pembuatan pakan ikan. Sementara menurut Lovell 1989, zat yang dapat menghambat kerja enzim tripsin dapat dihilangkan dengan pamanasan pada suhu
105 C selama 10-20 menit.
2.3 Tepung Hati Cumi
Tepung hati cumi adalah salah satu olahan produksi cumi. Perusahaan cumi biasanya menghasilkan cumi yang segar, tepung cumi dan tepung hati cumi
Hertrampf, 2000. Cumi mempunyai aroma yang khas dan mengandung nilai gizi yang tinggi. Daging cumi mudah dicerna, juga mengandung hampir semua asam
amino esensial yang sangat diperlukan tubuh, terutama lisin untuk pertumbuhan anak-anak. Daging cumi mengandung asam lemak tak jenuh termasuk omega 3
yang dapat menekan kandungan kolesterol dalam darah. Cumi juga memiliki beberapa kandungan mineral seperti fosfor dan kalsium yang berguna untuk
pertumbuhan tulang bagi anak Kreuzer, 1986. Ditambahkan pula bahwa tepung cumi mengandung 80,5 protein kasar dan 4,0 lemak kasar, sedangkan tepung
hati cumi mengandung 50,8 protein kasar dan 17,2 lemak kasar Hertrampf, 2000.
Omega 3 pada seafood merupakan asam lemak tak jenuh esensial yang memiliki rantai panjang. Dua kategori asam lemak omega 3 adalah
eicosapentanoic acid EPA dan docosahexaenoic acid DHA keduanya dapat menurunkan kolesterol dalam darah dengan menggantikannya dengan asam lemak
tak jenuh Kreuzer, 1986. Alberto et al. 2006, menyatakan bahwa tepung hati cumi dapat digunakan sebagai atraktan pada Litopenaeus vannamei dengan dosis
0,5 dan 1,0 dalam pakan.
2.4 Ekskresi Amonia
Karbohidrat dan lemak jika digunakan sebagai sumber energi menghasilkan oksidasi lengkap menjadi karbondioksida dan air, tetapi jika protein
dipakai sebagai sumber energi, hanya ikatan karbonnya yang dipakai sementara nitrogen amino tidak dapat dimetabolisme dan harus dikeluarkan. Proses kimia
dimana gugus amino dikeluarkan dari asam amino dikenal sebagai proses transaminasi dan deaminasi. Reaksinya dikatalisis oleh enzim amino transferase
di dalam sitosol hepatocyt dan enzim glutamat dehidrogenase dalam mitokondria. Sementara amonia yang terbentuk kemudian dilepaskan ke pembuluh darah
hepatik selanjutnya diangkut ke organ pengeluaraninsang melalui sistem sirkulasi darah Dosdat et al., 1996; Hepler, 1990. Nitrogen yang diekskresikan oleh ikan
khususnya ikan-ikan teleostei sebagian besar berupa amonia 75-90, selebihnya berupa urea 5-15, asam urat, kreatin, kreatinin, trimetil oksida TMAO,
inulin, asam para-aminohipurik dan asam amino. Ikan mengeluarkan kelebihan nitrogen dalam bentuk amonia sehingga dikenal sebagai hewan ammonotelik
Jobling, 1994. Ming 1985 mengemukakan bahwa meningkatnya ekskresi amonia
dengan cepat lebih banyak disebabkan oleh laju ekskresi nitrogen eksogenous yang lebih tinggi dibandingkan ekskresi nitrogen endogenous. Laju ekskresi
amonia eksogenous lebih banyak dipengaruhi oleh pakan yang dikonsumsi kadar protein pakan, kualitas protein bahan pakan, keberadaan energi non protein dan
laju pemberian pakan, sementara ekskresi amonia endogenous diperoleh dari deaminasi asam amino hasil katabolisme protein jaringan tubuh Jobling, 1994.
Ming 1985 mengemukakan bahwa ekskresi amonia meningkat dengan cepat sebagai respon terhadap penambahan protein pakan. Selanjutnya Degani,
Horowitz dan Levanon 1985 mengemukakan bahwa produksi amonia berkolerasi secara linier dengan kadar protein pakan. Hal ini telah dibuktikan
melalui penelitiannya dimana produksi ikan Anguilla anguilla yang diberi pakan dengan kadar protein 25-35 lebih rendah dibandingkan dengan yang diberi
pakan 45-55 protein. Jobling 1994 mengemukakan bahwa ekskresi amonia ikan yang diberi
pakan lebih tinggi dibandingkan ikan-ikan yang puasa, peningkatan tersebut bahkan bisa sampai 2 kali lebih tinggi Koshio et al., 1993. Ekskresi amonia
akan meningkat begitu selesai mengkonsumsi pakan, dan beberapa jam kemudian terjadi puncak ekskresi. Brett dan Zala dalam Ming 1985 menyatakan bahwa
ekskresi amonia tertinggi pada ikan berukuran 10 g ditemukan 3-5 jam setelah mengkonsumsi pakan dan ikan berukuran 100 g terlihat 5-8 jam setelah makan.
Tinggi rendahnya amonia yang dikeluarkan ikan tergantung pada kadar protein
pakan, keberadaan energi non-protein rasio protein energi, kualitas protein bahan pakan dan kondisi lingkungan hidupnya pH dan temperatur.
Tingkat toksisitas amonia dipengaruhi oleh pH dan temperatur lingkungan perairan, dimana konsentrasi amonia meningkat dengan meningkatnya pH dan
temperatur. Lingkungan yang mempunyai konsentrasi amonia tinggi dapat menyebabkan ikan stress, menghambat pertumbuhan dan dapat menyebabkan
kematian ikan Jobling, 1994; Degani et al., 1985. Tingkat toleransi hewan akuatik terhadap amonia berbeda dan bergantung
pada spesies, kondisi lingkungan hidupnya. Secara umum konsentrasi amonia dalam air tidak boleh lebih dari 1 mgl. Konsentrasi amonia sebesar 0,4-2 mgl
dalam waktu singkat dapat menyebabkan kematian pada ikan Ming, 1985.
2.5 Koefisien Respirasi