109
sebelum dimasukkan variabel bebas ke dalam model regresi Ghozali, 2011: 268.
Langkah selanjutnya adalah membandingkan antara nilai -2 Log Likelihood awal tabel Iteration History 0 dengan -2 Log Likelihood
akhir tabel Iteration History 1, Pada tabel Iteration History 0, nilai -2 Log Likelihood awal menunjukan sebesar 351,391. Setelah variabel
bebas dimasukan pada model regresi, maka nilai -2 Log Likelihood pada tabel 4.5 Iteration History 1 adalah sebesar 342,310.
Tabel 4.5
Sumber: output SPSS Berdasarkan output tersebut, terjadi penurunan nilai antara -2 Log
Likelihood awal dan akhir sebesar 9,081. Penurunan nilai -2 Log Likelihood ini dapat diartikan bahwa penambahan variabel bebas ke
dalam model dapat memperbaiki model fit serta menunjukan model regresi yang lebih baik atau dengan kata lain model yang
dihipotesiskan fit dengan data. b. Hasil Uji Koefisien Determinasi Nagelkerke R. Square
Iteration History
a,b,c,d
417,861 -1,849
,104 -,001
,006 ,561
-,106 -,123
,145 349,780
-2,719 ,277
-,003 ,014
,907 -,160
-,304 ,434
342,524 -3,232
,466 -,006
,022 1,043
-,134 -,478
,776 342,310
-3,384 ,533
-,006 ,025
1,063 -,097
-,531 ,901
342,310 -3,393
,536 -,007
,025 1,064
-,093 -,533
,908 342,310
-3,393 ,536
-,007 ,025
1,064 -,093
-,533 ,908
Iteration 1
2 3
4 5
6 Step
1 -2 Log
likelihood Constant
op spi
kuu rk
rbo rbm
rt Coefficients
Method: Enter a.
Constant is included in the m odel. b.
Initial -2 Log Likelihood: 351,391 c.
Estim ation term inated at iteration num ber 6 because param eter estim ates changed by less than ,001. d.
110
Besarnya nilai koefisien determinasi pada model regresi logistik ditunjukkan oleh nilai Cox Snell R Square dan Nagelkerke R
Square. Nilai Cox Snell R Square adalah sebesar 0,011 yang berarti bahwa variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel
independen sebesar 1,1. Cox Snell R Square merupakan ukuran yang mencoba meniru ukuran R2 pada multiple regression sehingga
sulit diintepretasikan. Kelemahan mendasar yang dimiliki adalah bias terhadap jumlah variabel independen yang dimasukkan kedalam
model. Setiap tambahan satu variabel independen, maka baik nilai R2 maupun Cox Snell R Square akan mengalami peningkatan tidak
peduli apakah variabel tersebut berpengaruh atau tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Oleh karena itu,
Nagelkerke R Square digunakan dalam mengevaluasi mana model regresi yang terbaik karena nilai yang dihasilkan dapat naik atau turun
apabila satu variabel independen ditambahkan kedalam model Ghozali, 2011.
Berdasarkan Tabel 4.6 dibawah ini, nilai Nagelkerke R Square sebesar 0,031 yang berarti variabel dependen dapat dijelaskan oleh
variabel independen sebesar 3,1, sedangkan sisanya sebesar 96,9 dijelaskan oleh variabel- variabel lain diluar model penelitian seperti
integritas manajemen Chen, et al, 2012; Effendy, 2013, rasio keuangan Efektifitas Sularso, et al, 2011; Fidelius, 2013; Dwijayanti,
111
2014, kapasitas sumberdaya manusia, pemanfaatan sistem informasi keuangan daerah, dan implementasi SAP Mahaputra, et al, 2014.
Tabel 4.6 Koefisien Determinasi
Model Summary
Step -2 Log
likelihood Cox Snell R
Square Nagelkerke R
Square 1
342,310 ,011
,031 a.Estimation terminated at iteration number 6 because
parameter estimates changed by less than ,001.
Sumber: output SPSS c. Hasil Uji Kelayakan Model Regresi
Analisis selanjutnya yang dilakukan adalah menilai kelayakan model regresi logistik biner. Menilai kelayakan dari model regresi
dapat dilakukan dengan memperhatikan goodness of fit model yang diukur dengan Chi-Square pada kolom Hosmer and
Lemeshow’s Ghozali, 2009: 269. Hipotesis yang digunakan untuk menilai kelayakan model regresi ini adalah:
Ho: Tidak ada perbedaan antara model dengan data Ha: Ada perbedaan antara model dengan data
Tabel 4.7 Menguji Kelayakan Model Regresi
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-
square df
Sig. 1
13,979 8
,082
112
Sumber: output SPSS Tabel 4.7 menunjukan hasil pengujian Hosmer and
Lemeshow’s Test. Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui bahwa nilai signifikansi adalah sebesar 0,082. Nilai signifikan
yang diperoleh tersebut diatas 0,05 yang berarti hipotesis 0 Ho tidak dapat ditolak diterima. Hal ini berarti model mampu
memprediksi nilai observasinya atau model dapat diterima karena cocok dengan data observasinya sehingga model ini dapat
digunakan untuk analisis selanjutnya. d. Hasil Uji Mutikolinearitas
Model regresi yang baik adalah regresi dengan tidak adanya gejala korelasi yang kuat di antara variabel bebasnya. Pengujian ini
menggunakan matriks korelasi antar variabel bebas untuk melihat besarnya
korelasi antar
variabel independen.
Pengujian multikolinieritas menggunakan metrik korelasi antara variabel
bebas untuk melihat besarnya korelasi antara variabel bebas. Untuk melihat besarnya korelasi antara variabel independen didalam
penelitian ini opini audit op, kelemahan sistem pengendalian internal spi, kepatuhan peraturan perundang-undangan kuu,
rasio kemandirian rk, rasio belanja operasi rbo, rasio belanja modal rbm, rasio pertumbuhan rt. Hasil Tabel 4.8 menunjukkan
tidak ada nilai koefisien korelasi yang nilainya lebih besar dari
113
0,10, maka tidak ada gejala multikolinearitas yang serius antara variabel bebasnya Ghazali, 2006: .
Tabel 4.8 Hasil Uji Multikolinearitas
Sumber: output SPSS e. Hasil Matriks Klasifikasi
Matriks klasifikasi menunjukkan kekuatan prediksi dari model regresi untuk memprediksi kemungkinan pemda korupsi.
Tabel 4.9 Matriks Klasifikasi
Sumber: output SPSS
Correlation Matrix
1,000 ,011
-,065 -,063
-,092 -,990
-,945 -,113
,011 1,000
,179 ,212
-,104 -,055
-,088 -,011
-,065 ,179
1,000 -,283
-,112 -,006
,039 ,054
-,063 ,212
-,283 1,000
,046 ,023
-,050 ,044
-,092 -,104
-,112 ,046
1,000 ,103
,076 -,209
-,990 -,055
-,006 ,023
,103 1,000
,924 ,052
-,945 -,088
,039 -,050
,076 ,924
1,000 ,054
-,113 -,011
,054 ,044
-,209 ,052
,054 1,000
Constant op
spi kuu
rk rbo
rbm rt
Step 1
Constant op
spi kuu
rk rbo
rbm rt
Classification Table
a
797 2
99,7 45
,0 94,4
Observed tdk korupsi
korupsi korup
Overall Percentage Step 1
tdk korupsi korupsi
korup Percentage
Correct Predicted
The cut value is ,500 a.
114
Kekuatan prediksi dari model regresi untuk memprediksi kemungkinan kemungkinan pemda korupsi adalah sebesar 94,4.
Hal ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan model regresi yang digunakan, terdapat sebanyak 0 pemda 0 yang diprediksi
akan korupsi dari total 45 pemda. Kekuatan prediksi dari model regresi untuk memprediksi kemungkinan pemda korupsi adalah
99,7. Hal ini berarti bahwa dengan model regresi tersebut, terdapat sebanyak 796 pemda 99,7 yang diprediksi tidak
korupsi dari total 799 pemda yang tidak korupsi. f. Hasil Uji Regresi Logistik
Model regresi logistik yang terbentuk disajikan pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.10 Hasil Uji Koefisien Regresi Logistik
Sumber: output SPSS
Variables in the Equation
,536 ,343
2,440 1
,118 1,709
-,007 ,035
,034 1
,853 ,993
,025 ,025
,991 1
,319 1,026
1,064 ,461
5,319 1
,021 2,897
-,093 5,055
,000 1
,985 ,911
-,533 5,048
,011 1
,916 ,587
,908 2,077
,191 1
,662 2,478
-3,393 5,009
,459 1
,498 ,034
op spi
kuu rk
rbo rbm
rt Constant
Step 1
a
B S.E.
Wald df
Sig. ExpB
Variables entered on step 1: op, spi, kuu, rk, rbo, rbm, rt. a.
115
Hasil pengujian terhadap koefisien regresi menghasilkan model berikut ini:
Korup = -3,393 + 0,536 OP - 0,007 SPI + 0,025 KUU + 1,064 RK
– 0,093 RBO - 0,533 RBM +0,908 RT Berdasarkan pengujian regresi logistik logistic regression
sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, interpretasi hasil disajikan dalam tujuh bagian. Bagian pertama membahas
Pengaruh opini audit OP terhadap tingkat korupsi KORUP H1. Bagian kedua membahas pengaruh kelemahan sistem
pengendalian internal SPI terhadap tingkat korupsi KORUP H2. Bagian ketiga membahas pengaruh kepatuhan perundang-
undangan KUU terhadap tingkat korupsi KORUP H
3
. Bagian keempat membahas pengaruh rasio kemandirian RK terhadap
tingkat korupsi KORUP H4. Bagian kelima membahas rasio belanja operasional RBO terhadap tingkat korupsi KORUP
H5. Bagian keenam membahas rasio belanja modal RBM terhadap tingkat korupsi KORUP H6. Bagian ketujuh
membahas pengaruh rasio pertumbuhan RT terhadap tingkat korupsi KORUP H7.
1 Pengaruh opini audit OP terhadap tingkat korupsi KORUP Variabel OP menunjukkan koefisien regresi positif sebesar 0,536
dengan tingkat signifikansi α sebesar 0,118, lebih besar dari α=
116
5. Karena tingkat signifikansi α lebih besar dari α= 5, maka
hipotesis ke-1 tidak berhasil didukung ditolak. Hasil penelitian ini tidak berhasil membuktikan bahwa opini audit berpengaruh
signifikan terhadap tingkat korupsi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Setiawan 2012 dan Heriningsih 2013; 2014.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Sarah 2014. Hasil penelitian ini memberikan bukti empiris bahwa Apabila
opini auditor WTP dan WTP-DPP maka tidak menunjukkan pemda tidak korupsi. Contohnya seperti di Kabupaten Siak
Provinsi Riau 2012 mendapat opini WTP-DPP dan terdapat kasus korupsi. Di kota Cilegon Provinsi Banten dan kota
Tomohon Provinsi Sulawesi Utara 2013 mendapat opini WTP- DPP dan terdapat kasus korupsi. Di Kota Bandar Lampung
Provinsi Lampung 2013 mendapat opini WTP dan terdapat kasus korupsi. Di kabupaten Pelalawan Provinsi Riau tahun
2012 dan 2013 mendapat opini WTP-DPP serta di tahun yang sama terdapat kasus korupsi. Di Kota Batam Provinsi Riau, kota
Tangerang Provinsi Banten, Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah tahun 2012 dan 2013 mendapat opini WTP serta di tahun
yang sama terdapat kasus korupsi. Di Kota Palembang Provinsi Sumatera selatan, Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah tahun
117
2012 dan 2013 mendapat opini WTP dan WTP-DPP serta pada tahun yang sama terdapat kasus korupsi.
2 Pengaruh kelemahan SPI SPI terhadap tingkat korupsi KORUP Variabel SPI menunjukkan koefisien regresi negatif sebesar -0,007
dengan tingkat signifikansi α sebesar 0,853, lebih besar dari α=
5. Karena tingkat signifikansi α lebih besar dari α= 5, maka
hipotesis ke-2 tidak berhasil didukung ditolak. Penelitian ini tidak berhasil membuktikan bahwa kelemahan SPI berpengaruh
signifikan terhadap tingkat korupsi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Setiawan 2012 dan Heriningsih 2013; 2014.
Hasil penelitian ini memberikan bukti empiris bahwa Apabila Semakin banyak kelemahan sistem pengendalian intern yang
terjadi pada suatu pemerintah daerah tidak berarti menunjukkan pemda tidak korupsi. Contohnya seperti Kabupaten Banggai
Provinsi Sulawesi Tengah, kota Tangerang Provinsi Banten tahun 2012 hanya terdapat 2 kelemahan SPI namun pada tahun
yang sama terdapat kasus korupsi. Di Kabupaten Kampar Provinsi Riau tahun 2013 terdapat 30 kasus kelemahan SPI
namun pada tahun yang sama tidak terdapat kasus korupsi. 3 Pengaruh
Kepatuhan peraturan
perundang-undanganKUU terhadap tingkat korupsi KORUP
118
Variabel KUU menunjukkan koefisien regresi positif sebesar 0,025 dengan tingkat signifikansi
α sebesar 0,319, lebih besar dari α= 5. Karena tingkat signifikansi α lebih besar dari α=
5, maka hipotesis ke-3 tidak berhasil didukung ditolak. Penelitian ini tidak berhasil membuktikan bahwa kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Setiawan 2012 dan Heriningsih 2013; 2014. Hasil penelitian ini memberikan bukti empiris bahwa Apabila Hasil
pemeriksaan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan atas laporan keuangan mengungkapkan ketidakpatuhan terhadap
ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian daerah, potensi kerugian daerah, kekurangan penerimaan,
administrasi, ketidakekonomisan, dan ketidakefektifan tidak berarti menunjukkan pemda korupsi. Contohnya di Kota semarang
Provinsi Jawa Tengah 2013 hanya terdapat 4 kasus ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan, namun
pada tahun yang sama terdapat kasus korupsi. Di Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara 2012 terdapat
45 kasus ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan, namun pada tahun yang sama tidak terdapat kasus korupsi.
119
4 Pengaruh Rasio kemandirian RK terhadap tingkat korupsi KORUP
Variabel RK menunjukkan koefisien regresi positif sebesar 1,064 dengan tingkat signifikansi α sebesar 0,021, lebih kecil dari α=
5. Karena tingkat signifikansi α 0,021 kurang dari α= 5, maka Hipotesis ke-4 berhasil didukung. Penelitian ini berhasil
membuktikan bahwa rasio kemandirian berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan
penelitian Heriningsih 2013. Hasil penelitian ini memberikan bukti empiris bila rasio kemandirian suatu daerah bagustinggi
maka semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan restribusi daerah yang akan menggambarkan tingkat
kesejahteraan masyarakat semakin meningkat, namun tidak berarti bahwa di pemda tidak terjadi korupsi dimana Pendapatan Asli
Daerah PAD rentan menjadi objek korupsi didaerah, terbukti dengan adanya UU no. 28 tahun 2009 tentang Pajak daerah dan
retribusi daerah yang dikhawatirkan akan menjadi bumerang bagi Pemda yang seharusnya memberikan kontribusi PAD yang lebih
tinggi untuk kesejahteraan mayarakat Saputra, 2012. Contohnya di Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten dan Kota Bandung
Provinsi Jawa Barat 2013 yang memiliki rasio kemandirian 59 dan 51 sangat baik menunjukkan kemampuan daerah
120
sangat baik dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah
membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah, Namun terdapat kasus korupsi yang disebabkan
oleh beberapa faktor. Contohnya tahun 2013 di kota Tangerang selatan ditemukan kasus korupsi karena faktor pengawasan yang
kurang efektif sehingga internal control di setiap unit tidak berfungsi karena pejabat atau pegawai mengalami benturan
kepentingan dalam pengadaan alat kesehatan. Kasus korupsi yang dilakukan oleh MJ pejabat pembuat komitmen PPK Tangsel
yaitu penggelembungan dana untuk membiayai pengadaan Alat Kesehatan Kedokteran Umum Puskesmas Kota Tangerang Selatan
APBDP Tahun Anggaran 2012. Pada tahun yang sama di kota Bandung terdapat kasus korupsi karena faktor gratifikasi, Kasus
korupsi ini terkait penerimaan pemberian atau janji terkait dengan penanganan
perkara tindak
pidana korupsi
mengenai penyimpangan dana bantuan sosial Pemerintah Kota Bandung TA.
2009 s.d 2010. 5 Pengaruh Rasio Belanja Operasi RBO terhadap tingkat korupsi
KORUP Variabel RBO menunjukkan koefisien regresi negatif sebesar
0,093 dengan tingkat signifikansi α sebesar 0,985 lebih besar
121
dari α= 5. Karena tingkat signifikansi α RBO lebih besar dari α= 5, maka hipotesis ke-5 tidak didukung ditolak. Hasil
penelitian ini tidak berhasil membuktikan bahwa rasio aktivitas belanja operasi berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Heriningsih 2013. Hasil penelitian ini memberikan bukti empiris bahwa rasio
aktivitas belanja
operasional pemerintah
daerah masih
mengutamakan belanja operasi. Selain itu penelitian ini juga membuktikan bila rasio aktivitas belanja operasional bagus maka
terjadi peningkatan mutu pelayanan dan sumber-sumber pendapatan di daerah yang tentu saja kesejahteraan masyarakat
yang terjadi pada suatu pemerintah daerah semakin meningkat, namun tidak berarti menunjukkan pemda tidak korupsi.
Contohnya pada Kota Pematang Siantar Provinsi Sumatera Utara 2013 dengan rasio belanja operasi 81 yang berarti bahwa
sebagian besar dana yang dimiliki Pemerintah Kota Pematang Siantar masih digunakan untuk kebutuhan belanja operasi,
walaupun terjadi penurunan dari 85 2012 menjadi 81 2013. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan sumber-sumber
pendapatan di daerah ini yang berarti kesejahteraan masyarakat meningkat, tetapi hal tersebut juga dibarengi dengan adanya kasus
korupsi di tahun yang sama.
122
6 Pengaruh Rasio Belanja Modal RBM terhadap tingkat korupsi KORUP
Variabel RBM menunjukkan koefisien negatif sebesar -0,533 de
ngan tingkat signifikansi α sebesar 0,916, lebih besar dari α= 5 Karena tingkat signifikansi α RBM lebih besar dari α= 5,
maka hipotesis ke-5 tidak didukung ditolak. Hasil penelitian ini tidak berhasil membuktikan bahwa rasio aktivitas berpengaruh
signifikan terhadap tingkat korupsi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Heriningsih 2013. Hasil penelitian ini
memberikan bukti empiris bahwa rasio aktivitas belanja modal terhadap APBD masih relatif kecil yang berarti bahwa
Pengeluaran yang dianggarkan dalam pengeluaran pembangunan didasarkan atas alokasi sektor industri, pertanian dan kehutanan,
hukum, transportasi, dan lain sebagainya masih kecil. Selain itu penelitian ini juga membuktikan bila rasio aktivitas belanja modal
bagus maka terjadi peningkatan sumber-sumber pendapatan di daerah yang tentu saja kesejahteraan masyarakat yang terjadi pada
suatu pemerintah daerah semakin meningkat, namun tidak berarti menunjukkan pemda tidak korupsi. Contohnya pada Kabupaten
Nias Provinsi Sumatera Utara 2012 dengan rasio belanja modal 38 yang berarti bahwa sebagian besar dana yang dimiliki
Pemerintah Kabupaten Nias masih digunakan untuk kebutuhan
123
belanja modal. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan sumber-sumber pendapatan di daerah ini yang berarti
kesejahteraan masyarakat meningkat, tetapi hal tersebut juga dibarengi dengan adanya kasus korupsi di tahun yang sama. Di
Kota Pematang Siantar Provinsi Sumatera Utara 2013 dengan rasio belanja modal 18 yang berarti bahwa hanya sebagian dana
yang dimiliki Pemerintah Kota Pematang Siantar masih digunakan untuk kebutuhan belanja modal, walaupun sudah terdapat
kenaikan dari 14 2012 menjadi 18 2013. Hal ini menunjukkan
bahwa terjadi
peningkatan sumber-sumber
pendapatan di daerah ini yang berarti kesejahteraan masyarakat meningkat, tetapi hal tersebut juga dibarengi dengan adanya kasus
korupsi di tahun yang sama. 7 Pengaruh Rasio pertumbuhan RT terhadap tingkat korupsi
KORUP Variabel RT menunjukkan koefisien regresi negatif sebesar 0,908 dengan tingkat signifikansi
α sebesar 0,662, lebih besar dari α= 5. Karena tingkat signifikansi α lebih besar dari
α= 5, maka hipotesis ke-6 tidak berhasil didukung ditolak. Penelitian ini tidak berhasil membuktikan bahwa rasio
pertumbuhan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat korupsi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Heriningsih
2013. Hasil penelitian ini memberikan bukti empiris bahwa
124
Rasio pertumbuhan
secara keseluruhan
menunjukkan pertumbuhan ekonomi pemerintah daerah relatif rendah, meski
setiap tahunnya rasio pertumbuhan meningkat. Selain itu, penelitian ini membuktikan bahwa jika rasio pertumbuhan bagus
maka terjadi peningkatan sumber-sumber pendapatan didaerah, namun tidak berarti bahwa pemda tidak korupsi. Contohnya pada
kota dan kabupaten yang mengalami peningkatan rasio pertumbuhan dari tahun 2012 hingga 2013 namun terlibat kasus
korupsi pada tahun yang sama, Seperti Kota Batam Provinsi Riau 2012 dengan peningkatan rasio pertumbuhan pendapatan
dari 16 menjadi 17 pada tahun 2013, Kota Tanjung pinang Provinsi Riau 2012 dengan peningkatan rasio pertumbuhan
pendapatan dari 11 menjadi 16 pada tahun 2013, Kabupaten Kendal Provinsi Jawa Tengah 2012 dengan peningkatan rasio
pertumbuhan pendapatan dari 9 menjadi 12 pada tahun 2013, Kota Tomohon
Provinsi Sulawesi Utara 2012 dengan
peningkatan rasio pertumbuhan pendapatan dari 1 menjadi 19 pada tahun 2013, Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah 2012
dengan peningkatan rasio pertumbuhan dari 10 menjadi 17 pada tahun 2013, Kabupaten Buol 2012 Sulawesi Tengah
dengan peningkatan rasio pertumbuhan dari -7 menjadi 17 pada tahun 2013.
125
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan