Kemiskinan Absolut Tinjauan Penelitian Terdahulu

terhadap tingkat pembangunan negara secara keseluruhan. Garis kemiskinan relatif tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama.

b. Kemiskinan Absolut

Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin. Garis kemiskinan absolut “tetap tidak berubah” dalam hal standar hidup, garis kemiskinan absolut mampu membandingkan kemiskinan secara umum. Garis kemiskinan Amerika Serikat tidak berubah dari tahun ke tahun, sehingga angka kemiskinan sekarang mungkin terbanding dengan angka kemiskinan satu dekade yang lalu, dengan catatan bahwa definisi kemiskinan tidak berubah. Garis kemiskinan absolut sangat penting jika seseorang akan mencoba menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan antar waktu, atau memperkirakan dampak dari suatu proyek terhadap kemiskinan misalnya, pemberian kredit skala kecil. Angka kemiskinan akan terbanding antara satu negara dengan negara lain hanya jika garis kemiskinan absolut yang sama digunakan di kedua negara tersebut. Bank Dunia memerlukan garis kemiskinan absolut agar dapat membandingkan angka kemiskinan antar negara. Hal ini bermanfaat dalam menentukan kemana menyalurkan sumber daya finansial dana yang ada, juga dalam menganalisis kemajuan dalam memerangi kemiskinan. Pada umumnya ada dua ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu: a US 1 perkapita per hari, dimana diperkirakan ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup dibawah ukuran tersebut; b US 2 perkapita per hari, dimana lebih dari 2 miliar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut. US dollar yang digunakan adalah US PPP Purchasing Power Parity, bukan nilai tukar resmi exchange rate. Kedua batas ini adalah garis kemiskinan absolut.

c. Terminologi Kemiskinan Lainnya

Terminologi lain yang juga pernah dikemukakan sebagai wacana adalah kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Wignjosoebroto dalam “Kemiskinan Struktural : Masalah dan Kebijakan” yang dirangkum oleh Suyanto 1995 mendefinisikan “Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang ditengarai atau didalihkan bersebab dari kondisi struktur, atau tatanan kehidupan yang tak menguntungkan”. Dikatakan tak menguntungkan karena tatanan itu tak hanya menerbitkan akan tetapi lebih lanjut dari itu juga melanggengkan kemiskinan di dalam masyarakat. Di dalam kondisi struktur yang demikian itu kemiskinan menggejala bukan oleh sebab-sebab yang alami atau oleh sebab-sebab yang pribadi, melainkan oleh sebab tatanan sosial yang tak adil. Tatanan yang tak adil ini menyebabkan banyak warga masyarakat gagal memperoleh peluang danatau akses untuk mengembangkan dirinya serta meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga mereka yang malang dan terperangkap ke dalam perlakuan yang tidak adil ini menjadi serba berkekurangan, tak setara dengan tuntutan untuk hidup yang layak dan bermartabat sebagai manusia. Salah satu contoh adalah kemiskinan karena lokasi tempat tinggal yang terisolasi, misalnya, orang Mentawai di Kepulauan Mentawai, orang Melayu di Pulau Christmas, suku Tengger di pegunungan Tengger Jawa Timur, dan sebagainya. Sedangkan kemiskinan kultural diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan indikator kemiskinan. Padahal indikator kemiskinan tersebut seyogianya bisa dikurangi atau bahkan secara bertahap bisa dihilangkan dengan mengabaikan faktor-faktor adat dan budaya tertentu yang menghalangi seseorang melakukan perubahan-perubahan ke arah tingkat kehidupan yang lebih baik. Kemiskinan karena tradisi sosio-kultural terjadi pada suku-suku terasing, seperti halnya suku Badui di Cibeo Banten Selatan, suku Dayak di pedalaman Kalimantan, dan suku Kubu di Jambi. Soetandyo Wignjosoebroto dalam “Kemiskinan, Kebudayaan, dan Gerakan Membudayakan Keberdayaan” yang dirangkum oleh Suyanto 1995 mendefinisikan “Kemiskinan adalah suatu ketidak-berdayaan”. Keberdayaan itu sesungguhnya merupakan fungsi kebudayaan. Artinya, berdaya tidaknya seseorang dalam kehidupan bermasyarakat dalam kenyataannya akan banyak ditentukan dan dipengaruhi oleh determinan-determinan sosial-budayanya seperti posisi, status, dan wawasan yang dipunyainya. Sebaliknya, semua fasilitas sosial yang teraih dan dapat didayagunakan olehnya, akan ikut pula menentukan keberdayaannya kelak di dalam pengembangan dirinya di tengah masyarakat. Acapkali timbul suatu rasa pesimis di kalangan orang miskin dengan merasionalisasi keadaannya bahwa hal itu “sudah takdir”, dan bahwa setiap orang itu sesungguhnya sudah mempunyai suratan nasibnya sendiri-sendiri, yang mestinya malah harus disyukuri. Oleh karena itu, Soetandyo menyarankan ditingkatkannya “Gerakan Membudayakan Keberdayaan” pada lapisan masyarakat bawah. Melek huruf, melek bahasa, melek fasilitas, melek ilmu, melek informasi, melek hak, dan melek-melek lainnya adalah suatu keberdayaan yang harus terus dimungkinkan kepada lapisan-lapisan masyarakat bawah agar tidak terjebak ke dalam kemiskinan kultural.

2.1.8 Definisi Pengangguran

Pada dasarnya pengangguran merupakan penduduk usia produktif yang tidak mendapatkan kesempatan bekerja dengan berbagai sebab. Dinamika pasar tenaga kerja menunjukkan bahwa peningkatan penawaran tenaga kerja tidak selalu diikuti peningkatan yang seimbang pada permintaan tenaga kerja. Hal ini disebabkan oleh laju pertumbuhan ekonomi yang diperoleh suatu wilayah belum tentu diikuti pula dengan laju pertumbuhan penyerapan tenaga kerja Tjiptoherijanto dan Soemitro, 1998. Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh akumulasi investasi bukan merupakan pertumbuhan ekonomi yang sehat. Jika pertumbuhan output sama dengan pertumbuhan kapital dan tenaga kerja, berarti tidak terdapat sisa output yang bebas dan bisa dibagikan untuk peningkatan return to capital reinvestasi yang dapat membuka kesempatan kerja baru dan atau peningkatan pendapatan tenaga kerja. Sebaliknya, bila pertumbuhan output lebih besar dari pertumbuhan kapital dan tenaga kerja, berarti masih ada sisa output setelah dikurangi kapital dan tenaga kerja. Sisa output ini bisa untuk peningkatan gaji karyawan, peningkatan return to capital atau reinvestasi dan penjamin secara akumulatif berlanjutnya pertumbuhan ekonomi Hananto, 2001 dalam BPS, 2006. Pada mulanya Badan Pusat Statitik BPS mendefinisikan pengangguran terbuka sebagai penduduk berusia 15 tahun keatas yang dalam kondisi tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan. Kegiatan mencari pekerjaan dapat dilakukan oleh mereka yang sama sekali belum pernah bekerja atau mereka yang pernah bekerja, karena suatu hal berhenti atau diberhentikan. Usaha mencari pekerjaan tidak terbatas pada periode seminggu sebelum pencacahan, mereka yang berusaha mendapatkan pekerjaan dan permohonannya telah dikirim lebih dari satu minggu yang lalu tetap dianggap sebagai mencari pekerjaan. Sejak tahun 2001 definisi pengangguran terbuka diperluas mengikuti rekomendasi International Labour Organization ILO. Menurut konsep ILO, pengangguran terbuka terdiri dari : • Mereka yang mencari pekerjaan • Mereka yang mempersiapkan usaha • Mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan • Mereka yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Mempersiapkan usaha adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka mempersiapkan usahapekerjaan yang ”baru” yang bertujuan untuk memperoleh penghasilankeuntungan atas resiko sendiri. Dikategorikan sebagai mempersiapkan usaha apabila ”tindakannya nyata” seperti: mengumpulkan modal atau perlengkapanalat, mencari lokasitempat, mengurus surat ijin usaha dan sebagainya. Mempersiapkan usaha tidak termasuk yang baru merencanakan, berniat, dan baru mengikuti kursuspelatihan dalam rangka membuka usaha. Kegiatan mempersiapkan suatu usaha pekerjaan tidak terbatas dalam jangka waktu seminggu yang lalu saja, tetapi dapat dilakukan beberapa waktu yang lalu asalkan seminggu yang lalu masih berusaha untuk mempersiapkan suatu kegiatan usaha. Penduduk Penduduk Usia Kerja Penduduk Bukan Usia Kerja Angkatan Kerja Bukan Angkatan Kerja Sekolah Mengurus Rumah tangga Lainnya Bekerja Mencari Kerja Menganggur Bekerja Penuh Setengah Menganggur Sumber: Badan Pusat Statistik Gambar 2.5 Bagan ketenagakerjaan Menurut Bagan Ketenagakerjaan Gambar 2.5, di samping kelompok pengangguran terbuka, ada sebagian angkatan kerja yang terkategori sebagai kelompok setengah pengangguran yaitu mereka yang dalam kondisi bekerja tetapi jam kerjanya di bawah jam kerja normal kurang dari 35 jam seminggu. Setengah pengangguran terdiri dari : • Setengah pengangguran terpaksa yaitu mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal kurang dari 35 jam seminggu dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan, • Setengah pengangguran sukarela adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal kurang dari 35 jam seminggu tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan lain sebagian pihak menyebutkan sebagai pekerja paruh waktupart time worker.

2.1.9 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi fiskal secara tidak langsung mempunyai hubungan terhadap pertumbuhan ekonomi karena dapat meningkatkan efisiensi dalam alokasi sumber daya. Hal ini disebabkan 1 Pemerintah Daerah memiliki keuntungan yang lebih baik dibandingkan Pemerintah Pusat dalam memberikan pelayanan dan penyediaan barang-barang publik yang sesuai dengan preferensi dan kebutuhan-kebutuhan daerah itu sendiri. 2 Menstimulus Pemerintah Daerah untuk lebih kreatif, inovatif dan akuntabilitas terhadap daerahnya dalam upaya merespon kebutuhan masyarakat dan upaya meningkatkan kemakmuran di daerah melalui optimalisasi sumberdaya yang ada secara efisien dan mengurangi pemborosan. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah diharapkan mampu mengembangkan seluruh potensi yang ada, balk somber daya alam maupun sumberdaya manusia untuk meningkatkan kemakmuran bagi masyarakat daerah itu sendiri yang secara tidak langsung berdampak pada meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi. 3 Adanya kebijakan desentralisasi akan ditandai dengan penyediaan infrastruktur di daerah yang secara tidak langsung sangat sensitif terhadap kondisi regional atau daerah, dimana lebih efektf dalam mendorong pembangunan ekonomi daripada kebijakan yang ditetapkan Pemerintah Pusat yang seringkali mengabaikan adanya perbedaan geografis antar daerah. Esensi mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan desentralisasi fiskal setidaknya mempunyai tiga pertimbangan. Pertama, pertumbuhan dilihat sebagai sesuatu yang objektif dari desentralisasi fiskal dan efisiensi dalam alokasi sumberdaya dalam sektor publik. Kedua, secara eksplisit bahwa pemerintah berusaha untuk mengadopsi berbagai kebijakan-kebijakan untuk mendorong ke arah peningkatan dalam pendapatan per kapita. Ketiga, pertumbuhan per kapita relatif lebih mudah untuk diukur dan dinterpretasikan dibanding indikator-indikator ekonomi lainnya. Dalam model Barro 1990 diasumsikan bahwa aktivitas pemerintah memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Diketahui fungsi produksi Cobb Douglas sebagai berikut: y=fk,g=Ak 1- α g α dimana g adalah kuantitas barang dan jasa perkapita yang dibeli oleh pemerintah, yang diasumsikan tidak ada pungutan biaya apapun user charges. y adalah output per kapita, dan k adalah stok modal per kapita serta diasumsikan bahwa fungsi produksi memiliki skala pengembalian konstan constant return to scale. ]ika diasumsikan total pembelanjaan pemerintah dibiayai oleh pendapatan pajak τ maka dapat dituliskan berikut: g=T= y= Ak 1- α g α Apabila persamaan fungsi produksi dirubah menjadi produktivitas marjinal modal maka : f k =A1 - αgk α jika total pembelanjaan pernerintah dibiayai oleh pendapatan pajak pada tingkat τ di substitusikan dengan persamaan di atas maka dapat dituliskan sebagai berikut: y=kA 11- α α 1- α dimana bahwa rasio input g dan k adalah sebagai berikut gk=gyyk= yk=A 1- α Nilai untuk produktivitas marjinal modal dapat dituliskan kembali sebagai berikut: f k = 1 – αA 1 1- α α 1- α Oleh karena itu, solusi untuk tingkat pertumbuhan output per kapita dapat ditentukan sebagai berikut: y=cc=1- [ 1 – αA 1 1- α α 1- α - ρ] Pada persamaan di atas, bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dipengaruhi oleh alokasi pembelanjaan publik dan tingkat pajak, sama halnya dengan individu memaksimalkan pertumbuhan konsumsi yang berkaitan dengan tingkat pertumbuhan dari output dan modal. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah juga digambarkan oleh kurva Scully yang merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh professor Gerald Scully, yang menerangkan hubungan antara peran pengeluran pemerintah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Dalam model kuadratik yang diformulasikan Scully, porsi pengeluaran pemerintah menjadi variabel independent dan pertumbuhan ekonomi menjadi variabel dependent. Dari model yang dapat disimpulkan bahwa : peningkatan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi melebihi tingkat optimal maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih rendah bahkan dapat mencapai nol. Secara grafis dapat dilihat pada gambar 2.6. Gambar 2.6 Hubungan antara tingkat Pertumbuhan Ekonomi dengan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB

2.1.10 Pengeluaran Pemerintah dan Kesempatan Kerja

Pengeluaran pemerintah yang dipergunakan untuk membeli barang dan jasa akan mendorong terciptanya lapangan kerja. Pemerintah dalam upaya menyediakan barang publik secara tidak langsung akan membuka kesempatan kerja. Lapangan kerja yang tersedia akibat aktivitas pemerintah akan dipengaruhi oleh jenis pengeluaran. Misalnya proyek-proyek pemerintah yang membutuhkan padat karya akan lebih membutuhkan banyak tenaga kerja pada masyarakat.

2.1.11 Pengeluaran Pemerintah dan Kemiskinan

Besarnya pengeluaran pemerintah dalam kerangka makro ekonomi akan mendorong pertumbuhan output ekonomi. Pertumbuhan output ekonomi ini akan diiringi dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan Porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB Ti ng kat Pe rt u m b uha n Ek o n o m i g t Sumber: Chao dan Grubel, 1997 masyarakat. Dengan semakin banyaknya tenaga kerja yang terserap dan diikuti tingkat pendapatan yang semakin baik akan meningkatkan daya beli masyarakat sehingga jumlah masyarakat miskin dapat berkurang.

2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan di China oleh Zhang dan Zou 1998 menggunakan panel data yang periodenya dimulai pada akhir tahun 1970-an saat pertumbuhan ekonomi sedang tinggi. Pada periode tersebut pemerintahan pada tingkat yang lebih tinggi wajib menyediakan investasi publik yang menyebabkan eksternalitas yang besar pada tahap awal pembangunan ekonomi. Hasil dari penelitian ini adalah desentralisasi fiskal mengurangi pertumbuhan ekonomi propinsi di China. Sedangkan dalam jurnal “Fiscal Decentralization and Economic Growth in China” yang dilakukan oleh Lin dan Liu 2000, meneliti hubungan antara pertumbuhan ekonomi di China dengan reformasi fiskal melalui desentralisasi fiskal. Dimana desentralisasi fiskal ini merupakan pergeseran kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemda yang akan meningkatkan efisiensi ekonomi. Penelitian ini menggunakan panel data 28 propinsi di China periode 1970- 1993. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi regional China yang diukur berdasarkan tingkat pertumbuhan GDP perkapita dipengaruhi oleh Fiscal Decentralization FD, Household Responsibility System HRS, Fiscal Capacity FisCap, Rural Population POPSHR, Total Population TPOP, Relative Price of Farm Product to Non Farm Product FPMP, Share of Non-State Owner Enterpise’s Output to Total Industrial Output NSOESH, Growth Rate of Per-capita Fixed Asset Investment GI, dan The Average of Retention Rate of Locally Collected Budgetary Revenue FDAVG. Dari keseluruhan variabel yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Cina semuanya berpengaruh positif kecuali variabel fiscal capacity dan Total Population yang berpengaruh negatif. Desentralisasi fiskal dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena pemberian wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemda dapat meningkatkan efisiensi ekonomi terutama dalam alokasi sumber daya dengan kota lain pemda mempunyai posisi lebih baik untuk menyediakan berbagai barang dan jasa publik yang mendekati kebutuhan daerah. Sehingga reformasi daerah melalui desentralisasi fiskal, reformasi sektor non pemerintah dan akumulasi modal yang sejalan dengan reformasi fiskal menjadi kunci keberhasilan pertumbuhan ekonomi China yang pesat selama 20 tahun terakhir. Studi yang dilakukan oleh Akai dan Sakata 2002 di Amerika Serikat memperlihatkan bukti baru bahwa desentralisasi fiskal mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dengan data cross section dan time series panel data maka terdapat 50 observasi rata-rata tahun 1992-1994 untuk time series dan 50 negara bagian di Amerika Serikat. Penelitian empiris tersebut memperlihatkan desentralisasi fiskal memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Tidak seperti paper-paper sebelumnya, paper ini menemukan bahwa desentralisasi fiskal memainkan peranan utama dalam pertumbuhan ekonomi. Namun penelitian ini juga mengindikasikan bahwa ada faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi selain desentralisasi fiskal. Penelitian yang dilakukan oleh Brodjonegoro 2001 dengan menggunakan model makro ekonometrik simultan untuk melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian Indonesia. Hasil studi menunjukkan bahwa dengan skema DAU, DBHSDA, dan Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan DBHPPh disparitas ekonomi antar daerah akan semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan oleh meningkatnya angka indeks Williamson. Sedangkan untuk pertumbuhan ekonomi daerah, dengan skema yang sama menghasilkan tingkat pertumbuhan yang berbeda-beda antar daerah, daerah yang kaya SDA dan menerima DAU tinggi menunjukkan tingat petumbuhan yang tinggi, demikian sebaliknya. Penelitian Jutting et.al 2004 dengan menggunakan data lintas negara menunjukkan bahwa hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pemberantasan kemiskinan bersifat ambigous. Pada beberapa negara miskin kualitas institusi dan adanya konflik politik menyebabkan kebijakan pemeberantasan kemiskinan tidak mencapai sasaran. Dampak desentralisasi tergantung oleh kualitas infrastruktur sebuah negara, hal ini berdampak terhadap kapasitas dan kemampuan pengambil kebijakan untuk mencurahkan perhatian terhadap pemberantasan kemiskinan. Peranan pengeluaran pemerintah menurut penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan 2006 di Provinsi Sumatera Utara, juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin. Namun karena keterbatasan data, maka besarnya pengeluaran pemerintah yang berkaitan dengan masalah kemiskinan diproksi dengan besarnya penerimaan anggaran pendapatan belanja daerah APBD. Besarnya nilai APBD diharapkan mampu meningkatkan peran pemerintah daerah dalam penyediaan fasilitas pelayanan seperti pendidikan dan kesehatan serta penyediaan lapangan pekerjaan terutama untuk penduduk miskin.

2.3 Kerangka Pemikiran