Latar Belakang Status kerentanan nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida malation di Kota Surabaya

1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit deman berdarah Dengue DBD hingga saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia dengan angka kesakitan dan angka kematian tinggi. Pertama kali mewabah tahun 1635 di French West Indies Kepulauan Karibia, tercatat pada tahun 1897 di Australia, kemudian tahun 1928 di Italia serta tahun 1931 di Taiwan. Kejadian luar biasa KLB pertama kali dikonfirmasi di Filipina tahun 1953-1954. Sejak saat itu penyakit tersebut mewabah dan disertai tingkat kematian tinggi yang melanda beberapa negara Asia Tenggara termasuk di Indonesia, selama 20 tahun terjadi peningkatan kasus dan penyebaran yang luar biasa, hingga KLB setiap tahunnya Dep.Kes RI, 2004. Kasus DBD untuk pertama kali di Indonesia diketahui abad 18 oleh David Bylon, dokter kebangsaan Belanda, di kenal dengan penyakit demam lima hari vijfdaagse koorts atau demam sendi knokkel koorts kemudian setelah lima hari penyakitnya menghilang, tidak pernah ada laporan yang menyatakan bahwa penyakit tersebut menimbulkan kematian, tetapi sejak tahun 1952, infestasi virus dengue menimbulkan gejala dengan manifestasi berat. Wabah demam berdarah dilaporkan pertama kali tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya dengan 58 penderita dan 24 diantaranya meninggal CFR=41. Konfirmasi virologis baru di dapat tahun 1972, sejak saat itu DBD mewabah ke daerah-daerah lain sampai tahun 1980, demam berdarah telah dilaporkan di 26 provinsi dari 27 provinsi di Indonesia Dep.Kes RI. 2004. Proporsi kasus DBD pergolongan umur di Indonesia tahun 1993-1998 tertinggi pada usia sekolah 5-14 th, sedangkan pada tahun 1999-2000 kasus DBD bergeser ke usia diatas 14 tahun baik di perkotaan maupun pedesaan, kasus terjadi tidak lagi di bulan-bulan tertentu namun terjadi sepanjang tahun Kusriastuti et al. 2005 Penelitian untuk mencegah dan memberantas penyakit Demam Berdarah Dengue telah banyak dilakukan, seperti cara diagnosis yang cepat, tepat dan efektif, serta pencarian vaksin dan obat, hingga sampai saat ini hasilnya masih belum 2 memuaskan. Alternatif yang paling membawa harapan adalah mengendalikan kepadatan populasi vektor sampai dibawah ambang batas. Pengendalian nyamuk vektor telah banyak dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan pengendalian menggunakan bahan-bahan kimia yaitu menggunakan insektisida kimia yang sesuai baik untuk larva maupun nyamuk dewasa, pengendalian genetik yaitu dengan teknik jantan mandul, pengendalian mekanik yaitu memanipulasimodifikasi lingkungan dengan mengendalikan tempat – tempat perindukan yang disukai oleh nyamuk atau menghalangi kontak vektor dengan manusia, selain itu pula dikenal pengendalian hayati yaitu menggunakan makhluk hidup baik mikroorganisme, hewan invertebrata atau hewan vertebrata sebagai pemangsa larva atau nyamuk dewasa. Pengendalian kimia dengan menggunakan insektisida banyak dipakai oleh masyarakat karena dapat menurunkan populasi nyamuk dengan cepat dan penggunaannya yang praktis, tetapi penggunaan insektisida terbukti banyak menimbulkan dampak negatif, antara lain matinya organisme bukan sasaran, adanya residu sehingga terjadi pencemaran lingkungan serta munculnya nyamuk yang resisten Tarumingkeng, 1992. Pemerintah sedang mengupayakan berbagai strategi dalam mengatasi kasus ini, diantaranya adalah menggunakan larvasida yang merupakan cara efektif yaitu dengan membunuh larva untuk memutuskan siklus hidup nyamuk. Dalam larvasida yang mengandung bahan kimia temephos bila digunakan secara terus – menerus sangat mungkin terjadi toleransi larva nyamuk. Pada tahun 2005 Indonesia pernah mengalami kasus terbesar 53 DBD di Asia Tenggara yaitu 95,270 kasus dan kematian 1,298 orang CFR = 1,36 WHO, 2006. Jumlah kasus tersebut meningkat menjadi 17 dan kematian 36 dibanding tahun 2004. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit demam berdarah dengue. Beberapa di antaranya adalah faktor inang host, lingkungan environment dan faktor penular vector serta patogen virus. Di Kota Surabaya pada tahun 2005-2008, angka kesakitan dan angka kematian penyakit demam berdarah secara berurutan adalah 2568 kasus, kematian 33 orang CFR= 1,28, 4187 kasus, kematian 22 orang CFR= 0,52, 3214 kasus, kematian 25 orang CFR= 0,78 dan 2169 kasus, kematian 10 orang CFR= 3 0,51. Angka kesakitan dan kematian tersebar di 31 kecamatan dengan 163 kelurahan. Wilayah endemis DBD sebanyak 154 kelurahan, 9 kelurahan sporadis sedangkan kelurahan yang potensial belum ada DinKes Kota Surabaya, 2009. Pengambilan sampling berdasarkan endemisitas kasus DBD yakni kasus tinggi, sedang dan rendah. Jumlah kasus DBD rata-rata sebesar ≥ 100 kasustahun tersebar pada 12 kecamatan, jumlah kasus rata-rata 50-99 kasustahun tersebar pada 16 kecamatan dan jumlah kasus rata-rata ≤ 49 kasustahun tersebar di 3 kecamatan. Berdasarkan tingginya jumlah kasus demam berdarah dan penyebaran yang tidak merata disebabkan oleh permukiman yang begitu padat dan mobilitas yang cukup tinggi antar kota serta arus urbanisasi yang tidak terkontrol, maka untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian penyakit demam berdarah, dilakukan upaya pengendalian vektor nyamuk dengan pengasapan fogging focus menggunakan malation. Penggunaan malation secara terus menerus memungkinkan terjadinya galur Aedes aegypti yang resisten terhadap malation. Resistensi serangga terhadap insektisida telah lama terjadi di beberapa penjuru dunia, sehingga banyak insektisida yang akhirnya tidak dapat digunakan lagi. Adanya resistensi merupakan satu hambatan utama dalam pengendalian vektor secara kimia dengan insektisida. Hambatan ini sangat mengganggu keberhasilan usaha yang dilakukan, sehingga perlu dilakukan pelacakan terhadap timbulnya galur A. aegypti yang resisten terhadap malation. Penggunaan malation di Kota Surabaya sudah cukup lama yakni ± 20 tahun, evaluasi terhadap efektivitas malation belum pernah dilakukan serta uji toleransi terhadap insektisida jarang dilakukan oleh Dinas Kesehatan. Untuk itu perlu dilakukan uji status kerentanan nyamuk A. aegypti terhadap insektisida malation untuk mengetahui. Untuk mengetahui status kerentanan suatu serangga terhadap insektisida dilakukan uji Susceptibility yang mengikuti standar WHO demikian pula halnya untuk mengetahui status toleransi nyamuk A. aegypti terhadap insektisida di Kota Surabaya dilakukan uji tersebut.

1.2. Tujuan Penelitian