6 yaitu RR, R
+
dan ++, yang paling toleran adalah RR sedangkan yang paling rentan adalah ++. Fenotip dari R
+
tergantung kepada kombinasi dominasi gen R. Bila gen R dominan maka fenotip dari R
+
menyerupai RR, bila gen R resesif maka fenotip dari R
+
menyerupai ++ dan bila gen intermediate maka fenotip dari R
+
beragam diantara RR dan ++. Oleh karena toleransi terhadap pestisida beragam dan diatur oleh gen maka toleransi ini akan mengalami seleksi bila kontak
dengan pestisida sehingga menjadi lebih toleran untuk kemudian menjadi resistensi. Teori Darwin dalam Villee, 1957 menyatakan bahwa seleksi alam
menyebabkan punahnya individu-individu yang daya penyesuainnya lemah, sedangkan yang daya penyesuainnya baik akan terus mempertahankan eksistensi
populasinya. Seperti halnya dengan gen + yang + akan punah sedangkan gen RR akan mampu hidup bila kontak dengan insektisida. Untuk gen R
+
keadaannya tergantung kepada dominasi gen R, bila gen R dominan maka R
+
akan terus hidup bersama-sama RR, sedang bila gen R resesif maka R
+
akan punah bersama-sama ++. Bila gen R bersifat intermediate maka nasib R
+
tergantung pada dosis yang digunakan. Culex pipiens pipiens mempunyai gen R dominan, Anopheles sp
mempunyai gen R resesif sedangkan A. aegypti mempunyai gen R yang intermediate
Wood dan Mani, 1981; Wood, 1981.
2.2. Faktor yang mempengaruhi kerentanan
Faktor – faktor seperti suhu, kelembaban nisbi, umur, jenis kelamin, dan berat badan dapat mempengaruhi kerentanan serangga terhadap insektisida Bainbridge et
al . 1982
Ogushi et al. 1968 meneliti pengaruh suhu atas kerentanan larva Culex pipiens
terhadap beberapa insektisida. Uji kerentanan terhadap dieldrin dan DDT menunjukkan peningkatan konsentrasi letalitas 50 KL
50
bila suhu semakin tinggi. Sebaliknya bila menggunakan fenthion, fenitrothion, fenchlorphos, diazinon,
malathion, trichlorfon, dichlorvos, naled dan lindane menunjukkan penurunan KL
50
dengan meningkatnya suhu. Faktor lain yang mempengaruhi kerentanan serangga terhadap insektisida
adalah umur. Brown dan Pal 1971 meneliti KL
50
larva A. aegypti mulai umur satu hari sampai umur 8 hari terhadap DDT dan dieldrin dengan waktu kontak 1 dan 24
jam. Bila waktu kontak 1 jam maka KL
50
terhadap DDT berkisar antara 2,2- 3,00
7 ppm sedang bila waktu kontaknya 24 jam maka KL
50
terhadap DDT berkisar antara 1,2 pada hari keempat sampai 30 ppm pada hari kedelapan.
Kondisi pemeliharaan ternyata besar pengaruhnya terhadap kerentanan. Bila kepadatan meningkat dari 200 menjadi 2000 larva pernampan maka KL
50
akan menurun 20 kali yang berarti larvanya semakin rentan Garm dalam Brown dan Pal,
1971. Bila larva lapar selama 4-6 jam maka KL
50
nya mengecil menjadi seperduanya Jones, 1971.
Penelitian Rosen 1967 menunjukkan bahwa kerentanan larva Culex pipiens pipiens
terhadap DDT dan dieldrin serta gamma HCH di Rangoon Burma, paling rendah pada musim kemarau dan paling tinggi pada peralihan musim. KL
50
mempunyai keragaman paling tinggi pada musim angin muson Monsoon. Toleransi A. taeniorhynchus terhadap beberapa pestisida pada musim semi, 2 – 8
kali toleransinya pada musim panas Keller dalam Brown dan Pal, 1971. Bainbrigde et al. 1982 meneliti kerentanan larva dan dewasa nyamuk A.
aegypti dari galur rentan dan resisten terhadap DDT selama 12 jam periode gelap
dan 12 jam periode terang secara bergantian dan bersambung. Galur rentan menunjukkan tiga saat paling rentan yang ditunjukkan oleh angka kematian yang
paling tinggi dengan kisaran antara 32 sampai 37. Galur ini menunjukkan dua saat yang paling toleran dengan kematian 5 dan 7. Saat yang paling rentan
adalah dua jam setelah gelap, empat jam setelah waktu gelap dan saat peralihan periode gelap menjadi terang. Saat paling toleran terjadi pada peralihan periode
terang menjadi gelap, dan empat jam sebelum terang. Galur resisten hanya menunjukkan satu saat yang paling rentan yang terjadi pada pertengahan periode
terang.
2.3. Mekanisne resistensi