Populasi HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Populasi

5.2.1. Ukuran populasi Selama penelitian dijumpai tiga belas kelompok tarsius yang terdiri dari

sembilan kelompok di kawasan hutan sekunder Tombolo dan empat kelompok di sekitar perumahan yang terdiri dari satu kelompok di pekarangan dan tiga kelompok di kebun. Perhitungan dilakukan saat tarsius kembali ke sarang tidurnya pada pagi hari. Hal ini untuk menghindari terjadinya double counting perhitungan ganda antar individu dalam satu kelompok atau dalam kelompok yang berbeda. Populasi dari tiap kelompok yang diamati dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Ukuran populasi tarsius pada setiap kelompok No Nama Kelompok Σ Individu ekor Tipe Habitat Lokasi 1 Tombolo I 3 Hutan sekunder Dalam kawasan Hutan 2 Tombolo II 4 Hutan sekunder Dalam kawasan Hutan 3 Tombolo III 5 Hutan sekunder Dalam kawasan Hutan 4 Tombolo IV 4 Hutan sekunder Dalam kawasan Hutan 5 Tombolo V 3 Hutan sekunder Dalam kawasan Hutan 6 Tombolo VI 2 Hutan sekunder Dalam kawasan Hutan 7 Tombolo VII 3 Hutan sekunder Dalam kawasan Hutan 8 Tombolo VIII 3 Hutan sekunder Dalam kawasan Hutan 9 Tombolo IX 4 Hutan sekunder Dalam kawasan Hutan 10 Pekarangan 4 Pekarangan rumah Sekitar perumahan 11 Kebun 1 3 Kebun campuran Sekitar perumahan 12 Kebun 2 3 Kebun campuran Sekitar perumahan 13 Kebun 3 3 Kebun campuran Sekitar perumahan Jumlah tarsius paling banyak ditemukan di wilayah hutan sekunder dengan jumlah 31 ekor. Sedangkan tarsius yang ditemukan di sekitar perumahan penduduk terbagi lagi pada beberapa lokasi dengan tipe habitat berbeda, yaitu di kebun masyarakat terdapat 9 ekor tarsius dan di pekarangan rumah warga ditemukan 4 ekor tarsius Dari hasil penelitian, tarsius paling banyak ditemukan di dalam hutan sekunder selanjutnya areal perkebunan dan yang paling sedikit adalah di pekarangan rumah penduduk dan areal perbatasan. Hal ini sesuai dengan penelitian Walberto et al. 2009 yang menyatakan bahwa tarsius umumnya ditemukan di sekitar hutan sekunder dan perladangan yang memiliki vegetasi yang rapat. Berikut gambar titik sebaran tarsius di Desa Tompobulu dan Hutan Tombolo. Gambar 14 Titik sebaran sarang tarsius. Banyaknya tarsius yang ditemukan di dalam areal hutan sekunder dapat disebabkan karena melimpahnya sumberdaya alam yang dibutuhkan tarsius di lokasi tersebut. Hutan sekunder Tombolo yang sekaligus termasuk wilayah kawasan TN Babul, memiliki struktur vegetasi yang dapat menjadi tempat berkumpulnya serangga. Serangga inilah yang selanjutnya menjadi sumber pakan tarsius. Selain serangga, kawasan hutan sekunder ini juga menjadi habitat beberapa vertebrata kecil yang dapat dikonsumsi tarsius. Jumlah individu kedua terbanyak ditemukan di areal kebun yang berbatasan dengan persawahan dan perladangan masyarakat. Sawah dan ladang juga merupakan tempat hidup serangga yang menjadi pakan tarsius. Oleh karena itu tarsius dapat membantu petani untuk mengurangi dan mengendalikan populasi serangga di sawah atau di kebunnya. Menurut Shekelle dan Leksono 2004, tarsius bukan hama yang merusak kebun dan memakan tanaman budidaya karena tarsius merupakan predator yang memangsa binatang hidup, 90 di antaranya serangga dan 10 lainnya vertebrata kecil sehingga penduduk tidak beralasan untuk menolak keberadaan tarsius di dalam desan atau kebunnya. Gangguan yang berasal dari kegiatan manusia juga dapat mempengaruhi besarnya populasi di suatu tempat tertentu. Gangguan manusia di dalam hutan sekunder relatif lebih sedikit dibandingkan dengan kedua tempat lainnya, yaitu kebun masyarakat dan pekarangan rumah karena kedua tempat ini merupakan pusat kegiatan penduduk desa Tompobulu. Lahan yang berada di daerah pemukiman penduduk juga sudah dialihfungsikan menjadi rumah, kantor dan beberapa bangunan yang mendukung aktifitas penduduk, sehingga tarsius hanya dapat ditemukan di dalam pekarangan dengan luas lahan yang relatif cukup kecil.

5.2.2. Ukuran kelompok

Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan sebanyak 13 kelompok tarsius dengan jumlah 2 - 5 individu dalam setiap kelompok Tabel 8. Menurut Gursky 2007, ukuran kelompok tarsius sangat bervariasi dari 2 individu hingga paling banyak 8 individu pada setiap wilayah tidur. Setiap kelompok tarsius yang ditemukan pada umumnya terdiri dari dua individu dewasa dan beberapa keturunannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Whitten et al. 2002 bahwa pola hidup tarsius selalu membentuk suatu unit sosial yang meliputi sepasang individu dewasa bersifat monogami dan tinggal bersama keturunannya dalam suatu teritorial. Tabel 8 Ukuran kelompok tarsius pada setiap tipe vegetasi Tipe Vegetasi Nama Kelompok Dewasa Anak Bayi Jumlah Hutan Sekunder Tombolo 1 2 1 3 Tombolo 2 2 2 4 Tombolo 3 3 2 5 Tombolo 4 2 2 4 Tombolo 5 2 1 3 Tombolo 6 2 2 Tombolo 7 2 1 3 Tombolo 8 2 1 3 Tombolo 9 2 1 1 Pekarangan Pekarangan 2 1 1 4 Kebun Kebun 1 2 1 3 Kebun 2 2 1 3 Kebun 3 2 1 3 Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa kelompok tarsius yang ditemukan pada umumnya berjumlah 3 individu dengan komposisi 2 individu dewasa dengan 1 keturunan. Akan tetapi ada satu kelompok yang hanya terdiri dari 2 individu dewasa. Kelompok ini diasumsikan sebagai sepasang individu muda yang baru membentuk kelompok. Sedangkan kelompok yang terdiri dari 5 individu tarsius merupakan kelompok yang terdiri dari 3 individu dewasa dengan 2 individu betina dewasa dan 1 jantan dewasa.

5.2.3. Kepadatan populasi dan kelompok

Ukuran kepadatan populasi adalah ukuran jumlah individu jenis tertentu dalam suatu ukuran luas. Ukuran kepadatan tarsius ditentukan dengan cara sensus menggunakan metode consentration count. Luasan areal penelitian diperoleh setelah data home range harian tarsius digabungkan dengan menggabungkan garis luar dan diberi jarak dengan pertimbangan overlap antar kelompok. Analisis dan penggabungan ini dilakukan dengan menggunakan ArcMap GIS 10. Berdasarkan hasil analisis, kepadatan populasi tertinggi ditemukan di dalam hutan sekunder, yaitu 151,02 indkm 2 dengan kepadatan kelompok sebesar 43 kelompok km 2 . Selanjutnya di kebun dengan kepadatan 35,86 indkm 2 dengan kepadatan kelompok sebesar 11 kelompok km 2 dan kepadatan terkecil ditemukan di pekarangan rumah penduduk, yaitu 23,40 indkm 2 dengan kepadatan kelompok sebesar 5 kelompok km 2 . Apabila dilakukan penggabungan dari kepadatan individu tarsius dari seluruh tipe vegetasi yang ada di lokasi penelitian, maka didapatkan kepadatan individu tarsius adalah 70,15 indkm 2 dengan kepadatan kelompok sebesar 20 kelompokkm 2 . Perbedaan yang cukup signifikan antara kepadatan tarsius di hutan sekunder dengan tarsius yang berada di kebun dan pekarangan disebabkan karena luasan areal penelitian di sekitar rumah penduduk cenderung lebih luas dibandingkan areal penelitian di dalam hutan sekunder. Selain itu, individu tarsius juga lebih mudah ditemukan di dalam hutan sekunder dengan jarak antar kelompok yang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan jarak antar kelompok tarsius di kebun dan pekarangan rumah. Jarak antar kelompok yang lebih besar di kebun dan pekarangan terkait dengan ketersedian pakan yang relatif lebih sedikit sehingga tarsius membutuhkan ruang yang lebih luas untuk mencari makan. Lokasi hutan sekunder menyediakan pakan yang melimpah bagi tarsius sehingga tarsius tidak memerlukan ruang yang lebih luas untuk mencari makan di lokasi tersebut. Tabel 9 Kepadatan populasi tarsius di TN Babul No Tahun Kepadatan populasi indkm 2 Lokasi Penelitian Sumber 1 2009 70,15 Pattunuang Qiptiyah et al. 2009 2 2010 1,82 Bantimurung Qiptiyah et al. 2010 3 2011 151,02 Tompobulu hutan Hasil Penelitian ini 4 2011 35,86 Tompobulu kebun Hasil Penelitian ini 5 2011 23,40 Tompobulu pekarangan Hasil Penelitian ini Tabel 9 menunjukkan nilai kepadatan populasi yang telah dilakukan oleh beberapa penelitian pada beberapa lokasi di TN Babul. Tahun 2009 dilakukan penelitian mengenai kepadatan populasi tarsius di Resort Pattunuang dan hasilnya adalah 70,15 indkm 2 . Pada tahun 2010 penelitian mengenai kepadatan populasi tarsius dilakukan di sekitar kawasan wisata air terjun Bantimurung dan hasilnya adalah 1,82 indkm 2 . Apabila dibandingkan antara kepadatan tarsius di kedua lokasi tersebut dapat dilihat bahwa kepadatan tarsius di Tompobulu resort Balocci relatif lebih tinggi. Perbedaan ini dapat disebabkan karena perbedaan metode yang digunakan. Metode yang digunakan oleh Qiptiyah et al. 2009 menggunakan gabungan antara metode line transek dan concentration count, metode yang digunakan Qiptiyah et al. 2010 adalah metode line transek. Kelemahan metode line transek tersebut adalah terjadinya perhitungan ulang sehingga dapat terjadi over estimate. Penelitian ini menggunakan metode sensus concentration count dan luasan areal yang dianalisis dengan menggunakan ArcMap GIS 10. Jumlah individu yang didapatkan dalam penelitian ini lebih akurat, namun kelemahan metode ini adalah estimasi luasan penelitian yang lebih kecil. Tingginya nilai kepadatan populasi di Tompobulu, Resort Balocci dapat disebabkan karena gangguan yang dialami oleh tarsius yang berada di lokasi ini lebih rendah dibandingkan di kedua lokasi penelitian yang lain yaitu : Pattunuang dan Bantimurung. Hal ini, disebabkan karena adanya perburuan yang dilakukan masyarakat setempat beberapa tahun lalu di kedua lokasi ini, terutama di Pattunuang. Sedangkan di Bantimurung, yang memiliki nilai kepadatan paling kecil merupakan salah satu lokasi yang memiliki air terjun dan menjadi tujuan wisata utama bagi masyarakat kota Makassar karena aksesibilitasnya yang relatif mudah. Tingginya nilai kepadatan tarsius di Tompobulu memungkinkan bagi pengelola TN Babul untuk menjadikan daerah ini menjadi salah satu wilayah yang berfungsi sebagai lokasi pengawetan tarsius.

5.2.4. Struktur umur

Berdasarkan hasil pengamatan langsung di lapangan struktur umur tarsius yang dapat dibedakan adalah dewasa dan anak bagi tarsius yang berada di dalam kawasan dan dewasa, anak dan bayi bagi tarsius yang berada di sekitar perumahan penduduk. Kelas umur bayi hanya dapat terlihat di sekitar perumahan penduduk karena jarak antar pengamat dan tarsius cenderung lebih dekat dibandingkan dengan jarak jika berada di dalam kawasan hutan. Kelas umur tarsius dapat dibedakan dari ukuran tubuh dan warna rambut. Ukuran tubuh tarsius dewasa cenderung lebih besar dibandingkan anak. Warna rambut tarsius adalah coklat tua dan abu-abu. Pada tarsius dewasa warna coklat lebih mendominasi daripada warna abu-abu, sebaliknya warna rambut anak tarsius lebih didominasi oleh warna abu-abu daripada warna coklat tua dan warna rambut bayi tarsius adalah abu-abu kehitaman. Perbedaan tarsius dewasa dan anak dapat dilihat pada Gambar 15. a b Gambar 15 Tarsius yang ditemukan di lokasi penelitian. a dewasa; b anak. Berdasarkan hasil pengamatan, di hutan sekunder ditemukan 19 ekor tarsius dewasa dan 12 ekor anak, di kebun ditemukan 6 ekor tarsius dewasa dan 3 ekor anak, sedangkan di pekarangan ditemukan 2 ekor tarsius dewasa, 1 ekor anak dan 1 ekor bayi. Berikut diagram perbandingan struktur umur tarsius pada setiap vegetasi. Gambar 16 Struktur umur tarsius pada setiap lokasi. Semakin mengerucutnya angka populasi pada struktur umur yang lebih kecil menunjukkan piramida populasi yang mengecil. Akan tetapi, hal ini tidak mengindikasikan bahwa populasi tarsius akan menurun pada tahun-tahun berikutnya. Karena 80 tarsius adalah satwa monogami maka setiap kelompok tarsius terdiri dari sepasang jantan dan betina beserta anak-anaknya Supriatna dan Wahyono 2000. Selain itu, jumlah anak yang dilahirkan oleh tarsius betina hanya satu pada setiap kelahiran dengan lama kebuntingan pada betina adalah 6 bulan, sehingga setiap tahun, tarsius betina hanya dapat melahirkan satu kali Napier dan Napier 1967. Jadi, kelompok tarsius yang memiliki lebih banyak individu dewasa daripada anak adalah hal yang lazim pada tarsius sehingga pada kelompok muda perbandingan antara struktur umur dewasa dan anak adalah 2:1. 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 Hutan Kebun Pekarangan Dewasa Anak Bayi

5.3. Pengelolaan Tarsius dan Implikasi Terhadap Kelestarian

Dokumen yang terkait

Perbandingan Keanekaragaman Jenis Herpetofauna antara TWA Bantimurung dengan TWA Pattunuang di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Sulawesi Selatan

0 4 15

Pengelolaan Taman Kupu-Kupu di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Maros Sulawesi Selatan

1 5 48

Pengaruh Kegiatan Wisata Terhadap Karakteristik Biofisik Ekosistem Gua Di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

1 7 27

Model Kesesuaian Habitat Tarsius (Tarsius Sp) Di Hutan Lambusango Pulau Buton Provinsi Sulawesi Tenggara

2 19 65

STUDI VEGETASI PADA HABITAT TARSIUS (Tarsius Sp.) DI DESA KAMARORA KAWASAN TAMAN NASIONAL LORE LINDU | Ekawati | Jurnal Warta Rimba 1955 5713 1 PB

0 1 7

KARAKTERISTIK FISIK HABITAT TARSIUS (Tarsius dentatus) DI KAWASAN TAMAN NASIONAL LORE LINDU | Krisnatalia | Jurnal Warta Rimba 1944 5669 1 PB

1 1 10

KARAKTERISTIK BIOFISIK HABITAT TARSIUS (Tarsius pumilus) DI GUNUNG ROREKATIMBU KAWASAN TAMAN NASIONAL LORE LINDU SULAWESI TENGAH | Sandego | Jurnal Warta Rimba 3570 11227 1 PB

0 1 10

ANALISIS STAKEHOLDER PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG, PROPVINSI SULAWESI SELATAN (Stakeholder Analysis of Bantimurung Bulusaraung National Park Management, South Sulawesi Province) | Kadir | Jurnal Manusia dan Lingkungan 18470 37083 1 P

0 0 11

ANALISIS KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG, PROVINSI SULAWESI SELATAN (Socio-Economic Analysis of Community Around Bantimurung Bulusaraung National Park, South Sulawesi Province) | Kadir | Jurnal Manusia dan

0 0 11

Pusat Penelitian dan Pengembangan Koservasi dan Rahabilitasi, Jl Gunung Batu No 5 Bogor. Telp. (0251) 8633234 ABSTRACT - PERILAKU HARIAN TARSIUS DALAM KANDANG DI PATUNUANG, TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG

0 1 14