Gambar 2 Surplus konsumen Sumber: Samuelson
dan Nordhaus
1990. Menurut Sosrodarsono dan Takeda
1979 neraca air merupakan penjelasan tentang hubungan keseimbangan antara aliran
yang masuk inflow dan aliran yang keluar outflow dari air di suatu hamparan lahan
pada periode tertentu. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Hillel 1972, dimana neraca
air lahan merupakan rincian perubahan simpanan air yang terdapat pada suatu
lingkungan tertentu selama periode tertentu. Neraca air lahan dapat digunakan untuk
menentukan kebutuhan air suatu tanaman. Metode yang lebih spesifik yang digunakan
dalam menentukan kebutuhan air suatu tanaman adalah dengan neraca air agroklimat.
Secara spesifik, Doorenbos dan Pruitt 1976 menjelaskan kebutuhan air merupakan
jumlah atau tinggi air yang dibutuhkan untuk mengimbangi
kehilangan air
melalui evapotranspirasi tanaman sehat, tumbuh di
lahan yang luas pada kondisi air tanah dan kesuburan tanah tidak dalam keadaan terbatas
serta dapat mencapai produksi potensial pada lingkungan
pertumbuhannya. Dengan
mengabaikan jumlah air yang digunakan dalam
kegiatan metabolisme
maka evapotranspirasi dapat disamakan dengan
kebutuhan air tanaman. Oleh karena itu, Sasrodarsono dan Takeda 1978 menyatakan
bahwa kebutuhan
air disebut
juga evapotranspirasi.
Ketersediaan air tanah Total Available Water
, TAW merupakan jumlah air yang tersedia diantara kapasitas lapang dan titik
layu permanen dari jenis tanah tersebut. Kapasitas lapang adalah keadaan tanah yang
cukup lembab
yang menunjukkan
air terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah
terhadap gaya tarik gravitasi. Titik layu permanen adalah kondisi dimana akar
tanaman tidak mampu lagi menyerap air tanah. Titik kritis adalah batas minimum air
tersedia yang dipertahankan agar tidak habis mengering diserap tanaman hingga mencapai
titik layu permanen. Titik kritis ini berbeda untuk berbagai jenis tanaman, tanah, iklim
serta diperoleh berdasarkan penelitian di lapangan Benami dan Offen 1984, dalam
Yanwar
2003. Kandungan
air antara
kapasitas lapang dan titik kritis disebut RAW Readily Available Water. Perbandingan
antara RAW dengan total air tanah yang tersedia
dipengaruhi oleh
iklim, evapotranspirasi, tanah, jenis tanaman dan
tingkat pertumbuhan tanaman Raes 1988. Berdasarkan penelitian Harahap dan
Darmosarkoro 1999,
yang melakukan
pendugaan kebutuhan air untuk pertumbuhan kelapa sawit, diketahui bahwa kebutuhan air
untuk pertumbuhan kelapa sawit di lapang berkisar antara 4 – 4,65 mmhari atau sekitar
120 – 140 mmbulan. Pemberian air melalui sistem irigasi secara umum dilakukan pada
akhir Juli sampai akhir Oktober. Air yang dibutuhkan sistem irigasi saluran terbuka
berkisar antara 1.960 – 2.460 m
3
habulan, dengan puncaknya pada Agustus 2.460
m3habulan. Air yang dibutuhkan sistem irigasi tertutup sprinkler dan drip berkisar
antara 1570 – 1970 m
3
habulan, dengan puncaknya pada Agustus 1.970 m
3
habulan. Jumlah kebutuhan air ini setara dengan 0,9
literdetikha, yang hampir sama dengan kebutuhan air untuk irigasi padi sawah.
2.3 Pengaruh Perubahan Penggunaan
Lahan
Pengaruh langsung akibat adanya konversi lahan dari hutan menjadi tanaman
monokultur adalah adanya penurunan debit serta meningkatnya air larian permukaan
surface runoff Onrizal 2005. Penurunan debit dan volume air serta peningkatan
keragamannya kemungkinan disebabkan oleh penurunan curah hujan dan perubahan
tataguna lahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Pawitan 1999 yang menyatakan
bahwa perubahan pola penggunaan lahan berdampak pada penurunan ketersediaan air
wilayah
akibat meningkatnya
fluktuasi musiman dengan gejala banjir dan kekeringan
yang semakin ekstrim. Ukuran DAS dan kapasitas storage DAS baik di permukaan
tanaman, sawah, rawa, danau, waduk dan sungai maupun bawah permukaan lapisan
tanah dan air bumi, merupakan faktor dominan yang menentukan kerentanan dan
daya dukung sistem sumberdaya air wilayah terhadap perubahan iklim. Pawitan 2002
juga
mengemukakan bahwa
perubahan penggunaan
lahan dengan
memperluas
permukaan kedap
air menyebabkan
berkurangnya infiltrasi,
menurunkan pengisian air bawah tanah recharge dan
meningkatkan aliran permukaan run off. Penurunan muka air tanah secara langsung
mempengaruhi penurunan
debit dan
peningkatan run
off secara
langsung mempengaruhi peningkatan debit.
Konversi hutan
alam untuk
pembangunan perkebunan kelapa sawit terus berlangsung sampai saat sekarang walaupun
di Indonesia sudah tersedia lahan kritis dan lahan terlantar dalam skala yang sangat luas,
sekitar 30 juta hektar, sebagai akibat aktifitas pembukaan danatau eksploitasi hutan untuk
berbagai
keperluan Badan
Planologi Kehutanan
dan Perkebunan
2000. Perkebunan kelapa sawit mulai berkembang
pesat sejak
tahun 1978
dengan laju
pertumbuhan luas per tahun yang sangat tinggi, yaitu 21,7 perkebunan swasta,
2,9 perkebunan negara dan 19,3 perkebunan rakyat. Untuk mendapatkan
lahan yang dibutuhkan, cara yang paling sering ditempuh oleh pengusaha adalah
melakukan konversi kawasan hutan, karena mekanisme untuk mendapatkannya relatif
mudah dan mereka memperoleh keuntungan dari hasil tebangan kayu. Kondisi ini
menyebabkan hampir seluruh perkebunan kelapa sawit yang ada merupakan areal
pertanaman baru new planting dari areal hutan produksi yang dapat dikonversi. Salah
satu elemen hutan tanaman industri HTI yang masih produktif adalah hutan alam dan
besarnya rata-rata 22 dari seluruh kawasan hutan yang dikelola. Besarnya hutan alam
yang dikonversi dalam pembangunan HTI sampai pada Juni 1998 adalah seluas 1 Juta
Ha. Hal ini berarti kerusakan hutan alam yang terjadi
merupakan salah
satu dampak
pembangunan HTI
Kartodiharjo dan
Supriono 2000. Dampak negatif terhadap lingkungan
menjadi bertambah serius karena dalam prakteknya pembangunan perkebunan kelapa
sawit tidak hanya terjadi pada kawasan hutan konversi, melainkan juga dibangun pada
kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan bahkan di kawasan konservasi yang memiliki
ekosistem yang unik dan mempunyai nilai keanekaragaman
hayati yang
tinggi Manurung 2000, Potter and Lee 1998.
Beberapa studi telah menemukan penurunan jumlah 80 untuk tanaman dan 80 - 90
untuk mamalia, burung, dan reptilia dalam keragaman hayati sebagai akibat konversi
lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Perkembangan perkebunan kelapa sawit
sangat berkorelasi positif dengan tingginya kasus illegal loging yang begitu marak sejak
tahun 1998 - 2007. Selain itu, pembangunan perkebunan kelapa sawit turut bertanggung
jawab sebagai salah satu penyebab utama bencana kebakaran hutan dan lahan seluas 10
Juta ha pada tahun 1997 - 1998. Total kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan
lahan pada tahun 1997 - 1998 diperkirakan mencapai US 9,3 Milyar Bappenas 2000.
Menurut data Sawit Watch tahun 2004, luas kebun sawit di Indonesia saat ini
berjumlah 7,4 Juta ha yang menghasilkan 18,7 Juta ton minyak sawit mentah crude palm oil
CPO . Seperempat bagian atau 4,5 Juta ton
dari minyak sawit mentah tersebut digunakan untuk konsumsi domestik, sedangkan sisanya
ditujukan untuk
pasar ekspor.
Secara ekonomi, ada nilai tambah yang diperoleh dari
minyak sawit, namun ada nilai yang tak terhitung besarnya akibat kerusakan alam
yang ditimbulkannya. Adapun beberapa dampak yang timbul akibat perluasan dan
pengembangan perkebunan kelapa sawit, diantaranya:
a. Kebakaran hutan