Metode Pengumpulan Data Gambaran Umum Objek Penelitian a.

83

C. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan Data adalah keterangan mengenai variabel pada sejumlah objek Purwanto, 2011. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diambil dari BPK, sedangkan tingkat korupsi di pemerintah daerah diambil dari situs Laporan Tahunan KPK RI. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara dokumentasi dan studi pustaka. Dokumentasi merupakan proses perolehan dokumen dengan mengumpulkan dan mempelajari dokumen tersebut. Proses perolehan dokumen dilakukan melalui komunikasi elektronik e- mail dengan pihak lembaga terkait, publikasi website lembaga terkait dan kunjungan langsung ke Biro Humas dan Hubungan Luar Negeri Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia untuk mengambil data yang mensyaratkan diambil secara langsung data Laporan Hasil Pemeriksaan atas LKPD 2012 dan 2013 oleh BPK RI. Data kedua adalah data kasus korupsi kabupaten tahun 2012 dan 2013. Studi pustaka dilakukan dengan mempelajari literatur-literatur yang relevan dengan penelitian. Selain itu peneliti juga melakukan penelitian kepustakaan dengan memperoleh data yang berkaitan dengan pembahasan yang sedang diteliti melalui berbagai literatur seperti buku, jurnal, skripsi maupun situs dari internet. Ini dikarenakan kepustakaan merupakan bahan utama dalam penelitian data sekunder Indriantoro dan Bambang, 2002:150.

D. Metode Analisis Data

Metode analisis data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik analisis kuantitatif. Analisis kuantitatif dilakukan dengan cara menganalisis suatu 84 permasalahan yang diwujudkan dengan kuantitatif. Dalam penelitian ini, analisis kuantitatif dilakukan dengan cara mengkuantifikasi data-data penelitian sehingga menghasilkan informasi yang dibutuhkan dalam analisis. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi logistik logistic regression dengan bantuan SPSS Ver. 20. Alasan penggunaan alat analisis regresi logistik logistic regression adalah karena variabel dependen bersifat dummy korupsi atau tidak korupsi. Asumsi normal distribution tidak dapat dipenuhi karena variabel bebas merupakan campuran antara variabel kontinyu metrik dan kategorial non-metrik. Dalam hal ini dapat dianalisis dengan regresi logistik logistic regression karena tidak perlu asumsi normalitas data pada variabel bebasnya.

1. Definisi Regresi Logistik

Regresi logistik adalah bentuk khusus dimana variabel dependennya terbagi menjadi dua bagian atau kelompok biner. Walaupun formulanya dapat saja lebih dari dua kelompok. Regresi logistik adalah regresi yang digunakan untuk mencari persamaan regresi jika variabel dependennya merupakan variabel yang berbentuk skala. Regresi logistik binari digunakan untuk menemukan persamaan regresi dimana variabel dependennya bertipe kategorial dua pilihan seperti: ya atau tidak, atau lebih dari dua pilihan seperti: tidak setuju, setuju, sangat setuju. 85

2. Tahapan Regresi Logistik

Tahapan dalam pengujian dengan menggunakan uji regresi logistik logistic regression adalah statistik deskriptif dan pengujian hipotesis penelitian, adapun penjelasannya diuraikan dalam paragraf dibawah ini Ghozali, 2011:

a. Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif digunakan untuk memberikan deskripsi suatu data yang dilihat dari rata-rata mean, standar deviasi standard deviation, dan maksimum-minimum. Mean digunakan untuk memperkirakan besar rata-rata populasi yang diperkirakan dari sampel. Standar deviasi digunakan untuk menilai dispersi rata-rata dari sampel. Maksimum-minimum digunakan untuk melihat nilai minimum dan maksimum dari populasi. Hal ini perlu dilakukan untuk melihat gambaran keseluruhan dari sampel yang berhasil dikumpulkan dan memenuhi syarat untuk dijadikan sampe penelitian.

b. Pengujian Hipotesis Penelitian

Estimasi parameter menggunakan Maximum Likehood Estimation MLE. Ho = b1 = b2 = b3 = ... = bi = 0 Ho ≠ b1 ≠ b2 ≠ b3 ≠ ... ≠ bi ≠ 0 Hipotesis nol menyatakan bahwa variabel independen x tidak mempunyai pengaruh terhadap variabel respon yang diperhatikan dalam populasi. Pengujian terhadap hipotesis dilakukan dengan menggunakan α = 5. Nilai α dinyatakan sebagai besarnya tingkat kesalahan yang dapat ditolerir. Umumnya, untuk ilmu sosial, termasuk ekonomi dan keuangan, besarnya α 86 adalah 5 Nachrowi dan Usman, 2006:15. Kaidah pengambilan keputusan adalah: a Jika nilai probabilitas sig. α = 5 maka hipotesis alternatif didukung. b Jika nilai probabilitas sig. α = 5 maka hipotesis alternatif tidak didukung. 1 Menilai Keseluruhan Model Overall Model Fit Langkah pertama adalah menilai overall model fit terhadap data. Beberapa test statistik diberikan untuk menilai hal ini. Hipotesis untuk menilai model fit adalah: H0 : Model yang dihipotesiskan fit dengan data HA : Model yang dihipotesiskan tidak fit dengan data Dari hipotesis ini kita tidak akan menolak hipotesis nol agar model fit dengan data. Statistik yang digunakan berdasarkan pada fungsi likelihood. Likelihood L dari model adalah probabilitas bahwa model yang dihipotesiskan menggambarkan data input. Untuk menguji hipotesis nol dan alternatif, L ditransformasikan menjadi -2LogL. Penurunan likelihood -2LL menunjukkan model regresi yang lebih baik atau dengan kata lain model yang dihipotesiskan fit dengan data. 2 Koefisien Determinasi Nagelkerke R Square Cox dan Snell’s R Square merupakan ukuran yang mencoba meniru ukuran R2 pada multiple regression yang didasarkan pada teknik estimasi likelihood dengan nilai maksimum kurang dari 1 satu sehingga sulit 87 diinterpretasikan. Nagelkerke’s R square merupakan modifikasi dari koefisien Cox dan Snell untuk memastikan bahwa nilainya bervariasi dari 0 nol sampai 1 satu. Hal ini dilakukan dengan cara membagi nilai Cox dan Snell’s R2 dengan nilai maksimumnya. Nilai Nagelkerke’s R2dapat diinterpretasikan seperti nilai R2 pada multiple regression. Nilai yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen. 3 Menguji Kelayakan Model Regresi Kelayakan model regresi dinilai dengan menggunakan Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test. Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test menguji hipotesis nol bahwa data empiris cocok atau sesuai dengan model tidak ada perbedaan antara model dengan data sehingga model dapat dikatakan fit. Jika nilai statistik Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test sama dengan atau kurang dari 0,05, maka hipotesis nol ditolak yang berarti ada perbedaan signifikan antara model dengan nilai observasinya sehingga Goodness fit model tidak baik karena model tidak dapat memprediksi nilai observasinya. Jika nilai statistik Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test lebih besar dari 0,05, maka hipotesis nol tidak dapat 88 ditolak dan berarti model mampu memprediksi nilai observasinya atau dapat dikatakan model dapat diterima karena cocok dengan data observasinya. 4 Uji Multikolinieritas Model regresi yang baik adalah regresi dengan tidak adanya gejala korelasi yang kuat di antara variabel bebasnya. Pengujian ini menggunakan matrik korelasi antar variabel bebas untuk melihat besarnya korelasi antar variabel independen. Jika variabel independen saling berkorelasi, maka variabel-variabel ini tidak ortogonal. Variabel ortogonal adalah variabel independen sama dengan nol. 5 Matriks Klasifikasi Matriks klasifikasi menunjukkan kekuatan prediksi dari model regresi untuk memprediksi kemungkinan Korupsi yang dilakukan oleh pemda. 6 Model Regresi Logistik yang Terbentuk Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi logistik logistic regression, yaitu dengan melihat pengaruh Variabel independen terdiri dari opini audit, Tingkat Kelemahan SPI, Ketaatan Terhadap Perundang-Undangan, Kinerja Keuangan Pemerintahan Daerah Terhadap variabel dependen yakni tingkat korupsi. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: KOR= β0+β1Op+β2SPI+β3KUU+β4RK+β5RBO+β6RBM+β 7RBT +ε KOR = tingkat korupsi 89 β0 = Konstanta OP = opini audit 1 untuk opini WTP dan WTP-DPP dan 0 untuk opini lainnya SPI = jumlah kasus kelemahan sistem pengendalian intern KUU = jumlah kasus kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan RK = Rasio kinerja kemandirian daerah RBO = Rasio kinerja aktivitas belanja operasi daerah RBM = Rasio kinerja aktivitas belanja modal daerah RT = Rasio kinerja pertumbuhan daerah ε = Error term

E. Operasionalisasi Variabel Penelitian 1. Variabel Independen

Variabel bebas dari penelitian ini adalah tingkat akuntabilitas pemerintah daerah yang dilaporkan oleh BPK RI yang terdiri dari opini audit laporan keuangan pemerintah daerah, kelemahan sistem pengendalian intern laporan keuangan pemerintah daerah, dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan laporan keuangan pemerintah daerah dan Kinerja keuangan Pemerintah daerah yang terdiri dari rasio Kemandirian, Rasio Aktivitas, Rasio pertumbuhan. a. Opini audit laporan keuangan pemerintah daerah Penelitian ini menguji pengaruh dari Opini audit laporan keuangan pemerintah daerah Terhadap tingkat korupsi. Opini Audit merupakan 90 variabel independen yang diukur mengunakan variabel dummy. Laporan audit Independen merupakan sarana bagi auditor untuk menyatakan pendapatnya, opini auditor yang merupakan pernyataan kewajaran, dalam semua hal yang material sesuai dengan kriteria Standar akuntansi Pemerintah. Opini audit Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia BPK RI terdiri dari empat opini yaitu Wajar Tanpa Pengecualian WTPunqualified opinion, Wajar Dengan Pengecualian WDPQualified opinion, Tidak Wajar TWAdverse opinion dan Tidak Memberikan Pendapat TMPDisclaimer opinion. Variabel ini diukur dengan menggunakan variabel dummy, Kategori unqualified yang terdiri dari Wajar Tanpa Pengecualian WTPunqualified opinion diberi nilai dummy 1 dan kategori non unqualified yang terdiri dari Wajar dengan Pengecualian WDPQualified opinion, Tidak Wajar TWAdverse opinion dan Tidak Memberikan Pendapat TMPDisclaimer opinion diberi nilai dummy 0 Heriningsih, 2013. b. Kelemahan sistem pengendalian intern laporan keuangan pemerintah daerah Penelitian ini menguji pengaruh dari kelemahan sistem pengendalian intern laporan keuangan pemerintah daerah terhadap tingkat korupsi. Hasil evaluasi Sistem Pengendalian Intern SPI oleh BPK menunjukkan kasus- kasus kelemahan sistem pengendalian intern yang dapat dikelompokkan sebagai kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan, 91 kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja, serta kelemahan struktur pengendalian intern. Variabel kelemahan sistem pengendalian intern LKPD diukur dengan menghitung jumlah kasus kelemahan system pengendalian intern atas LKPD yang dilaporkan BPK. Kelemahan SPI di ukur dengan menggunakan jumlah temuan pelanggaran atas SPI yang diungkapkan dalam laporan hasil pemeriksaan LHP dari BPK. Heriningsih, 2014. c. Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-Undangan Pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah mengenai kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan mengungkapkan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian daerah, potensi kerugian daerah, kekurangan penerimaan, administrasi, ketidakekonomisan, dan ketidakefektifan. Variabel kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan LKPD diukur dengan menghitung jumlah kasus ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan atas LKPD yang dilaporkan BPK. Penelitian ini menguji pengaruh Ketaatan Terhadap Peraturan Perundang-Undangan terhadap tingkat korupsi. Ketaatan terhadap Peraturan Perundang-Undangan di ukur dengan menggunakan jumlah temuan pelanggaran atas ketaatan terhadap undang-undang yang diungkapkan dalam laporan hasil pemeriksaan LHP dari BPK Heriningsih, 2014. 92 d. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten dan kota merupakan variabel independen, Kinerja keuangan merupakan keluaran atau hasil dari kegiatan atau program yang dicapai sesuai dengan anggaran dengan kualitas dan kuantitas yang terukur Ronald dan Sarmiyatiningsih, 2010. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah merupakan variabel independen yang diukur dengan menggunakan 3 rasio keuangan APBD yang terdiri dari rasio kemandirian, rasio aktivitas dan rasio pertumbuhan, dimana ketiga rasio tersebut merupakan rasio pengukuran kinerja pemerintah.

1. Rasio Kemandirian Daerah

Menurut Halim dan Kusufi 2012 rasio kemandirian menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber keuangan yang diperlukan daerah. Kemandirian daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya Pendapatan Asli Daerah PAD dibandingkan dengan total pendapatan transfer. Rumusan rasio kemandirian daerah yaitu : Kemandirian i = PAD i Total Pendapatan Transfer Daerah i Keterangan i = Pemerintah KabupatenKota 93 Tabel 3.1 Kriteria Rasio Kemandirian S Sumber: Halim dan Kusufi, 2012 2. Rasio Aktivitas Belanja operasi Menurut Halim dan Kusufi 2012 rasio aktivitas yaitu rasio yang menggambarkan bagaimana pemda memprioritaskan alokasi dananya pada belanja operasi secara optimal. Rasio aktivitas belanja operasi membandingkan total belanja rutin operasi terhadap total APBD Halim, 2009 dalam Heriningsih 2013. Semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin belanja operasional berarti persentase belanja pembangunan belanja modal yang digunakan untuk menyediakan sarana dan prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil Susantih dan Saftiana, 2010: 13. Rasio aktivitas belanja operasi dapat diformulasikan sebagai berikut : Belanja Operasi terhadap APBD i = Total Belanja Operasi i Total APBD i Keterangan i = Pemerintah KabupatenKota

3. Rasio Aktivitas Belanja modal

Rasio Kriteria kemampuan daerah 50 Sangat baik 40-50 Baik 30-40 Cukup 10-20 Kurang 0-10 Sangat kurang 94 Rasio aktivitas belanja modal ini membandingkan total belanja modal terhadap total APBD. Rasio aktivitas menggambarkan bagaimana pemda memprioritaskan alokasi dananya pada belanja pembangunan secara optimal. Semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin belanja operasional berarti persentase belanja pembangunan belanja modal yang digunakan untuk menyediakan sarana dan prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil Susantih dan Saftiana, 2010: 13. Rasio aktivitas tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut : Belanja Modal terhadap APBD i = Total Belanja Modal i Total APBD i Belum ada tolak ukur yang jelas mengenai rasio aktivitas pemerintah saat ini, maka untuk membandingkan rasio aktivitas dilakukan berdasarkan belanja operasi dan belanja modal.

4. Rasio Pertumbuhan

Menurut Halim dan Kusufi 2012 rasio pertumbuhan mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya. Rasio pertumbuhan mengukur kemampuan daerah dalam miningkatkan keberhasilan yang telah dicapai. Dengan mengetahui pertumbuhan masing-masing kelompok sumber pendapatan dan 95 pengeluaran, dapat digunakan mengevaluasi potensi-potensi yang mendapat perhatian Heriningsih, 2013. RT= Pendapatan tahun p - Pendapatan tahun p-1 X 100 Pendapatan tahun p-1 Keterangan p= tahun 2013

2. Variabel Dependen

Variabel Terikat Dependent Variabel merupakan variabel yang menjadi perhatian utama peneliti dan merupakan variabel yang dipengaruhi variabel lain baik secara positif maupun negatif Sekaran, 2006. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkat korupsi pemerintah daerah. Pengklasifikasi fraud atau kecurangan dikenal dengan istilah “fraud tree”. Hal yang ditimbulkan oleh fraud salah satunya adalah Korupsi, dimana jenis fraud ini paling paling sulit dideteksi karena menyangkut kerjasama dengan pihak lain seperti suap atau korupsi. Dalam penelitian Chen; Cumming; Hou; dan Lee 2013 yang melakukan penelitian pada fraud dengan menggunakan variabel dummy dimana 1 bagi firma yang berlawanan dari fraud, dan 0 bagi firma yang fraud Tingkat korupsi yang dipakai dalam penelitian ini adalah memodifikasi data kasus korupsi yang terjadi di kabupaten- 96 kabupaten di Indonesia yang didapat dari Laporan Tahunan KPK. Variabel ini diukur dengan menggunakan variabel dummy. 1 bagi kabupaten dan kota yang tidak terdapat kasus korupsi telah berkekuatan hukum tetap dan bukan dugaan korupsi dari Laporan Tahunan KPK RI 0 bagi kabupaten dan kota yang terdapat kasus korupsi telah berkekuatan hukum tetap dan bukan dugaan korupsi dari Laporan Tahunan KPK RI . Tingkat korupsi yang dimodifikasi dari laporan tahunan KPK RI inilah yang digunakan untuk mengukur tingkat korupsi pemerintah daerah. 97 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Objek Penelitian a.

Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan tahun 2012 dan 2013 Populasi dalam penelitian ini adalah Laporan keuangan pemerintah daerah tahun anggaran 2012 dan 2013 yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan BPK. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Badan Pemeriksa Keuangan BPK memeriksa Neraca daerah, Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas serta Catatan atas Laporan Keuangan yang telah disusun oleh pemerintah daerah sebagai bentuk pertanggungjawaban Pemerintah Daerah selama satu tahun anggaran sebagaimana diamanatkan dalam Undang –undang Nomor 33 Tahun 2004. Hasil pemeriksaan keuangan BPK disajikan dalam tiga kategori yaitu opini, SPI, dan pelanggaran terhadap kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. Hasil pemeriksaan BPK dituangkan dalam LHP Laporan Hasil Pemeriksaan dan dinyatakan dalam sejumlah temuan. Setiap temuan dapat terdiri atas satu atau lebih permasalahan kelemahan SPI, ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian negara daerah, potensi kerugian negaradaerah, kekurangan penerimaan, penyimpangan administrasi, ketidakhematan, dan ketidakefektifan. Setiap permasalahan merupakan bagian dari temuan dan di dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester IHPS ini disebut dengan istilah 98 “kasus”. Namun, istilah kasus di sini tidak selalu berimplikasi hukum atau berdampak finansial. Untuk mewujudkan syarat penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah yang baik dan mematuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas, maka Pemerintah telah melakukan berbagai pembaharuan dan regulasi dibidang keuangan yang secara Nasional telah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah SAP pasal 4 ayat 1 Pemerintah menerapkan SAP Berbasis Akrual, lebih lanjut diatur dalam Pasal 7 ayat 1 penerapan SAP berbasis akrual. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 dapat dilaksanakan secara bertahap dari penerapan SAP berbasis kas menuju akrual menjadi penerapan SAP berbasis akrual. Penelitian ini menggunakan data selama dua tahun, dari tahun anggaran 2012 sampai tahun 2013. Penggunaan periode 2012 sampai 2013 karena pada tahun tersebut merupakan data terbaru yang tersedia dan dapat memberikan gambaran pelaksaan secara bertahap dari penerapan peraturan pemerintah Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah SAP yang dilaksanakan secara bertahap dari penerapan SAP berbasis kas menuju akrual menjadi penerapan SAP berbasis akrual. Tabel 4.1 dibawah ini menyajikan tahapan seleksi sampel berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan 99 Tabel 4.1 Tahapan Seleksi Sampel dengan Kriteria Proses pengambilan sampel Jumlah Pemda 2012 dan 2013 Jumlah Pemda tingkat kabupatenkota di Indonesia 495 Jumlah LKPD yang tidak memuat data yang dibutuhkan 73 Jumlah Pemda sampel 422 Jumlah pengamatan tahun 2 Jumlah sample total selama periode penelitian 844 Sumber : Data diolah Jumlah Pemda tingkat kabupatenkota yang ada di indonesia selama periode penelitian berjumlah 495 Pemda. Dari 495 Pemda tersebut terdapat 73 LKPD yang tidak memuat selama periode penelitian. Sehingga Pemda yang dijadikan sampel adalah sebanyak 422 Pemda. Sedangkan total pengamatan yang dijadikan sampel penelitian adalah 844 Pemda dikalikan 2 tahun pengamatan, sehingga sampel penelitian berjumlah 844 Pemda.

b. Data korupsi Kabupaten dan Kota

D ibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Objek penelitian pada data kasus korupsi didapat dari KPK. Kasus korupsi yang difokuskan dalam penelitian ini adalah kasus yang telah menjadi 100 Tindak Pidana Korupsi TPK. Dalam laporan tahunan KPK 2012 dan 2013 ini Pemda yang masuk kedalam kasus TPK sebanyak 45 kasus di kabupaten dan kota diseluruh Indonesia yang diberi nilai 1 dan selebihnya sebanyak 799 kota dan kabupaten diberi nilai 0.

c. Deskripsi Sampel Penelitian

Dalam penelitian ini sampel dipilih dengan menggunakan metode purposive sampling dengan menggunakan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Sampel dipilih bagi pemda yang menyajikan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini antara lain opini audit, kelemahan SPI, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, rasio kemandirian, rasio belanja modal, rasio belanja operasi, dan rasio pertumbuhan. Melalui metode purposive sampling diharapkan sampel dapat mewakili populasinya dan tidak menimbulkan bias bagi tujuan penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya. Sampel dikategorikan ke dalam dua kelompok atau kategori berdasarkan atas jenis opini audit yang diterimanya, yaitu kelompok pemerintah daerah yang Korupsi korup dan kelompok pemerintah daerah yang mendapatkan tidak korupsi tdk korup Distribusi Pemda tersebut disajikan dalam tabel 4.2 berikut ini: Tabel 4.2 Distribusi Pemda Berdasarkan Opini Audit Korupsitdk korupsi Pemerintah daerah Total 2012 2013 Korupsi 21 24 45 5 6 5 101 Tdk korupsi 401 398 799 95 94 95 Total 422 422 844 100 100 100 Sumber: data diolah Berdasarkan Tabel 4.4 diketahui bahwa pada tahun 2012 terdapat 21 Pemda yang Korupsi atau sebesar 5 dari total Pemda sampel pada tahun 2012. Dan Pemda yang Tidak Korupsi pada tahun 2012 adalah 401 Pemda atau sebesar 95 dari total Pemda sampel pada tahun 2012. Pada tahun 2013 terdapat 24 Pemda yang Korupsi atau sebesar 6 dari total Pemda sampel pada tahun 2012. Dan Pemda yang Tidak Korupsi pada tahun 2013 adalah 398 Pemda atau sebesar 94 dari total Pemda sampel pada tahun 2013. Dari penjelasan Tabel 4.4 diatas dapat dilihat bahwa Pemda yang paling banyak Korupsi terjadi pada tahun 2013. Salah satu penyebab hal itu adalah Perubahan Korupsi yang terjadi setiap tahunnya menunjukkan adanya perubahan kondisi di KPK dan Pemda, contohnya KPK melakukan koordinasi dan supervisi korsup penindakan. Pertama, melalui penyelenggaraan berbagai pelatihan yang ditujukan untuk meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum. Kedua, melalui koordinasi dan supervisi penanganan kasus kepada Kejaksaan dan Kepolisian. Dimana kedua hal ini bertujuan untuk penguatan kapasitas SDM dalam penanganan korupsi. korsup bidang penindakan juga terkait langsung dengan penanganan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan Kepolisian dan Kejaksaan. Selain itu perubahan 102 korupsi dari sisi pemda kualitas layanan publik yang masih kurang, masih lemahnya perencanaan dan penganggaran APBD, serta lemahnya perencanaan dan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa Laporan tahunan KPK, 2013.

B. Hasil Uji Analisis Data Penelitian