sedang berkembang, dengan adanya perusahaan hutan tanaman dan pertambangan, menyediakan peluang pekerjaan bagi masyarakat di sekitar Desa
Asam Jaya. Para petani kayu jabon pada umumnya juga mengusahakan tanaman karet. Namun untuk membangun kebun laret juga diperlukan modal usaha yang
cukup besar. Hasil analisa finansial usaha tanaman karet memperkirakan biaya pembangunan tanaman karet sebesarRp 6.8 juta per ha dan biaya pemeliharaan
sekitar Rp 2 juta sampai Rp 9 per tahun lihat Lampiran 10, sebelum tanaman tersebut mulai menghasilkan getah pada sekitar tahun ke 5. Pilihan untuk
menanam kayu jabon merupakan pilihan yang cukup strategis karena relatif tidak memerlukan biaya yang besar di dalam pembangunan dan pemeliharaan
tegakannya. Secara ekologis tanaman jabon cocok dengan kondisi setempat karena jabon
termasuk jenis pionir dan tahan terhadap tempat terbuka Krisnawati et al. 2011
a
. Tanaman jabon juga termasuk jenis cepat tumbuh sehingga relatif cepat akan
memberikan hasil. Namun demikian, faktor utama yang mempengaruhi motivasi petani untuk menanam jabon adalah karena adanya jaminan pemasaran dari
perusahaan yang mendukung program penanaman tersebut. Setelah kemudian jaminan tersebut menjadi tidak pasti karena perusahaan pendukungnya sudah
tidak beroperasi, motivasi petani untuk memelihara tanaman jabon mulai berkurang. Dari pendapat para responden selama pelaksanaan survey rumah
tangga terungkap bahwa kini mereka tidak terlalu mencurahkan sumber dayanya tenaga kerja, pupuk, obat-obatan untuk memelihara tegakan jabon. Harga pasar
yang rendah Rp 125,000 per m
3
dalam bentuk tegakan menjadi salah satu sumber demotivasi bagi petani untuk terus merawat tegakan jabon mereka.
Perilaku petani tersebut di atas dapat dipandang sebgai perilaku rasional namun juga oportunis seperti disebutkan di dalam konsep teori aktor menurut
Ostrom 2006. Sebagian petani jabon juga menunjukkan sikap fallable learners dengan mengganti tanaman jabon mereka dengan tanaman karet yang dianggap
lebih prospektif. Bagi mereka keputusan untuk menanam jabon dianggap sebagai keputusan yang keliru dan dapat diduga bahwa mereka akan lebih berhati-hati
untuk melakukan investasi di bidang usaha tanaman kayu di masa depan.
Faktor lain yang mempengaruhi persepsi terhadap usaha tanaman kayu kemungkinan adalah faktor budaya. Fakta bahwa para penanam kayu sebagian
besar berasosiasi dengan etnis Jawa mengindikasikan adanya pengaruh budaya Jawa yang dibawa ke daerah baru di Tanah Laut. Penduduk Jawa, khususnya para
transmigran merantau ke luar Jawa karena didorong keinginan untuk memperoleh lahan garapan bagi usaha tani mereka. Oleh karena itu masyarakat Jawa lebih
responsif didalam menyambut berbagai program pembanguan yang berkaitan dengan usaha tani berbasis lahan yang ditawarkan pemerintah, seperti yang
tercermin pada masyarakat di Desa Ranggang. Fakta bahwa hanya sebagian kecil dari petani di Desa Asam Jaya yang menyambut tawaran untuk penanaman jabon,
kemungkinan disebabkan oleh proses sosialisasi yang belum intensif dilakukan oleh perusahaan pendukung PT. Hendratna. Beberapa responden survey rumah
tangga mengatakan bahwa mereka tidak sempat memperoleh bibit yang dibagikan dari perusahaan tersebut sehingga tidak melakukan penanaman jabon di lahan
milik mereka. Berdasarkan struktur pendapatan keluarga Gambar 15 dan 20, para petani
kayu di kedua desa studi nampak melakukan strategi diversifikasi sumber pendapatan Belcher dan Kusters 2004. Di dalam pelaksanaan strategi tersebut,
para petani di Desa Ranggang memfokuskan kegiatan usaha tani mereka pada produksi tanaman pangan. Perilaku mereka menyerupai petani dalam artian
peasant dalam perspektif antropologi ekonomi petani Abar 2002. Petani Jawa di Desa Ranggang relatif sudah lebih lama menghuni desa tersebut sejak tahun
1970an sehingga sudah membentuk budaya yang mirip dengan budaya asal mereka di Jawa. Perilaku peasant di Desa Ranggang tersebut juga dicirikan
dengan lebih banyaknya petani yang melakukan pola tumpang sari di dalam tegakan mahoni mereka. Fokus pada tanaman pangan tersebut merupakan
penerapan strategi subsisten coping strategy petani di desa ini. Di desa Asam Jaya perilaku tersebut jarang dijumpai karena lahan bawah tegakan jabon pada
umumnya ditumbuhi rumput-rumputan. Pada teknik budidaya tanaman, para petani di Desa Asam Jaya nampak
menerapkan strategi yang berorientasi pasar atau specialized strategy menurut Belcher dan Kuster 2004. Penanaman kayu sudah dilakukan menyerupai
tanaman kayu industri dengan penerapan jarak tanam yang teratur dan umur pohon yang seragam. Pada awal pertumbuhan tanaman, petani juga melaksanakan
perawatan yang cukup intensif, seperti melakukan kegiatan pembersihan gulma penyiangan, pemupukan dan penyemprotan hama dengan obat-obatan. Dari
aspek kondisi lingkungan, pola tanaman industri tersebut juga relatif mudah dilakukan karena kondisi medan yang landai dan tanah yang relatif homogen.
Para petani, baik di Desa Ranggang maupun di Asam Jaya sampai saat ini belum melakukan pemanenan atas tanaman kayu mereka karena umur tanaman
yang reatif masih muda. Akan tetapi dari pola budidaya yang mereka lakukan nampaknya strategi tebang habis akan menjadi pilihan petani, khususnya bagi para
petani di Desa Asam Jaya. Model pemasaran yang tidak seperti di Jawa, dimana di setiap desa mudah dijumpai para pengepul kayu, juga turut mendorong pola
pemanenan tebang habis tersebut. Pasar nampaknya akan menjadi fakor kunci yang akan menentukan pola pemanenan kayu oleh petani. Jenis kayu jabon
mempunyai tujuan penggunaan yang lebih berorientasi kepada industri besar seperti industri serpih atau kayu lapis, sehingga juga cenderung membentuk pola
pemanenan tebang habis tersebut. Akan tetapi pada jenis mahoni, peluang untuk model tebang pilih seperti yang dipraktekkan oleh para petani jati rakyat masih
sangat memungkinkan, karena nilai per satuan volume kayu yang lebih tinggi dan potensi penggunaan kayu yang lebih beragam.
Ringkasan analisa atas persepsi dan strategi petani di dalam sistem pengusahaan tanaman kayu rakyat di Kabupaten Tanah Laut disajikan pada Tabel
13. Persepsi dan staregi petani di dalam pengusahaan tanaman kayu rakyat di
Kabupaten Tanah Laut telah menghasilkan kinerja yang bervariasi. Di Desa Ranggang, prospek pengusahaan tanaman kayu cenderung baik karena motivasi
petani masih tinggi di dalam menjalankan usaha tersebut. Kesimpulan ini tercermin dari hasil inventarisasi tanaman kayu mereka dimana sebagian besar
tegakan mahoni masih berada dalam kondisi yang baik. Kegiatan penanaman baru juga masih berlangsung dan pembinaan dari pihak pemerintah terhadap kelompok
petani di desa ini masih cukup intensif. Salah satu bukti minat yang masih tinggi tersebut, di Desa Ranggang sudah terdapat areal-areal pembibitan tanaman kayu
yang menyediakan bibit tanaman untuk kegiatan penanaman kayu di wilayah sendiri serta untuk wilayah-wilayah tetangga desa tersebut.
Tabel 13 Ringkasan strategi petani dalam sistem pengusahaan tanaman kayu rakyat di Kabupaten Tanah Laut
No. Aspek
Ranggang Asam Jaya
1 Persepsi petani
terhadap pengusahaan
tanaman kayu Usaha tanaman kayu
merupakan alternatif sumber pendapatan
keluarga. Petani tertarik kepada usaha ini karena
memanfaatkan peluang yang tersedia dari
program pengembangan tanaman kayu rakyat
oleh pemerintah. Usaha tanaman kayu
merupakan alternatif sumber pendapatan
keluarga. Petani tertarik kepada usaha ini karena
memanfaatkan peluang yang tersedia dari
program pengembangan tanaman kayu rakyat
oleh industri kayu. Sebagian petani telah
memandang usaha mereka sebagai
keputusan yang keliru karena perkembangan
pasar yang tidak pasti.
2 Strategi usaha
tanaman kayu rakyat
Petani menjadikan usaha tanaman kayu sebagai
bagian dari strategi diversifikasi sumber
pendapatan. Usaha tanaman kayu
terintegrasi di dalam sistem usaha tani dengan
fokus usaha masih pada produksi tanaman
pangan coping and diversified strategy
Petani menjadikan usaha tanaman kayu sebagai
bagian dari strategi diversifikasi sumber
pendapatan. Usaha tanaman kayu lebih
condong ke arah spesialisai pasar
spesialized strategy.
3 Strategi pemanenan
dan pemasaran kayu rakyat
Prospek pemanenan dan pemasaran kayu lebih
bersifat fleksibel antara tebang habis atau tebang
pilih, tergantung kepada perkembangan pasar.
Prospek pemanenan dan pemasaran kayu
cenderung tebang habis.
Tidak demikian halnya dengan kondisi di Desa Asam Jaya, prospek usaha tanaman kayu jabon di wilayah ini kurang menentu karena ketidakjelasan pasar.
Sebagian besar petani masih memelihara tanaman jabon mereka, namun dengan intensitas perawatan yang jauh berkurang. Sebagian besar petani masih berharap
bahwa perkembangan pasar di masa depan untuk tanaman jabon mereka akan lebih baik.
5.2.4.
Permasalahan dan Peluang Petani dalam Pengusahaan Tanaman Kayu Rakyat
Permasalahan yang dihadapapi petani di Kabupaten Tanah Laut dalam menjalankan usaha tanaman kayu mereka bervariasi di antara kedua desa
penelitian. Di Desa Ranggang, permasalahan utama yang dirasakan oleh sebagian petani adalah keterbatasan kepemilikan lahan untuk pengembangan tanaman kayu.
Alasan tersebut banyak diungkapkan oleh para petani responden non penanam kayu. Pemerintah Kabupaten Tanah Laut telah mencanangkan program
pengembangan HTR di Kecamatan Jorong. Namun demikian peluang ini mungkin bukan solusi yang cocok untuk petani di desa Ranggang karena jarak yang terlalu
jauh. Diperlukan inventarisasi lahan lebih lanjut untuk mengetahui potensi lahan yang masih kurang produktif yang dapat dimanfaatkan di sekitar wilayah Desa
Ranggang untuk pengembangan tanaman kayu tersebut. Bagi petani penanam kayu, upaya lain yang dapat dilakukan adalah menerapkan teknik silvikultur yang
baik terhadap tegakan mahoni mereka. Informasi untuk melakukan hal tersebut sudah tersedia Krisnawati et al. 2011
b
dan sebagian telah dipraktekkan oleh masyarakat. Peran penyuluh kehutanan di dalam mensosialisasikan informasi
tersebut menjadi sangat penting. Di Desa Asam Jaya, akses terhadap pasar dan harga jual yang rendah
menjadi permasalahan utama. Bertolak-belakang dengan kondisi kekurangan bahan baku kayu yang dihadapi berbagai industri di Provinsi Kalimantan Selatan,
akses pasar para petani jabon di Desa Asam Jaya sangat terbatas. Sementara itu harga beli kayu yang berlaku di perusahaan kayu lapis film face PT. Navatani
yang letaknya berdekatan dengan desa Asam Jaya masih tergolong rendah lihat Tabel 14. Dengan asumsi riap tahunan sebesar 10m
3
per ha Krisnawati et al. 2011
a
, maka nilai tegakan jabon masyarakat pada tahun 2013 adalah sekitar Rp 12,500,000
17
per ha. Dengan beberapa asumsi harga-harga input produksi yang
17
Diasumsikan potensial volume kayu yang dihasilkan adalah 10 m
3
X 10 tahun = 100 m
3
didasarkan atas hasil wawancara dengan beberapa petani responden Lampiran 9, maka manfaat finansial tanaman jabon pada tahun ke 10 2013 tersebut
menghasilkan Net Present Value NPV sebesar Rp 184,376. Manfaat finansial tersebut sangat jauh bila dibandingkan dengan potensi manfaat finansial dari
usaha tanaman alternatif lainnya seperti karet dengan nilai NPV pada tahun ke 10 sebesar Rp 74 juta Lampiran 10.
Tabel 14 Perincian harga kayu yang diterima pabrik PT. Navatani Persada untuk bahan
baku kayu lapis “film face” No.
Rincian biayaharga Harga kayu Rp m3
1 Harga tegakan stumpage value
125,000 2
Biaya tebang, potong dan muat ke truk 125,000
3 Biaya pengurusan izin Surat Izin TebangSIT,
dll 40,000
4 Biaya angkutan dan lain-lain
135,000 5
Harga kayu diterima di pabrik 425,000
Potensi permasalahan lainnya bagi upaya pengembangan tanaman kayu rakyat adalah biaya transaksi yang cukup tinggi yang diakibatkan oleh kewajiban
tata niaga kayu rakyat berupa kelengkapan dokumen SIT dan SKAU. Seperti terlihat pada Tabel 14, komponen biaya yang disebabkan oleh pengurusan SIT
adalah sebesar 32 dari harga jual tegakan. Diperlukan mekanisma kontrol tata niaga kayu yang lebih murah namun efektif untuk menanggulangi biaya transaksi
tinggi dari sistem tata niaga kayu rakyat yang berlaku sekarang. Pada aspek teknik budidaya, petani kayu di Desa Asam Jaya sudah
menerapkan tenik silvikuktur yang cukup baik, seperti diindikasikan dengan penyiapan lahan, penerapan jarak tanam yang teratur, pemupukan dan
penyiangan, khususnya pada tahun-tahun pertama setelah penanaman. Sekalipun demikian, hasil inventarisasi tegakan menunjukkan bahwa potensi volume tegakan
per ha bervariasi antara 20 m
3
ha dan 51 m
3
ha pada berbagai kondisi tegakan. Hasil tersebut tergolong rendah apabila dibandingkan dengan riap tanaman jabon
di berbagai tempat lain yang dilaporkan beberapa literatur Sapulete dan Kapisa 1994; Krisnawati et al. 2011
a
. Beberapa perbaikan dalam teknik silvikultur,
seperti waktu yang tepat dalam pemberian pupuk dapat diupayakan untuk meningkatkan produktivitas tegakan, namun hal tersebut baru dapat dilakukan
apabila tersedia insentif yang jelas yang diberikan pasar atas upaya tersebut Kallio et al. 2011.
5.3. Pembelajaran dan implikasi kebijakan
Hasil analisa terhadap persepsi dan strategi petani di dalam pengusahaan tanaman kayu rakyat dengan menggunakan kerangka analisa kelembagaan
Ostrom 2006 memberikan beberapa pembelajaran yang perlu dipahami oleh para pengambil keputusan. Di dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan di
Indonesia, sering terjadi keputusan-keputusan yang ditetapkan dan membawa dampak kepada kalangan masyarakat luas terlalu bersifat terpusat sentralistik
dan linier, berdasarkan logika umum para pembuat keputusan tersebut Herawati 2011. Hasil penelitian ini memberikan beberapa pembelajaran bahwa intervensi
kebijakan yang dilakukan akan lebih tepat apabila para pengambil keputusan lebih memahami alam pikiran masyarakat yang menjadi obyek keputusan mereka.
Dalam konteks pengembangan tanaman kayu rakyat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pembelajaran kepada para pengambil kebijakan
agar memandang petani bukan sebagai obyek, namun lebih sebagai subyek yang memiliki berbagai pilihan dan strategi di dalam menjalankan usaha mereka.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa persepsi dan strategi petani di dalam pengusahaan tanaman kayu rakyat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-
faktor tersebut berkaitan dengan aspek internal maupun eksternal dari petani itu sendiri. Kedua contoh kasus yang dibahas di dalam studi memperlihatkan
perbedaan pada persepsi dan strategi petani di dalam menjalankan usaha tanaman kayu rakyat. Di Kabupaten Gunungkidul, masyarakat telah memandang usaha
tanaman jati sebagai bagian dari kehidupan mereka sehingga usaha tanaman kayu sudah terintegrasi ke dalam sistem usaha tani mereka. Persepsi masyarakat yang
telah terbentuk tersebut menjadi modal yang sangat besar bagi keberhasilan pengembangan hutan rakyat jati di Kabupaten Gunungkidul. Dukungan yang
perlu diberikan pemerintah kepada masyarakat penanam kayu jati di Kabupaten Gunungkidul tidak lagi pada tingkatan peningkatan kesadaran atau penyuluhan
teknis mengenai budidaya tanaman jati, namun perlu lebih jauh menggarap aspek
bisnis dari usaha tanaman tersebut. Tidak demikian halnya di Kabupaten Tanah Laut, sebagian besar masyarakat memandang usaha tanaman kayu sebagai
peluang yang baik bagi upaya diversifikasi pendapatan. Namun demikian, usaha tersebut belum cukup membudaya sehingga prospek perkembangannya masih
sangat dipengaruhi oleh intervensi luar seperti dukungan program-program pemerintah atau usaha kemitraan yang dikembangkan perusahaan swasta.
Pasar menjadi peluang sekaligus permasalahan pada semua kasus yang dipelajari. Sekalipun demikian, tingkat dan keberadaan naturenya berbeda. Di
Kabupaten Gunungkidul, pasar telah terbentuk dengan baik dan memudahkan petani untuk memasarkan hasil tanaman jati mereka. Akan tetapi sistem pasar
yang terbentuk masih menyebabkan petani kayu berada pada posisi tawar yang lemah. Petani di Kabupaten Gunungkidul sering berada pada posisi kesulitan
keuangan dan menyebabkan petani harus menebang lebih dini kayu jati mereka. Kebiasaan tebang butuh yang “terpaksa” tersebut menyebabkan petani kehilangan
potensi keuntungan yang lebih besar dari alternatif lainnya, yaitu menunggu tanaman kayu mereka sampai mencapai ukuran optimal dan harga yang jauh lebih
baik. Kebijakan yang dapat menolong petani dari situasi terdesak karena kebutuhan uang tunai dapat menyelamatkan petani dari kondisi keterpaksaan
tersebut. Kebijakan operasional seperti pengembangan pelayanan kredit mikro bagi petani merupakan alternatif yang perlu dipertimbangkan.
Di Kabupaten Tanah Laut, khususnya di Desa Asam Jaya, permasalahan pasar merupakan isu utama, yaitu akses pasar yang belum jelas atas hasil tanaman
kayu mereka. Informasi pasar yang tidak jelas tersebut menjadikan usaha tanaman kayu kurang prospektif, walaupun pada kenyataannya permintaan terhadap bahan
baku kayu di wilayah provinsi sebenarnya sangat tinggi. Pemerintah perlu turun tangan untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang potensi pasar
yang tersedia dan mengembangkan jaringan pasar antara petani kayu takyat dengan pihak industri yang selama ini mengeluh karena kekurangan pasokan
bahan baku. Aspek lain dari pasar yang perlu dipertimbangkan adalah kekhususan penggunaan hasil tanaman kayu. Pada kasus di Kabupaten Tanah Laut, kayu
mahoni memiliki fleksibilitas yang lebih tinggi terhadap pasar dibandingkan dengan kayu jabon. Usaha penanaman kayu dengan tujuan yang lebih spesifik,
seperti kayu jabon dengan demikian sangat perlu memperhatikan prospek pasarnya terlebih dahulu.
Aturan tataniaga kayu seper SIT, SKAU dan SKSHH bagi petani kayu rakyat pada kedua lokasi studi cenderung hanya menyebabkan biaya transaksi
tinggi dan berpotensi menjadi kendala pemasaran kayu market barrier. Dari sisi konsepsi, aturan ini juga sebenarnya tidak cocok diterapkan pada kayu rakyat
karena kayu tersebut merupakan hasil budidaya pada lahan milik. Di Kabupaten Gunungkidul khususnya, atau lebih luas lagi di Jawa, dimana perkembangan
hutan rakyat sudah sangat pesat dan pengawasan terhadap kawasan hutan negara relatif jauh lebih mudah, aturan tata niaga tersebut sudah tidak layak lagi karena
dari sisi manfaat dan fungsinya tidak sebanding dengan dampak negatif yang ditimbulkan. Pemerintah pusat dan daerah perlu mempertimbangkan penghapusan
aturan ini dengan mencari mekanisme kontrol tata niaga kayu yang jauh lebih sederhana, sehingga bisa memangkas biaya transaksi dalam pemasaran kayu
rakyat. Keterbatasan kepemilikan lahan menjadi kendala bagi sebagian petani di
dalam pengembangan usaha tanaman kayu mereka. Namun demikian penyediaan lahan perlu memperhatikan kelayakan usaha tanaman kayu tersebut. Sebagai
contoh, program HTR yang telah dicanangkan di wilayah Kecamatan Jorong belum menjadi solusi yang cocok bagi petani di Desa Ranggang karena jarak yang
terlalu jauh. Diperlukan inventarisasi lahan lebih lanjut untuk mengetahui potensi lahan yang masih kurang produktif yang dapat dimanfaatkan untuk
pengembangan tanaman kayu di desa ini. Di Kabupaten Gunungkidul, keterbatasan lahan petani menjadi kendala bagi perluasan tanaman kayu rakyat.
Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk memberikan akses yang lebih luas kepada petani untuk mengelola kawasan hutan negara, seperti melalui
pengembangan program HKm dan HTR secara lebih intensif. Pada tataran akademis, penelitian ini memberikan contoh konkrit bahwa
konsepsi pilihan moral moral choice dan pilihan rasional rational choice sebenarnya terjadi secara besamaan pada diri petani kayu. Tidak ada batasan yang
bersifat ekstrim atas konsep tersebut yang diterapkan di dalam perilaku petani. Di dalam menerapkan pilihan moral, keputusan-keptusan petani juga sebenarnya
didasarkan atas sifat rasional, karena keputusan tersebut didasari oleh persepsi yang telah terbentuk serta oleh kondisi lingkungan yang mereka hadapi.
Beberapa implikasi kebijakan pada tataran operasional yang dapat dipetik dari hasil penelitian ini antara lain adalah:
a. Perlunya penyempurnaan di dalam perencanaan dan pelaksanan program
kegiatan dalam rangka pengembangan tanaman kayu rakyat. Para pembuat keputusan di tingkat operasional perlu lebih memahami keinginan, pandangan
dan perilaku petani di dalam menjalankan usaha tanaman kayu rakyat. Sistem pelaksanaan kegiatan yang lebih fleksibel dan disesuaikan dengan kondisi
khusus daerah perlu lebih diakomodir oleh para pembuat kebijakan di tingkat yang lebih tinggi. Intervensi perlu dilakukan secara teliti dan diprioritaskan
pada permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi petani kayu. b.
Program-program pendampingan masyarakat, seperti kegiatan penyuluhan perlu difokuskan kepada aspek bisnis dari usaha tanaman kayu rakyat sebelum
menyentuh aspek-aspek yang lebih teknis. Petani kayu pada prinsipnya adalah insan yang rasional, namun karakter mereka bisa beragam tergantung kepada
latar belakang budaya, pengetahuan dan pengalaman. Para petugas pendamping, seperti penyuluh perlu dibekali dengan pengetahuan dan
keterampilan yang cukup untuk mengembangkan aspek bisnis dari usaha tanaman kayu rakyat.
c. Persoalan-persoalan pasar, seperti akses terhadap pasar, harga jual dan posisi
tawar petani di dalam pemasaran kayu merupakan persoalan-persoalan prioritas yang perlu dikemas di dalam program-program penyuluhan kehutanan di masa
depan. Intervensi yang tepat bagi petani tidak selalu harus berada di sektor kehutanan, namun pemahaman persoalan dari sudut pandang kehutanan dapat
membantu dalam rangka penyempurnaan kebijakan yang lebih terintegrasi di lintas sektor di tingkat daerah, seperti tingkatan kabupaten. Pemerintah perlu
lebih memprioritaskan kegiatan pendampingan untuk memfasilitasi penguatan kelembagaan kelompok tani dan pengembangan upaya kemitraan antara
kelompok tani dengan perusahaan-perusahaan tanaman industri atau industri kayu.
d. Perlu inovasi untuk meningkatkan nilai tambah tanaman kayu bagi petani.
Peningkatan nilai tambah tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pada tahapan produksi kayu, peningkatan nilai tambah tersebut dapat dilakukan
melalui sosialisasi sistem pengelompokan kualitas dan harga kayu grading yang berlaku di industri kayu dan berbagai upaya penerapan teknik silvikultur
yang sesuai dengan kondisi petani. Pada tingkatan yang lebih jauh, para petani kayu perlu dilibatkan di dalam proses pengolahan kayu yang sesuai dengan
kemampuan petani. e.
Pemerintah perlu bersikap lebih kritis atas kebijakan-kebijakan yang cenderung kontra produktif bagi upaya pengembangan usaha tanaman kayu rakyat.
Kebijakan yang mengatur tata niaga kayu rakyat yang berlaku saat ini cenderung menimbulkan biaya transaksi tinggi dan menjadi hambatan di dalam
proses pemasaran kayu rakyat. Kebijakan tersebut perlu direvisi dengan mekanisme yang lebih sederhana dan murah dan disesuaikan dengan kondisi
daerah setempat.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6. 1. Kesimpulan
Penelitian ini memfokuskan kepada upaya untuk memahami persepsi dan strategi petani di dalam menjalankan usaha tanaman kayu rakyat. Pemahaman
terhadap aspek-aspek tersebut bertujuan agar intervensi kebijakan yang diterapkan pemerintah atau pihak-pihak lain dalam upaya pengembangan usaha tanaman
kayu rakyat lebih sesuai dengan kebutuhan petani dan lebih tepat dalam mengantisipasi keputusan-keputusan yang akan diterapkan oleh petani. Penelitian
ini mendukung pandangan yang menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan yang diarahkan untuk pengembangan usaha tanaman kayu rakyat harus menempatkan
petani lebih sebagai subyek di dalam menjalankan usaha tanaman kayu daripada sebagai obyek dari suatu kebijakan.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa persepsi petani terhadap usaha tanaman kayu sangat dipengaruhi oleh faktor budaya, pengetahuan dan
pengalaman mereka serta kondisi lingkungan setempat. Persepsi petani yang berbeda atas usaha tanaman kayu sangat dimungkinkan apabila variabel-variabel
tersebut juga berbeda. Karena persepsi menentukan strategi petani di dalam menjalankan usaha tanaman kayu, maka intervensi yang diterapkan di suatu
tempat belum tentu akan direspon secara seragam oleh petani dengan latar belakang yang berbeda. Pemahaman yang mendalam atas fenomena ini penting
untuk dimiliki oleh para pembuat kebijakan, agar kebijakan yang dibuat lebih efektif.
Bagi masyarakat di Kabupaten Gunungkidul, usaha tanaman kayu jati sudah dipandang sebagai bagian dari budaya mereka. Tanaman jati dipandang
memiliki peran yang sangat penting di dalam sistem usaha tani. Peranan utama tanaman jati bagi mereka adalah sebagai tabungan keluarga dan sumber uang
tunai pada kondisi darurat. Usaha tanaman jati sangat cocok dengan perspektif petani yang mengutamakan keselamatan dari kemungkinan kesulitan ekonomi.
Bagi sebagian masyarakat di Kabupaten Tanah Laut, usaha tanaman kayu jabon dan mahoni dipandang sebagai peluang yang baik di dalam rangka meragamkan
sumber pendapatan. Respon petani di wilayah tersebut terhadap keberlangsungan usaha tanaman kayu masih sangat tergantung kepada dinamika pasar atas tanaman
kayu yang mereka usahakan. Secara umum, petani lebih menonjokan perspektif ekonomi di dalam menjalankan usaha tanaman kayu rakyat.
Pada umumnya petani memilih usaha tanaman kayu sebagai bagian dari strategi diversifikasi pendapatan keluarga. Strategi tersebut dijumpai, baik pada
petani kayu jati di Kabupaten Gunungkidul maupun petani kayu di Kabupaten Tanah Laut. Namun demikian, strategi yang dipilih petani di dalam menjalankan
usahanya tidak persis sama di antara kedua lokasi tersebut. Petani di Kabupaten Gunungkidul dan di Desa Ranggang KabupatenTanah Laut menjalankan usaha
tanaman kayu secara terintegrasi di dalam sistem usaha tani mereka. Kayu ditanam pada lahan-lahan produktif yang mereka gunakan untuk memproduksi
tanaman pangan. Usaha tani tanaman pangan masih menjadi fokus usaha, sedangkan usaha tanaman kayu menjadi sumber tambahan pendapatan atau
tabungan keluarga coping and diversified strategy. Tidak demikian halnya dengan petani di Desa Asam Jaya Kabupaten Tanah Laut. Petani di desa tersebut
menjalankan usaha tanaman kayu cenderung sepenuhnya untuk tujuan komersial dengan spesialisasi pasar specialized strategy. Strategi tersebut juga tercermin
dari model pemanenan kayu yang diterapkan. Petani di Kabupaten Gunungkidul menerapkan pola tebang pilih atau tebang butuh di dalam sistem pemanenan
kayunya, sementara petani di Desa Asam Jaya cenderung mengarah kepada sistem tebang habis.
Isu-isu yang berkaitan dengan pasar dan pemasaran kayu, seperti keterbatasan akses dan informasi pasar, harga jual kayu dan posisi tawar petani
yang rendah serta biaya transaksi tinggi dalam pemasaran kayu merupakan permasalahan-permasalahan utama di dalam upaya pengembangan usaha tanaman
kayu rakyat. Permasalahan-permasalahan tersebut perlu menjadi prioritas utama di dalam agenda program pengembangan tanaman kayu rakyat. Keterbatasan
kepemilikan lahan juga menjadi kendala bagi upaya pengembangan tanaman kayu rakyat, khususnya bagi petani yang berada di wilayah padat penduduk seperti di
Kabupaten Gunungkidul. Pemberian akses yang lebih luas kepada petani untuk memanfaatkan kawasan hutan negara dapat menjadi insentif yang sangat berarti
bagi petani. Namun demikian di dalam pemberian akses terhadap penggunaan lahan tersebut perlu juga dipertimbangkan kelayakan usahanya. Jarak yang terlalu
jauh atau infrastruktur jalan yang telalu sulit akan menjadi kendala bagi petani untuk memanfaatkan lahan tersebut secara menguntungkan. Peningkatan teknik
budidaya melalui penerapan silvikultur yang cocok dengan kondisi petani, merupakan upaya lain untuk mengatasi keterbatasan lahan melalui peningkatan
produktivitas lahan. Namun demikian, penerapan teknologi tersebut akan berjalan efektif apabila pasar memberikan respon yang positif terhadap investasi yang
dikeluarkan petani. Hasil penelitian ini merekomendasikan beberapa pilihan kebijakan dalam
rangka pengembangan usaha tanaman kayu rakyat, sebagai berikut: a.
Menyempurnakan sistem perencanaan dan pelaksanan program pengembangan tanaman kayu rakyat agar lebih fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan dan
permasalahan yang dihadapi petani serta mempertimbangkan kondisi khusus daerah. Implikasinya, para perancang program kegiatan perlu lebih memahami
persepsi dan strategi petani di dalam menjalan usaha tanaman kayu rakyat tersebut. Kebijakan-kebijakan yang diterapkan perlu memandang petani lebih
sebagai subyek pelaksana program dan bukan obyek dari suatu kebijakan. b.
Memfokuskan program-program pendampingan masyarakat kepada aspek bisnis usaha tanaman kayu rakyat, sebelum menyentuh aspek-aspek yang lebih
teknis. Implikasinya, para petugas pendamping, seperti penyuluh perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk mengembangkan
aspek bisnis dari usaha tanaman kayu rakyat. c.
Menyusun program-program kegiatan untuk memecahkan persoalan-persoalan pasar, seperti memperluas akses pasar bagi produk kayu rakyat, meningkatkan
posisi tawar petani dan memangkas biaya-biaya transaksi dalam pemasaran kayu melalui penyederhanaan aturan tata niaga kayu rakyat. Disamping itu
perlu ditingkatkan kegiatan pendampingan untuk memfasilitasi penguatan kelembagaan kelompok tani dalam rangka pemasaran kayu secara bersama dan
pengembangan kemitraan antara kelompok tani dengan perusahaan-perusahaan tanaman industri atau industri kayu.
d. Meningkatkan nilai tambah tanaman kayu rakyat melalui peningkatan kualitas
kayu rakyat yang memenuhi persyaratan industri kayu dan melibatkan petani kayu di dalam proses pengolahan kayu yang sesuai dengan kemampuan petani.
e. Mengembangkan program kredit mikro bagi petani untuk membantu mereka
mengatasi kesulitan ekonomi pada kondisi darurat sehingga mencegah praktek penebangan kayu sebelum umur optimal tegakan tercapai. Implikasinya,
pemerintah juga perlu melakukan penguatan kelembagaan kelompok tani agar mampu mengelola kredit mikro tersebut secara lestari.
f. Meningkatkan pelayanan untuk mempermudah akses petani atas kawasan
hutan negara, tidak hanya terbatas kepada program-program yang berskala besar seperti HKm dan HTR.
6. 2. Saran
Penelitian ini memfokuskan kepada upaya pemahaman terhadap persepsi dan strategi petani yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan mereka di
dalam menjalankan usaha tanaman kayu rakyat. Pemahaman terhadap alam pikiran petani tersebut sangat penting untuk dimiliki oleh para pembuat kebijakan
agar intervensi yang mereka lakukan lebih efektif. Studi yang sama disarankan untuk dilakukan terhadap para pembuat kebijakan untuk memahami persepsi dan
strategi mereka di dalam upaya pengembangan usaha tanaman kayu rakyat tersebut. Studi tersebut diharapkan akan menjadi pelengkap bagi rekomendasi
yang lebih komprehensif terhadap upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam rangka pengembangan usaha tanaman kayu rakyat di Indonesia.
Hasil penelitian ini merekomendasikan pemerintah untuk mengembangkan pemasaran kayu secara bersama oleh petani melalui penguatan kelembagaan
kelompok tani. Teori-teori yang berkaitan dengan aksi bersama collective action sudah banyak berkembang. Untuk itu disarankan studi lebih lanjut untuk
mempelajari aplikasi dari teori-teori tersebut dalam rangka penguatan kelembagaan kelompok tani agar mampu melakukan aksi kolektif yang efektif di
dalam pemasaran kayu rakyat. Kegiatan lain yang disarankan untuk dilakukan adalah studi dalam rangka
pengembangan kerjasama kemitraan antara kelompok tani dengan industri kayu. Cukup banyak contoh implementasi kemitraan yang pada akhirnya hanya
menguntungkan pihak yang lebih kuat pengusaha atau sebaliknya hanya bersifat belas kasihan charity. Diperlukan model kemitraan yang lebih efektif yang
saling menguntungkan kedua belah pihak di dalam sistem bisnis yang sehat.
Hasil penelitian ini merekomendasikan penghapusan atau penyederhanaan aturan tata niaga kayu rakyat yang saat ini cenderung menimbulkan biaya
transaksi tinggi. Namun demikian, penghapusan kebijakan tersebut juga berpotensi membawa implikasi lain yang tidak terduga. Untuk itu disarankan
melakukan kajian untuk mengidentifikasi pilihan-pilihan mekanisme kontrol tata niaga kayu yang lebih sederhana namun cukup efektif dalam melindungi kawasan
hutan negara.
ANALISIS PERSEPSI DAN STRATEGI PETANI DALAM USAHA TANAMAN KAYU RAKYAT
STUDI KASUS USAHA TANAMAN KAYU RAKYAT DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA DAN KABUPATEN TANAH LAUT, PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
DEDE ROHADI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
DAFTAR PUSTAKA
Abar AZ. 2002. Petani dalam perspektif antropologi ekonomi. Agro Ekonomi IX 1: 36-50.
Awang SA. 2001. Gurat Hutan Rakyat di Kapur Selatan. Yogyakarta: Debut Press.
Aziz ASR. 2003. Memahami fenomena sosial melalui studi kasus. Di dalam: Bungin B, editor. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Divisi Buku
Perguruan Tinggi. PT. Raja Grafindo Persada. hlm. 18-34. Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Kesejahteraan Sosial Kabupaten
Tanah Laut. 2007. Profil Desa Asam Jaya. Asam Jaya. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. 2008. Hasil pemeriksaan
semester II tahun anggaran 2007 atas kegiatan pembangunan hutan tanaman industri tahun anggaran 2003 s.d 2007 yang dibiayai dari dana reboisasi pada
Departemen Kehutanan serta instansi terkait lainnya di DKI Jakarta, Kalimantan
Timur, Kalimantan
Tengah dan
Kalimantan Selatan.
http:www.environmental- auditing.orgportals0auditfilesaudit20of2020commodity20plants20
forest.pdfjakarta [19 feb 2012]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul. 2008. Gunungkidul Dalam Angka
2008. Wonosari. Belcher B, Kusters K. 2004. Non-timber forest product commercialisation:
Development and conservation lessons. Di dalam: Belcher B, Kusters K, editors. Forest Products, Livelihoods and Conservation Vol. 1 Asia. Bogor:
Center for International Forestry Research. hlm. 3-6. Bertomeu M. 2006. Financial evaluation of smallholder timber-based agroforestry
systems in Claveria, Northern Mindanao, The Philippines. Small-scale Forest Economics, Management and Policy 51: 57-82.
Chambers R. 1993. Challenging the Professions: Frontiers for Rural Development. London. Intermediate Technology Publications Ltd.
Chomitz KM. 2007. At Loggerheads? Agricultural Expansion, Poverty Reduction, and Environment in the Tropical Forests. Washington. World Bank
Policy Research Report. hlm. 7.
Clement F, Amezaga JM. 2008. Linking reforestation policies with land use change in northern Vietnam: Why local factors matter. Geoforum 39: 265
–277. Clement F. 2007. How do farmers make decisions in a land degradation context?
A case study from Northern Vietnam. Di dalam: Gebbie L, Glendinning A, Lefroy-Braun R, Victor M, editors. Proceedings of the International
Conference on Sustainable Sloping Lands and Watershed Management: Linking research to strengthen upland policies and practices. Vientiane:
NAFRI. hlm 528-550. Colchester. 2002. Bridging the gap: Challenges to community forestry
networking In indonesia. Bogor. CIFOR. hlm. 12. Darusman D, Hardjanto. 2006. Tinjauan ekonomi hutan rakyat. Prosiding Seminar
Hasil Penelitian Hasil Hutan. Bogor: Pusat Litbang Hasil Hutan. hlm: 4-13. Departemen Kehutanan. 2009. Statistik Kehutanan Indonesia 2008. Jakarta:
Departemen Kehutanan. Dinas Kehutanan Kabupaten Tanah Laut dan Lembaga Pengabdian kepada
Masyarakat Universitas Lambung Mangkurat. 2008. Laporan akhir inventarisasi dan pemetaan hutan rakyat di Kabupaten Tanah Laut Provinsi
Kalimantan Selatan Tahun Anggaran 2007. Pelaihari. Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan. 2007. Data dan Fakta
Pembangunan Kehutanan di Kalimantan Selatan. Banjarbaru. Emila dan Suwito. 2007. Hutan Tanaman Rakyat: Agenda baru untuk
pengentasan kemiskinan? Info Kebijakan. Warta Tenure No. 4. FAO. 2007. State of The World Forests. Asia and The Pacific. Rome.
Fathoni T. 2003. Tiga Menko bentuk Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan melalui rehabilitasi dan reboisasi. Siaran Pers No. 561IIPIK-12003. Jakarta:
Pusat Informasi Kehutanan, Departemen Kehutanan. Filius AM. 1997. Factors changing farmers’ willingness to grow trees in
GunungKidul Java, Indonesia. Netherlands Journal of Agricultural Science 45: 329-345.
Gunungkidul Regency. 2005. ATLAS Gunungkidul Regency. Wonosari: Gunungkidul Regency in cooperation with Regional Development and Poverty
Reduction Program, Department of Settlements and Regional Infrastructure.