Burke menambahkan bahwa kata–kata, pemikiran, dan tindakan memiliki hubungan yang sangat dekat satu dengan lainnya. Penjelasan Burke mengenai hal
ini adalah bahwa kata–kata bertindak sebagai layar terministik terministic screens menuju pada ketidakmampuan yang terlatih trained incapacities, yang
berarti bahwa orang tidak mampu melihat dibalik hal kemana kata–kata mereka menuntun mereka Burke, 1965: 86.
Asumsi kedua menyatakan bahwa bahasa memiliki pengaruh deterministik terhadap orang, tetapi asumsi yang terakhir mengatakan bahwa
manusia adalah pembuat pilihan. Burke secara gigih mengatakan bahwa ontologi deterministik behaviorisme harus ditolak karena hal itu bertentangan dengan apa
yang dia lihat sebagai dasar utama dari dramatisme; pilihan manusia. Turner dan West, 2007: 29
Kebanyakan teori banyak berpijak pada konseptualisasi akan agensi agency, atau kemampuan aktor sosial untuk bertindak sebagai hasil pilihannya.
Seperti yang diamati oleh Charles Conrad dan Macom menyatakan lebih lanjut, Burke berkutat dengan konsep agensi sepanjang kariernya, terutama karena
sulitnya menegosiasikan ruang di antara kehendak bebas yang sepenuhnya dan determinisme yang sepenuhnya. Pemikiran Burke terus berevolusi pada titik ini,
tetapi dia tetap mempertahankan agensi sebagai konsep terdepan dalam teorinya. Turner dan West, 2007: 29
2.1.3 Dramatisme dan Retorika
Dalam bukunya A Rhetoric of Motivates 1950, 16, Burke memperhatikan tentang persuasi dan dia banyak berdiskusi mengenai prinsip
tradisional retorika yang dikembangkan oleh Aristoteles. Burke menyatakan bahwa definisi retorika intinya adalah persuasi, dan tulisannya mengeksplorasi
cara–cara dimana persuasi dapat terjadi. Menanggapi hal ini, Burke mengatakan bahwa sebuah retorika baru berfokus pada beberapa isu penting, dan yang paling
penting di antara semuanya adalah identifikasi. Marie Nichols Griffin, 2005: 300 pada tahun 1952 menjelaskan perbedaan antara Burke dan Aristoteles
Universitas Sumatera Utara
adalah bahwa perbedaan antara retorika lama dan retorika baru mungkin dapat dirangkum dalam cara ini: Kata kunci untuk retorika lama adalah persuasi dan
menekankan pada desain yang terencana, dan kata kunci untuk retorika baru adalah identifikasi dan dalam hal ini dapat mencakup faktor–faktor yang secara
parsial tidak sadar dalam mengajukan pernyataannya. Tetapi tujuan Burke tidak untuk menggantikan konseptualisasi Aristoteles tetapi lebih kepada memberikan
tambahan terhadap pendekatan tradisional.
2.1.4 Identifikasi dan Substansi
Identifikasi adalah kesamaan yang ada antara pembicara dan penonton. Burke menggunakan substansi sebagai istilah umum untuk menggambarkan
seseorang mulai dari karakteristik fisik, bakat, pekerjaan, pengalaman, kepribadian, keyakinan, dan sikapnya. Semakin banyak tumpang tindih antara
substansi pembicara dan substansi pendengar, semakin baik tingkat identifikasinya.
Kebalikannya juga benar, semakin kecil tingkat
ketumpangtindihan individu, makin besar pemisahan yang ada di antara mereka. Walaupun demikian, pada kenyataannya dua orang tidak dapat sepenuhnya
memiliki ketumpangtindihan satu dengan yang lainnya. Burke sadar akan hal ini dan menyatakan bahwa “ambiguitas substansi” menyatakan bahwa identifikasi
akan selalu terletak pada kesatuan dan pemisahan. Para individu akan bersatu pada masalah–masalah substansi tertentu tetapi pada saat bersamaan tetap unik,
keduanya disatukan dan dipisahkan. Selanjutnya Burke mengindikasikan bahwa retorika dibutuhkan untuk menjembatani pemisahan dan membangun kesatuan.
Burke merujuk proses ini sebagai konsubstansiasi atau meningkatkan identifikasi mereka satu sama lain. Konsubstansiasi atau masalah mengenai identifikasi dan
substansi berhubungan dengan siklus rasa bersalahpenebusan karena rasa bersalah dapat dihilangkan sebagai hasil identifikasi dan pemisahan. Turner dan
West, 2007: 30
Universitas Sumatera Utara
2.1.5 Proses Rasa Bersalah dan Penebusan