Mekanisne resistensi Status kerentanan nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida malation di Kota Surabaya

7 ppm sedang bila waktu kontaknya 24 jam maka KL 50 terhadap DDT berkisar antara 1,2 pada hari keempat sampai 30 ppm pada hari kedelapan. Kondisi pemeliharaan ternyata besar pengaruhnya terhadap kerentanan. Bila kepadatan meningkat dari 200 menjadi 2000 larva pernampan maka KL 50 akan menurun 20 kali yang berarti larvanya semakin rentan Garm dalam Brown dan Pal, 1971. Bila larva lapar selama 4-6 jam maka KL 50 nya mengecil menjadi seperduanya Jones, 1971. Penelitian Rosen 1967 menunjukkan bahwa kerentanan larva Culex pipiens pipiens terhadap DDT dan dieldrin serta gamma HCH di Rangoon Burma, paling rendah pada musim kemarau dan paling tinggi pada peralihan musim. KL 50 mempunyai keragaman paling tinggi pada musim angin muson Monsoon. Toleransi A. taeniorhynchus terhadap beberapa pestisida pada musim semi, 2 – 8 kali toleransinya pada musim panas Keller dalam Brown dan Pal, 1971. Bainbrigde et al. 1982 meneliti kerentanan larva dan dewasa nyamuk A. aegypti dari galur rentan dan resisten terhadap DDT selama 12 jam periode gelap dan 12 jam periode terang secara bergantian dan bersambung. Galur rentan menunjukkan tiga saat paling rentan yang ditunjukkan oleh angka kematian yang paling tinggi dengan kisaran antara 32 sampai 37. Galur ini menunjukkan dua saat yang paling toleran dengan kematian 5 dan 7. Saat yang paling rentan adalah dua jam setelah gelap, empat jam setelah waktu gelap dan saat peralihan periode gelap menjadi terang. Saat paling toleran terjadi pada peralihan periode terang menjadi gelap, dan empat jam sebelum terang. Galur resisten hanya menunjukkan satu saat yang paling rentan yang terjadi pada pertengahan periode terang.

2.3. Mekanisne resistensi

Resistensi serangga terhadap insektisida diartikan sebagai kemampuan peningkatan daya tahan suatu populasi serangga terhadap insektisida yang biasanya mematikan. Pada suatu populasi serangga, individu-individu yang pada dasarnya sudah resisten terhadap suatu insektisida akan menghasilkan keturunan yang resisten Brown dan Pal, 1971. Adapun kerugian penggunaan insektisida adalah timbulnya galur-galur serangga sasaran yang resisten terhadap insektisida. Mekanisme resistensi serangga 8 terhadap insektisida dapat terjadi melalui perubahan fisiologi dan perubahan tingkah laku O’Brien, 1967, Brown dan Pal, 1971. Resistensi fisiologi pada serangga memperlihatkan kenyataan yang lebih penting. Hal ini disebabkan karena faktor- faktor 1 daya absorbsi insektisida yang sangat lambat sehingga serangga tidak mati; 2 daya penyimpanan insektisida dalam jaringan yang tidak vital, seperti jaringan lemak sehingga alat-alat vital terhindar dan serangga tidak mati; 3 daya ekskresi insektisida yang cepat sehingga tidak sampai membunuh serangga; 4 daya beberapa enzim yang bersifat meniadakan efek keracunan detoksifikasi yang menyebabkan serangga tidak mati seperti dehidroklorinase untuk senyawa DDT Tarumingkeng, 1992. Mekanisme resistensi perubahan tingkah laku disebabkan karena faktor-faktor 1 perubahan habitat serangga sehingga terhindar dari pengaruh insektisida dan keturunannya akan mempertahankan habitat yang baru tersebut; 2 meningkatnya kepekaan serangga terhadap insektisida, dengan demikian serangga tersebut dapat menghindarkan diri dari pengaruh insektisida sehingga tidak terbunuh, tanpa mengubah habitatnya. Lalat rumah yang resisten terhadap DDT mempunyai kutikula yang lebih tebal pada pulvilusnya dari pada galur yang rentan. Kutikula berpengaruh terhadap penetrasi DDT, hal ini diatur oleh gen organotonin-R atau tin Plapp dan Hoyer, 1968. Ketebalan ini dapat menyebabkan lalat rumah menjadi lebih toleran terhadap pestisida lainnya Plapp, 1970 Finney 1964 menyatakan bahwa toleransi suatu spesies serangga terhadap insektisida adalah beragam. Toleransi berkisar antara 0 sampai 100 yang merupakan distribusi komulatif normal yang disebut sebagai sebaran toleransi. Hal ini dapat ditunjukkan bila beberapa kelompok serangga dari spesies yang sama dikontakkan dengan berbagai dosis insektisida yang sama. Senyawa fosfor organik dan karbamat bekerja sebagai penghalang kolinesterase, suatu enzim yang berfungsi dalam rangsangan syaraf dan bekerja pada sinap kolinergik. Adapun senyawa hidrokarbon berklor bekerja menimbulkan kerusakan pada komponen selubung sel-sel syaraf menyebabkan fungsinya terganggu Matsumura, 1975. Brown dan Pal 1971 menyatakan bahwa resistensi merupakan perkembangan yang terjadi di dalam suatu populasi yang memang telah 9 mengandung gen-gen yang tahan terhadap insektisida. Detoksikasi diatur oleh gen madya intermediate yang menghasilkan resistensi melalui peningkatan kemampuan detoksikasi insektisida Plapp, 1970. Dehidroklorinase adalah faktor utama pada detoksikasi DDT. Detoksikasi senyawa orgonfosfat OP dengan karboksilesterase, fosfotriesterase, asetilkolinesterase AChE, glutation dependen transferase dan mixed function oxidase MFO Georghiou dan Pasteuer, 1978. Dehidroklorinase pada larva A.aegypti galur yang resisten menghasilkan DDT lebih banyak dibanding dengan yang dihasilkan oleh galur yang rentan Abedi et al. 1963. Kimura dan Brown 1964 menyatakan bahwa dehidroklorinase mempunyai korelasi kuat dengan tingkat resistensi A.aegypti galur Amerika Tengah, tetapi lemah pada galur Asia, Rathor dan Wood 1981 menemukan bahwa DDT dihasilkan lebih banyak oleh galur resisten dari pada galur rentan, bukan hanya pada galur Amerika tetapi juga pada galur Asia dan Afrika. Senyawa OP dan karbamat berfungsi menghambat pekerjaan enzim AChE. Bila serangga mampu menggurangi pengaruh itu melalui seleksi alam, maka serangga tersebut akan menjadi resisten terhadap OP dan Karbamat Wood, 1981. Hemingway dan Georghiou 1983 menyimpulkan bahwa pada larva Anopheles albimanus yang resisten, AChE semakin sukar dihambat dibanding dengan AChE pada galur yang rentan dan ada korelasi yang kuat antara laju hambat AChE dengan tingkat resistensi serangganya. Sifat merangsang iritasi beberapa insektisida dapat menyebabkan serangga meninggalkan permukaan yang ada lapisan insektisidanya, sebelum memperoleh dosis yang mematikan. Hal ini menyebabkan kontak berulang-ulang untuk menghasilkan kematian. Sifat ini dikenal pada DDT terutama terhadap Anopheles sp . Brown dan Pal, 1971. Selain itu pula resistensi silang cross resistance dapat terjadi bila suatu spesies serangga resisten terhadap beberapa insektisida dalam satu golongan. Hal ini dapat terjadi karena secara umum daya kerja insektisida di dalam satu kelas adalah sama, misalnya malation dan paration atau fosfor organik yang lain. Suatu spesies serangga juga dapat mengalami resistensi majemuk multiple resistance yaitu terjadi bila serangga tersebut resisten terhadap beberapa insektisida dari kelas yang 10 berbeda Brown dan Pal, 1971; WHO, 1976. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju perkembangan resistensi adalah 1 faktor genetik; 2 faktor ekologi; 3 faktor fisiologibiokimia dan 4 frekuensi penggunaan insektisida Metcalf dan Luckman, 1975; WHO, 1976 Laju perkembangan resistensi untuk setiap spesies organisme berbeda. Resistensi dapat berkembang sangat cepat pada suatu spesies tapi lebih lambat pada spesies yang lain. Menurut Fisher semakin besar keragaman genetik yang mengatur resistensi, maka semakin cepat pula tercapainya status resistensi. Wood dan Mani 1981 mengemukakan bahwa bila gen R dominan maka resistensi semakin cepat tercapai dibanding dengan bila gen R intermediate atau resesif. Demikian pula bila gen R intermediate , resistensi akan lebih cepat tercapai dari pada bila gen R resesif. Faktor ekologi yang penting dalam mempengaruhi laju resistensi adalah tingkah laku isolasi, migrasi dan mobilitas dari individu-individu yang bersifat rentan WHO, 1975. Faktor fisiologi dan biokimia sangat berpengaruh terhadap laju resistensi suatu populasi serangga. Kecepatan menghasilkan keturunan merupakan faktor yang penting, semakin besar jumlah generasi per tahun yang dihasilkan maka makin cepat terjadi evolusi resistensi. Anopheles stephensi di Irak hanya membutuhkan waktu selama sekali perlakuan dengan DDT untuk menjadi resistensi terhadap DDT. Spesies yang sama di Arab Saudi membutuhkan waktu 5 tahun untuk menjadi resistensi terhadap DDT Davidson, 1958. Culex pipiens pipiens setelah mengalami kontak selama 40 generasi, toleransinya meningkat 100 kali semula RF = 100, sedang bila kontak dengan triprene selama 27 generasi RF nya hanya 10 WHO, 1980. RF resistance factor Wood, 1981 atau resistance ratio Brown dan Pal, 1971 adalah rasio antara KL 50 atau KL 90 dari satu spesies yang telah mengalamai seleksi dengan KL 50 atau KL 90 dari populasinya yang normal. Status dan ukuran kerentanan serangga terhadap insektisida dapat diukur dengan uji kerentanan Susceptibility. Uji ini didasarkan atas kontak serangga dengan insektisida yang menghasilkan respon berupa kematian. Status kerentanan dapat dilihat dari hasil kontak selama periode waktu tertentu, misalnya satu jam dengan masa pengamatan 24 jam WHO, 1975; Dit. Jen. PPM PLP, 1986. Dalam melacak kemungkinan adanya galur yang resisten, WHO 1980 mengan 11 jurkan untuk menggunakan dosis diagnosa tentative yang besarnya tergantung pada spesies, jenis insektisida dan stadium hidup serangganya. Untuk menentukan status kerentanan nyamuk A. aegypti dewasa terhadap malation dengan konsentrasi 5. Pelacakan untuk mengetahui timbulnya galur serangga yang resistensi perlu dilakukan di berbagai tempat secara periodik. Hal ini disebabkan karena waktu timbulnya resistensi tidak dapat diduga dengan tepat sebab tergantung pada tempat, waktu, spesies serangga sasaran, dan insektisida yang digunakan. Faktor-faktor seperti suhu, kelembaban nisbi, umur, jenis kelamin, dan berat badan mempengaruhi kerentanan serangga terhadap insektisida Bainbridge et al. 1982. Brown dan Pal 1971, mengatakan bahwa hingga akhir dekade enam puluhan, belum ada laporan adanya galur A. aegypti yang resisten terhadap senyawa OP. Tetapi WHO 1980 telah mencatat adanya galur spesies ini yang resisten terhadap senyawa OP seperti malathion, temephos dan fenitrithion di Kepulauan Karibia, malation di India, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Masalah resistensi sudah dilaporkan di beberapa wilayah Indonesia seperti Jakarta, Yogyakara, Surabaya dan Palembang menunjukkan populasi nyamuk A. aegypti asal Jakarta dan Surabaya, dengan kematian 92,8 dan 91 sudah mulai toleran terhadap malation Soekirno et al, 1990. Di wilayah Jabotabek, populasi A. aegypti dari Jakarta Pusat telah resisten terhadap malation 5, populasi dari Bogor dan Tangerang masih rentan sedangkan populasi dari Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Kota Bekasi telah toleran terhadap insektisida organophosphat dan pyretroid Shinta et al, 2006. Seperti halnya di wilayah endemik Kel. Duren Sawit Jakarta Timur penggunaan insektisida malation dengan konsentrasi 0,8 dan 5 belum terindikasi resisten, tetapi menuju ke arah toleran Marisa. 2007. Di Yogyakarta dari 14 kelurahan 8 kecamatan nyamuk A.aegypti masih rentan RR sebesar 96,7 dan 3,3 RS toleran terhadap insektisida piretroid, di Kab. Bantul dari 14 kelurahan 9 kecamatan, beragam status resistensinya terhadap insektisida organofosfat dengan mekanisme peningkatan aktivitas enzim esterase non - spesifik Mardihusodo, 1995. Sementara populasi nyamuk A. aegypti di Kota Bandung belum terjadi resistensi oleh insektisda malation Sulianti et al, 2008. 12 Resistensi di Brazil dilaporkan oleh Lima et al, 2003 adanya tanda-tanda resistensi larva dan dewasa A. aegypti terhadap beberapa jenis insektisida, sampel diambil dari 10 kota di Rio de Janeiro dan Espirito Santo, delapan kota yang resisten terhadap temefos 0,012 mgL, dengan tingkat mortalitasnya adalah 23,5 - 74. Menurut Dep. Kes R.I 1986, macam-macam resisten yang terjadi pada serangga yang disebabkan oleh insektisida adalah; 1 Resistensi fisiologis physiological resistance, resisten yang disebabkan oleh mekanisme fisiologis suatu gen sehingga menurun dimana populasi nyamuk sebagai mahluk hidup akan mengadakan reaksi akibat adanya tekanan racun serangga, dengan cara menghasilkan enzym untuk menawarkan daya racun serangga, mengikat racun serangga dalam jaringan lemak, memblokir racun serangga dalam tubuh, atau segera mengeluarkan racun serangga dari dalam tubuhnya; 2 resistensi perilaku behaviouristic resistance. resisten yang disebabkan oleh kepekaan terhadap adanya rangsangan dari racun serangga yang menyebabkan nyamuk menghindari kontak dengan racun tersebut sehingga yang sensitif akan hidup dan kurang sensitif akan mati; 3 resistensi bersifat toleransi toleransi resistance, resisten bukan karena faktor genetik, karena variasi musiman seperti bentuk yang lebih besar, kutikula menebal, kenaikan kandungan lemak, sehingga konsentrasi insektisida tidak cukup untuk mematikannya; 4 resistensi terhadap kelompok insektisida yang sama cross resistance, kekebalan yang terjadi pada racun serangga lain dalam kelompok yang sama, misalnya penyemprotan dieldrin menyebabkan serangga kebal terhadap DDT atau gamexane.

2.4. Penyakit Demam Berdarah