2. Bagaimana kelebihan dan kelemahan pada kedua Undang-undang tersebut?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang bersifat Studi Pustaka ini adalah untuk menggali jauh mengenai perbandingan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Adanya perubahan penting dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa
masyarakat menjadi penentu akhir siapa yang berhak menjadi kepala daerah. Salah satu tujuan penting dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemilihan
Gubernur sebagai kepala daerah yang dipilih dipilih oleh DPRD pada Undang- undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan pemilihan secara langsung oleh
masyarakat dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
1.4 Manfaat Penelitian
Bagi Penulis, untuk menambah pemahaman penulis akan perkembangan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang semakin mendewasakan masyarakat
dalam memahami perjalanan demokrasi pada pemilihan kepala daerah, juga sebagai kajian literatur dan meningkatkan kemampuan analisis dan berpikir
khususnya mengenai pemilihan Gubernur sebagai Kepala Daerah yang dipilih oleh Legislatif Daerah atau DPRD pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Bagi Pemerintah, sebuah harapan bahwa hasil analisis Studi Pustaka dalam
penulisan tesisi ini menjadi salah satu sumbangan pemikiran dari sekian banyak
Universitas Sumatera Utara
perspektif yang ada mengenai perbandingan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang lebih fokus membahas
mengenai pemilihan Gubernur sebagai Kepala Daerah. Bagi Program Studi, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Sekolah
Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara juga untuk melengkapi ragam penelitian bersifat Studi Pustaka tentang pemilihan Gubernur sebagai
Kepala Daerah sebagai bahan bacaan dan referensi dari sekian banyak karya ilmiah.
1.5 Kerangka Pemikiran
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagai proses awal berlakunya desentralisasi menegaskan bahwa Gubernur memiliki fungsi untuk
mensinergiskan fungsi pemerintahan daerah dalam menerapkan otonomi daerah yang memiliki kewenangan yang dilimpahkan pusat kepada daerah yang dijamin
oleh undang-undang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses demokrasi. Amiruddin dan Zaini Bisri 2006 Demokrasi bukanlah sebuah utopia
yang dapat dinyatakan dengan khayalan belaka untuk melihat betapa berartinya ketika sebuah demokrasi dapat dilakukan dan langsung dirasakan oleh
masyarakat, demokrasi juga bukan merupakan hadiah cuma-cuma untuk warganya. Namun, jalan yang bisa menjamin masyarakat memperoleh manfaat
demokrasi adalah dengan mengemban tanggungjawab dan menjaga kesinambungannya. Demokrasi merupakan sebuah kewajiban rakyat untuk
menjaga daerah untuk tetap dan selalu maju dengan konsep otonomi daerah yang dapat dilakukan untuk mencapai kemandirian daerah. Menurut Robert Dahl dalam
Universitas Sumatera Utara
Prihatmoko 2005 demokrasi lokal mendorong masyarakat di sekitar pemerintahan tersebut untuk ikut serta secara rasional terlibat dalam kehidupan
politik, dengan Pilkada secara langsung maka kesetaraan politik di antara berbagai komponen masyarakat akan terwujud.
Dalam Hendratno 2009 Pengertian tentang desentralisasi tidak ada yang tunggal, banyak defenisi yang dikemukakan oleh para pakar mengenai
desentralisasi. Menurut David K. Hart Hendratno: 2009 banyaknya defenisi tentang desentralisasi disebabkan karena ada beberapa disiplin ilmu dan teori yang
memberikan perhatian terhadap desentralisasi. Secara etimologis istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin yang
berarti “de” adalah lepas dan “centrum” adalah pusat, sehingga bisa diartikan melepaskan dari pusat. Dari sudut ketatanegaraan yang dimaksud desentralisasi
adalah penyerahan kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus rumahtangganya sendiri. Syaukani, Gaffar, dan Rasyid 2005
desentralisasi adalah sebuah mekanisme penyelenggaraan pemerintah yang menyangkut pola hubungan antara pemerintahan nasional dan pemerintahan lokal
dimana pemerintahan nasional melimpahkan kewenangan kepada pemerintahan di daerah untuk diselenggarakan guna meningkatkan kemaslahatan hidup
masyarakat. Dalam Hendratno 2009 istilah otonomi lebih cenderung berada dalam
aspek politik –kekuasaan negara karena menyangkut seberapa besar wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintah yang telah diberikan sebagai
wewenang daerah.
Universitas Sumatera Utara
Syaukani, Gaffar, dan Rasyid 2005 kata kunci otonomi daerah adalah “kewenangan”, seberapa besarkah kewenangan yang dimiliki oleh daerah dalam
menginisiatifkan kebijaksanaan, mengimplementasikan dan memoblisasi dukungan sumber daya untuk kepentingan implementasi. Dengan kewenangan
tersebut maka daerah akan menjadi kreatif untuk menciptakan kelebihan dan insentif kegiatan ekonomi dan pembangunan daerah.
Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Kepala daerah adalah kepala pemerintahan yang terdapat di daerah yang bertanggungjawab untuk
memandirikan masyarakat dalam otonomi daerah pada konsep desentralisasi yang di pilih secara langsung oleh masyarakat dan bertanggungjawab penuh kepada
masyarakat yang telah memilihnya. Kepala daerah haruslah seorang yang dekat masyarakat dan dikenal oleh masyarakat pula, dan karena itu kepala daerah
haruslah seorang yang mendapat kepercayaan dari rakyat atau masyarakat dan diserahi kekuasaan untuk memimpin daerah. Leo Agustino, 2009 mengatakan
bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung secara esensial bertujuan untuk lebih menguatkan legitimasi politik “penguasa” di daerah.
Menurut Eep Saepullah TribunNews, Jakarta 3172010 penerapan otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang
merupakan amandemen dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadikan titik tumpu otonomi antara Provinsi dan KabupatenKota menjadi samar. Karena,
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengamanatkan Provinsi memiliki kewenangan yang lebih besar sebagai titik tumpu otonomi. Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 mengubah secara signifikan isi Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 bahwa titik tumpu otonomi yaitu KabupatenKota namun kemudian
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Provinsi sehingga praktis menjadi samar, yang mana sebenarnya
yang menjadi titik tumpu dari otonomi daerah sehingga akhirnya seolah-olah keduanya menjadi titik tumpu maka dengan itu bila ingin menerapkan dengan
menghapuskan pemilihan langsung kepala daerah maka harus disepakati terlebih dahulu mengenai soal titik tumpu tersebut.
Gregorius Sahdan dan Muhtar Haboddin 2009 menjelaskan bahwa tujuan Pilkada langsung adalah untuk memperkuat integrasi dan kohesi sosial
masyarakat, karena masyarakat dapat mempelajari bagaimana cara mengelola perbedaan kepentingan melalui Pilkada langsung. Pilkada telah menjadi budaya
dalam masyarakat, mengubah tradisi sebagai sebuah budaya politik masyarakat dan memperkenalkan dengan sesuatu hal yang baru dalam bentuk pemilihan
kepala daerah yang dilakukan oleh masyarakat secara langsung, meskipun lebih baik, perlu menghapus prasangka-prasangka masyarakat yang dianggap kurang
sesuai dalam masyarakat dan menerangi ketidaktahuan masyarakat serta meyakinkan masyarakat bahwa kepentingan masyarakat akan diperjuangkan oleh
sebuah perjuangan untuk sebuah perubahan kearah yang lebih baik dan sepenuhnya di berikan kepada kepala daerah untuk mengatur daerahnya untuk
mencapai tujuan yang ingin di capai. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa berlakunya pemilihan kepala daerah untuk daerah provinsi yang
dijamin dalam undang-undang dalam pelaksanaannya yang dipilih langsung oleh masyarakat.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai pemilihan Kepala Daerah oleh masyarakat secara langsung secara gamblang memperlihatkan politik
Universitas Sumatera Utara
uang dalam masyarakat sementara bila dibandingkan dengan pemilihan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak berbeda jauh dari pemilihan kepala
daerah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2204 karena tetap menggunakan politik uang namun tidak secara gamblang diperlihatkan kepada masyarakat
karena pemilihan kepala daerah dilakjukan secara tertutup oleh Dewan di daerah DPRD. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 melalui pemilihan
langsung ternyata mendorong sebagain besar kepala daerah untuk korupsi yang diakibatkan besarnya pengeluaran pada saat mencapai kepala daerah sehingga
tidak heran jika seorang calon Kepala Daerah Provinsi menghabiskan Rp. 10-100 Miliar untuk ikut pemilihan kepala daerah. Oleh karena itu sangat memungkinkan
bahwa banyak Kepala Daerah akhirnya berurusan dengan hukum. Setiap Undang-undang memiliki kelebihan dan kekurang tersendiri,
demikian juga dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemilihan kepala daerah dan tentunya
memiliki alasan pembenar masing-masing dalam pemilihan Gubernur sebagai kepala daerah.pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 secara sah bahwa
dilakukannya pemilihan kepala daerah secara langsung dan pada kenyataannya menyedot anggaran yang berlebihan juga maraknya konflik horizontal akibat
ketidakpuasan atas hasil terutama jumlah suara. Dalam Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 memiliki penguatan dalam Undang-undang Pasal 18 Ayat 4 yang
berbunyi: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan Provinsi, kabupaten, dankota dipilih secara demokratis” dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 bahwa kepala daerah dipilih oleh karena DPRD dipilih secara langsung oleh rakyat maka dengan kata lain melegalkan
Universitas Sumatera Utara
bahwa pemilihan Gubernur adalah juga hasil pemilihan rakyat. Sementara kalimat demokratis dalam Pasal 18 Ayat 4 dengan tegas dipilih secara demokratis, titik
persoalan adalah bagaimana mendudukkan persoalan kata demokratis tersebut dalam memilih kepala daerah.
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN PUSTAKA