mengungkapkan bahwa bahasa bukan cerminan semesta akan tetapi sebaliknya bahasa berperan membentuk semesta.
Setiap bahasa mengonstruksi aspek–aspek spesifik dari semesta dengan caranya sendiri. Bahasa merupakan hasil kesepakatan sosial serta memiliki sifat yang
tidak permanen, sehingga terbuka dan mengalami proses evolusi. Dalam pandangan ini, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk
memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam
kegiatan komunikasi serta hubungan–hubungan sosialnya. Subjek memiliki
Universitas Sumatera Utara
kemampuan untuk mengontrol maksud tertentu dalam setiap wacana. Komunikasi dipahami, diatur dan dihidupkan oleh pernyataan yang bertujuan.
Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Oleh
karena itu analisis dapat dilakukan demi membongkar maksud dan makna–makna tertentu dari komunikasi.
Bila dirunut ke belakang, konstruktivisme meyakini makna atau realitas bergantung pada konstruksi pikiran. Jika positivisme meyakini bahwa
pengetahuan harus merupakan representasi gambaran atau ungkapan dari kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat objektivitivisme. Maka
pengetahuan bagi kaum positivisme dianggap sebagai kumpulan fakta sedangkan konstruktivisme menolak kayakinan itu. Konstruktivisme menegaskan bahwa
pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Subjek pengamat tidaklah kosong dan tidak mungkin tidak terlibat dalam tindak
pengamatan. Kemudian keberadaan realitas tidak hadir begitu saja pada benak subjek pengamat, realitas ada karena pada diri manusia terdapat skema, kategori,
konsep dan struktur pengetahuan yang berkaitan dengan objek yang diamati. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan kita adalah konstruksi bentukan kita sendiri
Ardianto, 2007: 154
Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat
dipindahkan begitu saja dari otak seseorang ke otak orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan
menyesuaikan dengan pengalaman mereka. Kebenaran menurut konstruktivisme bukan pada kecocokan dengan
realitas ontologis melainkan pada validitas, yaitu kemampuan suatu konsep atau pengetahuan dalam operasi. Artinya, pengetahuan yang kita konstruksikan itu
dapat digunakan dalam menghadapi macam–macam fenomena dan persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Pembatasan pengetahuan pada paradigma konstruktivisme bukanlah terletak pada pengetahuan manusia yang terhubung dengan kenyataan karena
kenyataan bukan lagi rujukan bagi kebenaran untuk kaum konstruktivisme. Beberapa hal yang membatasi proses konstruksi pengetahuan manusia antara lain
adalah Ardianto, 2007: 160:
1. Konstruksi kita yang lama
2. Domain pengalaman kita
3. Jaringan struktur kognitif kita
Tanpa konstruksi pengalaman lama, pengetahuan tidak akan bertambah; dengan kata lain pengetahuan akan dibatasi oleh ada tidaknya pengetahuan
lampau. Konstruktivisme memang merujukkan pengetahuan pada konstruksi yang sudah ada di benak subjek. Namun konstruktivisme juga meyakini bahwa
pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi, melainkan proses panjang sejumlah pengalaman.
Para ilmuwan konstruktivis mengembangkan model komunikasinya yang disebut sebagai komunikasi berbasis diri. Komunikasi berbasis diri adalah model
komunikasi yang memeriksa proses lahirnya pesan berdasarkan orientasi diri. Pesan–pesan berbasis diri merupakan suatu gagasan yang menyokong kebutuhan
pendengarnya, perhatian atas situasi yang mungkin mengarah pada tujuan yang beragam.
Prinsip dasar konstruktivisme adalah bahwa tindakan ditentukan oleh konstruk diri sekaligus juga konstruk luar diri. Komunikasi pun dirumuskan
demikian, ditentukan oleh diri di tengah pengaruh lingkungan luar. Perbedaan ini dapat dilihat antara person dan self. Person merupakan diri yang terlibat dalam
lingkungan publik, pada dirinya terdapat atribut sosial budaya masyarakatnya. Self adalah diri yang ditentukan oleh pemikiran khasnya di tengah sejumlah
pengaruh sosial budaya masyarakatnya. Ardianto 2007: 161 Menurut kalangan konstruktivis, satu hubungan yang bersifat individual
akan menghasilkan pesan yang berbasis diri. Kemudian Burleson 1987 menyatakan bahwa pengeluaran berbasis diri bergantung pada kecakapan dalam
Universitas Sumatera Utara
menggambarkan dan mengambil kesimpulan karakteristik psikologis para pendengarnya secara internal. Faktor lain yang mempengaruhi adalah konsep
tentang tujuan. Tujuan bisa bersifat instrumental mengajak atau
memberitahukan dan relasional mendukung penampilan seseorang, menunjukkan pesona diri. B.J. O’Keefe dan Delia menyatakan pesan berbasis
diri lebih kompleks dalam tindakannya karena tujuannya yang beragam. Produksi pesan yang kompleks ini dikaitkan dengan kompleksitas kognitif. Individu
dengan konstruk sistem yang berbeda akan membuat definisi yang kompleks tentang situasi antarpersona dan akan, sebagai hasil, memproduksi pesan yang
lebih bersifat kompleks serta lebih terpusat pada diri Ardianto, 2007 : 164 Konsep tentang tujuan konstruktivisme adalah adanya desain pesan dalam
peristiwa komunikasi berbasis diri. Desain pesan didasarkan pada kecenderungan seseorang dalam memanajemen tujuannya untuk kepentingan sampainya tujuan
melalui pesan yang dipilihnya. Logika desain pesan ini menyatakan bahwa setiap orang mempunyai alur pikiran berbeda yang digunakan dalam mengurus tujuan–
tujuan yang saling bertentangan. Logika yang bertentangan ini digambarkan sebagai, a seleksi, saat ketika seseorang memilih di antara tujuan–tujuan
bersaing; b pemisahan, saat ketika tujuan yang bersaing di bagi dalam bagian– bagian yang berbeda dari pesan–pesan partiular; dan c integrasi, saat ketika
seseorang berusaha untuk mendamaikan tujuan–tujuan yang bersaing itu melewati rintangan dalam pesan. MiIler, 2005: 107
Barbara O’Keefe menunjukkan tiga logika dasar desain pesan yaitu ekspresif, konvensional, dan retoris. Logika ekspresif memperlakukan
komunikasi sebagai suatu model ekspresi diri, sifat pesannya terbuka dan reaktif secara alami, sedikit memperhatikan keinginan orang lain. Logika ekspresif
misalnya bisa ditemukan pada saat kita sedang marah. Logika konvensional memandang komunikasi sebagai permainan yang dilakukan secara teratur.
Komunikasi dilakukan sebagai proses ekspresi berdasarkan aturan dan norma yang diterima bersama, maka komunikasi berlangsung sopan dan tertib. Logika
retoris memandang komunikasi sebagai suatu cara mengubah aturan melalui
Universitas Sumatera Utara
negosiasi. Pesan dirancang cenderung fleksibel, penuh wawasan, dan berpusat pada orang Ardianto, 2007 : 164
Berdasarkan logika pesan tersebut konstruktivisme ditinjau dari manajemen pemaknaan yang terkordinasi. Individu membuat interpretasi
berdasarkan aturan–aturan sosialnya. Individu dalam situasi sosial pertama–tama didorong oleh keinginan untuk memahami apa yang sedang terjadi dan
menerapkan aturan–aturan untuk mengetahui segala sesuatu. Pada tahap lanjutan individu bertindak atas dasar pemahaman mereka, dengan menggunakan aturan-
aturan untuk memutuskan jenis tindakan yang sesuai. Pada titik inilah desain pesan dioperasikan oleh individu dalam tindak komunikasinya, desain pesan
dilakukan agar tindakan dan pernyataan dapat menciptakan komunikasi yang interaktif.
3.2 Metode Penelitian