51
korupsi mewabah menjangkau masyarakat luas. Lalu di tahap yang kritis, ketika korupsi menjadi sistemik, setiap individu di dalam system terjangkit
penyakit yang serupa. Boleh jadi penyakit korupsi di bangsa ini telah sampai pada tahap sistemik Djaja, 2010:12.
Menurut data yang diperoleh oleh ACFE Association of Certified Fraud Examiners
di tahun 2012 telah terjadi kasus fraud sebanyak 1.388 di seluruh dunia. Pengklasifikasian fraud atau kecurangan ini dikenal dengan istilah
“fraud tree”. Hal yang ditimbulkan oleh fraud salah satunya adalah Korupsi, dimana jenis fraud ini paling paling sulit dideteksi karena menyangkut
kerjasama dengan pihak lain seperti suap atau korupsi.
6.1.1 Tipologi Korupsi
Arvind Jain 2001 dalam paper berjudul “Corruption: A review”
secara menarik menggambarkan area tempat korupsi sering terjadi di Negara demokrasi. Pemetaan interaksi antar aktor politik dan ekonomi
membantu memberikan gambaran tentang potensi korupsi.
52
Gambar 2.1 Tipologi korupsi
Sumber: Wijayanto, 2009
a. Interaksi 1 Melibatkan rakyat dan pemimpin Negara yang dipilih melalui proses
demokrasi. Dalam interaksi tersebut, terutama di Negara demokrasi yang belum mengalami konsolidasi, peluang korupsi politik dalam berbagai bentuk,
termasuk politik uang untuk memenangi pemilu sangat mungkin terjadi. Umumnya, pemimpin terpilih mempunyai diskresi yang luas dalam
menentukan kebijakan pemerintah. Diskresi ini membuka kesempatan bagi para pemimpin untuk tidak menomorsatukan kepentingan rakyat. Privatisasi
adalah contoh klasik dalam kasus ini, saat kebijakan publik diarahkan untuk mentransfer kepemilikan asset berharga milik publik kepada privat.
53
b. Interaksi 2 Terdiri dari tiga bagian, yaitu 1 interaksi antara para birokrat dengan
pemimpin pilihan rakyat, 2 birokrat dengan anggota legislatif dan 3 interaksi antara birokrat dengan rakyat. Interaksi ini membuka peluang
terjadinya korupsi birokrat. Dalam berbagai kasus, birokrat atau pejabat publik yang dipilih oleh para pemimpin Negara sering diposisikan sebagai
kepanjangan tangan mereka untuk “memeras” kekayaan Negara melalui
berbagai institusi pemerintahan maupun perusahaan milik Negara. Birokrat terpilih diharuskan menyerahkan setoran rutin kepada para elit politik untuk
melanggengkan posisi politik mereka melalui proses demokrasi yang koruptif. Interaksi antara pejabat publik dan anggota legislatif juga membuka peluang
terjadinya korupsi. Di Indonesia, seleksi pejabat tingkat tertentu misalnya gubernur BI, Direksi BUMN, Ketua MA, Ketua KPK, ketua BPK, dan lain-
lain harus melalui proses fit and proper test di legislatif. Proses ini memunculkan peluang
“jual-beli” jabatan yang melibatkan kandidat pejabat publik dan anggota legislatif.
Pada dataran yang sama, interaksi antar pejabat publik dan rakyat merupakan pintu terjadinya korupsi kecil, pejabat publik korup dari berbagai
level mengutip uang dari rakyat. Proses ini sangat mungkin terjadi, mengingat kantor pelayanan publik umumnya memonopoli pelayanan publik.
c. Interaksi 3 Melibatkan pemimpin terpilih dan anggota legislatif.Berbagai kebijakan
publik memerlukan persetujuan dari legislatif, interaksi ini membuka peluang
54
terjadinya korupsi legislatif legislatif corruption baik berupa suap kepada atau pemerasan oleh anggota legislatif. Korupsi legislatif mudah terjadi pada
Negara dimana pembiayaan kampanye politik belum diatur atau diawasi dengan baik.
d. Interaksi 4 Melibatkan rakyat dan anggota legislatif yang dipilih melalui pemilihan
umum. Demokrasi procedural relative lebih mudah diwujudkan, tetapi mewujudkan demokrasi substansial bukanlah perkara mudah. Dinegara
dimana politik uang meurpakan fenomena biasa, seringkali politisi menyuap rakyat agar mereka terpilih dalam pemilu, sehingga keterpilihan mereka tidak
ditentukan oleh kinerja tetapi oleh kemampuan finansial mereka. Menurut perspektif hukum definisi korupsi dijelaskan didalam UU No. 31
tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan UU tersebut, ada 30 jenis tindakan yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Tindak
pidana korupsi itu dapat dikelompokkan menjadi 7 kategori yaitu Kerugian keuangan Negara, Suap-menyuap, Penggelapan dalam jabatan, Pemerasan,
Perbuatan curang, Benturan kepentingan dalam pengadaan, dan Gratifikasi KPK, 2009
Dari berbagai jenis korupsi yang diatur dalam undang-undang, gratifikasi merupakan suatu hal yang relatif baru dalam penegakan hukum tindak pidana
korupsi di Indonesia. Terbentuknya peraturan tentang gratifikasi ini merupakan bentuk kesadaran bahwa gratifikasi dapat mempunyai dampak
yang negatif dan dapat disalahgunakan, khususnya dalam rangka
55
penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga unsur ini diatur dalam perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi. Diharapkan jika
budaya pemberian dan penerimaan gratifikasi kepadaoleh Penyelenggara Negara dan Pegawai Negeri dapat dihentikan, maka tindak pidana pemerasan
dan suap dapat diminimalkan atau bahkan dihilangkan KPK, 2014. Pengertian gratifikasi terdapat pada Penjelasan Pasal 12B Ayat 1
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian
uang, barang, rabat discount, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau
tanpa sarana elektronik” KPK, 2014. Gerald E Caiden 1998 dalam Dreher 2007 memaparkan secara rinci
bentuk-bentuk korupsi yang umum dikenal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara antara lain adalah:
1 Berkhianat, transaksi luar negeri illegal dan penyelundupan 2 Menggelapkan barang milik lembaga, negara, swastanisasi anggaran
pemerintah, menipu dan mencuri 3 Menggunakan uang negaralembaga yang tidak tepat, memalsukan
dokumen dan menggelapkan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak dan menyalahgunakan dana
56
4 Menyalahgunakan wewenang, menipu, mengecoh, mencurangi, memperdaya dan memeras, penyuapan dan penyogokan, mengutip
pungutan dan meminta komisi, menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintahnegara, dan surat izin pemerintah, manipulasi
peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak dan pinjaman uang, menghindari pajak, meraih laba berlebih-lebihan, menerima hadiah,
uang pelicin dan hiburan dan perjalanan yang tidak pada tempatnya, dan
5 Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan dan hak istimewa jabatan.
6.2 Penyebab Korupsi