19
bisa mendatangkan malacelaka dan penyakit, baik kepada diri sendiri ataupun orang lain yang bergaul dengan dirinya, maupun kepada dirinya sendiri.
Dalam bukunya, Patologi Sosial, Kartono 2013:216 menuliskan bahwa pekerja seks komersial merupakan peristiwa penjualan diri dengan jalan memperjualbelikan badan,
kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran. Kartono juga menyebutkan bahwa pekerja seks komersial ialah
perbuatan perempuan ataupun laki-laki yang menyerahkan badannya untuk berbuat cabul secara seksual yang mendapatkan upah. Defenisi tersebut sejalan dengan Subadra 2007
yang menjelaskan bahwa pekerja seks komersial adalah seseorang yang menjual dirinya dengan melakukan hubungan seks untuk tujuan ekonomi. Subadra 2007 juga menjelaskan
terdapat dua pelaku pekerja seks komersial yaitu; laki-laki yang sering disebut sebagai gigolo dan perempuan yang sering disebut wanita tuna susila WTS.
Di Indonesia pelacur pekerja seks komersial sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal atau sundel. Ini menunjukkan bahwa perilaku perempuan sundal itu sangat
buruk, hina dan menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila tertangkap aparat penegak ketertiban, mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan
mereka juga diseret ke pengadilan karena melanggar hukum.
2.2.2 Sejarah Pekerja Seks komersial
Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia itu sendiri. Pelacuran selalu ada sejak zaman purba sampai sekarang. Pada masa lalu
pelacuran selalu dihubungkan dengan penyembahan dewa-dewa dan upacar-upacara keagamaan tertentu. Ada praktek-praktek keagamaan yang menjurus pada perbuatan dosa dan
tingkah laku cabul yang tidak ada bedanya dengan kegiatan pelacuran. Pada zaman kerajaan Mesir Kuno, Phunjsia, Assiria, Chalddea, Ganaan dan di Persia, penghormatan terhadap
20
dewa-dewaIsis, Moloch, Baal, Astrate, Mylitta, Bacchus dan dewa-dewalain disertai orgie- orgie. Orgie orgia adalah pesta kurban untuk para dewa, khususnya pada dewa Bachus yang
terdiri atas upacara kebaktian penuh rahasia dan bersifat sangat misterius disertai pesta-pesta makan dengan rakus dan mabuk secara berlebihan. Orang-orang tersebut juga menggunakan
obat-obat pembangkit dan perangsang nafsu seks untuk melampiaskan hasrat berhubungan seksual secara terbuka. Sehubungan dengan itu, kuil-kuil pada umunya dijadikan pusat
perbuatan cabul. Menurut Hull 1997:145 menyatakan bahwa adanya perkembangan pelacuran di
Indonesia dari masa ke masa yang dimulai dari masa kerajaan-kerajaan di Jawa, masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan setelah kemerdekaan. Pada masa kerajaan
di Jawa, perdagangan wanita yang kemudian akan dimasukan dalam dunia pelacuran terkait dengan sebuah sistem pemerintahan yang feodal. Bentuk pelacuran ini disebabkan oleh
konsep kekuasaan raja yang bersifat agung, mulia dan tak terbatas, sehingga mendapatkan banyak selir. Muncul pula anggapan bahwa, semakin banyak selir yang dimiliki raja maka
semakin kuat pula posisi raja di mata masyarakat. Sistem feodal tidak sepenuhnya menunjukkan keberadaan komersialisasi industri seks seperti masyarakat modern ini,
meskipun apa yang dilakukan pada masa itu dapat membentuk landasan bagi perkembangan industri seks yang sekarang.
Setelah masa kerajaan, pelacuran muncul kembali dengan wajah yang berbeda dalam masa penjajahan Belanda. Pada periode penjajahan Belanda, bentuk pelacuran lebih
terorganisir dan berkembang pesat. Didasarkan pada pemenuhan kebutuhan pemuasaan seks masyarakat Eropa yang ada di Indonesia, dengan melalui adanya selir-selir. Juga adanya
dasar alasan lain mengapa pelacuran lebih terorganisir dan berkembang pesat, yaitu sistem perbudakan tradisional. Contohnya dalam pertumbuhan industri seks di pulau Jawa dan
21
Sumatera, berkembang seiring pendirian perkebunan-perkebunan. Para pekerja perkebunan dengan mayoritas laki-laki akan menciptakan permintaan aktivitas prostitusi.
Komersialisasi seks di Indonesia terus berkembang, selama pendudukan Jepang antara tahun 1941-1945, semua perempuan yang dijadikan budak sebagai wanita penghibur
dikumpulkan dan dijadikan satu dalam rumah-rumah bordir. Bukan hanya wanita yang tadinya memang sebagai wanita penghibur saja yang masuk ke rumah bordir, di masa
pemerintahan Jepang banyak pula wanita yang tertipu ataupun terpaksa melakukan hal tersebut. erdapat perbedaan kehidupan wanita tuna susila dari kedua masa penjajahan tersebut
Belanda dan Jepang, yang ditegaskan dalam sebuah dokumen yang dikumpulkan majalah mingguan Tempo 1992 yang menyebutkan bahwa wanita-wanita yang dijadikan pelacur
pada kedua masa penjajahan tersebut lebih menyukai kehidupannya yang nyaman pada masa penjajahan Belanda dibanding dengan masa penjajahan Jepang. Hal ini dikarenakan banyak
Sinyo yang memberi hadiah pakaian, uang, perhiasan, tempat tinggal, sedangkan orang Jepang terkenal pelit dan lebih suka kekerasan Hull, 1997:15.
Kemudian pelacuran lebih bervariatif pada tahun 1980-an dengan diawali munculnya fenomena baru yaitu hadirnya perek , yang biasa diartikan sebagai perempuan eksperimental.
Kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga kalangan ekonomi menengah, masih bersekolah, dan bekerja sebagai pekerja seks. Menurut Murray 1993:5, dalam Hull 1997
menyatakan bahwa mereka menekankan kepentingan diri sendiri, secara bebas melakukan hubungan seks dengan siapa saja yang mereka inginkan, dengan atau tanpa bayaran. Biasanya
seorang perek adalah seseorang wanita muda, dengan memiliki jiwa petualang dan mempunyai sikap melawan.
22
2.2.3 Tipe Pekerja Seks Komersial di Indonesia