Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah

26

2.2 Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah

Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah LKPD dalam Setiawan 2012 menjadi hal penting karena merupakan bentuk pertanggung jawaban pemerintah daerah terhadap pelaksanaan APBD. Untuk mengetahui akuntabilitas laporan keuangan pemerintah daerah perlu dilakukan pemeriksaan diaudit. Pemeriksaan tentang akuntabilitas LKPD dilakukan BPK RI sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan Negara sebagaimana dijelaskan dalam Undang 28 Undang Republik Indonesia nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah oleh BPK bertujuan untuk memberikan pendapatopini atas kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan mendasarkan pada a kesesuaian dengan standar akuntansi Pemerintahan dan atau prinsip-prinsip akuntansi yang ditetapkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, b kecukupan pengungkapan adequate disclosure, c kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, d efektivitas sistem pengendalian intern. Hasil dari pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah LKPD dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan LHP yang mengambarkan tingkat akuntabilitas LKPD yang secara keseluruhan dirangkum dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester IHPS yang dikeluarkan setahun dua kali tiap semester. Hasil pemeriksaan keuangan atas LKPD disajikan dalam 3 bagian yaitu: opini, sistem pengendalian intern, dan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan BPK, 2012. 27 1. Opini Pemeriksaan Keuangan Opini yang diberikan atas suatu LKPD merupakan cermin bagi kualitas akuntabilitas keuangan atas pelaksanaan APBD. Adanya kenaikan persentase opini wajar tanpa pengecualian WTP secara umum menggambarkan adanya perbaikan akuntabilitas keuangan oleh pemerintahan daerah dalam menyajikan laporan keuangan sesuai dengan prinsip yang berlaku BPK, 2012. Merujuk pada Buletin Teknis SPKN Nomor 01 tentang Pelaporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah, paragraf 13 tentang Jenis Opini audit BPK RI terdiri dari empat opini, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian WTPunqualified opinion, Wajar Dengan Pengecualian WDPQualified opinion , Tidak Wajar TWAdverse opinion dan Tidak Memberikan Pendapat TMPDisclaimer opinion. Wajar Tanpa Pengecualian WTP memuat suatu pernyataan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan SAP. Sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik SPAP yang diberlakukan dalam SPKN, BPK dapat memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian dengan Paragraf Penjelas WTP-DPP karena keadaan tertentu sehingga mengharuskan pemeriksa menambahkan suatu paragraf penjelas dalam LHP laporan hasil pemeriksaan sebagai modifikasi dari opini WTP. Wajar Dengan Pengecualian WDP memuat suatu pernyataan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material sesuai dengan SAP, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan 28 yang dikecualikan. Tidak Wajar TW memuat suatu pernyataan bahwa laporan keuangan tidak menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai dengan SAP. Pernyataan Menolak Memberikan Opini atau Tidak Memberikan Pendapat TMP menyatakan bahwa pemeriksa tidak menyatakan opini atas laporan keuangan BPK, 2012. Opini auditor menjadi pusat perhatian dalam setiap laporan kinerja suatu entitas demikian juga dengan penelitian ini sehingga dengan menggunakan penalaran bahwa jika Pemerintah daerah memperoleh opini WTP wajar tanpa pengecualian maka harapannya akan semakin bagus kinerja pemerintah daerah dan pastinya korupsi tidak dapat terjadi Heriningsih, 2013. Penyusunan dan penyajian laporan keuangan adalah tanggung jawab entitas sedangkan tanggung jawab BPK terletak pada pernyataan pendapatopini atas laporan keuangan berdasarkan pemeriksaaan yang dilakukan secara independen, objektif, dan integritas tinggi BPK, 2012. 2. Sistem Pengendalian Intern SPI Salah satu kriteria pemberian opini adalah evaluasi atas efektivitas SPI. Pengertian SPI menurut Peraturan Pemerintah PP nomor 8 tahun 2006 tentang pelaporan keuangan dan kinerja instansi pemerintah, Sistem Pengendalian Intern adalah suatu proses yang dipengaruhi oleh manajemen yang diciptakan untuk memberikan keyakinan yang memadai dalam pencapaian efektivitas, efisiensi, ketaatan terhadap peraturan perundang- undangan yang berlaku, dan keandalan penyajian laporan keuangan Pemerintah. Pengendalian intern pada pemerintah pusat dan pemerintah 29 daerah dirancang dengan berpedoman pada peraturan Pemerintah PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian SPIP. SPI meliputi lima unsur pengendalian, yaitu: lingkungan pengendalian, penilaian risiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi, serta pemantauan. SPI dinyatakan efektif apabila mampu memberikan keyakinan memadai atas tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan entitas, keandalan pelaporan keuangan, keamanan aset negara, dan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lingkungan pengendalian yang diciptakan seharusnya menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk menerapkan SPI yang didesain untuk dapat mengenali apakah SPI telah memadai dan mampu mendeteksi adanya kelemahan. Kelemahan atas SPI dikelompokkan dalam tiga kategori sebagai berikut BPK, 2012: a Kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan, yaitu kelemahan sistem pengendalian yang terkait kegiatan pencatatan akuntansi dan pelaporan keuangan. b Kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja, yaitu kelemahan pengendalian yang terkait dengan pemungutan dan penyetoran penerimaan negaradaerahperusahaan milik negaradaerah serta pelaksanaan programkegiatan pada entitas yang diperiksa. c Kelemahan struktur pengendalian intern, yaitu kelemahan yang terkait dengan adatidaknya struktur pengendalian intern yang ada dalam entitas yang diperiksa. Jika terdapat tingkat kelemahan pada Sistem pengendalian 30 internal maka tentu terdapat tambahan masukan untuk pemperbaiki pengendalian agar lebih efektif di tahun berikutnya 3. Kepatuhan Terhadap Peraturan Ketentuan Perundang-Undangan Komponen terakhir yang diungkapkan BPK dalam rangka menilai akuntabilitas LKPD adalah kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemberian opini juga didasarkan pada penilaian kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. Salah satu hasil pemeriksaan atas laporan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga mengakibatkan: kerugian negaradaerahperusahaan, potensi kerugian negaradaerahperusahaan, kekurangan penerimaan, kelemahan penerimaan, kelemahan administrasi, ketidakhematan, dan ketidakefektifan sebagai berikut BPK, 2012: a Kerugian negaradaerah adalah kerugian nyata berupa berkurangnya kekayaan Negaradaerah sesuai pengertian dalam UU nomor 1 tahun 2004 pasal 1 butir 22, “Kerugian NegaraDaerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Kerugian dimaksud harus ditindaklanjuti dengan pengenaanpembebanan kerugian kepada penanggung jawab kerugian sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. b Potensi kerugian negaradaerah adalah kerugian nyata berupa berkurangnya Kekayaan negara sesuai penegrtian dalam UU Nomor 1 tahun 2004 pasal 1 butir 22, tetapi masih berupa resiko, terjadi kerugian apabila suatu kondisi 31 yang dapat mengakibatkan kerugian negaradaerah benar-benar terjadi di kemudian hari. c Kekurangan penerimaan adalah penerimaan yang sudah menjadi hak negara Daerah, tetapi belumtidak masuk ke kas negaradaerah karena adanya unsur ketidakpatuhan. d Kelemahan administrasi adalah penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku baik dalam pelaksanaan anggaranpengelolaan aset maupun operasional perusahaan, tetapi penyimpangan tersebut tidak mengakibatkan kerugian negaradaerah atau potensi kerugian negaradaerah atau kekurangan penerimaan, dan uang yang belumtidak dipertanggungjawbakan serta tidak mengandung unsur indiaksi tindak pidana. e Ketidak hematanpemborosan mengungkapkan adanya penggunaan input dengan harga atau kualitas yang melebihi kebutuhan, dan harga yang lebih mahal dibandingkan dengan pengadaan serupa pada waktu dan kondisi yang sama. f Ketidakefektifan berorientasi pada pencapaian hasil outcome, mengungkapkan kegiatan yang tidak memberikan manfaat atau hasil yang direncanakan serta fungsi insatnsi yang tidak optimal sehingga tujuan organisasi tidak tecapai. Selain itu, BPK juga menilai kecukupan pengungkapan informasi dalam laporan keuangan dan kesesuaian laporan keuangan dengan standar yang berlaku sebagai dasar pemberian opini atas laporan keuangan BPK, 2012. Ketaatan pada perundang- 32 undangan dapat dikatakan bahwa semakin banyak ditemukan ketidaktaatan maka akan mudah disinyalir bisa terindikasi terjadinya korupsi. Heriningsih, 2013.

3. Keuangan daerah