Latar Belakang Pengaruh Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Terhadap Tingkat Korupsi Pemerintah Daerah di Indonesia

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Reformasi yang terjadi di Indonesia yang berawal disekitar tahun 2000-an telah membawa angin segar bagi pemerintah daerah di berbagai daerah untuk bisa mengatur dan mengelola keuangannya secara mandiri. Dengan dikeluarkannya UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, dan kemudian di revisi dengan adanya UU No. 32 tahun 2004 lebih menegaskan kewenangan Pemda dalam pelaksanaan otonomi yang diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri sistem pemerintahan daerah yang sudah ada Heriningsih, 2014. Fenomena korupsi yang banyak terjadi di Indonesia dalam era reformasi, hal ini menyebabkan semakin kecilnya kepercayaan masyarakat akan kinerja pemerintah. Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan daerah. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik good governance dengan cara menghancurkan proses formal. Fenomena korupsi di daerah yang semakin terbuka, terjadi karena terdapat perbedaan atau ketidak konsistensian peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan daerah. Money politics merupakan salah satu bentuk terjadinya korupsi, kolusi, dan Nepotisme KKN di daerah. Otonomi daerah pada dasarnya di berikan kepada daerah agar pemerintah daerah dapat meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan akuntabilitas pemerintah daerah untuk tercapainya good governance Mardiasmo, 2009. Namun menurut Rinaldi, Purnomo, dan 2 Damayanti 2007 dalam Heriningsih 2013 sejak diberlakukannya otonomi otonomi daerah berdasarkan UU no. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah di tahun 2001 telah terjadi kecenderungan korupsi di pemerintah daerah yang meningkat. Pemberian otonomi yang luas dan desentralisasi membuka jalan bagi pemerintah untuk melakukan pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada kepentingan publik. Jika pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara ekonomis, efisien, efektif, transparansi, akuntabilitas dan berkeadilan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Sehingga keuangan daerah merupakan salah satu unsur yang penting dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan daerah. Untuk pengelolaan keuangan daerah dibutuhkan sumber daya ekonomi berupa keuangan yang dituangkan dalam suatu anggaran pemerintah daerah Dwijayanti dan Rusherlistyanti, 2013. Kasus-kasus korupsi dalam tahun-tahun belakangan ini memberikan bukti lebih jauh tentang kurangnya peran akuntabilitas LKPD dan kinerja keuangan pemerintah daerah yang membawa akibat serius bagi bangsa dan negara. Berikut ini beberapa kepala daerah yang pernah dan akan berhadapan dengan pengadilan: Simeon Thobias Pally, Mantan bupati Alor, Kasus Korupsi Dana Hibah kepada Unit Layanan Pengadaan ULP Kabupaten Alor tahun 2012 dan 2013 Rp 1,6 Miliar Bere, 2015. Ratu Atut Chosiyah, mantan Gubernur Banten ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan Alat Kesehatan Alkes di Dinas Kesehatan Provinsi Banten tahun anggaran 2011- 2013. Romi herton, Walikota Palembang didakwa penuntut umum KPK dengan 3 pasal penyuapan dan pemberian keterangan bohong. Ade Swara, Bupati Karawang ditetapkan sebagai tersangka setelah kedapatan menerima uang hasil pemerasan terkait izin penerbitan Surat Persetujuan Pemanfaatan Ruang SPPR. Yesaya Sombuk, Bupati Biak Numfor ditangkap KPK usai menerima uang sejumlah Sing100 ribu dari Teddy Renyut Nov, 2015. Menurut Mardiasmo 2009 akuntabilitas pada organisasi sektor publik, mempunyai arti bahwa pengelolaan pemerintah daerah terdapat hubungan keagenan teori keagenan antara masyarakat sebagai principal dan pemerintah sebagai agent. Menurut Lane 2000 teori keagenan dapat diterapkan dalam organisasi publik. Ia menyatakan bahwa negara demokrasi modern didasarkan pada serangkaian hubungan prinsipal-agen. Hal senada dikemukakan oleh Moe 1984 yang menjelaskan konsep ekonomika organisasi sektor publik dengan menggunakan teori keagenan. Bergman dan Lane 1990 menyatakan bahwa rerangka hubungan prinsipal agen merupakan suatu pendekatan yang sangat penting untuk menganalisis komitmen-komitmen kebijakan publik. Pasal 31 ayat 1 UU nomor 17 tahun 2003 menyatakan Gubernur Bupati Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan BPK selambat-lambatnya 6 enam bulan setelah tahun anggaran berakhir. Sedang Pasal 31 ayat 2 UU nomor 17 tahun 2003 menyatakan laporan keuangan meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan pemerintah daerah. Salah satu upaya konkrit 4 untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintahan yang telah diterima secara umum. Pada tahun 2005 Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah PP Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang penerapannya masih bersifat sementara dan dikembangkan menjadi PP Nomor 71 tahun 2010 tentang SAP Berbasis Akrual dan SAP Berbasis Kas Menuju Akrual PP 71, 2010. Untuk meningkatkan kualitas transparansi dan akuntabilitas laporan keuangan pemda maka laporan keuangan perlu diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan BPK. Adapun bentuk auditnya adalah audit keuangan. Pasal 15 ayat 1 UU nomor 15 tahun 2004 menyatakan pemeriksa BPK menyusun laporan hasil pemeriksaan LHP setelah pemeriksaan selesai dilakukan. Hasil pemeriksaan keuangan disajikan dalam tiga kategori yaitu opini, sistem pengendalian internal, dan kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. Pada Semester I Tahun 2014, BPK memprioritaskan pemeriksaannya pada pemeriksaan keuangan. Pemeriksaan keuangan dilakukan terhadap 559 objek pemeriksaan yang meliputi Laporan Keuangan Pemerintah Pusat LKPP, Laporan Keuangan Kementerian Lembaga LKKL, Laporan Keuangan Pemerintah Daerah LKPD, dan Laporan Keuangan Badan Lainnya termasuk Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Otoritas Jasa Keuangan. Pemeriksaan laporan keuangan menjadi prioritas karena pemeriksaan atas laporan keuangan bersifat mandatory audit yang harus dilaksanakan BPK. 5 Hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan mengungkapkan bahwa BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian WDP atas LKPP Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dan jumlah yang memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian WTP sebanyak 64 LKKL 74,41, opini WDP atas 19 LKKL 22,09, dan opini Tidak Memberikan Pendapat TMP pada 3 LKKL 3,48 dari 86 LKKL yang diperiksa BPK, 2012. Untuk LKPD, dari 524 pemerintah daerah provinsikabupatenkota wajib menyusun laporan keuangan LK Tahun 2013, BPK telah menyelesaikan pemeriksaan atas 456 LKPD. Hasilnya, BPK memberikan opini WTP atas 153 LKPD 33,55, opini WDP atas 276 LKPD 60,52, opini Tidak Wajar TW atas 9 LKPD 1,97, dan opini TMP atas 18 LKPD 3,94. Selain itu, pada Semester I Tahun 2014 BPK juga telah menyelesaikan pemeriksaan atas satu LKPD Tahun 2012 dengan opini TMP. Berdasarkan pada LHP semester 2, BPK menilai Persiapan pemerintah pusat belum sepenuhnya efektif untuk mendukung penerapan Sistem Akuntansi Pemerintah SAP berbasis akrual pada 2015. Salah satu permasalahan yang ada, ketentuan turunan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213 PMK.052013 tentang Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat dan Pedoman Penyusunan Laporan Keuangan Berbasis Akrual tidak segera ditetapkan. Hal ini mengakibatkan ketidakjelasan bagi para satuan kerja satker pengelola bagian anggaran Bendahara Umum Negara dalam menerapkan akuntansi berbasis akrual, ketidakseragaman penyajian keuangan KL, dan ketidakhandalan data untuk penyusunan laporan keuangan BPK, 2012. 6 Hasil pemeriksaan pada pemerintah daerah dan BUMD mengungkapkan 5.746 temuan, yang di dalamnya terdapat 1.810 permasalahan kelemahan SPI dan 5.519 ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan senilai Rp4,52 triliun BPK, 2012. LKPD menggambarkan tingkat akuntabilitas keuangan pemerintah daerah yang menjadi kebutuhan penting dalam pelaksanaan otonomi daerah, sehingga untuk mengetahui akuntabilitas laporan keuangan pemerintah daerah sangat penting untuk selalu dilakukan audit atas LKPD oleh pihak independent BPK RI. Laporan hasil audit oleh BPK RI dapat berupa opini auditor, kelemahan pengendalian internal, dan ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan. Terdapat empat jenis pendapat auditor BPK. Apabila opini auditor unqualified opinion maka menunjukkan akuntabilitas suatu pemeritah daerah semakin bagus dan diharapkan akan mengurangi terjadinya korupsi. Sedangkan jika opini qualified opinion, adverse opinion, dan disclaimer opinion, maka masih ada kemungkinan terjadi salah saji yang material sehingga dapat juga mengindikasikan bisa terjadi korupsi Heriningsih, 2013. Selain menerbitkan laporan hasil pemeriksaan keuangan atas laporan keuangan pemerintah daerah yang berupa opini, BPK juga menerbitkan laporan hasil pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern SPI pada setiap entitas yang diperiksa. Laporan ini memaparkan tingkat kelemahan pengendalian intern yang terjadi pada suatu entitas pemerintah daerah. Hasil evaluasi SPI oleh BPK menunjukkan kasus-kasus kelemahan sistem pengendalian intern yang dapat dikelompokkan sebagai kelemahan sistem 7 pengendalian akuntansi dan pelaporan, kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja, serta kelemahan struktur pengendalian intern. Semakin banyak kelemahan sistem pengendalian intern yang terjadi pada suatu pemerintah daerah berarti menunjukkan tingkat akuntabilitasnya semakin rendah dan akan meningkatkan peluang terjadinya korupsi BPK, 2012. Komponen terakhir yang diungkapkan BPK dalam rangka menilai akuntabilitas LKPD adalah kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Pemeriksaan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dilaksanakan guna mendeteksi salah saji material yang disebabkan oleh ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berpengaruh langsung dan material terhadap penyajian laporan keuangan. Hasil pemeriksaan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan atas laporan keuangan mengungkapkan ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian daerah, potensi kerugian daerah, kekurangan penerimaan, kelemahan administrasi, ketidakekonomisan, dan ketidakefektifan. Hasil penelitian Setiawan 2012 menunjukkan bahwa akuntabilitas laporan keuangan pemerintah daerah opini audit, kelemahan sistem pengendalian intern, dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan tidak berpengaruh terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah di Indonesia. Berdasarkan pada penelitian Effendy 2013 menunjukan bahwa Opini BPK atau hasil audit BPK tidak dapat dipastikan dapat menjamin baik dan buruknya pengelolaan keuangan, karena harus dapat diyakini pemeriksaan kewajaran 8 dalam pemeriksaan yang bebas dan mandiri. Namun penelitian ini tidak dikaitkan dengan korupsi. berdasarkan pada penelitian Heriningsih dan Marita 2013 menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh opini audit pemda yang diberikan BPK terhadap tingkat korupsi di pulau Jawa. Berdasarkan pada penelitian Sarah 2014 terdapat kaitan antara opini yang diberikan oleh BPK RI dengan korupsi. Berdasarkan pada penelitian Herininingsih 2014 menunjukkan bahwa tingkat akuntabilitas pemerintah daerah tidak berpengaruh terhadap tingkat korupsi di Indonesia. Penilaian kinerja suatu pemerintah daerah tidak hanya bisa dilihat dari hasil audit BPK, namun bisa juga di nilai dari kinerja keuangannya dengan berdasarkan rasio keuangan pada APBD. Dengan menggunakan rasio keuangan APBD dapat terlihat tingkat kemandirian, tingkat aktivitas, dan tingkat pertumbuhan suatu daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat, serta kemampuan pemerintah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan dari periode ke periode berikutnya Heriningsih, 2013. Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang direncanakan, baik oleh pribadi maupun organisasi. Apabila pencapaian sesuai dengan yang direncanakan, maka kinerja yang dilakukan terlaksana dengan baik. Apabila pencapaian melebihi dari apa yang direncanakan dapat dikatakan kinerjanya sangat bagus. Apabila pencapaian tidak sesuai dengan apa yang direncanakan atau kurang dari apa yang direncanakan, maka kinerjanya buruk. Kinerja keuangan adalah suatu ukuran kinerja yang menggunakan indikator keuangan. Analisis kinerja keuangan pada 9 dasarnya dilakuan untuk menilai kinerja di masa lalu dengan melakukan berbagai analisis sehingga diperoleh posisi keuangan yang mewakili realitas entitas dan potensi-potensi kinerja yang akan berlanjut Nugroho, 2012. Peraturan pemerintah nomor 105 tahun 2000 Pasal 4 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah menegaskan bahwa pengelolaan keuangan daerah harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatuhan Wahyuni, 2007. Dalam suatu sistem pengelolaan keuangan daerah di era otonomi daerah yaitu terkait dengan pengelolaan APBD perlu ditetapkan standar atau acuan kapan suatu daerah dikatakan mandiri, efektif dan efisien serta akuntabel. Untuk itu diperlukan suatu pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah sebagai tolak ukur dalam penetapan kebijakan keuangan pada tahun anggaran selanjutnya Fidelius, 2013. Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya Halim, 2007: 230. Analisis rasio dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari suatu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Dalam penelitian ini Rasio yang digunakan untuk melihat kinerja keuangan di pemerintah daerah yaitu rasio kemandirian, rasio aktivitas, dan rasio pertumbuhan. Berdasarkan hasil penelitian Susantih dan Saftiana 2009 tidak ada perbedaan signifikan kinerja keuangan daerah pemda pada lima propinsi se- 10 Sumatera Selatan Sumsel, Lampung, Jambi, Bangka belitung, dan Bengkulu. Hal ini menunjukkan bahwa ke-lima propinsi se-Sumatera bagian Selatan mempunyai kebijakan keuangan yang hampir serupa antar satu dengan yang lain. Berdasarkan hasil penelitian Agustina 2013 dari analisis rasio keuangan daerah dapat disimpulkan bahwa secara umum kinerja pengelolaan keuangan daerah dan tingkat kemandirian daerah kota Malang yang terus membaik. Namun penelitian ini tidak mengaitkan dengan korupsi dan hanya terbatas pada lingkup kota Malang. Berdasarkan pada penelitian Heriningsih dan Marita 2013 Bahwa kinerja keuangan rasio kemandirian, rasio aktivitas, dan rasio pertumbuhan tidak berpengaruh terhadap tingkat korupsi di Pulau Jawa. Namun penelitian ini hanya terbatas pada ruang lingkup pulau Jawa. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian pada ruang lingkup yang lebih luas yaitu kabupatenkota di Indonesia. Berdasarkan pada penelitian Heriningsih 2014 bahwa akuntabilitas LKPD opini audit, Kelemahan SPI, dan kepatuhan terhadap peraturan UU tidak mempengaruhi tingkat korupsi pada kabupaten dan kota di Indonesia. Apabila di kaitkan dengan tingkat korupsi yang mungkin terjadi di pemerintah daerah bila rasio kemandirian suatu daerah bagustinggi maka semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan restribusi daerah yang akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat semakin meningkat, dengan demikian seharusnya tidak terjadi korupsi. Demikian juga dengan rasio aktivitas maupun rasio pertumbuhan, jika rasio aktivitas maupun rasio pertumbuhan bagus maka terjadi peningkatan sumber-sumber pendapatan di daerah yang tentu saja kesejahteraan masyarakat semakin meningkat, dan seharusnya tidak terjadi 11 korupsi. Semakin baik terciptanya transparansi dan akuntabilitas diyakini dapat mengurangi praktek korupsi di pemerintah daerah. Semakin baik akuntabilitas keuangan pemerintah, maka korupsi yang terjadi di daerah harapannya semakin berkurang. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Setiawan 2012 yang menunjukkan bahwa akuntabilitas laporan keuangan pemerintah opini audit, kelemahan Sistem pengendalian intern, dan ketidak patuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan tidak berpengaruh terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah di Indonesia. Dan hasil penelitian Heriningsih 2013 yang menunjukan bahwa opini audit dan kinerja keuangan yang tidak berpengaruh terhadap tingkat korupsi di provinsi. Akuntabilitas oleh pemerintah daerah sangat penting karena merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban pemerintah daerah sebagai entitas yang mengelola dan bertanggung jawab atas penggunaan kekayaan daerah. Dalam konteks demokrasi, masyarakat sebagai pihak yang memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah berhak memperoleh informasi atas kinerja pemerintah. Dengan adanya akuntabilitas pemerintah daerah, masyarakat dapat berperan dalam pengawasan atas kinerja pemerintah daerah, sehingga jalannya pemerintahan dapat berlangsung dengan baik Setiawan, 2012. Selain itu dengan tingkat kinerja Pemerintah Daerah dapat dijadikan suatu acuan untuk meningkatkan kinerja keuangan Pemerintah daerah dari tahun ke tahun. Berdasarkan paparan diatas, Penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh yang dilakukan oleh Setiawan 2012 yang meneliti tentang pengaruh Akuntabilitas Laporan keuangan Pemda terhadap 12 tingkat korupsi Pemda di Indonesia. Yang membedakan dengan penelitian sebelumnya adalah dalam penelitian ini ditambahkan variabel kinerja keuangan rasio kemandirian, rasio aktivitas, dan rasio pertumbuhan sebagai variabel independen. Penelitian ini juga mengacu pada penelitian Heriningsih dan Marita 2013 yang meneliti tentang pengaruh opini audit dan kinerja keungan pemerintah daerah terhadap tingkat korupsi di pemerintah daerah pulau Jawa. Yang membedakan dengan penelitian sebelumnya adalah dalam penelitian ini ditambahkan variabel kelemahan sistem pengendalian intern dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan sebagai variabel independen untuk mengukur akuntabilitas LKPD dan ruang lingkup yang diteliti adalah pemerintah daerah di indonesia. Secara empiris pengaruh akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dan kinerja keuangan pemerintah daerah terhadap korupsi di pemerintah daerah di Indonesia juga belum banyak diteliti. Penelitian ini dimaksudkan untuk membuktikan teori yang menyatakan bahwa akuntabilitas publik dan kinerja keuangan pemerintah daerah berpengaruh terhadap korupsi dan menambah referensi tentang peran akuntabilitas publik dalam pemberantasan korupsi dengan menganalisis secara empiris tentang Pengaruh Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah LKPD dan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Terhadap Tingkat Korupsi Pemerintah Daerah di Indonesia. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian tentang sejauh mana pengaruh akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dan Kinerja 13 Keuangan pemerintah Daerah terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah, penelitian ini dapat dirumuskan dengan pertanyaan berikut: 1. Apakah opini audit laporan keuangan pemerintah daerah berpengaruh terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah? 2. Apakah tingkat kelemahan sistem pengendalian intern laporan keuangan pemerintah daerah berpengaruh terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah? 3. Apakah tingkat kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan laporan keuangan pemerintah daerah berpengaruh terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah? 4. Apakah rasio kemandirian daerah berpengaruh terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah? 5. Apakah rasio aktivitas belanja operasional berpengaruh terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah? 6. Apakah rasio aktivitas belanja modal berpengaruh terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah? 7. Apakah rasio pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah?

C. Tujuan Penelitian dan manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian