Neraca Air Tanaman Analisis Neraca Air

perakaran dari jenis tanaman yang akan dikembangkan. Secara umum, kedalamn perakaran untuk tanaman perkebunan adalah sebesar 60 cm. Pada bulan JJA, besarnya curah hujan yang turun lebih kecil dibandingkan dengan nilai KL yang ada. Namun, besarnya curah hujan yang terjadi pada ketiga bulan tersebut masih berada diatas nilai TLP dari jenis tanah yang ada sehingga masih mampu mencukupi kebutuhan evapotranspirasi baik potensial maupun aktual, sehingga nilai kadar air tanah dan water holding capacity tidak akan mengalami gangguan.

4.2.3 Neraca Air Tanaman

Neraca air tanaman merupakan salah satu pendekatan untuk menetukan besarnya kebutuhan air suatu tanaman. Berdasarkan literatur yang ada, kebutuhan air suatu tanaman dapat dihitung berdasarkan jumlah air yang dievapotranspirasikan oleh tanaman itu sendiri crop evapotranspiration, ETc. Setiap tanaman memiliki koefisien tanaman crop coeficien yang akan mempengaruhi besarnya ETc yang terjadi. Pada penelitian ini, tutupan lahan yang ada mengalami perubahan, dimana tutupan lahan sebelum adanya perkebunan kelapa sawit adalah berupa hutan alami dan setelah adanya perkebunan kelapa sawit menjadi tanaman kelapa sawit. Nilai Kc rata-rata untuk jenis hutan adalah sebesar 0,87-0,89 Shuttleworth 1988, dalam Van der Wert 1994, sedangkan untuk tanaman kelapa sawit adalah sebesar 0,93 untuk tanaman kelapa sawit yang berumur lebih dari 7 tahun Harahap 1999. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, besarnya ETc untuk tanaman kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan besarnya ETc untuk hutan. Besarnya ETc untuk tanaman kelapa sawit adalah 1560 mmtahun, sedangkan besarnya ETc untuk hutan adalah 1492 mmtahun. Perubahan tutupan lahan antara landcover hutan dengan landcover tanaman kelapa sawit meningkatkan kebutuhan air tanaman sebesar 67 mmtahun. Adanya peningkatan ETc dari lahan sebelum konversi landcover hutan dan setelah konversi landcover tanaman kelapa sawit akan mempengaruhi ketersediaan air yang ada pada lahan tersebut. Perbedaan landcover antara sebelum adanya perkebunan kelapa sawit Gambar 5 dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit Gambar 6 menyebabkan adanya penurunan nilai surplus air yang ada pada lahan tersebut. Besarnya penurunan surplus akibat adanya perbedaan landcover antara sebelum dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 50 mm per tahun. Gambar 5 Neraca Air Tanaman Sebelum Adanya Perkebunan Kelapa Sawit. Gambar 6 Neraca Air Tanaman Sesudah Adanya Perkebunan Kelapa Sawit. Penurunan surplus akan mempengaruhi besarnya debit yang terjadi. Debit pada penelitian ini dihitung berdasarkan pendekatan persamaan empiris yang dikembangkan oleh FJ. Mock 1973. Debit estimasi antara sebelum dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit mengalami penurunan, dimana besarnya debit sebelum adanya perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 2708 m 3 s dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 2359 m 3 s. Perhitungan debit estimasi menggunakan inputan nilai surplus dan nilai run off hasil analisis dengan menggunakan metode neraca air Thornwhite. Penurunan debit berarti berkurangnya nilai air tersedia yang mampu dimanfaatkan oleh berbagai stakeholder pengguna air, dan salah satunya adalah sektor domestik. Pengaruh lain dari adanya alih fungsi lahan dari hutan menjadi tanaman perkebunan monokultur seperti perkebunan kelapa sawit adalah adanya peningkatan nilai run off limpasan permukaan. Berdasarkan hasil penelitian mengenai erosi seperti yang dijelaskan pada buku Siklus Hidrologi Indonesia, nilai koefisien limpasan permukaan untuk landcover hutan adalah sebesar 3 dari surplus air yang ada, sedangkan untuk perkebunan kelapa sawit, nilai koefisien limpasanya adalah sebesar 40 dari surplus air yang ada. Penelitian ini menggunakan asumsi dimana intersepsi oleh tajuk tanaman kelapa sawit tidak diperhitungkan dan lahan perkebunan kelapa sawit hanya berupa tanaman kelapa sawit itu sendiri. Pada Gambar 5 dan Gambar 6, dapat dilihat dimana besarnya run off untuk landcover perkebunan kelapa sawit lebih besar dibandingkan dengan besarnya run off untuk landcover hutan. Besarnya run off untuk landcover hutan adalah sebesar 16 mm, sedangkan besarnya run off untuk landcover perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 200 mm. Artinya landcover hutan mampu menahan air limpasan pada saat terjadinya hujan dan menyimpan air lebih banyak sehingga mampu dimanfaatkan untuk sektor kebutuhan air lainnya. Kemampuan hutan untuk menahan laju aliran permukaan lebih besar dibandingkan dengan tanaman kelapa sawit. Hal ini disebabkan hutan memiliki serasah yang padat serta akar dari tanaman di hutan cenderung mampu menahan laju aliran, sehingga laju aliran permukaan dapat dihambat. Hutan berfungsi sebagai pengatur tata air pada sistem neraca air yang terdapat pada suatu lahan. Fungsi ini akan hilang pada saat terjadi konversi lahan ke tanaman monukultur seperti perkebunan kelapa sawit. Secara umum, perbandingan kondisi hidrologi suatu wilayah dengan adanya hutan dan tanpa adanya hutan adalah sebagai berikut: • Terjadi peningkatan erosi dan sedimentasi • Peningkatan volume limpasan • Peningkatan intensitas banjir dan kemarau Kondisi ini sejalan dengan paparan Menteri Pekerjaan Umum pada Seminar Pelestarian dan Penyelamatan DAS Siak Tahun 2007 dimana terdapat fluktuasi debit yang besar antara musim hujan dan kemarau Qmaks: 1.700 m 3 detik, Qmin: 45 m 3 detik, QmaksQmin: 37,8. Angka ini menjelaskan dimana pada saat musim hujan, jumlah air yang ada akan berlebihan dan menyebabkan terjadinya banjir. Namun, pada saat musim kemarau tiba, jumlah air yang ada akan sangat kurang dan berada di bawah batas lestari sungai. Oleh karena itu, hutan sangat berperan penting dalam menjaga tata air pada sistem neraca air pada suatu lahan.

4.3 Kebutuhan Air Tanaman Kelapa