Tabel  5  menunjukkan  bahwa  koefisien  respirasi  perlakuan  A,  B,  dan  C relatif  sama  yaitu  sebesar  1,0.  Hal  ini  diduga  karena  sebagian  besar  karbohidrat
dikatabolisme  untuk  menghasilkan  energi.    Sedangkan  pada  perlakuan  D  diduga bahwa  sebagian  besar  lemak  dikatabolisme  untuk  menghasilkan  energi  yang
dibuktikan  dengan  nilai  koefisien  respirasi  sebesar  0,7.  Ekskresi  amonia  yang relatif  lebih  tinggi  dihasilkan  oleh  perlakuan  A,  B,  dan  C,  sedangkan  yang
terendah adalah perlakuan D. Hal ini berarti bahwa asam amino yang diserap dan dimanfaatkan  untuk  sintesis  tubuh  pada  perlakuan  pakan  berkadar  protein  32
lebih efektif dari pada perlakuan lainnya.
4.2 Pembahasan
Tingkat  kelangsungan  hidup  ikan  adalah  hal  yang  sangat  penting  dalam usaha  akuakultur.  Kelangsungan  hidup  ikan  dipengaruhi  oleh  faktor  kesehatan
ikan,  sementara  kesehatan  ikan  dipengaruhi  oleh  faktor  agen  penyakit,  kondisi lingkungan budidaya dan genetik ikan itu sendiri.  Berdasarkan hasil penelitian ini
didapatkan  tingkat  kelangsungan  hidup  yang  secara  umum  baik  pada  semua perlakuan  pakan,  yaitu  99,1-100.    Hal  ini  menunjukkan  bahwa  ikan  dapat
bertahan  hidup  dengan  baik  pada  media  pemeliharaan  dan  perlakuan  dalam percobaan, termasuk pakan yang diberikan. Menurut Halver 2002, bahwa nutrisi
yang  sesuai  harus  diperhatikan  sebagai  faktor  kritis  dalam  mendukung pertumbuhan dan kesehatan ikan. Pakan yang disiapkan tidak hanya mengandung
nutrien  esensial  yang  disyaratkan  untuk  fungsi  fisiologi,  namun  juga  disiapkan sebagai  media  yang  mengandung  komponen  lain  yang  dapat  berpengaruh  pada
kesehatan ikan. Berdasarkan data kecernaan pakan pada Tabel 5, penurunan kadar protein
menjadi  28  menyebabkan  nilai  kecernaan  pakan  menurun.    Kecernaan  pakan menurun  sejalan  dengan  adanya  penurunan  kadar  tepung  bungkil  kedelai  serta
peningkatan jagung perlakuan B dan dedak perlakuan A di  dalam pakan. Hal ini  berarti  bahwa  nutrien  yang  diserap  dari  saluran  pencernaan  oleh  ikan  yang
mengkonsumsi  pakan  berkadar  protein  28  lebih  rendah  dari  pada  pakan berkadar  protein  30  dan  32.    Hertrampf  2000  mengungkapkan  bahwa  nilai
kecernaan  tepung  bungkil  kedelai  untuk  channel  catfish  Ictalurus  punctatus
adalah sebesar 81,8. Sementara Wilson dan Poe 1985 berpendapat bahwa nilai kecernaan  jagung  adalah  sebesar  59  dan  dedak  sebesar  66  untuk  channel
catfish. Dengan demikian penurunan tepung kedelai yang kecernaannya tinggi dan peningkatan  jagung  dan  dedak  yang  kecernaannya  rendah  menyebabkan
kecernaan pakan menurun. Penurunan kadar protein pakan menjadi kurang dari 32 juga menurunkan
retensi protein. Namun demikian, walaupun nilai kecernaan pada perlakuan A dan B  serta  konsumsi  pakan    pada  perlakuan  pakan  A,  B,  dan  C  relatif  sama,  akan
tetapi  efisiensi  dan  laju  pertumbuhan  harian  ikan  lele  dumbo  pada  perlakuan pakan  A  dan  C  sama  baiknya  dan  lebih  tinggi  dibandingkan  B.  Padahal  energi
pada perlakuan A, B, dan C relatif sama. Hal ini dikarenakan kadar protein pakan C lebih tinggi 30,  sedangkan pada pakan A mengandung tepung hati cumi.
Pakan A mengandung protein lebih rendah dari pada pakan C seperti yang terlihat  pada  Tabel  2.  Akan  tetapi  ikan  lele  dumbo  yang  diberi  pakan  A  dapat
tumbuh sama dengan yang diberi pakan C. Menurut Shigueno 1975 bahwa profil asam  amino  essensial  tubuh  ikan  dengan  membandingkan  pola  asam  amino
bahan baku dan pola asam amino tubuh ikan dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan  asam  amino  essensial.  Sehingga  untuk  menentukan  pola  asam  amino
pakan  ikan  lele  dapat  ditentukan  berdasarkan  pola  asam  amino  tubuh  ikan  lele. Pola  asam  amino  pakan  dihitung  berdasarkan  kandungan  asam  amino  essensial
pakan  jagung,  menir,  tepung  gaplek,  tepung  bungkil  kedelai,  MBM  meat  and bone  meal,  PBPM  Poultry  by  product  meal,  tepung  bulu,  tepung  ikan  dan
tepung  hati  cumi  seperti  pada  Lampiran  19  sampai  30.  Komposisi  asam  amino percobaan disajikan pada Tabel 6 dan pola asam amino disajikan pada Gambar 3.
Gambar  3  memperlihatkan  bahwa  semua  pakan  perlakuan  mempunyai pola  asam  amino  yang  menyerupai  pola  asam  amino  tubuh  ikan  lele.  Dengan
demikian  secara  umum  profil  asam  amino  semua  pakan  perlakuan  relatif  sama. Akan tetapi adanya kesamaan efisiensi pakan dan laju pertumbuhan perlakuan A
dengan perlakuan C diduga bahwa ada kandungan nutrien tertentu dari tepung hati cumi yang dapat meningkatkan kinerja pertumbuhan ikan sehingga lebih baik dari
pada perlakuan B.
Tabel 6  Komposisi asam amino essensial pakan percobaan  protein Asam amino essensial
Tubuh ikan lele Perlakuan
A B
C D
Arginin 6,67
4,39    4,30 4,55      4,62
Histidin 2,17
1,49    1,47 1,57      1,59
Leusin 7,4
4,47    4,44 4,55      4,50
Isoleusin 4,29
2,60    2,58 2,68      2,68
Lisin 8,51
4,39    4,33 4,53      4,56
Metionin 2,92
1,21    1,17 1,22      1,19
Fenilalanin 4,14
2,62    2,59 2,68      2,67
Treonin 4,41
2,48     2,49     2,66      2,72 Triptofan
3,28 1,39    1,39
1,41      1,37 Valin
5,15 3,03     3,02     3,19      3,22
Data dari Wilson dan Poe 1985.
Gambar 3  Komposisi asam amino dalam empat jenis pakan perlakuan dan tubuh ikan lele.
Tepung  hati  cumi  mengandung  50,8  protein  kasar  dan  17,2  lemak kasar hertrampf, 2000, kolesterol 3,0 mgg, omega 3 DHA dan EPA sebanyak
30 dari lemak total Ye Cherng, 2009, juga mengandung vitamin B1, B2, B6, B12,  Niacin,  asam  pantotenat,  biotin  dan  kolin  Jesse,  2009.  Cumi  pun
mengandung  mineral  seperti  kalsium  dan  fosfor  Kreuzer,  1986.    Kandungan nutrien  ini  diduga  dapat  meningkatkan  kinerja  pertumbuhan  dan  efisiensi  pakan,
terutama  peran  dari  elemen-elemen  mikro  vitamin  dan  mineral  sebagai
0.00 2.00
4.00 6.00
8.00 10.00
12.00 14.00
16.00 18.00
20.00
Arg His
Leu Ileu
Lys Met
Fen Thr
Thy Val
Tubuh Lele Pakan D
Pakan C Pakan A
Pakan B
6,67 4,62
4,55 4,39
4,30 3,02
3,03 3,19
3,22 5,15
pemercepat  pertumbuhan  growth  accelerant.  Guillame  et  al.,  1990 berpendapat  bahwa  cumi  mengandung  beberapa  faktor  pertumbuhan  yang  tidak
terindentifikasi,  yang  biasa  disebut  dengan  squid  factor.  Menurut  GEM  2001 tepung hati cumi berperan membantu menjaga keseimbangan nutrien-nutrien jika
ditambahkan  pada  pakan  dan  berperan  dalam  penyimpanan  protein  sehingga menunjang  pertumbuhan  ikan.  Ditambahkan  pula  oleh  Mai  et  al.  2006  bahwa
tepung  jeroan  cumi  dapat  berperan  sebagai  pemercepat  pertumbuhan  yang dibuktikan dengan penambahan 50 dan 100 gkg pada pakan dapat menghasilkan
pertumbuhan  terbaik  pada  Japanese  seabass  Lateolabrax  japonicus.  Demikian pula    laju  pertumbuhan  spesifik  lebih  tinggi  didapatkan  pada  perlakuan  pakan
yang  mengandung  50  atau  100  gkg  pada  large  yellow  croaker  Pseudosciaena crocea  R  Li  et  al.,  2009.    Sementara  Penaeus  japonicus  mengalami
peningkatan pertumbuhan dari 30 menjadi  50 ketika disuplementasikan tepung cumi pada pakan yang diberikan Hertrampf, 2000.
Tepung  hati  cumi  juga  mengandung  glisin  dan  betain  yang  dapat meningkatkan  palatabilitas  pakan  Ye  Cherng,  2009,  seperti  yang  telah
dibuktikan oleh Alberto et al. 2006 yang menambahkan 0,5 dan 1,0 tepung hati  cumi  pada  pakan  Litopenaues  vannamei  yang  dapat  berfungsi  sebagai
atraktan.  Nobukazu  et  al.,  2006  berpendapat  bahwa  pakan  yang  mengandung tepung  hati  cumi  sampai  30  mampu  meningkatkan  jumlah  konsumsi  pakan.
Namun pada penelitian ini fungsi ini tidak terlihat karena jumlah konsumsi pakan pada perlakuan B tidak lebih banyak dari pada yang lainnya.
Jika dilihat dari sisi kandungan energi antara pakan A dan pakan C, energi yang  ada  pada  kedua  pakan  tersebut  hampir  sama,  namun  dapat  menghasilkan
pertumbuhan yang sama.  Hal ini menunjukkan bahwa penurunan tingkat protein dengan kandungan energi yang relatif sama dengan pakan berkadar protein tinggi,
dapat  menghasilkan  pertumbuhan  yang  relatif  sama  baiknya.  Hasil  penelitian  ini sejalan  dengan  hasil  penelitian  Kurnia  2002  bahwa  pakan  yang  mengandung
protein  37,4  dengan  kandungan  energi  3327,11  kkalkg  dan  pakan  berprotein 29,1 dengan kandungan energi 3341,11 kkalkg menghasilkan efisien pakan dan
laju  pertumbuhan  yang  sama  tingginya  pada  benih  ikan  baung  Mystus  nemurus C.V.    Selanjutnya  Sutajaya  2006  mengemukakan  bahwa  fingerlings  ikan  mas
Cyprinus  carpio  dapat  tumbuh  dengan  baik  dengan  pemberian  pakan  berkadar protein 31,15 dengan energi 2432,44 kkalkg yang sama baiknya dengan pakan
berprotein 28,08 dengan energi 2560,9 kkalkg. Pemanfaatan protein untuk pembentukan jaringan yang cukup tinggi pada
pakan  D  didukung  oleh  kecenderungan  ikan  lele  dumbo  menggunakan  lemak sebagai  protein  sparring  effect  dalam  metabolismenya  untuk  menghasilkan
energi.  Hal  ini  dibuktikan  dengan  nilai  koefisien  respirasi  0,7.  Lemak  dan karbohidrat  merupakan  sumber  energi  non  protein.  Jika  energi  dari  lemak  dan
karbohidrat  sudah  cukup,  maka  protein  pakan  sebagian  besar  digunakan  untuk pertumbuhan  NRC,  1983.    Ini  ditunjang  pula  dengan  rendahnya  nilai  ekskresi
amonia yang dihasilkan.
V  KESIMPULAN
a.  Pakan  berkadar  protein  rendah  28  yang  mengandung  tepung  hati cumi  menghasilkan  pertumbuhan  dan  efisiensi  pakan  yang  dapat
mengimbangi pakan berkadar protein 30. b.  Pakan  yang  mengandung  protein  32  menghasilkan  pertumbuhan
tertinggi karena ikan pada kelompok ini dapat menggunakan pakan lebih
efisien yang ditunjang dengan ekskresi amonia yang lebih rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto E, Liviawaty E. 2005. Pakan ikan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Alberto  N,  S.A.  Marcelo  VC,  Felipe  Andriola  NF,  Lemos  Daniel.    2006.
Behavioral  response  to  selected  feed  attractants  and  stimulants  in  Pacific white shrimp, Litopenaeus vannamei. Aquaculture 260: 244-254.
Ali  A,  Al-Ogaily  SM,  Al-Asgah  NA,  Goddard  J,  S  Ahmed  IS.  2007.    Effect  of feeding different protein to energy PE ratio on the growth performance
and  body  composition  of  Oreochromis  niloticus  fingerlings.    Journal  of Applied
Ichthyology 24: 31
– 37. http:www3.interscience.
wiley.comjournal.   [21 Agustus 2008]. Ali MZ, Jauncey  K. 2004. Optimal  dietary carbohydrate to  lipid  ratio in African
catfish  Clarias  gariepinus  Burshell  1822.  Aquaculture  international  12: 169-180.
Ali  MZ,  Jauncey  K.  2005.    Approaches  to  optimizing  dietary  protein  to  energy ratio for African catfish Clarias gariepinus Burchell, 1822.  Aquaculture
Nutrition  11 :  95-101.  http:www3.interscience.  wiley.comjournal.    [21 Agustus 2008].
Degani  GA,  A.  Horowitz,  D.  Levanon.  1985.    Effect  of  protein  level  in  purified diet  and  density,  ammonia  and  O
2
level  on  growth  of  juvenile  European eels Anguilla anguilla L.. Aquaculture 46: 193-200.
Dosdat  A,  F.  Servais  R,  Metailler  C,  Huelvan,  E.  Desbruyeres.  1996. Comparisons    of  nitrogenous  losses  in  five  teleost  fish  species.
Aquaculture 141: 107-127. Eckert R, David R, and George A. 1980.  Animal physiology.  Mechanisme and
adaptation.    Third  edition.    Prentice  and  Hall,  New  York. Fagbenro OA. 1996.  Apparent digestibility of crude protein and gross energy in
some  plant  and  animal-based  feedstuff  by  Clarias  inherences Siluriformes:  Clariidae  Syndenham  1980.    Journal  of  Applied
Ichtyology 12: 67-68.
Furuichi, M.  1988.  Fish Nutrition. P.  1-78.  In Fish Nutrition and Mariculture. JICA  Text  book.    The  General  Aquaculture  Course.  T.    Watanabe  Ed.
Departement of Aquatic Bioscience, Tokyo University of Fisheries. GEM.  2001.  Squid  liver  powder.  http:www.gemcorp.co.krslpo.html.  [15
Agustus 2009]
Guillame  J,  Cruz-Ricque  E,  Cuzon  G,  Warmhoudt  A,  Revol  A.  1990.  Growth factors in penaeid shrimp feeding. Aquacop Ifremer Actes de Colloque 9:
327-338. Halver JE. 1989. Fish nutrition.  University of Washington, Seatle. 789 pp.
Halver  JE,  Ronald  WH.  2002.    Fish  nutrition.  United  States  of  America.
Academic Press An Imprinr of Elsevier Science. Helper  B.  1990.    Nutrition  of  pond  fishes.    Cambridge  University  Press.
Cambridge, New York. 388 p. Hertrampt  JW,  P.F  Pascual.  2000.    Handbook  on  ingredients  for  aquaculture
feeds. Kluwer Academic Publishers. Belanda. Huisman B. 1990.  Nutrition of pond fishes. Cambridge University Press, 388 pp
Jantrarotai  W,  Sitasit    P,  Jantrarotai
P,  Viputhanumas    T,    Srabua    P.    2007. Protein  and  energy  levels  for  maximum  growth,  diet  utilization,  yield  of
edible  flesh  and  protein  sparing  of  hybrid  Clarias  catfish  Clarias macrocephalus×Clarias  gariepinus.  Journal  of  the  World  Aquaculture
Society 29: 281- 289.  http:www3. interscience. wiley. comjournal.  [21 Agustus 2008].
Jesse. 2009.
Squid liver
meal Squid
liver powder.
http:www.riverocean.com.twuploadSLM.pdf. [23 Juni 2009] Jobling M. 1994.  Fish bioenergetic.  The Norgewian College of Fishery Science
University of Tromso, Norway, Chapman and Hall. 308 pp. Kashio  S,  S.I.  Teshima,  Kanazawa,  Watase.  1993.  The  effect  of  dietary  protein
content on growth, digestion efficiency and nitrogen excretion of juvenile kuruma prawn, Penaeus japonicus. Aquaculture 113: 101-114.
Kurnia  A.  2002.  Pengaruh  pakan  dengan  kadar  protein  dan  rasio  energi  protein yang berbeda terhadap efesiensi pakan dan pertumbuhan benih ikan baung
Mystus  nemurus  C.V  [tesis].    Bogor:  Sekolah  Pascasarjana,  Institut Pertanian Bogor.
Kreuzer R. 1986. Squid-seafood extraordinaire. Infofish 6: 29-32. Li MH, Robinson EH, Hardy R. 2000.  Protein source for feeds.  In: Styckney RR
.editor. Encyclopedia of Aquaculture.  John Wilwy and Sons, New York, p: 688-695
Li  H, Mai K, Ai Q,  Zhang C,  Zhang C,  Zhang  L.    2009. Effect of dietary  squid viscera  meal  on  growth  and  cadmium  accumulation  in  tissue  of  large
yellow croaker, Pseudosciaena croacea R. Front Agriculture China: 31: 78-83.
Lim C, Klesius PH. 2004.  Use of aternatif protein source in diet of warm water fishes.  Abstrak 11 th  International Symposium on Nutrition and Feeding
in Fish. Phuket Island, 2-7 Mei 2004. hlm 30. Lovell T. 1988.  Nutrition and feeding of fish.  An a VI book.  Published by Van
Nonstrand Reinhold.  New York. hlm 427. ----------    1989.  Nutrition  and  feeding  of  fish.    Auburn  University.Van  Nostran
Reinhold, New York.  260 pp. Mai  K,  Li  H,  Ai  Q,  Duan  Q,  Xu  W,  Zhang  C,  Zhang  L,  Tan  B,  Liufu  Z.  2006.
Effect of dietary squid viscera meal on growth and cadmium accumulation in  tissue  of  Japanese  sea  bass,  Lateolabrax  japonicus  Cuvier  1828.
Aquaculture Research 37: 1063-1069.
Mokoginta  I.  1986.    Kebutuhan  Ikan  Lele  Clarias  batrachus  Linn  akan  asam- asam  Lemak  Linoleat  dan  Linolenat  [tesis].    Fakultas  Pasca  Sarjana,
Institut Pertanian Bogor. Ming FW. 1985. Ammonia excretion rate as an index for comparing efficiency of
dietary protein utilization among rainbow trout Salmo gaidneri different strains.  Aquaculture 46:27-35.
Nobukazu  S,  Takashi  F,  Shigeharu  N.  2006.  Availability  of  squid  liver  meal  as diet of fingerlings rockfish. Nippon Suisan Gakkaishi 72: 401-407.
NRC  National  Research  Council.  1983.  Nutrient  requirement  of  warmwater fishes  and  shellfishes.  Revised  edition.    National  Academy  of  sciencec
Washington D.C. 215 pp Pandian TJ. 1989.  Protein Requirment of Fish and Prawns Cultured In Aia. P 11-
12. In S.S. Silva ed Fish Nutrition Reseach in Asia. Proceedings of The Third Asia Fish Nutrition Network Meeting.  Asian Fish. Soe. Spec. Publ
1989 . 4. manila, Philipines.
Pearson  WE  and  Biol  MI.  1988.  The  Nutrition  of  fish.  F.  Hoffman – La Rotche
and Co, Ltd. Basle. Switzerland. Rabegnatar  INS,  dan  W.  Hidayat.  1992.    Estimasi  perbandingan  optimal  energi
protein  dalam  pakan  buatan  untuk  pembesaran  benih  ikan  lele  Clarias batrachus  dalam  keramba  jarring  apung.  Pros.  Seminar  Hasil  Penelitian
Perikanan Air Tawar.   Balai Penelitian Perikanan Air Tawar.  Bogor. hlm 19-28.
Robinson  EH,  Li  MH.  2002.  Technical  Bulletin  1041.  Miss.  Agr.  Forest.  Exp. Sta., Mississipi State University. Mississippi State.
Sa R, P.P Ferreira A, O Teles. 2006.  Effect of dietary protein and lipid levels on growth  and  feed  utilization  of  white  sea  bream  Diplodus  sargus
juveniles.    Aquaculture  Nutrition  12: 310-321.  http:www3.  interscience. wiley.comjournal.  [21 Agustus 2008].
Shigueno  K.  1975.  Shrimp  culture  in  Japan.  Association  for  International Technical Promotion. Tokyo.
Subamia  IW,  N.  Suhenda,  E.  Tahapri.  2003.  Pengaruh  pemberian  pakan  buatan dengan  kadar  lemak  yang  berbeda  terhadap  pertumbuhan  dan  sintasan
benih  ikan  jambal  Siam  Pangasius  hypopthalmus.    Jornal  Pen.  Perik. Indonesia 91: 37-42.
Suhenda  N.    1988.    Pertumbuhan  benih  ikan  lele  Clarias  batrachus  yang mendapatkan  ransum  dengan  kadar  protein  dan  energi  yang  berbeda
[tesis]. Bogor : Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suhenda N.  1997.  Penentuan kebutuhan kadar protein pakan untuk pertumbuhan
dan  kelangsungan  hidup  benih  ikan  jambal  siam  Pangasius hypophthalmus.  Prosiding  Seminar  Nasional  Keanekaragaman  Hayati
Ikan 117 3: 285-289.  http:www3. interscience. wiley.comjournal.  [21 Agustus 2008].
Suhenda  N,  S.  Yanta.  2003.    Penentuan  kebutuhan  nutrien  protein  dan  lemak benih  ikan  patin  jambal  Pangasius  hypophthalmus,  p.  1-15.  Pros.
Seminar  Hasil  Reset  Perikanan  Budidaya  Air  Tawar.    Balai  Reset Perikanan Budidaya Air Tawar. Bogor.
Suhenda  N,  L.  Setijaningsih,  Y.  Suryanti.  2003.    Penentuan  rasio  antara kandungan  karbohidrat,  dan  lemak  pada  benih  ikan  patin  jambal
Pangasius sutchi. Jurnal  Perikanan Indonesia 91: 31-36. Suryaningsih D. 1997.  Koefisien respirasi dan ekskresi NH
3
, benih ikan gurame Osphronemus gouramy yang diberi pakan dengan rasio energi protein 6,
8 dan 10 kkal DEg protein [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Suryanti  YA.  2003.    Pengaruh  protein  pakan  isaokalori  terhadap  pertumbuhan benih  ikan  jelawat  Leptobabus  hoaveni  Blkr.  [tesis].  Bogor:  Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Sutajaya  R.  2006.  Pengaruh  perbedaan  kadar  protein  dan  rasio  energi  protein
pakan  terhadap  kinerja  pertumbuhan  fingerlings  ikan  mas  Cyprinus carpio  [skripsi].  Bogor:  Fakultas  Perikanan  dan  Ilmu  Kelautan,  Institut
Pertanian Bogor.
Syamsunarto, Mas Bayu. 2008.  Pengaruh rasio energi-protein yang berbeda pada kadar  protein  pakan  30  terhadap  kinerja  benih  pertumbuhan  ikan  patin
Pangasius  hypotalmus  [skripsi].  Bogor:  Fakultas  Perikanan  dan  Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Takeuchi  T.  1988.  Laboratory work-chemical evaluation of dietary nutrients, p 179-233  In:  Watanabe  Ed.    fish  nutrition  and  mariculture.    Kanagawa
International  Fisheries  Training  Centre.    Japan  International  cooperation agency JICA, Japan.
Tobuku R. 2008.  Lemak daging dan kinerja pertumbuhan ikan patin Pangasius hypophthalmus  yang  diberi  pakan  dengan  rasio  karbohidrat  dan  lemak
berbeda [tesis].  Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Okorie  OE,  Kim YC, Lee S, Bae JY, Yoo  JH, Han  K, Bai  SC, Park  GJ,  Choi
SM. 2007.  Reevaluation of the dietary protein requirements and optimum dietary  protein  to  energy  ratios  in  Japanese  eel,  Anguilla  japonica.
Journal  of  the  World  Aquaculture  Society  38:  418-426.    http:www3. interscience. wiley.comjournal.  [21 Agustus 2008].
Watanabe T. 1988. Fish nutrition and mariculture, JICA Text Book.  The General Aquaculture  Course.    Departement  of  Aquatic  Bioscience.    Tokyo
University of fisheries. Tokyo.
Wilson RP. 2002.  Amino acid  and protein.   Di dalam:  Halver JE editor.   Fish nutrition.  University of Washington, Seatle, 824 pp.
Wilson  RP,  Poe  WE.    1985.    Apparent  inability  of  channel  catfish  to  utilize dietary  mono  and  disaccharides  as  energy  sources.  J.  Nutrition  117:280
– 285.
Ye  Cherng  Industrial  Product  Co.  LTD.  2009.  Squid  liver  powder.  http: wwwyecherng.com [26 Juni 2009]
LAMPIRAN
Lampiran 1 Denah ruang pemeliharaan ikan uji
1 11
2 4
3 6
5 7
8 9
10
12 13
14
15
Pintu Meja pakan
Aquarium
Aquarium cadangan Tandon air
Aquarium bertingkat
Ukuran Ruangan = 6 m x 4 m
Lampiran 2  Komposisi proksimat tubuh awal ikan lele dumbo
Ulangan K.air
K.abu Protein
Lemak 1
78,3 3,87
13,51 3,32
2 78,44
4 14,91
2,95 Rata-rata
78,37 3,935
14,21 3,135
Lampiran 3 Komposisi proksimat tubuh akhir ikan Lele dumbo
Perlakuan K.air
K.abu Protein
Lemak A1
74,79 3,70
15,26 6,01
A2 73,89
4,02 15,47
5,82 A3
74,22 3,45
15,07 6,84
Rata-rata 74,30
3,72 15,27
6,22 B1
73,16 3,44
16,24 6,45
B2 73,05
3,09 16,56
7,18 B3
73,31 3,58
15,35 7,51
Rata-rata 73,17
3,37 16,05
7,05 C1
72,92 4,69
15,07 6,96
C2 73,86
3,90 15,78
6,21 C3
73,75 3,12
15,26 7,05
Rata-rata 73,51
3,90 15,37
6,74 D1
73,51 3,25
17,35 5,28
D2 74,74
3,40 16,12
4,27 D3
74,39 3,77
16,27 4,38
Rata-rata 74,21
3,47 16,58
4,64
Lampiran 4 Parameter-parameter yang diuji pada penelitian a.  Tingkat konsumsi pakan
Tingkat  konsumsi  pakan  merupakan  jumlah  pakan  yang  dikonsumsi oleh ikan selama pemeliharaan. Tingkat konsumsi ikan dapat dihitung dengan
cara  menimbang  jumlah  pakan  ikan  yang  dikonsumsi  ikan  setiap  harinya selama masa pemeliharaan.
b. Laju pertumbuhan harian