BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkebunan kelapa sawit oilpalm plantation
merupakan perkebunan yang tengah berkembang di Kabupaten Siak. Data
dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Siak menyebutkan luas areal
perkebunan kelapa sawit pada tahun 2008 mencapai 186.819 Ha. Luas areal perkebunan
kelapa sawit akan terus berkembang di wilayah ini mengingat masih banyaknya
hutan-hutan sekunder yang berpotensi untuk dijadikan perkebunan. Kecamatan Dayun
merupakan
sentral pertumbuhan
dan perkembangan utama areal perkebunan kelapa
sawit di Kabupaten Siak. Luas areal perkebunan kelapa sawit di kecamatan ini
mencapai 21.949 Ha pada tahun 2008 BPS Kab. Siak 2008.
Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit berdampak nyata terhadap
lingkungan diantaranya
adalah semakin
berkurangnya ketersediaan air. Tanaman kelapa sawit secara ekologis merupakan
tanaman yang paling banyak membutuhkan air
dalam proses
pertumbuhannya. Perkebunan
kelapa sawit
merupakan perkebunan
yang diterapkan
secara monokultur pada suatu lahan. Adanya
perubahan penggunaan lahan dari hutan alami ke sistem tanaman monokultur seperti
perkebunan kelapa sawit akan merubah sistem dan tatanan neraca air yang ada di wilayah
tersebut. Karena mekanisme tanamannya yang monokultur, baik langsung maupun tidak
langsung akan berpengaruh terhadap neraca air lahan dan ketersediaan air di wilayah
tersebut.
Estimasi nilai lingkungan dilakukan untuk melihat seberapa besar nilai kerugian
lingkungan yang terjadi akibat adanya perkebunan kelapa sawit. Nilai lingkungan
perkebunan kelapa sawit dalam penelitian ini di dekati sebagai nilai konsumsi sumberdaya
air oleh perkebunan kelapa sawit pada suatu lahan yang diperoleh melalui perhitungan
neraca air tanaman kelapa sawit. Besarnya kebutuhan air perkebunan kelapa sawit
kemudian di nilai dalam bentuk rupiah dengan tujuan
untuk memudahkan
dalam hal
perbandingan antara total nilai ekonomi perkebunan kelapa sawit yang diterima oleh
masyarakat dengan total nilai lingkungan yang harus di tanggung oleh masyarakat, terutama
masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit.
Program konservasi sumberdaya air dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan
bencana kekeringan dan kelebihan air yang mungkin timbul akibat adanya alih fungsi
lahan. Keikutsertaan
masyarakat dalam
mendukung adanya program konservasi sumberdaya air ini sangat dibutuhkan.
Dukungan masyarakat dalam mendukung program konservasi sumberdaya air terlihat
melalui Willingess To Pays kemauan membayar dari masyarakat dalam program
konservasi sumberdaya air. Besarnya nilai WTP dari masyarakat dapat ditentukan
berdasarkan survei langsung yang dilakukan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar
perkebunan kelapa sawit. Hasil nilai WTP kemudian digunakan untuk melihat seberapa
besar nilai manfaat lingkungan yang akan diperoleh masyarakat dengan adanya program
konservasi sumberdaya air.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Menghitung serta menganalisis neraca air lahan sebelum dan sesudah adanya
perkebunan kelapa sawit 2.
Menghitung besarnya kebutuhan air perkebunan kelapa sawit
3. Mengestimasi nilai ekonomi lingkungan
tanaman kelapa sawit 4.
Menganalisis WTP masyarakat untuk program konservasi sumberdaya air
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Nilai Ekonomi Lingkungan
Konsep nilai didefinisikan sebagai tingkat kepuasan utilitas yang diperoleh
seorang konsumen
dari kegiatan
mengkonsumsi suatu barang dan jasa. Menurut Fauzi 2004 pengertian nilai atau
value khususnya yang menyangkut dengan
barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan memang
bisa berbeda jika dipandang dari berbagai disiplin ilmu. Salah satu tolak ukur yang
relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama dari berbagai disiplin ilmu adalah
pemberian price tag harga pada barang dan jasa yang dihasilkan sumberdaya alam dan
lingkungan dan kemudian disebut sebagai nilai ekonomi sumberdaya alam. Bagi suatu
individu nilai dari suatu barang atau jasa adalah keinginan dan kemampuannya untuk
berkorban terhadap barang atau jasa tersebut. Berkorban yang dimaksud adalah kemampuan
dan keinginan membayar lebih terhadap suatu
barang atau jasa yang dibutuhkan oleh individu tersebut. Setiap orangindividu akan
memiliki kemampuan
dan keinginan
membayar yang berbeda-beda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat kesejahteraan dari
setiap individu
yang menginginkan
barangjasa tersebut.
Kemampuan atau
keinginan membayar dari setiap individu tersebut biasanya dinyatakan dalam bentuk
WTP Willingness To Pays. Dalam WTP dihitung seberapa jauh kemampuan setiap
individu atau masyarakat secara agregat untuk membayar atau mengeluarkan uang
dalam rangka memperbaiki kondisi lingkungan sesuai dengan standar yang
diinginkannya. Kesediaan membayar setiap individu didasarkan atas pertimbangan biaya
dan manfaat yang akan diperoleh, dalam hal ini WTP merupakan nilai kegunaan potensial
dari sumberdaya alam dan jasa lingkungan. Penghitungan WTP yang dikaitkan dengan
peningkatan
kualitas dan
degradasi lingkungan dapat dilakukan dengan beberapa
pendekatan sebagai berikut: 1.
Menghitung biaya yang bersedia dikeluarkan
oleh individu
untuk mengurangi
dampak negatif
pada lingkungan karena adanya suatu kegiatan
pembangunan. 2.
Menghitung pengurangan nilai atau harga dari suatu barang akibat semakin
menurunnya kualitas lingkungan. 3.
Melalui suatu survei untuk menentukan tingkat kesediaan masyarakat untuk
membayar dalam rangka mengurangi dampak negatif pada lingkungan ataupun
untuk mendapatkan kondisi lingkungan yang lebih baik.
Secara umum teknik valuasi ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan non
market valuation dapat digolongkan kedalam
dua kelompok, yakni teknik langsung dan teknik tidak langsung. Secara skematis teknik
valuasi non-market tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Kelompok pertama adalah teknik valuasi tidak langsung, yang mengandalkan
harga implisit dimana WTP terungkap melalui model yang dikembangkan. Teknik ini disebut
teknik yang mengandalkan revealed WTP keinginan untuk membayar yang terungkap.
Beberapa teknik yang termasuk kelompok ini adalah Travel Cost Method, Hedonic Pricing,
dan teknik yang relatif baru disebut Random Utility Model.
Kelompok kedua adalah teknik valuasi langsung, yang didasarkan pada survei dimana
keinginan membayar atau WTP diperoleh langsung dari responden yang langsung
diungkapkan secara lisan maupun tertulis. Teknik penilaian yang cukup popular adalah
Contingent Valuation Method CVM dan
Discrete Choice Model DCM.
Gambar 1 Teknik Valuasi Non-Market. Besarnya WTP dari setiap individu
dapat ditentukan melalui metode valuasi langsung contingen valuation method.
Metode valuasi langsung adalah suatu metode survei untuk menanyakan penduduk tentang
nilai atau harga yang mereka berikan terhadap komoditi yang tidak memiliki pasar seperti
barang lingkungan. Menurut Haab dan McConnell 2002 Contingent Valuation
adalah sebuah metode dalam mengumpulkan informasi mengenai preferensi atau kesediaan
membayar WTP dengan teknik pertanyaan secara
langsung. Kesedian
membayar merupakan gambaran dari tingkat preferensi
dan pendapatan individu Pearce et al 1994. Tujuan dari CVM adalah untuk mengukur
keinginan membayar individu WTP untuk perubahan kuantitas atau kualitas dari barang
dan jasa lingkungan. Pendekatan CVM disebut contingent tergantung karena pada
prakteknya informasi yang diperoleh sangat tergantung pada hipotesis yang dibangun.
Pendekatan CVM ini secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan
teknik eksperimental melalui simulasi dan permainan. Kedua, dengan teknik survei.
CVM pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui: pertama, keinginan membayar
WTP dari masyarakat, misalnya terhadap perbaikan kualitas lingkungan air, udara, dan
lainnya dan kedua, keinginan menerima Willingness To Accept atau WTA kerusakan
suatu lingkungan perairan Fauzi 2004. Hanley dan Spash 1993 menyebutkan bahwa
langkah-langkah dalam penggunaan CVM terdiri dari:
1. Menyusun Hypothetical market
2. Penentuan besarnya penawaranlelang
bid curve 3.
Menghitung rataan WTP danatau WTA 4.
Menjumlahkan data 5.
Mengevaluasi perhitungan CVM Secara prinsip, metode ini memiliki
kemampuan dalam menilai keuntungan dari penyediaan barang lingkungan dan juga
mampu menentukan pilihan estimasi pada kondisi yang tidak menentu. Prinsip yang
mendasari metode ini adalah bahwa bagi orang yang memiliki preferensi tetapi
tersembunyi terhadap seluruh jenis barang lingkungan, kemudian diasumsikan bahwa
orang
tersebut mempunyai
kemampuan mentransformasi preferensi ke dalam bentuk
nilai moneter atau uang. Asumsi selanjutnya, orang tersebut akan bertindak seperti yang
dikatakan ketika situasi hipotesis yang disodorkan menjadi kenyataan pada masa
yang akan datang. Asumsi tersebut menjadi dasar metode ini untuk menanyakan berapa
jumlah tambahan uang yang ingin dibayar oleh seseorang atau rumah tangga untuk
memperoleh peningkatan kualitas lingkungan. Pertanyaan
tersebut digunakan
untuk menentukan suatu pasar hipotesis terhadap
perubahan lingkungan
yang diinginkan. Tujuan dari CVM adalah untuk menghitung
nilai atau penawaran yang mendekati, jika pasar dari barang-barang lingkungan tersebut
benar-benar ada. Oleh karena itu, pasar hipotesis harus sebisa mungkin mendekati
kondisi pasar yang sebenarnya. Responden harus mengenal dengan baik kondisi yang
ditanyakan dalam kuisioner dan alat hipotetik yang
dipergunakan untuk
pembayaran. Pendekatan CVM dilakukan dengan cara
menentukan kesediaan membayar WTP dari konsumen. Pendekatan ini dapat diterapkan
pada keadaan yang dapat menimbulkan kesenangan estetic seperti pemandangan
alam, kebudayaan, historis dan karakteristik lain yang unik. Penilaian lingkungan secara
langsung
dapat dilakukan
dengan menggunakan teknik penentuan nilai hipotesis
dari barang lingkungan yang ingin di nilai Hufschmidt et al 1987. Metode ini lebih
fleksibel dan diakui bersifat judgment value, sebab pertanyaan diperoleh dari pertanyaan
hipotesis. Namun, dalam pelaksanaannya, CVM mempunyai kelemahan yang perlu
diperhatikan dalam penerapannya. Kelemahan utamanya adalah munculnya bias. Bias terjadi
jika terdapat nilai yang kurang dari nilai yang sebenarnya
diinginkan oleh
masyarakat ataupun nilai yang melebihi dari nilai yang
sebenarnya diinginkan. Sumber-sumber bias menurut Fauzi 2004 ditimbulkan oleh dua
hal utama, yaitu: 1
Bias yang timbul karena strategi yang keliru. Ini terjadi misalnya jika kita
melakukan wawancara
dan dalam
kuisioner kita nyatakan bahwa responden akan dipungut biaya untuk perbaikan
lingkungan, sehingga
timbul kecenderungan responden untuk member
nilai kurang dari yang sebenarnya. Sebaliknya, jika kita nyatakan bahwa
wawancara semata-mata hanya hipotesis belaka, maka akan timbul kecenderungan
responden untuk memberikan nilai yang lebih dari sebenarnya.
2 Bias yang ditimbulkan oleh rancangan
penelitian. Bias ini bisa terjadi jika informasi yang diberikan pada responden
mengandung hal-hal yang kontroversial. Misalnya, responden ditawari bahwa
untuk melindungi kawasan wisata alam dari
pencemaran limbah
oleh pengunjung,
karcis masuk
harus dinaikkan. Hal tersebut tentu saja akan
memberikan nilai WTP yang lebih rendah daripada jika alat pembayaran
dilakukan dengan cara lain misalnya melalui
yayasan, trust
fund ,
dan sebagainya.
Surplus konsumen timbul karena konsumen
menerima lebih
dari yang
dibayarkan dan bonus ini berakar pada hukum utilitas marginal
yang semakin menurun. Sebab timbulnya surplus konsumen karena
konsumen mampu membayar untuk tiap unit berdasarkan nilai unit terakhir. Surplus
konsumen mencerminkan manfaat yang diperoleh karena dapat membeli semua unit
barang pada tingkat harga rendah yang sama. Secara sederhana, surplus konsumen dapat
diukur sebagai bidang yang terletak diantara kurva permintaan dan garis harga Samuelson
dan Nordhaus 1990, dalam Djijono 2003. Besarnya surplus konsumen dapat dilihat pada
gambar berikut, yaitu area atau bidang di bawah kurva permintaan dan diatas garis
harga Gambar 2.
2.2. Neraca Air Lahan dan Tanaman