BAB IV GAMBARAN UMUM
4.1 Sejarah Perkembangan Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia
Permasalahan otonomi sebenarnya bukan merupakan hal yang baru di Indonesia. Bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, pola pendelegasian
wewenang atau otonomi telah dipraktekkan. Pelaksanaan pemerintahan di Indonesia, dalam sejarahnya diwarnai oleh sistem sentralisasi. Hal ini pada
dasarnya merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1800-an. Meskipun pada tahun 1903 Pemerintah Belanda mengeluarkan UU Desentralisasi
Untuk Hindia Timur, yang ditandai dengan pemilihan umum pertama di tanah Jawa, namun pada pelaksanaannya tetap mengedepankan konsep dekonsentrasi,
dimana kekuasaan pemerintah pusat masih dominan. Dari sisi keuangan, UU ini pada dasarnya mempunyai tujuan untuk mengurangi beban pembiayaan pada
tingkat pemerintahan kolonial dengan mengalihkannya kepada pemerintahan daerah, namun demikian kewenangan pengelolaan masih di bawah kontrol
pemerintah kolonial Belanda. Pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia 1945 – 1959, situasi di
Indonesia masih sangat kental dengan warna transisi paska kemerdekaan, yaitu perjuangan bersenjata untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia
dan perjuangan politik untuk mempersatukan wilayah Indonesia. Pada masa ini telah dikeluarkan Undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah yang
sifatnya desentralistis UU 221948 dan UU 11957, bahkan pada era inilah mulai diperkenalkan istilah otonomi yang seluas-luasnya. Namun demikian, pelaksanaan
otonomi tidak berhasil dilaksanakan dengan baik karena berbagai faktor, antara lain, ketidakstabilan pemerintah, kurangnya sumber daya manusia yang
mendukung, dan terutama karena pemerintah pusat tidak mempunyai dana yang cukup untuk mendukung pelaksanaan otonomi.
Pada tahun 1959, setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden untuk kembali kepada UUD 1945, Presiden Soekarno memperkenalkan konsep demokrasi
terpimpin. Sejak saat ini, konsep desentralisasi telah berbalik arah menjadi sentralistis. Pelaksanaan pemerintahan di daerah lebih banyak menggunakan
pendekatan dekonsentrasi, dimana Kepala daerah merupakan wakil pemerintah pusat di daerah. Garis komando yang tegas dan sentralistis dalam pelaksanaan
pemerintahan ini kemudian dituangkan dalam UU No 181965. Dari sisi keuangan, pada masa 1945 – 1965 pelaksanaan desentralisasi
keuangan cukup tertinggal dibandingkan dengan administrasi pemerintahannya. Undang-undang yang mengatur mengenai desentralisasi keuangan baru keluar
pada tahun 1956, yaitu melalui UU No 321956. Dengan UU ini, pola hubungan keuangan antara pusat dan daerah dilaksanakan melalui penyerahan sumber
pendapatan negara kepada daerah, pemberian bagian tertentu dari penerimaan berbagai pajak negara kepada daerah, dan pemberian subsidi kepada Daerah.
Dalam kenyataannya, konsep UU 321956 ternyata sangat sulit untuk diimplementasikan sampai dengan dicabutnya UU tersebut pada tahun 1999
berlakunya UU 25 Tahun 1999. Pada awal pemerintahan orde baru 1968, sebenarnya telah terdapat
komitmen yang kuat dari Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara MPRS untuk melaksanakan konsep otonomi yang seluas-luasnya. Namun demikian,
Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR hasil Pemilu 1971 menetapkan konsep otonomi yang berbeda, yaitu “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”. Atas
dasar ketetapan MPR inilah, pemerintah mengeluarkan UU No 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU ini diatur bahwa pemerintahan daerah
dibagi ke dalam 2 dua tingkatan, yaitu Provinsi Tingkat I, dan KabupatenKota Tingkat II, dengan fokus otonomi pada Daerah Tingkat II. Argumentasi yang
mendasari fokus otonomi pada daerah tingkat II adalah karena terdapat kekhawatiran akan terjadinya disintegrasi, mengingat Provinsi Daerah Tingkat I
mempunyai kekuatan politis dan finansial yang cukup kuat untuk melakukan pemisahan diri. Namun demikian, otonomi di Daerah tingkat II ini tidak dapat
diimplementasikan dengan baik karena tidak ada peraturan pelaksanaannya, hingga dikeluarkannya PP 451992 mengenai implementasi otonomi daerah pada
Daerah tingkat II 18 tahun setelah keluarnya UU. Implementasi otonomi daerah pada era ini banyak mengalami kegagalan karena kurangnya komitmen dari elit
politik untuk melaksanakan otonomi itu sendiri. Dalam kenyataannya konsep
desentralisasi yang seharusnya diimplementasikan justru berubah menjadi konsep dekonsentrasi yang kental dengan nuansa sentralisasi.
Pada masa pemerintahan Orde Baru 1968-1998 tidak pernah dikeluarkan UU baru yang mengatur HKPD, sehingga peraturan yang berlaku tetap UU No
321956. Namun demikian, UU 321956 ini juga tidak pernah diimplementasikan pada masa pemerintahan orde baru sehingga pengaturan keuangan daerah pada
masa ini sebenarnya tidak pernah mempunyai landasan hukum yang kuat. Sejak tahun 1965, pola pembagian pajak negara kepada daerah digantikan dengan suatu
pola kebijakan yang memberikan subsidi kepada daerah yang didasarkan kepada perhitungan besarnya jumlah pengeluaran untuk gaji pegawai daerah otonom atau
yang selanjutnya disebut sebagai Subsidi Daerah Otonom, sedangkan untuk bantuan keuangan yang sifatnya untuk pembangunan dikeluarkan Inpres. Pada
dasarnya hampir semua transfer ke daerah pada masa Orde Baru bersifat earmark
khusus sehingga tidak ada keleluasaan bagi daerah untuk mengelola keuangan daerahnya.
Diawali dengan berakhirnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998, maka tuntutan demokrasi dan pemberdayaan daerah menjadi sangat kuat, utamanya dari
daerah-daerah yang merasa memiliki kekayaan sumber daya alam seperti Riau, Aceh, Kalimantan Timur, dan Papua. Oleh karena itu, pada masa pemerintahan
Presiden Habibie 1999 dikeluarkan 2 dua undang-undang yang mengatur mengenai pelaksanaan Otonomi Daerah, yaitu UU 221999 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU 251999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan kedua UU ini terdapat 4 empat hal yang berubah cukup
fundamental, yaitu: 1 konsep desentralisasi lebih mengemuka dibandingkan dengan konsep dekonsentrasi, 2 pertanggungjawaban lebih bersifat horizontal
daripada vertikal, 3 pengaturan yang lebih jelas mengenai alokasi dana dari pusat ke daerah, dan 4 kewenangan pengelolaan keuangan diberikan secara utuh
kepada daerah. Dengan didasarkan kepada kedua UU tersebut, dimulailah pelaksanaan desentralisasi secara nyata di Indonesia, yang dimulai pada Januari
2001. Dalam UU No. 221999 secara garis besar diatur penyerahan kewenangan
dari Pusat ke Daerah sehingga kewenangan Daerah menjadi sangat besar. Sebagai
konsekuensi logis dari penyerahan kewenangan ini maka kantor pemerintah pusat yang ada di daerah Kanwil dan Kandep sebagian besar diserahkan kepada
daerah, termasuk pegawai dan asetnya. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa hal yang belum cukup jelas dalam penyerahan kewenangan ini, terutama
mengenai sistem penyerahan kewenangan kepada KabupatenKota yang bersifat residual berdasarkan PP No. 252001. Dengan sistem residual ini, maka yang
diatur dalam peraturan perundangan hanyalah kewenangan Pusat dan Provinsi, sedangkan kewenangan KabupatenKota adalah semua kewenangan yang belum
diatur dalam peraturan perundangan. Di sisi lain, UU No. 251999 mengatur penyerahan sumber keuangan
kepada daerah, terutama melalui mekanisme transfer yang cukup besar kepada daerah yang juga dibarengi dengan keleluasaan pengelolaannya. UU ini lebih
menitikberatkan pada pola perimbangan yang berdasarkan pembagian kekayaan sumber daya alam dan masih sangat sedikit yang berbasis pada perpajakan.
Sementara itu, kewenangan daerah dalam memungut pendapatan daerah yang bersumber dari pajak dan retribusi telah diatur dengan UU tersendiri yaitu UU No.
342000 yang merupakan revisi dari UU No. 181997. Salah satu kendala dalam pelaksanaan desentralisasi pada saat ini adalah
tidak adanya ukuran secara kuantitatif untuk mengukur besaran beban kewenangan yang diserahkan berdasarkan UU No. 221999 dengan besaran
finansial yang ditransfer dan atau diserahkan kepada daerah berdasarkan UU No. 251999. Hal inilah yang menimbulkan ketidakpuasan daerah karena daerah
merasa dana yang diperoleh tidak cukup untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan. Di samping itu, terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaan
desentralisasi karena kurangnya kejelasan dan ketegasan pengaturannya dalam UU, seperti pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, pelaksanaan
pinjaman daerah dari luar negeri, dan pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah. Selain permasalahan tersebut di atas, secara politis pelaksanaan otonomi
daerah pada saat ini mengalami ujian berat dengan adanya tuntutan merdeka dari 2 dua daerah, yaitu Aceh dan Papua. Pada dasarnya permasalahan yang timbul
di Aceh dan Papua merupakan akumulasi permasalahan dari kurun waktu yang cukup lama. Masyarakat di kedua daerah tersebut merasa diperlakukan kurang
adil dan banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Sebagai respon atas permasalahan ini dan juga untuk mempertahankan integritas NKRI, Pemerintah
bersama DPR mengeluarkan UU yang mengatur otonomi khusus bagi Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Dengan kedua UU yang mengatur otonomi khusus
ini UU No. 182001 mengenai Otonomi Khusus di Aceh dan UU No. 21 2001 mengenai Otonomi Khusus di Papua, maka kepada kedua Daerah tersebut
diberikan beberapa kewenangan khusus dan sumber pendanaan yang lebih banyak dibandingkan dengan daerah lainnya dari dana perimbangan yang telah diatur
dalam UU No. 251999. Selama 4 empat tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal yang didasarkan
atas UU Nomor 25 Tahun 1999, dirasa masih mengandung beberapa kelemahan, sehingga perlu dilakukan revitalisasi kebijakan desentralisasi fiskal. Revitalisasi
kebijakan desentralisasi fiskal tersebut tercermin dari disahkannya UU Nomor 33 Tahun 2004 sebagai pengganti UU Nomor 25 Tahun 1999. Meskipun demikian,
pemberlakuan UU Nomor 33 Tahun 2004 dimaksud, secara efektif, baru dimulai pada tahun 2006, sehingga dampaknya belum begitu terasa di tahun 2004 dan
2005. Pada UU No. 33 Tahun 2004 terdapat beberapa pokok perubahan dalam
pengelolaan perimbangan keuangan pusat dan daerah, yaitu: • penegasan prinsip-prinsip dara perimbangan keuangan antara pemerintah
dan pemerintah daerah sesuai asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan
• Penambahan jenis dana bagi hasil dari sektor pertambangan panas bumi, pajak penghasilan PPh pasal 2529 Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri dan PPh Pasal 21 • Pengelompokan dana reboisasi, yang semula termasuk dalam komponen
DAK menjadi DBH • Penyempurnaan prinsip pengalokasian DAU
• Penyempurnaan prinsip pengalokasian DAK • Penambahan pengaturan hibah dan dana darurat
• Penyempurnaan persyaratan dan mekanisme pinjaman daerah, termasuk
obligasi daerah
• Pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan • Penegasan pengaturan sistem informasi keuangan daerah SIKD
• Penegasan sanksi dalam rangka penerapan prinsip transparansi
akuntabilitas dan responsibilitas Pengalokasian DAU ke daerah dilakukan dengan formula yang didasarkan
pada dasar perhitungan DAU. Secara historis sejak tahun 2001-2005, formula DAU terbagi menjadi komponen utama yaitu alokasi minimum AM dan alokasi
DAU berdasarkan kesenjangan fiskal KF. AM dihitung berdasarkan komponen lumpsum dan proporsional belanja pegawai. Sejak diberlakukannya UU Nomor
33 Tahun 2004, yang efektif berlaku sejak tahun 2006, komponen AM dan KF tersebut disempurnakan menjadi Alokasi dasar AD dan celah fiskal CF.
Alokasi DAU berdasarkan CF tersebut merupakan komponen ekualisasi kemampuan keuangan antar daerah, dengan mempertimbangkan selisih kebutuhan
fiskal dan kapasitas fiskal masing-masing daerah. Pada UU No 33 tahun 2004 untuk DAU yang semula ditetapkan sekurang-
kurangnya 25 dari penerimaan dalam negeri netto berubah menjadi 26. Selain itu dihilangkannya lumpsum dan mekanisme hold harmless pada tahun 2008.
Hal ini berimplikasi bahwa daerah dimungkinkan menerima alokasi DAU tahun 2008 lebih rendah atau tidak mendapatkan DAU sama sekali. Kemudian pada
DAK, dana reboisasi yang tadinya termasuk dalam DAK, dipindahkan kedalam kategori bagi hasil. Dan untuk dana bagi hasil terdapat tambahan pada DBHSDA
yaitu bagi hasil dari penerimaan pajak penghasilan PPh. Terdapat perubahan komposisi persentase dana perimbangan pada dana bagi hasil PBB, minyak bumi
dan gas alam dan terdapat satu sumber dana bagi hasil SDA yang baru yaitu dari pertambangan panas bumi. Pada bagi hasil pertambangan minyak bumi dan gas
alam masing-masing terdapat selisih 0,5 yang digunakan untuk menambah anggaran pendidikan dengan rincian 0,1 untuk propinsi yang bersangkutan,
0,2 untuk kabupatenkota penghasil dan 0,2 dibagikan pada kabupatenkota lainnya dalam satu propinsi. Selengkapnya lihat Tabel 4.1.
Secara umum, untuk negara se-plural Indonesia, desentralisasi menjadi sangat relevan dan penting. Tersebar di lebih 13.000 pulau sepanjang lebih dari
5.000 kilometer, Indonesia dengan 210 juta penduduk terbagi ke dalam 20 kelompok budaya dengan 300 bahas etnik yang berbeda-beda.
Tabel 4.1 Distibusi Dana Perimbangan di Indonesia
UU No. 25 Th 1999 dan PP No. 104 Th 2000
UU No 33 Th 2004 Bagian
Bagian No Jenis
Penerimaan Pusat Prov KabKota Pusat Prov KabKota
1 Dana
Bagi Hasil
PBB 9,00
16,20 64,80
10,00 16,20
64,80 BPHTB
20,00 16,00
64,00 20,00
16,00 64,00
Kehutanan 20,00
16,00 64,00
20,00 16,00
64,00 a.
IHPH 20,00
16,00 64,00
20,00 16,00 64,00
b. Provisi Sumber Daya Hutan Pertambangan Umum
20,00 16,00
64,00 20,00
16,00 64,00
c. Iuran Tetap 20,00
16,00 64,00
20,00 16,00
64,00 d.
Royalti Perikanan
20,00 -
80,00 20,00 -
80,00 Minyak Bumi
85,00 3,00
12,00 84,50
3,00 12,00
Gas Alam 70,00
6,00 24,00
69,50 6,00
24,00 Pertambangan Panas Bumi
20,00 16,00
64,00 2
DAU -
10,00 90,00
- 10,00
90,00 3
DAK 60,00
- 40,00
60,00 - 40,00
Ket: dan kecuali bagi Provinsi NAD dan Papua
Terlepas dari luas wilayah dan keanekaragamannya, Indonesia adalah salah satu negara paling sentralistik di dunia selama masa orde Baru. Pada tahun
1999 pendapatan yang dikumpulkan oleh Pemerintah Pusat mencapai 94 dari pendapatan pemerintah secara keseluruhan dan sekitar 60 pengeluaran
pemerintah lokal dibiayai oleh transfer dari pusat. Implementasi pelaksanaan otonomi telah mengubah Indonesia secara
radikal menjadi salah satu negara paling terdesentralisasi di dunia. Desentralisasi yang dilakukan bahkan lebih kompleks daripada desentralisasi yang dilakukan di
negara lain misalnya China dengan melepaskan kewenangan keuangan dan politik kepada Daerah dimana Pusat hanya berwenang mengurusi 5lima kewenangan
yang terdiri dari kewenangan di bidang keuangan, peradilan, agama, pertahanan dan keamanan dan politik luar negeri. Dalam Wibisono 2003 disebutkan bahwa
proporsi pengeluaran regional terhadap pengeluaran pusat naik dari 17 menjadi 30. Di tahun 2002 angka ini semakin meningkat hingga mencapai 40,13.
Lebih dari 2 juta pegawai negeri sipil PNS atau sekitar 23 dari pegawai pemerintah pusat ditransfer ke Daerah. Kini dari 3,9 juta PNS sekitar 2,8 juta
berstatus pegawai daerah. Selain itu 239 kantor provinsi, 3.933 kantor kabupatenkota, serta 16.000 fasilitas pelayanan milik Pemerintah Pusat telah
diserahkan ke Daerah. 4.2 Tinjauan Pendapatan dan Pengeluaran Pemerintah
Implikasi dari pemberian kewenangan otonomi menuntut daerah untuk melaksanakan pembangunan. Pembangunan tersebut diharapkan dapat
dilaksanakan secara mandiri oleh daerah baik dari sisi perencanaan, pembangunan, serta pembiayaannya. Pembangunan yang dilaksanakan akan
memberikan manfaat bagi daerah, diantaranya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan masyarakat, mendorong perkembangan perekonomian daerah,
mendorong peningkatan pembangunan daerah disegala bidang, meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan pendapatan asli daerah,
serta mendorong kegiatan investasi. Sesuai bunyi pasal 5 UU No 33 Tahun 2004 disebutkan bahwasanya
pendapatan daerah bersumber dari PAD, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan. Sementara sesuai dengan UU No 33 Tahun 2004 pasal 10 disebutkan
bahwa yang menjadi sumber-sumber pembiayaan untuk pembangunan daerah capital investment, antara lain berasal dari dana perimbangan yang diterima oleh
daerah-daerah dari pemerintah pusat. Dana perimbangan tersebut berupa dana bagi hasil, dana alokasi umum DAU dan dana alokasi khusus DAK.
Disamping Dana Perimbangan yang berasal dari pemerintah pusat, daerah juga dapat membiayai pelaksanaan pembangunan daerahnya melalui pendapatan
asli daerah PAD berupa pajak daerah, retribusi daerah, BUMD dan lain pendapatan asli daerah yang sah.
Dalam realitasnya ternyata karakteristik daerah di Indonesia sangat beraneka ragam. Ada daerah yang mempunyai kekayaan alam sumber daya alam
yang sangat melimpah. Ada juga daerah yang sebenarnya tidak memiliki kekayaan alam yang besar namun karena struktur perekonomian mereka telah
tertata dengan baik maka potensi pajak dapat dioptimalkan sehingga daerah
tersebut menjadi kaya. Namun banyak juga daerah yang secara alamiah maupun struktur ekonomi masih sangat tertinggal. Untuk alasan tersebut maka transfer dari
pemerintah pusat dalam bentuk DAU masih diberikan khususnya untuk mengatasi kesenjangan antar daerah tersebut. Besarnya DAU ini ditetapkan berdasarkan
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 sekurang-kurangnya 26 dari pendapatan dalam negeri netto yang ditetapkan dalam APBN.
Instrumen utama kebijakan desentralisasi fiskal adalah melalui kebijakan transfer ke daerah, yang terdiri dari dana perimbangan dan dana otonomi khusus.
Adapun dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil DBH, dana alokasi umum DAU, dan dana alokasi khusus DAK, yang merupakan komponen terbesar dari
dana transfer ke daerah. Alokasi dana transfer ke daerah terus meningkat seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu dari Rp. 82,4
triliun pada tahun 2001 menjadi Rp. 250,3 triliun pada tahun 2007, dan diperkirakan menjadi Rp. 266,8 triliun pada tahun 2008, atau tumbuh rata-rata
sebesar 20,2 per tahun.
Tabel 4.2 Nilai dana perimbangan yang di berikan kepada pemerintah daerah
Tahun Anggaran Dana
Perimbangan triliun rupiah
Persentase thd Pendapatan
Negara Persentase thd
Belanja Negara
2000 32,90 16,00 14.90 2001 82,40 27,00 23.20
2002 94,53 31.30 27.50 2003 116.88 34.77 31.54
2004 131.55 34.58 33.07 2005 149.59 29,00 27.58
2006 216.59 34.64 33.44 2007 250,34 34,62 32,79
2008 266,78 34,14 31,21
Sumber: Nota Keuangan RI berbagai tahun
Dari tabel diatas terlihat nilai dana perimbangan yang diberikan kepada pemerintah daerah secara nominal semakin meningkat dari tahun ketahun. Nilai
proporsi terhadap pendapatan negara dalam APBN terlihat melonjak pada saat diterapkannya kebijakan desentralisasi fiskal pada tahun 2001, dari sebelumnya
pada kisaran 16 menjadi 27 dan pada tahun-tahun berikutnya rata-rata diatas 30 kecuali pada tahun 2005 yang 29.
Tabel 4.3
Komposisi PAD dan dana perimbangan terhadap total pendapatan sebelum dan di era desentralisasi
Sblm Desentralisasi Era Desentralisasi
1994 – 2000 2001-2008
No Provinsi PAD
D Perimbangan PAD D Perimbangan
1 NAD 0,10 0,86 0,05 0,75
2 Sumatera Utara
0,18 0,77 0,17 0,74 3 Sumatera
Barat 0,14 0,81 0,13 0,81
4 Riau 0,18 0,74 0,12 0,79
5 Jambi 0,11 0,84 0,13 0,80
6 Sumatra Selatan
0,13 0,81 0,12 0,81 7 Bengkulu
0,09 0,87 0,10 0,85 8 Lampung
0,12 0,85 0,11 0,82 9 DKI
Jakarta 0,55 0,31 0,51 0,43
10 Jawa Barat
0,30 0,86 0,26 0,66 11 Jawa
Tengah 0,21 0,74 0,18 0,73
12 Yogyakarta 0,20 0,75 0,19 0,70
13 Jawa Timur
0,24 0,71 0,20 0,70 14 Kalimantan
Barat 0,10 0,80 0,10 0,84
15 Kalimantan Tengah
0,05 0,90 0,08 0,86 16 Kalimantan
Selatan 0,12 0,83 0,15 0,78
17 Kalimantan Timur
0,13 0,79 0,09 0,82 18 Sulawesi
Utara 0,11 0,88 0,09 0,83
19 Sulawesi Tengah
0,08 0,89 0,07 0,88 20 Sulawesi
Selatan 0,13 0,81 0,12 0,81
21 Sulawesi Tenggara
0,07 0,90 0,08 0,87 22 Bali
0,36 0,54 0,28 0,61 23 Nusa Tenggara Barat
0,12 0,85 0,10 0,84 24 Nusa Tenggara Timur
0,07 0,90 0,07 0,88 25 Maluku
0,07 0,89 0,05 0,88 26 Papua
0,05 0,91 0,03 0,78
Sumber: Departemen Keuangan diolah
Salah satu harapan yang muncul ketika otonomi mulai digulirkan adalah daerah menjadi semakin mandiri di dalam pelaksanaan pemerintahan maupun
pembangunan daerahnya masing-masing melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Sesuai asas money follows function, penyerahan kewenangan
daerah juga dibarengi dengan penyerahan sumber-sumber pembiayaan yang
sebelumnya masih dipegang oleh Pemerintah Pusat di era orde baru. Dengan demikian Daerah menjadi mampu untuk melaksanakan segala urusannya sendiri
sebab sumber-sumber pembiayaan juga sudah diserahkan. Jika mekanisme tersebut sudah terwujud maka cita-cita kemandirian Daerah dapat direalisasikan.
Sumber-sumber pembiayaan yang diserahkan kepada daerah itu nantinya akan dimanifestasikan lewat struktur PAD yang kuat. PAD inilah sumber
pembiayaan yang memang benar-benar digali dari Daerah itu sendiri sehingga dapat mencerminkan kondisi riil Daerah. Jika nantinya struktur PAD sudah kuat,
boleh dikatakan Daerah tersebut memiliki kemampuan pembiayaan yang juga kuat. Sementara DAU dan berbagai bentuk transfer dari Pemerintah Pusat
seyogyanya hanya bersifat pendukung bagi pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di daerah.
Namun tujuan mulia tersebut tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Justru yang terjadi dewasa ini adalah sebaliknya yaitu
daerah makin bergantung terhadap alokasi transfer dari Pemerintah Pusat terutama DAU.
Komposisi PAD terhadap total pendapatan masing-masing daerah disebagian besar provinsi masih terlihat sangat rendah. Hanya provinsi DKI
Jakarta yang secara rata-rata mampu menciptakan PAD-nya lebih dari 50 dari total pendapatannya, meskipun pada era desentralisasi proporsinya terlihat
menurun. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemandirian daerah untuk melaksanakan sendiri pemerintahannya masih sangat terbatas.
Menarik untuk dicermati, bahwa komposisi PAD terhadap total pendapatan masing-masing daerah juga terlihat semakin mengecil di era
desentralisasi jika dibanding dengan sebelum desentralisasi. Dari angka tersebut dapat kita simpulkan bahwa di era otonomi daerah justru bukan kemandirian
daerah yang terwujud, melainkan ketergantungan daerah yang makin besar kepada Pemerintah Pusat .
Dari Tabel 4.4 terlihat bahwa pengeluaran pemerintah baik sebelum dan pada saat desentralisasi lebih banyak digunakan untuk membiayai pengeluaran
rutin dibanding untuk pengeluaran pembangunan, kecuali provinsi Kalimantan Timur dan Maluku pada saat sebelum desentralisasi. Pengeluaran rutin ini terdiri
dari belanja pegawai, pembayaran hutang dan bunga, bantuansubsidi Keuangan untuk Pemerintah di Tingkat yang lebih rendah, belanja barang dan jasa rutin,
belanja operasi dan pemeliharaan rutin, belanja perjalanan dinas, serta untuk pengeluaran tidak tersangka.
Tabel 4.4
Proporsi pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan sebelum dan di era desentralisasi
Sblm Desentralisasi 1994 – 2000
Era Desentralisasi 2001-2008
No Provinsi Rutin Pembangunan
Rutin Pembangunan
1 NAD
0,51 0,49 0,66 0,34 2 Sumatera Utara
0,65 0,35
0,71 0,29
3 Sumatera Barat 0,62
0,38 0,74
0,26 4
Riau 0,54 0,46 0,56 0,44
5 Jambi
0,56 0,44 0,65 0,35 6 Sumatra Selatan
0,62 0,38
0,62 0,38
7 Bengkulu
0,56 0,44 0,67 0,33 8
Lampung 0,63 0,37 0,76 0,24
9 DKI
Jakarta 0,67 0,33 0,68 0,32
10 Jawa
Barat 0,64 0,36 0,78 0,22
11 Jawa Tengah 0,72
0,28 0,80
0,20 12
Yogyakarta 0,71 0,29 0,81 0,19
13 Jawa
Timur 0,66 0,34 0,74 0,26
14 Kalimantan Barat 0,63
0,37 0,69
0,31 15 Kalimantan Tengah
0,51 0,49
0,56 0,44
16 Kalimantan Selatan 0,60
0,40 0,69
0,31 17 Kalimantan Timur
0,46 0,54
0,51 0,49
18 Sulawesi Utara 0,66
0,34 0,74
0,26 19 Sulawesi Tengah
0,52 0,48
0,67 0,33
20 Sulawesi Selatan 0,62
0,38 0,70
0,30 21 Sulawesi Tenggara
0,58 0,42
0,70 0,30
22 Bali
0,58 0,42 0,79 0,21 23 Nusa Tenggara Barat
0,60 0,40
0,75 0,25
24 Nusa Tenggara Timur 0,58
0,42 0,71
0,29 25
Maluku 0,47 0,53 0,65 0,35
26 Papua
0,58 0,42 0,62 0,38 Sumber: Departemen Keuangan diolah
Beban pengeluaran rutin yang semakin besar justru terjadi pada era desentralisasi. Hal ini menyebabkan pemerintah akan semakin kurang leluasa
untuk menstimulus perekonomian. Sebagaimana diketahui, pengeluaran pembangunan lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi
dibanding pengeluaran rutin karena bentuknya yang langsung berkaitan
dengan penyediaan sarana dan prasarana untuk mendukung kinerja perekonomian.
Proporsi pengeluaran rutin terbesar diera desentralisasi dialami oleh provinsi Yogyakarta yang rata-rata mencapai 81, hal ini meningkat
dibanding dengan periode sebelum desentralisasi yang rata-rata sudah mencapai 71. Sementara proporsi pengeluaran rutin terendah terjadi di
Provinsi Kalimanan Timur dengan rata-rata proporsinya sebesar 51, padahal di era sebelum disentralisasi pengeluaran pembangunan masih cukup
mendominasi dengan rata-rata proporsinya mencapai 54.
4.3 Tinjauan Perekonomian Indonesia