Penyakit Demam Berdarah Status kerentanan nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida malation di Kota Surabaya

12 Resistensi di Brazil dilaporkan oleh Lima et al, 2003 adanya tanda-tanda resistensi larva dan dewasa A. aegypti terhadap beberapa jenis insektisida, sampel diambil dari 10 kota di Rio de Janeiro dan Espirito Santo, delapan kota yang resisten terhadap temefos 0,012 mgL, dengan tingkat mortalitasnya adalah 23,5 - 74. Menurut Dep. Kes R.I 1986, macam-macam resisten yang terjadi pada serangga yang disebabkan oleh insektisida adalah; 1 Resistensi fisiologis physiological resistance, resisten yang disebabkan oleh mekanisme fisiologis suatu gen sehingga menurun dimana populasi nyamuk sebagai mahluk hidup akan mengadakan reaksi akibat adanya tekanan racun serangga, dengan cara menghasilkan enzym untuk menawarkan daya racun serangga, mengikat racun serangga dalam jaringan lemak, memblokir racun serangga dalam tubuh, atau segera mengeluarkan racun serangga dari dalam tubuhnya; 2 resistensi perilaku behaviouristic resistance. resisten yang disebabkan oleh kepekaan terhadap adanya rangsangan dari racun serangga yang menyebabkan nyamuk menghindari kontak dengan racun tersebut sehingga yang sensitif akan hidup dan kurang sensitif akan mati; 3 resistensi bersifat toleransi toleransi resistance, resisten bukan karena faktor genetik, karena variasi musiman seperti bentuk yang lebih besar, kutikula menebal, kenaikan kandungan lemak, sehingga konsentrasi insektisida tidak cukup untuk mematikannya; 4 resistensi terhadap kelompok insektisida yang sama cross resistance, kekebalan yang terjadi pada racun serangga lain dalam kelompok yang sama, misalnya penyemprotan dieldrin menyebabkan serangga kebal terhadap DDT atau gamexane.

2.4. Penyakit Demam Berdarah

Penyakit demam berdarah merupakan masalah kesehatan di Asia Tenggara sejak tahun 1950. Kasus penyakit demam berdarah pertama kali dilaporkan di Filipina tahun 1954, kemudian Thailand 1958, Singapura 1960, Vietnam 1961, Malaysia 1962, India 1963 dan Indonesia 1968 Kho et al, 1969; Hammon, 1973. Hsiech et al. 1982 melaporkan bahwa demam berdarah dengue merupakan masalah yang sangat serius di Asia Tenggara. Pada tahun 1981 terjadi wabah di Taiwan yang disebabkan oleh virus dengue tipe 2. Selanjutnya tahun 1987 sampai 13 1988 terjadi wabah yang disebabkan oleh virus dengan tipe 1, dengan jumlah kasus sebanyak 10,420 orang, Di Taiwan virus tipe 1 ini telah diketahui sejak tahun 1945. Penyakit demam berdarah adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengan tipe 1, 2, 3 dan 4 yang ditandai dengan demam mendadak 2 sampai 7 hari, lemah atau lesu disertai tanda pendarahan di kulit berupa bintik-bintik kadang- kadang mimisan, muntah darah, berak darah, kesadaran menurun atau shock Krupp dan Chatton, 1976; Soedarmo, 1988; WHO, 1986. Virus dengue memperbanyak diri dan menyebar ke seluruh tubuh nyamuk, termasuk ke kelenjar liurnya, virus dengue ini dapat dibedakan dalam tipe 1, 2, 3 dan 4 Jawetz, 1982; Kettle, 1984. Infeksi virus ini pada manusia mengakibatkan suatu manifestasi klinis yang bervariasi WHO, 1986 yaitu : a Demam Dengue Dengue klasik atau “Silent Dengue Infection”; b Demam berdarah dengue “Dengue Haemorragic Fever”; dan cDengue dengan renjatan “Dengue Shock Syndrome DSS”. Orang yang terinfeksi virus dengue, tidak semuanya akan sakit demam berdarah dengue. Ada yang menderita demam ringan yang akan sembuh dengan sendirinya atau bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit, tetapi semuanya merupakan pembawa virus dengue selama kurang lebih tujuh hari sehingga dapat menularkan kepada orang lain di berbagai wilayah yang ada nyamuk penularnya Ramalingam, 1974. Di Indonesia kasus demam berdarah ditemukan pertama kali pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta dan dari tahun ke tahun ada kecenderungan peningkatan kasus. Dalam tahun 1988 diketahui ada 47,573 orang penderita dan sebanyak 1,527 orang meninggal atau 3,2 Suroso, 1991. Seluruh wilayah mempunyai resiko untuk kejangkitan penyakit demam berdarah dengue, namum tempat yang potensial bagi penyebaran penyakit adalah rumah-rumah maupun tempat-tempat umum, kecuali yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter dari permukaan laut. Semua tipe virus penyebab demam berdarah telah diisolasi di Indonesia Suharyono, 1990. Nyamuk A. aegypti sebagai vektor utama penyakit demam berdarah tersebar luas di seluruh Indonesia. Meskipun nyamuk ini banyak ditemukan di daerah perkotaan yang padat penduduk, namun ditemukan juga di daerah pedesaan. Faktor lingkungan fisik yang penting dalam mempengaruhi endemisitas penyakit demam berdarah terutama berkaitan dengan keberadaan nyamuk A. aegypti. 14 Kelembaban udara akan mempengaruhi umur nyamuk. Nyamuk A. aegypti hanya dapat menularkan penyakit demam berdarah bila umurnya lebih dari sepuluh hari, karena masa inkubasi ekstrinsik virus dengue di dalam tubuh nyamuk antara delapan sampai sepuluh hari. Disamping itu faktor curah hujan akan menambah genangan air sebagai tempat perindukan, dengan demikian populasi vektor akan bertambah dan kemungkinan terjadinya penularan penyakit demam berdarah lebih besar lagi Soedarmo, 1988; Dit.Jen. PPM PLP, 1990. Di Kota Surabaya, dilaporkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit demam berdarah oleh Subdin P2M Dinas Kesehatan Kota dari tahun 2005-2008 seperti lokasi dengan kasus tinggi di Kecamatan Sawahan, tahun 2005 CFR =2,01 dan tahun 2007 CFR =1,92 sedangkan di Kecamatan Tambaksari secara berurutan angka CFR adalah 2,20, 1,06, 0,85 dan 0,79. Pada lokasi kasus sedang di wilayah Wiyung, tahun 2007 CFR =1,37 dan tahun 2008 CFR =1,78. Pada Wilayah Wonocolo, tahun 2005 angka CFR =3,57. Sementara diwilayah Bulak, tahun 2005 CFR = 2,94, tahun 2006 CFR=1,88, dan tahun 2008 CFR = 5,26 pada Lampiran 3. Gambaran kasus penyakit demam berdarah oleh Subdin P2M Dinas Kesehatan Kota Surabaya Tahun 2005-2008 ditunjukkan pada Tabel 1.

2.5. Biologi Aedes aegypti