Karakteristik Habitat HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Karakteristik Habitat

Habitat adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu yang dapat mendukung kehidupan suatu spesies secara normal. Menurut Odum 1993, habitat merupakan suatu kawasan berhutan maupun tidak berhutan yang menjadi tempat ditemukannya organisme tertentu. Sehingga, setiap habitat satwaliar akan didukung oleh komponen biotik dan abiotik yang disesuaikan dengan kebutuhan satwaliar tersebut, seperti air, udara, iklim, vegetasi, mikro dan makrofauna juga manusia Alikodra 2002. Begitu juga dengan tarsius yang ditemukan di TN Babul. Secara umum habitat tarsius tersebut berada di area hutan sekunder, perbatasan hutan sekunder dengan perkebunan atau perladangan dan di sekitar kawasan perumahan penduduk.

5.1.1. Komponen fisik

Komponen fisik yang diukur dalam penelitian ini terdiri dari suhu dan kelembaban udara, ketinggian tempat serta jarak dari pemukiman. Penelitian dilakukan pada bulan Mei – Juli 2011 saat sedang terjadinya musim peralihan dari musim hujan ke musim kemarau. Berikut data curah hujan yang diperoleh dari Badan Meteorolgi dan Geofisika wilayah IV Makassar. Tabel 1 Data curah hujan Balocci, Pangkep Bulan Curah Hujan mm Hari Hujan hari Mei 305 14 Juni 9 1 Juli - - Sumber: BMG wilayah IV Makassar Lokasi penelitian yang berada di sekitar tebing dan masih dipengaruhi angin laut membuat lokasi penelitian sesekali diterpa angin yang cukup kencang dan terkadang disertai dengan hujan pada malam hari. Kisaran suhu harian selama penelitian adalah 21 – 24 °C dengan kelembaban antara 67 - 91. Kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Mei yang mencapai 91. Sedangkan intensitas hujan tertinggi pada saat penelitian juga terjadi pada bulan Mei dan terjadi pada siang sampai malam hari. Intensitas hujan paling rendah pada bulan Juli. Kelembaban terendah terjadi pada akhir bulan Juni, yaitu 67. Akan tetapi, pada bulan ini sering terjadi angin yang cukup kencang. Perbedaan kelembaban ini dapat dipengaruhi juga oleh lokasi pengambilan sampel suhu dan kelembaban. Pada bulan Mei sampai pertengahan Juni pengukuran suhu dilakukan di hutan sekunder, sedangkan pada akhir Juni sampai bulan Juli pengambilan sampel suhu dilakukan di sekitar perumahan warga. Berdasarkan hasil pengamatan, tampak adanya pengaruh komponen fisik terhadap perilaku tarsius misalnya saja pada bulan Mei saat intensitas hujan lebih tinggi, tarsius memilih berada di pucuk-pucuk pohon dan bersembunyi di antara batang pohon yang lebih tinggi karena kondisi tanah yang basah. Sedangkan pada akhir Juni ketika awal musim kemarau dan sering terjadi angin kencang, tarsius memilih membuat sarang di lubang - lubang bawah tanah yang berada di bawah rumpun bambu dikarenakan bobot dan ukuran tubuh tarsius yang tidak dapat menahan angin kencang di puncak pohon. Sarang yang dibuat di bawah tanah ini dapat melindungi tarsius dari terpaan angin. Hal ini juga sesuai dengan hasil wawancara dengan masyarakat setempat bahwa pada musim kemarau tarsius lebih memilih membuat sarang berupa terowongan bawah tanah. Ketika memasuki musim kemarau vokalisasi tarsius lebih sering terdengar daripada saat musim hujan. Hal ini terkait dengan sumberdaya pakan yang lebih sedikit pada saat musim kemarau sehingga waktu tarsius keluar untuk mencari pakan lebih lama. Menurut Gursky 2000, pada musim kemarau sumberdaya pakan lebih sedikit sehingga tarsius membutuhkan waktu lebih banyak untuk mencari makan dibandingkan pada saat musim hujan. Berdasarkan ukuran suhu tarsius paling banyak ditemukan pada saat suhu udara berada pada 22 °C Gambar 5. Gambar 5 Frekuensi perjumpaan tarsius pada setiap ukuran suhu. 10 20 30 40 50 60 70 80 21 22 23 24 fr ekue ns i suhu Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa ketinggian lokasi ditemukannya tarsius berada pada kisaran 497-618 mdpl. Sedangkan tarsius yang berada di sekitar desa ditemukan pada ketinggian 616-725 mdpl. Ketinggian ini masih berada pada kisaran ketinggian habitat tarsius menurut Wirdateti dan Dahrudin 2006 yang menyatakan bahwa tarsius mendiami hutan sekunder dan lahan perkebunan dari dataran rendah sampai ketinggian 1.300 mdpl. Pada penelitian ini, jumlah tarsius terbanyak ditemukan pada ketinggian 600-700 mdpl Gambar 5. a b Gambar 6 Jumlah penemuan tarsius berdasarkan ketinggian. a Jumlah penemuan Individu; b Jumlah Penemuan kelompok.

5.1.2. Komposisi Vegetasi

Vegetasi adalah salah satu komponen habitat yang memiliki arti penting bagi kehidupan tarsius karena pada lokasi ini tarsius melakukan pergerakan baik mencari makan, bermain, istirahat dan bersosialisasi. Selama pergerakannya tarsius membutuhkan cabang dengan diameter kecil 4 cm untuk berburu dan menjelajah, diameter sedang 4-8 cm untuk istirahat dan menandai daerah jelajah home range dan diameter lebih dari 8 cm untuk istirahat dan menandai daerah jelajah meskipun tidak sebanyak diameter sedang MacKinnon dan MacKinnon 1980. Data vegetasi yang diambil pada analisis vegetasi hanya pada tumbuhan tingkat pancang, tiang dan pohon karena pada tingkat tumbuhan pancang dan tiang banyak ditemukan pakan serangga, sedangkan pada tumbuhan tingkat pohon merupakan lokasi sarang tarsius. Lokasi plot berada di sekitar sarang tarsius dan diperkirakan menjadi sumber pakan bagi serangga. 10 20 30 500 500 - 600 600 - 700 700 ∑ individu K et inggi an m d p l 500 500 - 600 600 -700 700 2 4 6 8 K et inggi an m d p l ∑ individu

5.1.2.1. Hutan sekunder

Hutan sekunder adalah vegetasi yang muncul akibat terganggunya suksesi normal dari hutan primer yang disebabkan oleh kebakaran, perladangan, penebangan, penggembalaan dan kerusakan lainnya Soerianegara dan Indrawan 2002. Hutan sekunder yang berada daerah Tombolo adalah hutan sekunder yang dulunya merupakan kawasan perladangan dan kebun masyarakat setempat. Namun, sejak lokasi tersebut menjadi bagian dari kawasan Taman Nasional, Pihak pengelola TN Babul bekerjasama dengan masyarakat mengembalikan fungsinya menjadi hutan melalui program Gerhan Gerakan Rehabilitasi Lahan. Oleh karena itu, sebagian besar pohon yang ditemukan adalah pohon yang berukuran sedang dengan struktur vegetasi yang tidak terlalu rapat. Sangat jarang ditemukan pohon yang berdiameter besar, kecuali pohon tersebut menempel pada tebing batu dan diselimuti liana. Lokasi hutan ini berada di sekitar tebing sehingga di beberapa tempat banyak ditemukan batu-batuan karst yang sangat khas yang sering ditemukan di seluruh bagian kawasan Taman Nasional Gambar 7. Gambar 7 Hutan sekunder Tombolo. Pemilihan lokasi pengambilan sampel di daerah ini mewakili bagian hutan yang datar dan bagian hutan berbatu. Jenis pohon yang paling banyak ditemukan di lokasi ini adalah Nato Palaquium lobbianum dengan kerapatan sebesar 53 individu per hektar dan INP sebesar 41,25. Pada tingkat pancang, kerapatan tertinggi adalah katammong Macaranga hispida dengan kerapatan sebesar 53 individu per hektar dan INP sebesar 41,21 Tabel 2. Tabel 2 Indeks Nilai Penting terbesar pada Hutan Sekunder Tingkat Nama Lokal Nama Ilmiah Kerapatan Indha INP Pancang Katammong Macaranga hispida 600 16,67 Tiang Bangkala 53 41,21 Pohon Nato Palaquium lobbianum 53 41,55

5.1.2.2. Hutan sekunder peralihan

Hutan sekunder peralihan adalah hutan yang ditemukan pada perbatasan hutan sekunder Tombolo dan kebun masyarakat. Daerah ini dapat digolongkan sebagai daerah ekoton yang sebagian wilayahnya merupakan perpaduan dari kedua jenis vegetasi. Sebagian dari lokasi hutan ini merupakan hutan yang masih muda sehingga vegetasinya didominasi tumbuhan tingkat pancang dengan struktur vegetasi yang cenderung tidak terlalu rapat. Namun, di bagian yang lainnnya terdapat batu karst yang cukup besar sehingga membentuk seperti tebing batu. Disekitar dan diatas batu ini juga ditumbuhi pohon-pohon yang diselimuti liana. Topografi daerah ini cenderung lebih datar jika dibandingkan daerah hutan sekunder. Namun, banyaknya tumbuhan bawah dan liana yang sampai ke tanah cukup menyulitkan untuk memasuki daerah ini. Gambar 8 Hutan Sekunder Peralihan. Pemilihan lokasi analisis vegetasi di daerah ini juga mewakili daerah yang berbatu dan daerah yang datar. Jenis tumbuhan yang paling sering ditemui adalah Gammi Ardisia javanica sehingga tumbuhan ini menjadi tumbuhan paling dominan pada tingkat tiang dan pohon. Sedangkan tumbuhan dengan indeks nilai penting tertinggi pada tingkat pancang adalah Suka Artocarpus altilis. Selain tumbuhan tingkat pancang, tiang dan pohon di daerah ini juga banyak ditemukan liana dari jenis Gatta-gatta Colubrina sp.. Tabel 3 Indeks Nilai Penting terbesar pada Hutan Sekunder Peralihan Tingkat Nama Lokal Nama Ilmiah Kerapatan Indha INP Pancang Suka Artocarpus altilis 6000 39,47 Tiang Gammi Ardisia javanica 70 94,58 Pohon Gammi Ardisia javanica 110 108,09

5.1.2.3. Pekarangan

Kegiatan analisis vegetasi juga dilakukan di dalam pekarangan masyarakat desa karena di lokasi ini terdapat sarang tarsius. Pengambilan sampel dilakukan di belakang rumah beberapa penduduk dengan hanya menggunakan satu plot contoh berukuran 20 × 50 m. Kondisi vegetasi di daerah ini didominasi oleh tumbuhan penghasil buah yang umumnya ditanam secara sengaja oleh penduduk setempat untuk dijadikan sumber pakan, seperti jeruk bali dan nangka. Tumbuhan seperti ini akan banyak menarik perhatian serangga terutama pada saat musim buah. Serangga inilah yang nantinya akan menjadi sumber pakan bagi tarsius. Tabel 4 Indeks Nilai Penting terbesar di Pekarangan Tingkat Nama Lokal Nama Ilmiah Kerapatan Indha INP Pancang Katammong Macaranga hispida 3200 29,63 Tiang Jeruk Bali Citrus grandis 50 74,63 Pohon Nangka Artocarpus heterphyllus 20 54,12

5.1.2.4. Kebun

Selain di hutan sekunder dan di perumahan, tarsius juga ditemukan di kebun campuran milik penduduk yang terdapat tepat di pinggir sawah. Kebun ini terdiri dari tumbuhan yang ditanam secara sengaja oleh penduduk maupun tumbuhan yang tumbuh dengan alami seperti nira, bambu dan pinus. Walaupun daerah ini tidak kaya akan jenis tumbuhan seperti di dalam hutan, tumbuhan yang berada di lokasi ini menjadi salah satu sumber mata pencaharian penduduk, seperti nira yang merupakan bahan baku dari pembuatan gula merah atau gula aren. Topografi kebun tergolong landai karena berada di sekitar sawah dan perladangan penduduk. Akan tetapi, dibeberapa tempat ada lokasi tertentu yang cukup curam karena berada tepat sebelum jalur pendakian ke puncak Gunung Bulusaraung. Pemilihan lokasi plot di daerah ini juga dilakukan tepat di sekitar sarang tarsius, yaitu di sekitar rumpun bambu dan nira. Dari hasil inventarisasi ditemukan bahwa jenis-jenis tumbuhan yang berada di daerah ini dapat dipisahkan kedalam 3 jenis habitus yaitu habitus pohon, habitus palem dan habitus bambu. Pada habitus pohon, jenis yang mendominasi didaerah ini adalah pinus Pinus merkusii, sedangkan pada habitus palem didominasi oleh jenis Nira Arenga pinata, dan pada habitus bambu didominasi oleh jenis Bambu Bambusa sp.. Berikut adalah tabel yang menunjukkan jenis-jenis dengan nilai INP tertinggi di kebun Tabel 5. Tabel 5 Indeks Nilai Penting terbesar pada Kebun Habitus Nama Lokal Nama Ilmiah Kerapatan Indha INP Pohon Pinus Pinus merkusii 10 100 Palem Nira Arenga pinnata 11 61,11 Secara garis besar, semua jenis tumbuhan yang berada di setiap lokasi didominasi oleh tumbuhan berbuah, seperti Katammong Macaranga hispida dan Suka Artocarpus atilis terutama pada tipe habitat pekarangan, hampir keseluruhan tanaman yang ditanam merupakan tanaman berbuah yang menjadi sumber pakan bagi masyarakat. Seluruh tanaman penghasil buah ini akan menjadi tempat berkumpulnya serangga yang akan menjadi sumber pakan utama bagi tarsius. Selain itu, tumbuhan yang memiliki diameter kecil akan menjadi tempat istirahat tarsius dan untuk menandai wilayah jelajahnya. Pada wilayah hutan sekunder penandaan wilayah jelajah tarsius yang dapat dikenali dari bau urinnya banyak ditemukan di liana yang berada di sekitar tebing batu atau pada liana yang mengelilingi pohon Ficus sp. Namun, terkadang bau urin ini tercium pada beberapa pohon yang berada disekitar lokasi yang tidak jauh dari sarang tarsius. Kedua tumbuhan yang memiliki INP tertinggi pada tipe habitat kebun yaitu Pinus dan Nira memiliki arti penting bagi tarsius. Sekat-sekat di antara pelepah nira merupakan lokasi tidur atau sarang tarsius di lokasi ini. Sedangkan posisi pohon pinus yang cukup rapat satu sama lain sangat mendukung pergerakan harian tarsius dalam berburu dan menjelajah. Selain pinus dan nira, pada daerah ini juga terdapat rumpun bambu. Walaupun tidak mendominasi, rumpun bambu di daerah ini memiliki diameter yang cukup besar hingga mencapai 3 meter dengan jumlah batang bambu setiap rumpun mencapai 70 batang. Rumpun bambu tersebut dapat dijadikan sebagai sarang tidur dan tempat berlindung tarsius dari serangan predator.

5.1.2.5. Karakteristik vegetasi sarang tidur

Dari penelitian yang dilakukan di Desa Tompobulu, ditemukan tiga belas sarang tarsius yang masih aktif yang terdiri dari delapan sarang yang berada di dalam hutan sekunder Tombolo dan enam sarang yang tersebar di perkampungan masyarakat, baik di pekarangan rumah, pinggir sawah dan perkebunan. Karakteristik sarang tarsius di dalam hutan sekunder didominasi oleh tumbuhan Ficus sp. yang terdiri dari dua jenis tumbuhan, dimana tumbuhan utama dibalut oleh tumbuhan kedua yang berupa liana. Selain Ficus sp. beberapa sarang juga ditemukan di dalam batu karst yang ditutupi liana Gambar 9. a b Gambar 9 Sarang tarsius di dalam hutan sekunder. a sarang tarsius pada Ficus sp.; b sarang tarsius pada batu yang diselimuti liana. Sedangkan sarang tarsius yang ditemukan di perkampungan penduduk umumnya berada di rumpun bambu dan pohon nira. Menurut Walberto et al. 2008 pohon tidur atau sarang tarsius lebih banyak menempati jenis-jenis pohon Bambusa sp., Ficus sp., Imperata cylindrica, Arenga pinnata dan Hibiscus tiliaceus. Rumpun bambu yang menjadi sarang tarsius di lokasi penelitian mempunyai ketinggian mencapai 20-30 meter, diameter rumpun 2-3 meter dengan jumlah batang bambu mencapai 50-70 batang. Sedangkan sarang tarsius ditemukan dibagian bawah rumpun bambu yang sangat rapat tersebut dan berupa lubang-lubang yang cukup dalam sehingga sangat sulit untuk dicapai oleh predator dan manusia. Selain dilokasi ini, tarsius yang membuat terowongan bawah tanah di bawah rumpun bambu sebagai sarang juga ditemukan di daerah Selayar, Sulawesi Selatan Wirdateti dan Dahrudin 2008. a b Gambar 10 Sarang tarsius disekitar perumahan penduduk. a Pohon Nira; b Lubang dibawah rumpun bambu.

5.1.3. Ketersediaan pakan

Tarsius termasuk satwa pemakan serangga insectivorous dan juga pemakan daging carnivorous. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan koleksi jenis pakan alami utamanya dari jenis-jenis serangga karena 81,2 dari keseluruhan jenis makanan yang dimakan tarsius adalah jenis serangga Walberto et al. 2008. Inventarisasi dan koleksi jenis serangga yang menjadi pakan tarsius dilakukan di sekitar lokasi sarang dengan menggunakan metode perangkap cahaya Light trap dengan setiap lokasi diwakili dengan satu plot. Jumlah individu dan jenis yang tertangkap pada masing-masing plot bervariasi sesuai dengan lokasi pengamatan. Hasil inventarisasi dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11 Diagram perbandingan jumlah jenis dan jumlah individu serangga yang tertangkap jebakan pada 3 plot yang berbeda. 20 40 60 80 100 120 Jumlah Jenis Jumlah Individu Tombolo Kebun Pekarangan Berdasarkan hasil penelitian, terdapat perbedaan jumlah serangga yang ditemukan di setiap lokasi. Jumlah individu terbanyak ditemukan di dalam kawasan hutan Tombolo sebesar 112 individu, di daerah pekarangan sebesar 89 individu dan 80 individu di kebun masyarakat Lampiran 5. Perbedaan ini dapat disebabkan perbedaan kondisi lingkungan serta struktur dan komposisi vegetasi. Tombolo yang merupakan tipe habitat hutan sekunder memiliki lebih banyak jenis tumbuhan yang dapat menjadi sumber pakan bagi serangga dibandingkan dengan lokasi pekarangan rumah masyarakat yang komposisi vegetasinya relatif lebih sedikit. Jenis serangga yang paling banyak ditemukan pada saat inventarisasi adalah jenis serangga dari ordo Lepidoptera dengan jumlah mencapai 124 individu, Diptera 62 individu dan Orthoptera sebanyak 44 individu. Sedangkan yang paling sedikit adalah Odonata yang hanya terdapat 1 individu. Hasil inventarisasi jenis serangga dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Daftar serangga hasil inventarisasi Nama Lokal Ordo Famili Nama Latin Σ Individu Kumbang tanah Coleoptera Carabidae 5 Kumbang 1 Coleoptera Cerambycidae 4 Kumbang 2 Coleoptera Scarabaeidae 2 Nyamuk Diptera Culicidae Aedes sp. 8 Lalat Diptera 54 Kepik 1 Hemiptera Miridae 1 Kepik 2 Hemiptera Reduviidae 2 Hymnoptera Braconidae 29 Semut Hymnoptera Formicidae 3 Hymnoptera Ichneumonidae 2 Hymnoptera Vespidae 2 Capung Odonata Libellulidae Dragonflies sp. 1 Belalang 1 Orthoptera Acrididae 3 Belalang 2 Orthoptera Tettigoniidae 12 Belalang cebol Orthoptera Tetrigidae 19 Jangkrik Orthoptera Gryllidae Acheta domesticus 10 Ngengat Lepidoptera 124 Indeks keanekaragaman merupakan suatu karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya dan dapat digunakan untuk menyatakan struktur suatu komunitas. Sedangkan indeks kemerataan menunjukkan sebaran kemerataan individu dari setiap jenis pada suatu habitat tertentu. Indeks keanekaragaman jenis serangga tertinggi ditemukan di plot kebun sebesar 1,77, Tombolo sebesar 1,49 dan yang terendah adalah di pekarangan rumah masyarakat sebesar 0,57. Menurut klasifikasi nilai indeks keanekargaman menurut Shanon-Wiener, nilai indeks plot Tombolo dan plot kebun memiliki keanekaragaman kategori sedang, penyebaran jumlah individu tiap spesies dan kestabilan komunitas termasuk kategori sedang dengan nilai indeks di kedua tempat ini berada di antara 1-3. Sedangkan nilai indeks di pekarangan rumah masyarakat yang berada di bawah nilai 1 memiliki keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap spesies dan kestabilan komunitas termasuk kategori rendah. Indeks kemerataan jenis menunjukkan tingkat kemerataan sebaran setiap jenis di wilayah plot tertentu. Nilai indeks kemerataan pada setiap plot adalah 0,68 di daerah Tombolo, 0,67 di daerah pinggiran sawah dan 0,24 di pekarangan rumah penduduk. Perbandingan nilai indeks dari setiap plot dapat dilihat pada Gambar 12. Suatu komposisi jenis serangga dikatakan merata apabila nilai indeks kemerataan jenisnya makin mendekati satu, sebaliknya jika nilai indeks kemerataan jenis makin mendekati angka nol maka semakin tidak merata dan dapat dikatakan ada beberapa jenis yang mendominasi. Gambar 12 Diagram perbandingan indeks keanekaragaman H’ dan indeks kemerataan E’ pada setiap plot. 0.5 1 1.5 2 Indeks Keanekaragaman H Indeks Kemerataan E Tombolo Kebun Pekarangan Selain serangga, tarsius juga memakan hewan-hewan kecil seperti burung dan kadal kecil. Dari penelitian ditemukan jenis burung yang dimakan tarsius adalah burung pipit Lonchura molucca yang berukuran kecil. Gambar 13 Burung pipit Lonchura molucca. Kelimpahan dan ketersediaan pakan dalam wilayah jelajahnya sangat menentukan aktivitas harian tarsius. Tarsius yang berada di lokasi dengan kelimpahan pakan yang cukup tinggi baik dari jenis serangga maupun jenis satwa kecil lainnya akan menyebabkan wilayah jelajah tarsius semakin sempit karena sumber pakannya berada lebih dekat. Sebaliknya, di wilayah dengan ketersediaan pakan rendah, tarsius harus melakukan perburuan pada wilayah yang lebih luas untuk mencukupi kebutuhan hariannya. Semakin luas wilayah jelajah tarsius di suatu daerah diakibatkan kelimpahan pakan dapat menyebabkan kepadatan populasi yang semakin rendah di wilayah tersebut, sedangkan semakin sempit wilayah jelajah maka kepadatan tarsius lebih tinggi. Hasil yang didapatkan dari kelimpahan pakan ini juga sesuai dengan hasil penelitian bahwa daerah pekarangan rumah yang memiliki keanekaragaman serangga rendah memiliki populasi tarsius yang lebih rendah. Jumlah serangga yang ditemukan di plot hutan sekunder lebih sedikit apabila dibandingkan dengan jumlah serangga yang ditemukan di plot kebun tetapi, tarsius lebih banyak ditemukan di hutan sekunder karena areal hutan sekunder memiliki sumber pakan lain bagi tarsius seperti burung pipit, kadal kecil dan jenis-jenis satwa kecil lainnya.

5.2. Populasi

Dokumen yang terkait

Perbandingan Keanekaragaman Jenis Herpetofauna antara TWA Bantimurung dengan TWA Pattunuang di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Sulawesi Selatan

0 4 15

Pengelolaan Taman Kupu-Kupu di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Maros Sulawesi Selatan

1 5 48

Pengaruh Kegiatan Wisata Terhadap Karakteristik Biofisik Ekosistem Gua Di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

1 7 27

Model Kesesuaian Habitat Tarsius (Tarsius Sp) Di Hutan Lambusango Pulau Buton Provinsi Sulawesi Tenggara

2 19 65

STUDI VEGETASI PADA HABITAT TARSIUS (Tarsius Sp.) DI DESA KAMARORA KAWASAN TAMAN NASIONAL LORE LINDU | Ekawati | Jurnal Warta Rimba 1955 5713 1 PB

0 1 7

KARAKTERISTIK FISIK HABITAT TARSIUS (Tarsius dentatus) DI KAWASAN TAMAN NASIONAL LORE LINDU | Krisnatalia | Jurnal Warta Rimba 1944 5669 1 PB

1 1 10

KARAKTERISTIK BIOFISIK HABITAT TARSIUS (Tarsius pumilus) DI GUNUNG ROREKATIMBU KAWASAN TAMAN NASIONAL LORE LINDU SULAWESI TENGAH | Sandego | Jurnal Warta Rimba 3570 11227 1 PB

0 1 10

ANALISIS STAKEHOLDER PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG, PROPVINSI SULAWESI SELATAN (Stakeholder Analysis of Bantimurung Bulusaraung National Park Management, South Sulawesi Province) | Kadir | Jurnal Manusia dan Lingkungan 18470 37083 1 P

0 0 11

ANALISIS KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG, PROVINSI SULAWESI SELATAN (Socio-Economic Analysis of Community Around Bantimurung Bulusaraung National Park, South Sulawesi Province) | Kadir | Jurnal Manusia dan

0 0 11

Pusat Penelitian dan Pengembangan Koservasi dan Rahabilitasi, Jl Gunung Batu No 5 Bogor. Telp. (0251) 8633234 ABSTRACT - PERILAKU HARIAN TARSIUS DALAM KANDANG DI PATUNUANG, TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG

0 1 14