Analisis Model Kemiskinan HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis regresi yang diperoleh sejauh ini mengindikasikan bahwa pemberlakuan kebijakan desentralisasi fiskal justru memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan tingkat pengangguran terbuka di wilayah Indonesia. Setelah desentralisasi diberlakukan, tingkat pengangguran terbuka bertambah 3,01 dibanding sebelum desentralisasi. Lihat juga Tabel 4.8. Semakin besarnya dana yang ditransfer ke daerah dan terjadinya peningkatan PAD yang disebabkan karena desentralisasi fiskal sebenarnya cukup mampu menggerakkan perekonomian sehingga tercipta lapangan kerja baru. Namun tingkat lapangan kerja yang tercipta selama ini masih belum sebanding dengan peningkatan jumlah angkatan kerja yang tercipta sehingga masih terjadi pengangguran. Studi terakhir yang dilakukan oleh LPEM menunjukkan makin kuat bukti yang menggambarkan iklim bisnis yang makin buruk setelah desentralisasi dilakukan. Kesimpulan ini didukung pula oleh survei iklim investasi yang dilakukan oleh Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik yang menunjukkan bahwa ketidakpuasan responden terhadap praktek korupsi dan pemungutan liar serta tambahan pungutan dan peraturan daerah yang telah merugikan iklim investasi lokal 1 .

5.4 Analisis Model Kemiskinan

Hasil analisis dari model ekonometrika yang terbentuk dirangkum pada Tabel 5.10 hasil analisis model ekonometrika lengkap dapat dilihat di Lampiran 3. Hasil analisis memperlihatkan bahwa nilai p-values untuk hampir seluruh koefisien regresi signifikan pada tingkat taraf nyata konvensional 0,05. Kecuali untuk variabel keterbukaan daerah XM signifikan pada taraf nyata 10 pesen. Dari hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa setiap variabel bebas signifikan mempengaruhi variabel tak bebas jumlah penduduk miskin, POV. Selain itu, model ini mampu menjelaskan keragaman POV dengan sangat baik, hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi R-squared sebesar 0,9497. Dari hasil analisis regresi data panel di atas dapat dilihat bahwa peningkatan inflasi INF sebesar 1 katakanlah dari 6 menjadi 7 per tahun akan meningkatkan jumlah penduduk miskin POV di propinsi yang 1 Koran Tempo, 10 Mei 2004 bersangkutan sebanyak 6.414 jiwa, ceteris paribus. Peningkatan inflasi akan menyebabkan tingkat harga terutama harga barang kebutuhan pokok melonjak. Akibatnya semakin banyak masyarakat yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga jatuh menjadi miskin. Tabel 5.10. Hasil pendugaan parameter model terhadap jumlah penduduk miskin Dependent Variable: POV Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 148927,8 269481,6 0,552645 0,5809 INF 6414,379 1632,075 3,930199 0,0001 TOTKLUAR -0,152711 0,051055 -2,991083 0,0030 UL 0,579419 0,148337 3,906110 0,0001 POP 0,144360 0,035888 4,022519 0,0001 XM -0,008733 0,004850 -1,800595 0,0726 D1 219833,7 64568,07 3,404680 0,0007 R-squared 0,949700 Adjusted R-squared 0,945344 F-statistic 218,0414 ProbF-statistic 0,000000 Selain itu meningkatnya inflasi akan menyebabkan daya beli masyarakat menurun, sehingga permintaan terhadap barang dan jasa juga akan mengalami penurunan. Akibatnya banyak perusahaan mengurangi produksinya sehingga output menjadi turun. Untuk mempertahan keuntungan pelaku usaha akan mengurangi input produksinya salah satunya adalah tenaga kerja. Akibatnya pengangguran semakin banyak dan pada akhirnya kemiskinan akan semakin melimpah. Disisi lain, inflasi mengakibatkan bunga riil yang diperoleh dari menyimpan uang di bank menjadi turun, sehingga daya beli menjadi turun. Turunnya daya beli ini mengakibatkan masyarakat menjadi lebih miskin dari sebelumnya. Hal ini mengindikasikan pentingnya peran pemerintah dalam mengontrol inflasi. Banyak penelitian yang juga menemukan hubungan yang kuat antara kemiskinan dan inflasi. Diantaranya penelitan yang dilakukan oleh Cutter dan Katz 1991, Powers 1995 dan Fatma 2005 yang menemukan bahwa inflasi dan pengangguran keduanya berhubungan positif dengan jumlah penduduk miskin. Demikian juga peningkatan jumlah pendudukpopulasi POP sebanyak 1000 jiwa di propinsi terkait yang akan menyebabkan kemiskinan POV meningkat sekitar 144 jiwa, ceteris paribus. Peningkatan jumlah populasi akan menimbulkan berbagai permasalahan baru. Apabila peningkatan populasi tidak diiringi dengan peningkatan lapangan pekerjaan dan peningkatan stok pangan akan menyebabkan penduduk miskin semakin bertambah. Hasil ini memberikan masukkan penting kepada pemerintah dalam membuat kebijakan yang terkait pengaturan jumlah populasi dalam rangka mengurangi jumlah penduduk miskin. Dalam model pertumbuhan Solow dijelaskan bahwa pertumbuhan populasi yang tinggi akan mengurangi output per pekerja, karena pertumbuhan jumlah pekerja yang sangat cepat akan membuat persediaan modal dibagi lebih banyak. Hal ini menyebabkan, pada kondisi mapan, setiap pekerja dilengkapi dengan modal yang lebih sedikit. Akibatnya peningkatan output yang tercipta juga tidak akan sebanding dengan peningkatan jumlah pekerja Hukum Law of Deminishing Return. Pada akhirnya tingkat upah juga akan mengalami penurunan yang mengakibatkan tingkat kesejahteraan ikut menurun sehingga semakin banyak yang jatuh miskin. Sementara itu, dalam bukunya yang berjudul An Essay on the Principle of Population as It Affects the future Improvement of Society, Thomas Robert Malthus 1766-1834 memperkirakan bahwa semakin meningkatnya populasi akan secara terus menerus membebani kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Menurut prediksinya, umat manusia akan bertambah banyak yang miskin seiring dengan bertambahnya populasi Mankiw, 2007. Sementara pengeluaran pemerintah berpotensi secara signifikan untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Dari hasil pengolahan terlihat bahwa peningkatan anggaran pemerintah di daerah provinsi sebesar 1 milyar rupiah akan mampu menurunkan jumlah penduduk miskin sebanyak 153 jiwa, ceteris paribus. Secara teori, seiring dengan semakin besarnya anggaran, pemerintah diharapkan dapat mempercepat dan meningkatkan pelayanan publik serta perbaikan infrastrukur. Hal ini akan mendorong bergairahnya investasi sehingga perekonomian di daerah tersebut menjadi semakin maju. Dampak dari hal ini adalah semakin banyak orang yang akan terlibat didalam perekonomian dan akan mendapatkan upah yang semakin besar, sehingga jumlah penduduk yang miskin semakin berkurang. Dalam The General Theory, Keynes menyatakan bahwa pendapatan total perekonomian, dalam jangka pendek, salah satunya adalah disebabkan oleh rencanakeinginan pemerintah untuk membelanjakan pendapatannya. Semakin banyak pemerintah dalam membelanjakan pendapatannya, semakin banyak barang dan jasa yang bisa dijual pelaku ekonomi. Semakin banyak pelaku ekonomi menjual, semakin banyak output yang akan mereka produksi dan semakin banyak pekerja yang akan dikaryakan. Ketika hal ini berputar terus- menerus, maka semakin tinggi output yang diproduksi juga akan menyebabkan semakin tinggi upah yang diterima pekerja. Karena jumlah penduduk yang bekerja semakin banyak dan kesejahteraan pekerja semakin meningkat maka jumlah penduduk yang berada dalam kemiskinan juga akan semakin berkurang. Dalam konsep multiplied effect yang merupakan implikasi dari perpotongan Keynesian dinyatakan bahwa efek pengganda belanja pemerintah lebih besar dari 1. Artinya bahwa kenaikan belanja pemerintah yang direncanakan mendorong adanya kenaikan dalam pendapatan yang lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa peranan pemerintah sangat penting didalam perekonomian untuk peningkatan output yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga berimbas terhadap pengurangan tingkat kemiskinan. Selain itu salah satu fungsi dari pemerintah adalah fungsi distribusi. Melalui anggaran pemerintah dapat membuat kebijakan yang bertujuan untuk menciptakan pemerataan atau mengurangi kesenjangan antar wilayah, kelas sosial maupun sektoral. Pemerintah melalui anggarannya bisa membuat kebijakan yang berpihak kepada masyarakat kecil sehingga kemiskinan dapat berkurang. Hasil penelitian ini sejalan dengan apa yang telah di lakukan oleh Hasibuan 2006 yang melakukan penelitian di Provinsi Sumatera Utara yang menemukan bahwa pengeluaran pemerintah yang diproksi dengan besarnya penerimaan APBD memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. Dengan pendekatan yang sedikit berbeda Suryadarma dan Suryahadi 2007 juga menemukan bahwa pertumbuhan pengeluaran konsumsi pemerintah sebagai indikator sektor publik dan pertumbuhan belanja modal swasta proksi dari sektor swasta dengan signifikan menurunkan kemiskinan di Indonesia. Hasil analisis regresi juga memperlihatkan bahwa pengangguran secara signifikan turut mempengaruhi tingkat kemiskinan. Dari hasil pengolahan terlihat bahwa peningkatan jumlah pengangguran sebanyak 1000 orang dapat menyebabkan peningkatan jumlah penduduk miskin sebanyak 579 orang di wilayah bersangkutan, ceteris paribus. Tingginya keterkaitan hubungan antara penganguran dan kemiskinan dapat dilihat secara jelas dari perspektif pengangguran struktural. Bila seseorang menganggur atau mungkin bekerja namun dengan gaji yang sangat rendah maka ia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan dasar keluarganya. Pada gilirannya mereka akan hidup di bawah garis kemiskinan. Anak-anak mereka akan sulit mendapat pendidikan yang layak dan mengalami kekurangan gizi, kondisi ini pada akhirnya akan menurunkan produktivitas dan pada masa yang datang, sulit bagi mereka untuk bersaing di dunia kerja. Bila keadaan perekonomian tidak berubah, lingkaran setan ini akan terus berlanjut. Selain itu pengangguran dapat mempengaruhi kemiskinan dengan berbagai cara. Jika rumah tangga tersebut memiliki batasan likuiditas yang berarti bahwa konsumsi saat ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan saat ini maka pengangguran akan secara langsung mempengaruhi kemiskinan baik yang diukur dari sisi pendapatan income poverty rate maupun kemiskinan yang diukur dari sisi konsumsi consumption poverty rate. Jika rumahtangga tersebut tidak menghadapi batasan liquiditas yang berarti bahwa konsumsi saat ini tidak terlalu dipengaruhi oleh pendapatan saat ini maka peningkatan pengangguran akan menyebabkan peningkatan kemiskinan dalam jangka panjang, tetapi tidak terlalu berpengaruh dalam jangka pendek. Secara umum sebagian besar rumah tangga tergantung pada upah atau gaji yang diterimanya, sehingga terjadinya pengangguran akan menyebabkan hilangnya sebagian besar pendapatan. Lebih jauh, masalah pengangguran ini lebih sering terjadi pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah sehingga menyebabkan mereka harus hidup dibawah kemiskinan. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Cutter dan Katz 1991, Powers 1995 dan Fatma 2005 juga menemukan hal yang mirip dengan temuan ini. Selain itu Hoover dan Wallace 2003 juga menemukan bahwa tingkat kemiskinan sangat sensistif terhadap kondisi ekonomi, dimana peningkatan pengangguran menyebabkan peningkatan kemiskinan. Variabel keterbukaan daerah yang diwakili dengan penjumlahan ekspor dan impor juga signifikan mengurangi kemiskinan daerah di Indonesia. Dari hasil estimasi diperoleh bahwa peningkatan ekspor dan impor sebesar 1 milyar rupiah disuatu wilayah akan mampu mengurangi kemiskinan sebanyak 9 orang. Peningkatan keterbukaan daerah akan menyebabkan ekonomi semakin bergairah sehingga menciptakan lapangan kerja baru sehingga kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Apabila suatu daerah melakukan ekspor menandakan bahwa terjadi proses produksi di wilayah tersebut apabila ekspor semakin meningkat berarti akan semakin membutuhkan tambahan input salah satunya adalah tenaga kerja. Begitu juga jika suatu daerah melakukan impor apabila barang impor tersebut adalah barang mentah atau barang setengah jadi berarti akan terjadi proses produksi selanjutnya industri di wilayah tersebut yang memerlukan tenaga kerja. Apabila barang yang diimpor adalah barang jadi berarti akan dibutuhkan tenaga kerja di sektor perdagangan. Selain itu adanya interaksi ini memerlukan penyediaan sarana dan prasarana termasuk sarana perdagangan sehingga akan menyerap tenaga kerja untuk membangun sarana tersebut. Jika ekspor dan impor semakin meningkat menyebabkan permintaan akan tenaga kerja juga akan semakin tinggi, upah akan meningkat, sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat semakin tinggi dan pada akhirnya kemiskinan akan berkurang. Hasil analisis regresi yang diperoleh sejauh ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal justru memberikan dampak yang bertolak belakang bagi kemiskinan. Kondisi ini mungkin disebabkan karena kurangnya kapasitas pemerintah daerah dalam mengatasi permasalahan yang muncul dipermukaan. Selain itu, kondisi ini mungkin disebabkan oleh masalah-masalah institusi lainnya di daerah seperti adanya hambatan dalam investasi, kurangnya implementasi good governance, serta masalah koordinasi antara pusat dan daerah. Selain itu, terdapat bukti lain yang mengarah pada kemungkinan terjadinya dampak buruk dari desentralisasi terhadap penanggulangan kemiskinan. Pertama, studi terakhir yang dilakukan oleh LPEM menunjukkan makin kuat bukti yang menggambarkan iklim bisnis yang makin buruk setelah desentralisasi dilakukan. Kesimpulan ini didukung pula oleh survei iklim investasi yang dilakukan oleh Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik yang menunjukkan bahwa ketidakpuasan responden terhadap praktek korupsi dan pemungutan liar serta tambahan pungutan dan peraturan daerah yang telah merugikan iklim investasi lokal Koran Tempo, 10 Mei 2004. Lebih lanjut, banyak negara-negara yang sudah menerapkan sistem yang desentralistik justru didera persoalan korupsi yang serius. Sebagian di antara mereka bahkan berada di peringkat-peringkat terbawah dari indeks yang dikembangkan Transparancy International, seperti Nigeria, Cina, India dan Indonesia. Beberapa bukti empiris memang memberikan indikasi bahwa desentralisasi justru mengurangi akuntabilitas dan meningkatkan korupsi lihat Rose-Ackerman, 199 dan Kuncoro, 2004 dalam Susiyati, 2007. Bahkan tidak jarang korupsi lebih serius dan tersebar di daerah ketimbang di pusat Tanzi, 2000 dalam Susiyati, 2007. Sebabnya, adalah lebih mudah untuk menerapkan aturan main law enforcement kepada orang yang tidak dikenal dibandingkan terhadap orang-orang yang sudah sangat dikenal atau tetangga dan sanak-famili. Adalah juga lebih mudah untuk “membeli” suara atau pengaruh di tingkat lokal. Namun demikian, kesimpulan yang tegas mengenai apakah desentralisasi itu membantu mengurangi korupsi atau malah menyuburkannya belum bisa dibuat. Satu hal yang pasti, korupsi akan menyebabkan kurangnya perhatian kepada penyediaan layanan yang baik dan bermutu, serta terhadap upaya meningkatkan kesejahteraan orang miskin. Kemiskinan merupakan masalah yang sangat krusial, tidak hanya dikarenakan oleh tendensinya yang semakin meningkat namun juga konsekuensinya yang tidak hanya meliputi ruang lingkup ekonomi semata namun juga masalah sosial dan instabilitas politik dalam negeri. Oleh karena itu, pengentasan masalah kemiskinan harus menjadi prioritas utama dalam pembangunan ekonomi jangka pendek oleh pemerintah terutama dengan mengoptimalkan anggaran yang dimilikinya. 5.5 Paradoks antara Pertumbuhan Ekonomi dengan Kemiskinan dan Pengangguran di Era Desentralisasi Berhasil dan tidaknya kebijakan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan pemerintah Indonesia selama delapan tahun terakhir tidak bisa hanya dilihat dari satu aspek saja. Tidak mudah menyimpulkan apakah desentralisasi fiskal ini berhasil atau tidak. Dalam penelitian ini, setidaknya jika diukur dari aspek pertumbuhan ekonomi, kebijakan desentralisasi fiskal cukup signifikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi walaupun pengaruhnya relatif kecil. Namun jika ukurannya adalah tingkat pengangguran dan kemiskinan, kebijakan desentralisasi fiskal justru signifikan meningkatkan keduanya. Seolah dua sisi yang bertolak belakang terjadi paradoks, disatu sisi pertumbuhan ekonomi meningkat disisi lain kemiskinan dan pengangguran masih juga tinggi meningkat. Pembahasan mengenai hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama desentralisasi fiskal relatif masih belum cukup tinggi. Dalam hukum Okun dinyatakan bahwa laju pengangguran u t berbanding terbalik dengan selisih laju pertumbuhan ekonomi g t terhadap laju pertumbuhan ekonomi dalam kondisi normal g tn , atau: u t = – θg t – g tn + ε t di mana θ adalah konstanta positif dan ε t faktor-faktor lain yang secara agregat bersifat acak dengan rataan nol. Jika g t g tn maka u t meningkat, sehingga jumlah penduduk miskin juga meningkat. Kedua, pertumbuhan ekonomi di kawasan kantong kemiskinan relatif lambat. Kantong-kantong kemiskinan terdapat pada sektor pertanian Tabel 5.11. Sementara itu rata-rata pertumbuhan output pertanian tahun 2001 hingga 2007 sebesar 3,5 persen. Pertumbuhan output yang hanya 3,5 persen pada sektor pertanian, yang menjadi tumpuan penghidupan sekitar 41 persen tenagakerja Indonesia yang dari masa ke masa relatif sangat kecil penurunannya, berakibat lambannya peningkatan kesejahteraan petani dibandingkan dengan kesejahteraan pekerja di luar sektor pertanian. Tabel 5.11 Persentase penduduk miskin menurut daerah dan sektor kepala rumahtangga indonesia periode 2002-2008. Persentase Penduduk Miskin Uraian 2002 2005 2008 Perkotaan Pertanian 31,58 29,86 26,35 Industri 16,06 12,45 11,16 Jasa 11,10 9,86 8,32 Total 15,14 13,23 11,64 Perdesaan Pertanian 24,30 23,73 21,64 Industri 16,46 16,71 15,36 Jasa 10,72 10,24 10,02 Total 20,59 19,46 18,14 Kota + Desa 18,17 16,55 14,90 Sumber : Susenas diolah Ketiga, masih relatif lemahnya keterkaitan sektor pertanian dengan sektor- sektor lainnya, termasuk pariwisata dan industri pengolahan. Penguatan keterkaitan antara sektor pertanian dan industri agro dengan sektor-sektor lainnya berarti peningkatan mobilitas aliran bahan baku output di antara sektor-sektor tersebut Siregar, 2007. Keempat, masih relatif terkonsentrasinya kegiatan pembangunan di Jawa khususnya dan di KBI umumnya. Tingginya konsentrasi pembangunan di pulau Jawa menyebabkan tingginya kompetisi penggunaan sumberdaya non-tenagakerja di kawasan tersebut. Secara alamiah, SDM dengan kualitas relatif rendah yakni kelompok miskin akan kalah dalam kompetisi tersebut. Akibatnya, tanpa campur tangan yang efektif dari pemerintah, kemiskinan akan persisten di kawasan tersebut. Hingga tahun 2008, sekitar 85 PDB nasional terkonsentrasi di KBI sekitar 64 terkonsentrasi di Jawa. Pada tahun 2008, hampir 88 persen dari pertumbuhan ekonomi nasional terjadi karena pertumbuhan PDRB di propinsi- propinsi yang berada di KBI. Kelima, pertumbuhan ekonomi masih ditopang oleh sektor non-tradable yang penyerapan tenaga kerjanya rendah. Pertumbuhan sektor non tradable tinggi rata- rata diatas 6, sementara pertumbuhan sektor tradable cenderung lebih rendah. Padahal di sektor tradable lebih padat tenaga kerja dibanding sektor nontradable lihat Tabel 5.9. Sektor non-tradable yaitu listrik gas, air minum, konstruksi, perdagangan, hotel, restoran, transportasi, keuangan dan jasa-jasa. Sektor-sektor tradable adalah pertanian, pertambangan serta industri pengolahan. Kondisi ini membuat pertumbuhan ekonomi menjadi kurang berkualitas karena kurang menyerap tenaga kerja, walaupun secara total perekonomian tumbuh tinggi. Tabel 5.12 Pertumbuhan ekonomi Indonesia menurut lapangan usaha tahun 2000-2007 Lapangan usaha 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1. Pertanian - 0,61 3,26 3,45 3,79 2,82 2,72 3,36 3,50 2. Pertambangan 4,65 0,33 1,00 - 1,37 - 4,48 3,20 1,70 1,98 3. Industri pengolahan 8,85 3,30 5,29 5,33 6,38 4,60 4,59 4,66 4. Listrik, gas air bersih 8,51 7,92 8,94 4,87 5,30 6,30 5,76 10,40 5. B a n g u n a n 5,64 4,58 5,48 6,10 7,49 7,54 8,34 8,61 6. Perdagangan 10,39 3,95 4,27 5,45 5,70 8,30 6,42 8,46 7. Angkutan kom 13,14 8,10 8,39 12,19 13,38 12,76 14,38 14,38 8. Keuangan 9,45 6,76 6,70 6,73 7,66 6,70 5,47 7,99 9. Jasa - jasa 3,77 3,24 3,75 4,41 5,38 5,16 6,16 6,60 Pdb 6,56 3,64 4,50 4,78 5,03 5,69 5,51 6,32 Pdb tanpa migas 7,57 4,90 5,23 5,69 5,97 6,57 6,13 6,92 Sumber: Badan Pusat Statistik Keenam, dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih didorong karena kontribusi konsumsi rumah tangga, sehingga tak banyak menciptakan lapangan kerja. Kontribusi konsumsi rumahtangga rata-rata diatas 57 persen dengan trend yang semakin menurun Tabel 5.13. Kondisi seperti ini juga pernah dialami oleh Amerika serikat pada periode tahun 2003-2004 yang terkenal dengan istilah jobless recovery. Begitu juga dalam kasus di negara-negara Amerika Latin pasca krisis, pertumbuhan ekonomi terutama juga didorong oleh konsumsi dan tidak banyak menciptakan lapangan kerja. Tabel 5.13 Komposisi PDB menurut pengeluaran tahun 2000-2007 JENIS PENGELUARAN 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Konsumsi RT 61,6 61,2 60,7 60,6 59,6 58,3 57,6 Konsumsi Pemerintah 6,8 7,3 7,7 7,6 7,7 8,0 7,8 PMTDB 20,4 20,4 19,6 21,4 22,5 21,8 22,4 Perubahan Inventori 2,1 1,5 1,2 2,0 1,4 2,5 2,9 Ekspor 39,8 37,6 38,0 41,1 45,3 47,0 47,8 Dikurangi Impor -30,6 -28,1 -27,2 -32,8 -36,5 -37,6 -38,5 PDB 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Sumber: Badan Pusat Statistik Ketujuh, elastisitas tenaga kerja di Indonesia pasca krisis rata-rata 200 hingga 300 ribu untuk setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi Basri, 2005. Sementara rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 6 persen. Hal ini berarti, memang secara konsisten baru mampu menyerap tenaga kerja sebesar 1,2 hingga 1,8 juta pertahun. Padahal penambahan angkatan kerja dari tahun 2001- 2008 rata-rata mencapai 1,9 juta orang Tabel 5.14. Artinya, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar itu, maka masalah pengangguran belum akan dapat teratasi. Dengan demikian yang terjadi barulah mengurangi jumlah tambahan penganggur baru, namun belum mampu menyerap seluruh tenaga kerja baru di pasar kerja, apalagi mengurangi stok penganggur. Tabel 5.14 Jumlah angkatan kerja dan penambahan angkatan kerja di Indonesia tahun 2001-2008 Tahun Angkatan Kerja Penambahan 2001 98.812.448 2.425.023 2002 100.779.270 1.966.822 2003 102.750.092 1.970.822 2004 103.973.387 1.223.295 2005 105.802.372 1.828.985 2006 106.388.935 586.563 2007 109.941.359 3.552.424 2008 111.947.295 2.005.936 Sumber: Badan Pusat Statistik Kedelapan, tingkat kesenjanganketidakmerataan antara kelompok pendapatan penduduk masih tinggi. Perbedaan ketidakmerataan pendapatan ini dapat digambarkan dengan koefisien gini rasio. Gini rasio Indonesia dengan populasi penduduk yang status kepala rumahtangganya bekerja pada selama periode 2002-2008 menunjukkan adanya tingkat ketidakmerataan pendapatan yang relatif tinggi walaupun angkanya berfluktuasi Tabel 5.15. Hal ini semakin menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi sebagian besar masih dinikmati berpihak pada orang-orang yang tidak miskin dari pada penduduk miskin. Tabel 5.15 Indeks gini menurut daerah dan sektor kepala rumahtangga indonesia periode 2002-2008 Indeks Gini Uraian 2002 2005 2008 Perkotaan Pertanian 0,282 0,301 0,354 Industri 0,341 0,392 0,360 Jasa 0,339 0,410 0,354 Total 0,344 0,402 0,366 Perdesaan Pertanian 0,243 0,266 0,278 Industri 0,253 0,283 0,278 Jasa 0,278 0,303 0,324 Total 0,262 0,294 0,300 Kota + Desa 0,339 0,396 0,365 Sumber : Susenas-BPS diolah Kesembilan, pengeluaran pemerintah daerah yang diharapkan untuk mestimulus perekonomian lebih banyak dihabiskan untuk menutupi pengeluaran rutin. Hal ini menyebabkan pengeluaran pemerintah menjadi kurang produktif. Walaupun ekonomi tumbuh, namun menjadi kurang berkualitas. Chu et al. 1995 dalam kajiannya menemukan fakta bahwa di banyak negara berkembang ternyata desentralisasi menyebabkan berbagai pengeluaran yang tidak produktif unproductive public expenditures oleh pemerintah daerah. Bank Dunia 2003 dalam laporannya menyatakan bahwa walaupun daerah mendapatkan bantuan transfer dana yang amat signifikan dari pemerintah pusat, banyak daerah menemui kesulitan untuk menjalankan berbagai kewenangan atau fungsi mereka baik yang lama maupun yang baru, khususnya terkait dengan penyediaan layanan dasar dan infrastruktur. Porsi terbesar dari anggaran daerah masih dihabiskan untuk belanja rutin, seperti biaya pemeliharaan, biaya operasional dan gaji. Pengalihan pegawai negeri sipil, utamanya guru dan tenaga kesehatan, kepada daerah di era otonomi ini dan rekrutmen oleh daerah sendiri akan pegawai-pegawai baru dianggap sebagai penyebab utama. Khususnya daerah-daerah perkotaan, tekanan untuk menyediakan layanan dan fasilitas publik bahkan jauh lebih besar dibanding daerah-daerah perdesaan. Sementara studi oleh LPEM-FEUI 2002 menyangkut belanja pembangunan daerah menghasilkan temuan yang menarik. Belanja pembangunan dalam studi ini dibagi atas berbagai sektor yang diharapkan berkaitan dengan upaya pengentasan kemiskinan, seperti pertanian, transportasi, pendidikan, kesehatan, perumahan, irigasi, dan lain-lain. Berdasarkan studi ini, anggaran yang pro-poor adalah yang diarahkan benar kepada sektor-sektor pertanian, pendidikan, kesehatan, transportasi, perumahan dan pembangunan lokal. Selama ini ternyata secara rata-rata belanja pembangunan daerah di Indonesia untuk sektor transportasi dan kesehatan cenderung regresif-netral, dalam arti kurang menguntungkan masyarakat miskin. Sementara belanja pembangunan untuk pertanian, pendidikan dan perumahan sudah relatif lebih menguntungkan mereka yang kurang mampu.

5.6 Berbagai Permasalahan dalam Penerapan Desentralisasi Fiskal