tahun 2008 PDB per kapita riil tumbuh sebesar 4,47 dibandingkan dengan tahun sebelumnya, lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan tahun sebelumnya
yang mencapai 4,91.
4.4 Tinjauan Kemiskinan di Indonesia
Penghitungan garis kemiskinan oleh BPS, dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan menurut provinsi. Setiap tahun besarnya garis
kemiskinan berubah disesuaikan dengan perkembangan harga paket komoditi yang menjadi acuan dalam penentuan garis kemiskinan. Sejak tahun 1998 jumlah
komoditi dasar makanan yang menjadi acuan ada sejumlah 52 jenis komoditi padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-
kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi
di perdesaan. Garis kemiskinan yang ditetapkan BPS pada tahun 2002, 2005 dan 2008 dapat dilihat pada Tabel 4.6.
Sedangkan perkembangan garis kemiskinan yang digunakan pada tingkat provinsi dapat dilihat pada Lampiran 5.
Indikator kemiskinan yang paling menarik perhatian adalah jumlah dan persentase penduduk miskin. Jumlah dan persentase penduduk miskin, selama
periode tahun 1976-1996 mengalami penurunan, yaitu dari 54,2 juta jiwa 40,08 penduduk miskin pada tahun 1976, turun menjadi 22,5 juta jiwa
11,34 pada tahun 1996.
Tabel 4.6. Perkembangan garis kemiskinan menurut daerah, 2002-2008
Garis Kemiskinan Rp Daerah
2002 2005 2008 Perkotaan 130.499 165.565 204.896
Perdesaan 96.512 117.365 161.831 Total 108.889 138.574 182.636
Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan, BPS
Jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 1996-2009 berfluktuasi dari tahun ke tahun Gambar 4.2. Pada periode 1996-1999 jumlah
penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta karena krisis ekonomi, yaitu dari 34,01 juta pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta pada tahun 1999. Pada periode
2000-2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 38,70 juta pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta pada tahun 2005. Namun pada tahun 2006, terjadi
kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis menjadi 39,30 juta pada tahun 2006.
Peningkatan jumlah dan persentase penduduk miskin selama tahun 2005- 2006 terjadi karena harga barang-barang kebutuhan pokok selama periode tersebut
naik tinggi, yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95. Kenaikan inflasi ini dipicu adanya kenaikan harga bahan bakar minyak yang ditetapkan oleh
pemerintah pada bulan oktober 2005 yang rata-rata mencapai 126. Kenaikan ini dilakukan untuk mengurangi beban subsidi bahan bakar minyak akibat
meningkatnya harga minyak mentah dunia. Akibatnya penduduk yang tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada disekitar garis kemiskinan banyak
yang bergeser posisinya menjadi miskin.
5 10
15 20
25 30
35 40
45
1976 19
80 1984
1990 199
6 1999
2001 20
03 2005
2007 20
09 Tahun
P e
rs ent
as e pendudu
k mi
s k
in kota
desa total
Sumber: BPS, Statistik Indonesia dan Susenas 1976-2009
Gambar 4.2
Perkembangan persentase penduduk miskin perkotaan, perdesaan dan total Indonesia periode 1976-2009
Jumlah dan persentase penduduk miskin pada tahun 2007 menurun sebanyak hampir 2 juta jiwa dibanding tahun sebelumnya menjadi 37,17 juta atau
sebesar 16,26. Trend penurunan jumlah penduduk miskin terus terjadi pada
tahun 2008. Jumlah penduduk miskin pada tahun ini berkisar 34,96 juta atau sebesar 15,11 dari jumlah penduduk. Trend penurunan semenjak dari tahun
2007 tersebut sebagian lebih disebabkan karena adanya program transfer dari pemerintah berupa program Bantuan Langsung Tunai BLT yang dibagi ke
masyarakat miskin. Persentase penduduk miskin di perkotaan dan perdesaan selama periode
tahun 1976-1993 komposisinya relatif sama dan memiliki tren yang terus menurun. Namun mulai tahun 1996 sampai sekarang terjadi gap antara persentase
penduduk miskin di perdesaan dan perkotaan. Perubahan tren ini juga disebabkan oleh perubahan penghitungan garis kemiskinan yang dilakukan BPS. Pada periode
sebelum tahun 1998 penentuan garis kemiskinan non makanan terdiri dari 14 komoditi di perkotaan dan 12 komoditi di perdesaan. Sejak tahun 1998
disesuaikan menjadi 27 sub kelompok 51 jenis komoditi di perkotaan dan 25 sub kelompok 47 jenis komoditi di perdesaan.
Jumlah dan persentase penduduk miskin di pedesaaan rata-rata hampir 2 kali penduduk miskin di perkotaan. Persentase penduduk miskin di pedesaaan
berfluktuasi dengan nilai tertinggi sebesar 26,03 pada tahun 1999 dan terendah pada tahun 2009 sebesar 17,35. Sedangkan persentase penduduk miskin di
perkotaan yang tertinggi terjadi pada tahun 1998 sebesar 21,92 dan pada tahun 2009 turun menjadi 10,72.
10 20
30 40
50 60
70 80
1996 1999
2002 Tahun
K o
nt ri
bu s
i p a
da k
e m
is k
ina n
Pertanian Industri
Jasa
Sumber: SMERU, 2006
Gambar 4.3 Kontribusi sektoral pada total kemiskinan Indonesia periode 1996-2002.
Kemiskinan secara sektoral yang terjadi di Indonesia menunjukkan adanya fenomena bias sektoral dalam kebijakan pembangunan ekonomi. Menurut
Suryahadi et al 2006 dari seluruh penduduk miskin yang tercatat pada tahun 1996-2002, sektor yang paling banyak kontribusinya dalam kemiskinan adalah
sektor pertanian, kemudian diikuti sektor jasa dan industri. Kontribusi sektor pertanian pada tahun 1996 sebesar 68,6, pada saat krisis ekonomi tahun 1999
kontribusinya justru menurun menjadi 58,1 dan meningkat lagi pada tahun 2002 menjadi 68,2. Sebaliknya kontribusi sektor industri dan jasa meningkat pada
saat krisis kemudian menurun kembali setelah keadaan stabil Gambar 4.3. Besarnya penduduk miskin di sektor pertanian disebabkan besarnya tenaga
kerja yang bekerja pada sektor ini, dan semakin menurunnya nilai tukar petani. Rendahnya nilai tukar petani menyebabkan hasil produk pertanian tidak lagi
memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup bila digunakan untuk membeli hasil produk industri dan jasa. Apalagi petani dengan lahan kurang dari ¼ Ha, buruh
tani dan nelayan di perdesaan jumlahnya relatif besar. Untuk itu perlu dilakukan pengembangan yang lebih intensif di sektor
pertanian dan peningkatan nilai tukar petani agar kesejahteraannya meningkat. Kimenyi 2002, menemukan bahwa di negara-negara berkembang pertumbuhan
sektor pertanian telah memberikan kontribusi yang besar untuk pengentasan kemiskinan, khususnya di negara-negara yang sebagian besar adalah tenaga
kerjanya yang terlibat dalam sektor pertanian. Dia menjelaskan pertumbuhan di sektor pertanian mampu mendorong
penurunan kemiskinan yang besar melalui dua jalur. Pertama, melalui hubungan antara produksi pertanian dan industri. Pertanian menyediakan input ke industri
serta sektor lainnya yang menggunakan output dari industri. Jadi, pertumbuhan di sektor pertanian akan menciptakan lebih banyak pekerjaan dan pendapatan yang
lebih baik dalam sektor pertanian itu sendiri maupun di sektor lain. Kedua, melalui saluran keterkaitan konsumsi, dimana peningkatan pendapatan rumah
tangga pertanian akan meningkatkan permintaan untuk produk sektor non pertanian dan sektor jasa, yang mengakibatkan pertumbuhan pada sektor-sektor
tersebut.
Tabel 4.7 Rata-rata tingkat kemiskinan menurut provinsi sebelum dan di era desentralisasi
Rata-rata tingkat kemiskinan No Provinsi
Sebelum desentralisasi
Di era desentralisasi
1 NAD 14,01
26,80 2 Sumatera Utara
13,14 14,02
3 Sumatera Barat 11,56
11,41 4 Riau
9,35 11,52
5 Jambi 17,14
12,36 6 Sumatra Selatan
15,91 19,39
7 Bengkulu 13,76
21,91 8 Lampung
19,39 22,52
9 DKI Jakarta 4,05
3,67 10 Jawa Barat
13,43 13,62
11 Jawa Tengah 19,07
21,04 12 Yogyakarta
17,83 19,42
13 Jawa Timur 18,63
20,13 14 Kalimantan Barat
23,97 14,67
15 Kalimantan Tengah 13,28
10,82 16 Kalimantan Selatan
15,04 7,89
17 Kalimantan Timur 14,40
11,10 18 Sulawesi Utara
13,04 17,74
19 Sulawesi Tengah 16,13
22,62 20 Sulawesi Selatan
12,01 15,40
21 Sulawesi Tenggara 16,33
22,46 22 Bali
6,21 6,83
23 Nusa Tenggara Barat 23,01
26,31 24 Nusa Tenggara Timur
30,45 27,75
25 Maluku 33,68
24,14 26 Papua
33,47 38,34
Indonesia 16,07
17,19
Sumber: Badan Pusat Statistik diolah
Secara umum, rata-rata tingkat kemiskinan di berbagai povinsi di Indonesia justru meningkat di era desentralisasi jika dibanding sebelum
desentralisasi. Dari tabel 4.7 tersebut terlihat bahwa ketimpangan antar provinsi masih cukup tinggi. Hanya ada dua provinsi yang rata-rata tingkat kemiskinan
bertahan di bawah 7 baik sebelum dan di era desentralisasi yaitu provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Bali.
Dengan diimplementasikannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang telah diperbarui dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan daerah, dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999 yang juga telah
diubah menjadi Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah menandai era baru sistem pemerintahan di
Indonesia dari sistem sentralistik menjadi sistem desentralisasi. Peran daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri semakin besar,
penyelenggaraan pembangunan daerah dapat sejalan dengan aspirasi dan kebutuhan daerahnya. Sehingga dalam pelaksanaan pembangunan diharapkan
sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan keadilan, potensi dan keanekaragaman daerah dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dengan adanya otonomi daerah yang sudah dilaksanakan secara penuh
pada tahun 2002, pemerintah daerah juga lebih responsif terhadap isu kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan yang terjadi dalam masyarakatnya. Kebijakan-
kebijakan yang diambil diharapkan lebih responsif terhadap kebutuhan penduduk miskin. Otonomi daerah diharapkan menjadi sarana untuk pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat yang semakin baik Halim, 2001. Program-program penanggulangan kemiskinan yang telah dilaksanakan
pemerintah secara garis besar dibagi dalam tiga jenis yaitu: pertama, program penyelamatan rescue seperti Jaring Pengaman Sosial bidang kesehatan,
pendidikan dan sosial, Bantuan Tunai Langsung BLT serta program reorientasi subsidi BBM. Kedua, program penciptaan lapangan kerja seperti program padat
karya, proyek penanggulangan tenaga kerja terampil dan program transmigrasi. Ketiga
, program pemberdayaan masyarakat miskin dalam wujud PNPM Mandiri, kredit usaha rakyat, Takesra-Kukesra dan Proyek Peningkatan Kemandirian
Ekonomi Rakyat Sumedi dan Supadi, 2004. Semua program-program tersebut pada akhirnya bertujuan untuk alokasi distribusi pendapatan yang lebih merata
dan pengurangan kemiskinan, baik secara langsung dengan obyeknya adalah penduduk miskin, maupun secara tidak langsung melalui program pembangunan
infrastruktur fisik dan sosial. Efektifitas pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan di
atas, di samping dikarenakan pengelolaan program yang efisien juga harus didukung alokasi anggaran yang memadai dari pemerintah. Besarnya anggaran
yang dialokasikan harus disesuaikan dengan jumlah sasaran penduduk miskin
yang akan dientaskan. Besarnya perhatian dan prioritas pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan dapat juga dilihat dari besarnya alokasi anggaran
yang digunakan. Dengan demikian besarnya pengeluaran pemerintah diduga memiliki peranan yang besar dalam pengentasan kemiskinan. Menurut Iradian
2005 pengurangan kemiskinan di berbagai negara disamping dipengaruhi oleh pertumbuhan PDB riil per kapita, perubahan ketidakmerataan dan tingkat
ketidakmerataan awal juga dipengaruhi besarnya pengeluaran pemerintah. Besarnya pengeluaran pemerintah memiliki hubungan negatif yang sangat
signifikan dengan jumlah penduduk miskin, peningkatan pengeluaran pemerintah akan mampu mengurangi jumlah penduduk miskin.
4.5 Tinjauan Ketenagakerjaan di Indonesia Perkembangan ketenagakerjaan di Indonesia jika dibandingkan antara
sebelum dan diera desentralisasi terlihat kondisi yang berbeda. Tingkat kesempatan kerja TKK pada kondisi sebelum desentralisasi tercatat lebih baik
dengan rata-rata mencapai 94,80. Sementara pada era desentralisasi justru tingkat kesempatan kerja tercatat hanya 90,65. Hal ini juga mengakibatkan rata-
rata Tingkat Pengangguran Terbuka TPT pada kondisi sebelum desentralisasi tercatat lebih kecil yaitu sebesar 5,20 dibanding dengan kondisi pada era
desentralisasi yang mencapai 9,35. Ditingkat provinsi, rata-rata tingkat kesempatan kerja tertinggi pada
periode sebelum desentralisasi terdapat di propinsi NTT yang tercatat sebesar 97,71. Sehingga tingkat pengangguran terbuka di provinsi Bali pada periode ini
merupakan yang terendah yaitu sebesar 2,29 dibanding dengan provinsi- provinsi lainnya. Begitu juga pada periode desentralisasi propinsi Nusa Tenggara
Timur NTT tercatat rata-rata tingkat kesempatan kerjanya mencapai 95,79 dan merupakan yang tertinggi dibanding provinsi lainnya. Hal ini juga menyebabkan
tingkat pengangguran terbuka pada provinsi NTT pada periode desentralisasi merupakan yang terendah yaitu sebesar 4,21.
Sementara itu, rata-rata tingkat kesempatan kerja terendah pada periode pra desentralisasi dan pada saat desentralisasi adalah provinsi DKI Jakarta yang
tercatat sebesar 88,83 dan menurun menjadi 86,26 ketika desentralisasi. Ini juga menyebabkan rata-rata tingkat pengangguran terbuka menjadi yang tertinggi
dibanding provinsi lainnya, yaitu tercatat 11,17 pada periode sebelum desentralisasi dan meningkat menjadi rata-rata 13,74 pada periode
desentralisasi.
Tabel.4.8 Rata-rata perkembangan ketenagakerjaan per provinsi di Indonesia sebelum dan di era desentralisasi
TPT TKK Sebelum
desentralisasi Era
desentralisasi Sebelum
desentralisasi Era
desentralisasi Provinsi
1994 - 2000 2001-2008
1994 - 2000 2001-2008
INDONESIA 5,20
9,35 94,80
90,65 NAD
5,95 9,71
94,05 90,29
SUMUT 6,48
10,40 93,52
89,60 SUMBAR
4,97 10,40
95,03 89,60
RIAU 6,02
10,55 93,98
89,45 JAMBI
3,38 6,31
96,62 93,69
SUMSEL 4,11
8,24 95,89
91,76 BENGKULU
3,05 6,00
96,95 94,00
LAMPUNG 4,13
7,74 95,87
92,26 DKI JAKARTA
11,17 13,74
88,83 86,26
JABAR 7,43
13,51 92,57
86,49 JATENG
4,14 7,39
95,86 92,61
DI YOGYAKARTA 3,83
5,64 96,17
94,36 JATIM
3,83 7,41
96,17 92,59
KALBAR 3,18
7,11 96,82
92,89 KALTENG
3,82 5,87
96,18 94,13
KALSEL 3,25
7,21 96,75
92,79 KALTIM
8,20 10,54
91,80 89,46
SULUT 8,02
11,14 91,98
88,86 SULTENG
4,66 7,32
95,34 92,68
SULSEL 5,49
12,57 94,51
87,43 SULTRA
3,25 8,28
96,75 91,72
BALI 2,68
4,32 97,32
95,68 NTB
2,39 7,13
97,61 92,87
NTT 2,29
4,21 97,71
95,79 MALUKU
5,10 10,22
94,90 89,78
PAPUA 3,87
6,43 96,13
93,57 Sumber: BPS – diolah
- 20.00
40.00 60.00
80.00 100.00
120.00
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Pengangguran
Bekerja
Sumber: BPS – diolah
Gambar 4.4 Jumlah angkatan kerja yang bekerja dan yang menganggur di Indonesia tahun 1993-2008
Namun secara umum, seiring dengan meningkatnya populasi, jumlah angkatan kerja yang bekerja dan yang menganggur dari tahun ketahun sama-sama
menunjukkan trend yang selalu meningkat Gambar 4.4. Hal ini juga menunjukkan bahwa lapangan kerja baru terus tercipta dari tahun ke tahun
meskipun tidak seimbang dengan peningkatan tenaga kerja yang terlihat dari trend pengangguran yang juga semakin meningkat. Gambaran secara lebih detil dapat
dilihat pada Gambar 4.5 dan Gambar 4.6.
Tingkat Pengangguran Terbuka
2 4
6 8
10 12
14
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Tahun P
e rsen
INDONESIA SUMATERA
JAWA KALIMANTAN
SULAWESI LAINNYA
Sumber: BPS diolah
Gambar 4.5
Tingkat pengangguran terbuka beberapa kawasan di Indonesia dari tahun 1993-2008
Dilihat dari trend-nya tingkat kesempatan kerja dari tahun-ketahun hingga tahun 2003 semakin menurun, sehingga secara langsung berimbas terhadap
tingkat pengangguran terbuka yang semakin menunjukkan trend yang meningkat. Namun mulai 2003 ke atas, trend tingkat kesempatan kerja terlihat mulai
meningkat walaupun belum mampu menyamai keadaan sebelum krisis 1997.
Tingkat Kesempatan Kerja
80.00 82.00
84.00 86.00
88.00 90.00
92.00 94.00
96.00 98.00
100.00
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Tahun Pe
rs e
n
INDONESIA SUMATERA
JAWA KALIMANTAN
SULAWESI LAINNYA
Sumber: BPS diolah
Gambar 4.6 Tingkat kesempatan kerja beberapa kawasan di Indonesia dari tahun 1993-2008
Dalam 3 tahun terakhir 2006-2008 kondisi ketenagakerjaan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang semakin membaik. Peningkatan jumlah
kesempatan kerja yang tercipta turut mendukung kondisi tersebut. Hal ini ditandai dengan peningkatan yang cukup signifikan pada kelompok penduduk yang
termasuk kategori angkatan kerja. Menurut data Sakernas kondisi Agustus 2008, jumlah angkatan kerja mencapai 117,4 juta orang yang berarti naik 6,74
dibandingkan jumlah angkatan kerja Agustus 2007 sebesar 109,9 juta orang. Sementara jika dibandingkan keadaan Agustus 2006, jumlah angkatan kerja
Agustus 2007 bertambah sekitar 3,6 juta orang atau mengalami kenaikan sebesar 3,34.
Hal ini juga terlihat pada Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja TPAK yang menunjukkan peningkatan dari 66,2 pada tahun 2006 hingga menjadi
67,2 pada tahun 2008. Seiring dengan peningkatan TPAK, penduduk yang bekerja pada keadaan Agustus 2008 bertambah sebanyak 2,6 juta orang orang.
Sementara keadaan Agustus 2007 bertambah sebanyak 4,5 juta orang
dibandingkan keadaan Agustus 2006. Sehingga dalam kurun waktu yang sama, Tingkat Kesempatan Kerja TKK meningkat dari 89,7 menjadi 91,6. Di satu
sisi, kesempatan kerja baru yang tercipta juga turut andil dalam menurunkan tingkat pengangguran terbuka TPT, yang berkurang dari 10,3 menjadi 8,4
pada tahun 2000.
Tabel 4.9 TPAK, TKK dan TPT menurut provinsi di Indonesia tahun 2005-2008
TPAK TKK TPT Provinsi
2005 2006 2007 2008 2005 2006 2007 2008 2005 2006 2007 2008
NAD
62,40 66,01 62,12 60,32 86,00 89,57 90,16 90,44 14,00 10,43 9,84 9,56
Sumut
68,00 66,90 67,49 68,33 88,10 88,49 89,90 90,90 1 1,90 1
1,51 10,10 9,10
Sumbar
63,61 64,90 65,31 63,98 86,66 88,13 89,69 91,96 13,34 1 1,87 10,31 8,04
Riau
59,53 59,64 6256 6283 87,27 89,76 9021 91,80 12,73 10,24 9,79 8,20
Jambi
68,69 64,26 65,18 65,95 89,26 93,38 93,78 94,86 10,74 6,62 6,22 5,14
Sumsel
70,96 69,64 69,03 69,79 87,18 90,67 90,66 91,92 12,82 9,33 9,34 8,06
Bengkulu
71,30 71,30 69,37 69,88 91,09 93,96 95,32 95,10 8,91 6,04 4,68 4,90
Lampung
68,59 67,47 69,60 68,00 91,53 90,87 92,42 92,85 8,47 9,13 7,58 7,15
Babel
62,73 62,49 66,28 64,28 92,81 91,01 93,51 94,01 7,19 8,99 6,49 5,99
Kepri
64,97 64,20 63,07 66,09 89,95 87,76 90,99 91,99 10,05 12,24 9,01 8,01
DKI
63,23 64,92 64,95 68,68 84,23 88,60 87,43 87,84 15,77 11,4 12,57 12,16
Jabar
61,49 61,41 6250 63,09 84,47 85,41 86,92 87,92 15,53 14,59 13,06 12,06
Jateng
70,87 68,60 70,16 68,37 90,46 91,98 92,30 92,65 9,54 8,02 7,70 7,35
DIY
69,83 69,20 68,56 70,51 9241 93,69 93,90 94,62 7,59 6,31 6,10 5,38
Jatim
68,77 67,36 68,99 69,31 91,49 91,81 93,21 93,58 8,51 8,19 6,79 6,42
Banten
61,86 62,43 61,57 64,80 83,41 81,09 84,25 84,82 16,59 18,91 15,75 15,18
Bali
77,92 76,33 77,38 77,86 94,68 93,96 96,23 96,69 5,32 6,04 3,77 3,31
NTB
67,81 70,33 68,96 67,69 89,71 91,10 93,52 93,87 10,29 8,9 6,48 6,13
NTT
75,79 74,36 74,28 71,16 95,18 96,35 96,28 96,27 4,82 3,65 3,72 3,73
Kalbar
70,75 73,71 7247 73,66 91,87 91,47 93,53 94,59 8,13 8,53 6,47 5,41
Kalteng
69,13 72,37 71,33 71,24 95,09 93,32 94,89 95,41 4,91 6,68 5,11 4,59
Kalsel
69,52 70,43 73,15 71,35 9266 91,13 92,38 93,82 7,34 8,87 7,62 6,18
Kaltim
62,36 67,27 61,76 64,31 88,83 86,57 87,93 88,89 11, 17 13,43 12,07 11,
11
Sulut
60,19 59,20 61,97 61,16 85,95 85,38 87,65 89,35 14,05 14,62 12,35 10,65
Sulteng
67,51 69,17 69,43 69,76 92,29 89,69 91,61 94,55 7,71 10,31 8,39 5,45
Sulsel
61,58 59,06 61,07 62,02 84,07 87,24 88,75 90,96 15,93 12,76 11,25 9,04
Sultra
69,84 66,61 67,44 70,64 89,07 90,33 93,60 94,27 10,93 9,67 6,40 5,73
Gorontalo
62,27 63,68 61,84 62,40 85,96 9238 92,84 94,35 14,04 7,62 7,16 5,65
Sulbar
- 61,00 65,22 67,37 - 93,55 94,55 95,43
- 6,45 5,45 4,57
M aluku
58,65 60,95 63,01 62,82 84,99 86,28 87,80 89,33 15,01 13,72 12,2 10,67
M alut
71,15 72,41 67,24 65,94 86,91 93,10 93,95 93,52 13,09 6,90 6,05 6,48
IJB
- 71,67 66,52 68,15 - 89,83 90,54 92,35
- 10,17 9,46 7,65
Papua
78,39 71,37 76,54 76,70 9269 94,17 94,99 95,61 7,31 5,83 5,01 4,39
Sumber: Badan Pusat Statistik Keterangan: TPAK : Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
TKK : Tingkat Kesempatan Kerja
TPT : Tingkat Pengangguran Terbuka
Jika dilihat menurut daerah tempat tinggal, umumnya TPAK di daerah perdesaan lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan. Pada tahun 2008 kondisi
Agustus, TPAK di pedesaan mencapai 69,3, sedangkan di daerah perkotaan hanya 64,5. Tingkat pengangguran lebih banyak terjadi di daerah perkotaan
dibanding daerah pedesaan. Pada tahun 2008 kondisi Agustus TPT di perkotaan mencapai 10,9, sementara di pedesaan hanya 6,5. Perekonomian
penduduk pedesaan yang masih cenderung ke arah agraris dan mayoritas penduduknya berada pada strata sosial ekonomi terbawah, memaksa mereka
melakukan pekerjaan apa saja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga TPTnya kecil dibandingkan daerah perkotaan.
Secara absolut, selama tahun 2006-2008 peningkatan jumlah angkatan kerja perempuan jauh lebih besar dibandingkan dengan peningkatan jumlah
angkatan kerja laki- laki meskipun TPAK perempuan lebih rendah dibandingkan TPAK laki-laki. Jumlah angkatan kerja perempuan pada tahun 2006 mencapai
38,6juta orang dan meningkat hingga 42,8 juts orang pada tahun 2008. Sementara angkatan kerja laki-laki meningkat dari 67,7 juta orang menjadi 69,1 juta orang
dalam waktu yang sama. Angkatan kerja perempuan pada umumnya bekerja di sektor yang banyak menampung tenaga kerja perempuan seperti perdagangan,
pertanian dan industri. Sebagaimana angkatan kerja, peningkatan jumlah penduduk yang bekerja juga didominasi oleh perempuan. Disamping semakin
terbukanya kesempatan bekerja pada kaum perempuan, tingginya peningkatan penduduk perempuan yang bekerja disebabkan karena dorongan ekonomi untuk
menambah penghasilan keluarga. TPT perempuan 9,7 pada tahun 2008 masih lebih tinggi dibandingkan
TPT laki-laki 7,6. Namun jika dilihat perkembangannya, dibandingkan tahun 2007 TPT perempuan mengalami penurunan yang lebih besar dibandingkan
penurunan TPT laki-laki. TPT laki-laki hanya turun 0,5, sedangkan TPT perempuan turun sekitar 1,1.
Jika dilihat menurut provinsi, TPAK di seluruh provinsi pada tahun 2008 sudah mencapai lebih dari 60 Tabel 4.9. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
memiliki TPAK terkecil sebesar 60,32 dan TPT masih di atas angka nasional sebesar 9,56. TPAK terbesar dimiliki oleh Provinsi Bali sebesar 77,86,
sekaligus merupakan provinsi dengan TPT terkecil, sekitar 3,31. Membaiknya kondisi pariwisata yang ditandai dengan meningkatnya jumlah kunjungan
wisatawan mancanegara dan domestik ke Bali turut mendorong pertumbuhan lapangan kerja, mengingat sektor pariwisata perdagangan, hotel, dan restoran
merupakan sektor andalan di provinsi tersebut. Kondisi ketenagakerjaan di Bali sudah mulai membaik sejak tahun 2007, TPAK meningkat sementara TPT turun
dari 6,04 menjadi 3,77. Sementara provinsi yang memilki TPT lebih dari 10 pada tahun 2008 adalah Banten yang merupakan provinsi dengan TPT
terbesar 15,18, kemudian DKI Jakarta, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan Maluku.
Halaman ini sengaja dikosongkan
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Analisis Kinerja Keuangan Daerah
Untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah. Menurut Musgrave
dan Musgrave 1991 dalam mengukur kinerja keuangan daerah dapat digunakan derajat desentralisai fiskal dan kemandirian daerah.
D a
ta
ssdh Sblm
2008 2007
2006 2005
2004 2003
2002 2001
2000 1999
1998 1997
1996 1995
1994
70 60
50 40
30 20
10
9 9
9 9
10 9
9 9
22 9
9 9
9 9
22 9
22 10
9
22 9
22 9
9
Derajat Desentralisasi Fiskal
Ket. 9: DKI Jakarta, 10: Jabar, 22: Bali Data dalam persen
Gambar 5.1 Derajat desentralisasi fiskal provinsi-provinsi di Indonesia tahun 1994 -2008.
Gambaran derajar desentralisasi fiskal disajikan dalam grafik boxplot. Boxplot merupakan grafik untuk meringkas bentuk, penyebaran dan ukuran
kecenderungan pusat yang dimiliki data. Boxplot berguna pula untuk mengidentifikasi adanya outlier dan untuk mengukur kemiringan data.
Pendapatan Asli Daerah PAD sebagai salah satu sumber penerimaan daerah yang diperoleh dari potensi wilayah sendiri dapat menggambarkan
seberapa besar daerah mampu menggali potensi yang dimiliki. Dari Gambar 5.1