Kebutuhan Air Tanaman Kelapa Estimasi Debit Q

untuk landcover hutan adalah sebesar 3 dari surplus air yang ada, sedangkan untuk perkebunan kelapa sawit, nilai koefisien limpasanya adalah sebesar 40 dari surplus air yang ada. Penelitian ini menggunakan asumsi dimana intersepsi oleh tajuk tanaman kelapa sawit tidak diperhitungkan dan lahan perkebunan kelapa sawit hanya berupa tanaman kelapa sawit itu sendiri. Pada Gambar 5 dan Gambar 6, dapat dilihat dimana besarnya run off untuk landcover perkebunan kelapa sawit lebih besar dibandingkan dengan besarnya run off untuk landcover hutan. Besarnya run off untuk landcover hutan adalah sebesar 16 mm, sedangkan besarnya run off untuk landcover perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 200 mm. Artinya landcover hutan mampu menahan air limpasan pada saat terjadinya hujan dan menyimpan air lebih banyak sehingga mampu dimanfaatkan untuk sektor kebutuhan air lainnya. Kemampuan hutan untuk menahan laju aliran permukaan lebih besar dibandingkan dengan tanaman kelapa sawit. Hal ini disebabkan hutan memiliki serasah yang padat serta akar dari tanaman di hutan cenderung mampu menahan laju aliran, sehingga laju aliran permukaan dapat dihambat. Hutan berfungsi sebagai pengatur tata air pada sistem neraca air yang terdapat pada suatu lahan. Fungsi ini akan hilang pada saat terjadi konversi lahan ke tanaman monukultur seperti perkebunan kelapa sawit. Secara umum, perbandingan kondisi hidrologi suatu wilayah dengan adanya hutan dan tanpa adanya hutan adalah sebagai berikut: • Terjadi peningkatan erosi dan sedimentasi • Peningkatan volume limpasan • Peningkatan intensitas banjir dan kemarau Kondisi ini sejalan dengan paparan Menteri Pekerjaan Umum pada Seminar Pelestarian dan Penyelamatan DAS Siak Tahun 2007 dimana terdapat fluktuasi debit yang besar antara musim hujan dan kemarau Qmaks: 1.700 m 3 detik, Qmin: 45 m 3 detik, QmaksQmin: 37,8. Angka ini menjelaskan dimana pada saat musim hujan, jumlah air yang ada akan berlebihan dan menyebabkan terjadinya banjir. Namun, pada saat musim kemarau tiba, jumlah air yang ada akan sangat kurang dan berada di bawah batas lestari sungai. Oleh karena itu, hutan sangat berperan penting dalam menjaga tata air pada sistem neraca air pada suatu lahan.

4.3 Kebutuhan Air Tanaman Kelapa

Sawit Kebutuhan air tanaman kelapa sawit didapatkan dari hasil analisis neraca air tanaman kelapa sawit. Hasil analisis neraca air tanaman kelapa sawit menjelaskan dimana dalam setahun, kebutuhan rata-rata perkebunan kelapa sawit mencapai nilai 1560 mmtahun. Nilai ini kemudian dikonversi berdasarkan data luas area perkebunan kelapa sawit yang terdapat di Kecamatan Dayun. Data dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Siak Tahun 2008 menjelaskan dimana luas areal perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Dayun mencapai 21.949 Ha. Dari data luas area tersebut, maka total kebutuhan air untuk perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Dayun mencapai 42.728 literhahari. Kebutuhan air ini diperkirakan akan semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di kecamatan ini serta adanya peningkatan luasan areal perkebunan kelapa sawit di wilayah ini. Dalam satu hektar lahan perkebunan kelapa sawit, berdasarkan data yang diperoleh dari PTPN V, jumlah batang pohon kelapa sawit sebanyak 143 batangpokok. Dengan jumlah ini, maka dapat diestimasikan jumlah kebutuhan air untuk satu pohon kelapa sawit dalam sehari mencapai 0,012 m 3 s per harinya

4.4 Estimasi Debit Q

Model neraca air lahan yang dikembangkan oleh Thornwhite hanya mampu mengestimasi neraca air sampai pada taraf run off yang terjadi pada suatu lahan. Untuk menghitung jumlah debit yang terjadi digunakan pendekatan yang di kembangkan oleh FJ. Mock 1937. Metode Mock menggunakan pendekatan luas DAS dalam analisis perhitungan debit. Menurut Hariadi 2006 yang telah melakukan penelitian mengenai potensi ketersediaan air di wilayah Kabupaten Siak, luas DAS Siak yang terletak di wilayah Kecamatan Dayun DAS Buatan memiliki luas sebesar 2050 km 2 . Besarnya debit perhitungan antara sebelum dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit mengalami penurunan seperti yang terlihat pada Gambar 7. Pola debit estimasi yang terjadi berdasarkan hasil analisis dengan Metode Mock mengikuti pola curah hujan rata-rata yang ada. Pada bulan-bulan dengan curah hujan tinggi, debit yang terjadi juga tinggi, begitu juga dengan sebaliknya. Dengan hasil ini, pendekatan perhitungan debit estimasi dengan Metode Mock dapat digunakan untuk menetukan jumlah ketersediaan air di wilayah Kecamatan Dayun Gambar 7 Perbandingan Debit Antara Sebelum dan Sesudah Adanya Perkebunan Kelapa Sawit Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, besarnya debit estimasi hasil perhitungan yang terjadi di Kecamatan Dayun sebelum adanya perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 2708 m 3 s dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 2359 m 3 s. Adanya perubahan landcover pada suatu lahan dari hutan ke perkebunan kelapa sawit secara tidak langsung akan mempengaruhi besarnya debit yang terjadi. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan kebutuhan air antara hutan dan tanaman kelapa sawit yang akan mempengaruhi nilai surplus air yang ada, yang pada akhirnya nilai surplus akan mempengaruhi besarnya debit yang terjadi. Dari hasil analisis ini terjadi penurunan debit yang mengindikasikan adanya penurunan ketersediaan air di wilayah Kecamatan Dayun sebesar 349 m 3 s per tahunnya.

4.5 Analisis