Wacana pemilihan gubernur melalui DPRD boleh jadi dipertimbangkan sebagai jalan keluar dari praktik money politic. Namun dapat saja terjadi akan
kembalinya kesalahan terdahulu bahwa uang akan digunakan untuk mempengaruhi anggota dewan dalam meluluskan calon yang dipilih secara
demokratis, adanya ancaman recall dari partai kemungkinan akan tidak berhasil karena besarnya jumlah uang dari setiap calon yang menginginkan menjadi
Gubernur karena politik uang tersebut bisa saja lebih besar dari jumlah gaji dari sisa masa jabatan dengan alasan dana aspirasi. Mengungkap praktik money politic
melalui anggota DPRD jauh lebih rumit jika dibandingkan yang dibagi kepada rakyat karena tergolong tindak pidana korupsi suap-menyuap yang pelakunya
sama-sama berpendidikan dan cerdik dalam merancang modus. Sebaliknya, mengungkap money politic melalui rakyat relatif lebih mudah karena massal.
4.6 Perbandingan UU No. 22 Tahun 1999 dengan UU No.32 Tahun 2004
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak terlepas dari penyelenggaraan pemerintahan pusat, karena pemerintahan daerah merupakan
bagian dari penyelenggaraan pemerintahan negara. Dengan demikian asas penyelenggaraan pemerintahan berlaku juga dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, termasuk asas-asas penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan
daerah. Perbedaan yang mencolok dalam UU No 22 Tahun 1999 dengan UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga sebagai persoalan dalam penulisan ini adalah proses pemilihan kepala daerah.
Universitas Sumatera Utara
Trauma terhadap pelaksanaan pilkada pada masa orde baru yang ditandai dengan intervensi pusat secara berlebihan menjadi semangat para pembuat
Undang-undang untuk memperbaiki sistem pemilihan kepala daerah, solusi tersebut adalah dengan melahirkan pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh
DPRD. Perombakan tersebut untuk menjawab segala kekurangan yang terdapat dalam pemilihan kepala daerah selama orde baru. Ihwal kepala daerah diatur
dalam Pasal 34 sampai Pasal 40 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang secara tegas memuat ketentuan-ketentuan mengenai tugas, fungsi dan
kewenangan DPRD dalam pelaksanaan pilkada. Ketentuan lebih rinci tentang pilkada tertuang dalam peraturan pemerintah Nomor 1512000 tentang Tatacara
Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Setia kepala daerah yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 maupun dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 harus
memiliki legitimimasi dalam kepemimpinan karena telah mendapatkan pengakuan dari masyarkat secara umum. Prihatmoko 2005 terdapatnya 3 jenis legitimasi:
1 legitimasi yuridis; 2 legitimasi sosiologis; dan 3 legitimasi etis. Legitimasi berasal dari kata Legitim” atau “Lex” yang berarti hukum. Proses politik selalu
dikaitkan dengan kekuasaan, kekuasaan tercakup dalam otoritas atau wewenang atau juga kekuasaan yang telah dilembagakan yakni kekuasaan yang tidak hanya
de facto melainkan juga berhak untuk menguasai. Wewenang selalu dimiliki oleh setiap pemimpin untk mengarahkan jalannya pemerintahan secara demokratis
tanpa adanya sifat diktator serta menerima saran sebagai masukan. Wewenang merupakan kekuasaan yang berhak menuntut ketaatan sehingga berhak untuk
Universitas Sumatera Utara
memberikan perintah, tidak semua orang dapat memiliki wewenang karena wewenang melekat dalam jabatan politik.
Dalam legitimasi yuridis adalah proses pemilihan kepala daerah yang mengacu pada aturan atau ketentuan hukum yang digunakan sebagai payung
perlindungan untuk menjamin keabsahan atau legalitas. Legitimasi sosiologis merupakan persoalan mekanisme motivatif yang nyata membuat rakyat mau
menerima wewenang kepala daerah, artinya bahwa proses pemilihan kepala daerah dilakukan dengan prosedur dan tatacara yang memlihara dan
mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi dan norma-norma sosial sebagai perwujudan mekanisme partisipasi, kontrol, pendukungan dan penagihan janji
rakyat terhadap kepala daerah, atau dengan kata lain sejauh mana kepala daerah memperoleh dukungan rakyat atau publik sejauh itu pula ia memiliki alasan moral
untuk berwenang sebagai kepala eksekutif di daerah. Legitimasi etis dipengaruhi oleh legitimasi sosiologis karena terdapatnya
proses keabsahan wewenang kekuasaan politik dari segi norma-norma moral, apablia seorang calon kepala daerah memperoleh suara tertinggi dalam pilkada
maka calon berhak menjadi kepala daerah namun apabila kepala daerah tersebut tidak merealisasikan janji-janji dalam kampanye atau tidak memperhatikan
norma-norma sosial dan moral pada saat menjalankan fungsi dan tugasnya maka pada saat yang sama dianggap tidak layak menjalankan wewenang kekuasaan
sehingga sebebnarnya tidak memiliki legitimasi lagi karena berkurangnya kepercayaan masyarakat.
Seorang kepala daerah yang memiliki legitimasi adalah kepala daerah yang terpilih dengan prosedur dan tatacara yang sesuai ketentuan perundang-
Universitas Sumatera Utara
undangan, melalui proses kampanye dan pemilihan yang bebas, adil sesuai dengan norma-norma sosial dan etika politik, didukung oleh suara terbanyak dari seluruh
pemilih secara objektif. Legitimasi memberikan pengaruh yang cukup kuat bagi setiap pemimpin
dalam memipin suatu daerah yang tidak lain dimiliki oleh kepala daerah, legitimasi merupakan hasil dari kepercayaan rakyat kepada kepala daerah yang
telah di pilihnya untuk menuntun pemerintahan yang adil serta memperhatikan masyarakat dengan komunikasi, kedekatan pemerintah dengan masyarakat
sehinnga hubungan emosional antara pemimpin dengan yang dipimpinnya dapat berjalan seiring dengan perubahan.
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menjelaskan bahwa pejabat yang berwenang adalah Pejabat Pemerintah di Tingkat pusat dan atau Pejabat
Pemerintah di Daerah Provinsi yang berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 Pejabat yang berwenang adalah Pejabat Pemerintah yang berwenang mengesahkan atau menyetujui menangguhkan dan membatalkan
kebijakan daerah danatau mengangkat, memberhentikan, mengesahkan, menyetujui, membina dan mengawasi pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintah
Daerah danatau Pejabat Pemerintah pada pemerintahan Daerah Provinsi yang berwenang dan mengawasi pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah
kabupaten dan kota. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan pengertian yang lebih lengkap dan jelas dari Undang-undang
sebelumnya sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
Pemberhentian kepala daerah adalah apabila Kepala Daerah dipilih dengan sistem perwakilan oleh DPRD maka DPRD berwenang untuk memberhentikan,
mekanisme ini merupakan turunan dari sistem demokrasi parlementer dalam hal parlemen lokal dipilih oleh rakyat dalam suatu pemilu sedangkan kepala daerah
dipilih oleh dan bertanggungjawab kepada parlemen lokal. Apabila, pejabat pusat Presiden atau Menteri Dalam Negeri yang menunjuk danatau mengangkat
Kepala Daerah maka pejabat yang mengangkat juga yang berwenang melakukan pemberhentian kepala daerah, mekanisme ini menganut sistem pemberhentian tata
pemerintahan konservatif. Jika kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat maka cara memberhentikan kepala daerah dengan mekanisme politik pemilukada,
cara ini merupakan turunan dari sistem demokrasi presidensial dengan prinsip “parlemen tidak bisa menjatuhkan kepala daerah dan kepala daerah tidak dapat
membubarkan parlemen lokal” dalam hal ini dikarenakan kepala daerah maupun parlemen lokal dipilih dalam oleh rakyat.
Kewenangan DPRD dalam memberhentikan kepala daerah didasarkan pada Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 46
Ayat 3 yang berbunyi “Bagi kepala daerah yang pertanggungjawabannya ditolak untuk keduakalinya, DPRD dapat mengusulkan pemberhentian kepada Presiden”
artinya eksekusi penggunaan wewenang terkait dengan mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah yang harus disampaikan kepada kepada
DPRD. Sementara pada Pasal 44 Ayat 2 yang berbunhi”dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, kepala daerah bertanggungjawab kepada DPRD”.
Dalam UU No. 32 Tahun2004 diatur secara lebih terperinci dan jelas mengenai syarat-syarat pembentukan suatu daerah otonom, dn tujuan dari
Universitas Sumatera Utara
pembentukan daerah otonom tersebut UU No 32 Tahun 2004 disebutkan secara tegas pembagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Propinsi dan
yang menjadi kewenangan KabupatenKota, dan mengatur pula mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Terdapat juga perbedaan antara Kepala Daerah pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu
mengenai: 1 Syarat-syarat Calon Kepala Daerah dalam Pembatasan masa jabatan; 2 Dalam syarat-syarat Calon Kepala Daerah UU No. 32 Tahun 2004
menambahkan syarat-syarat Calon Kepala Daerah dibanding dalam Undang- undang Nomor 22 Tahun 1999; 3 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak
ada pembatasan masa jabatan sedangkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 terdapat pembatasan masa jabatan yang sangat jelas adalah 2 kali dalam
masa jabatan yang sama; 4 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur tentang tata cara pemberhentian Kepala Daerah, Penetapan Pemilih, Kampanye,
pemungutan suara, penetapan calon terpilih dan pelantikan, pemantauan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, dan ketentuan pidana pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
UU No.22 tahun 1999 membawa perubahan yang sangat fundamental mengenai mekanisme hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah
Pusat. Perubahan yang jelas adalah mengenai pengawasan terhadap Daerah. Pada masa lampau , semua Perda dan keputusan kepala daerah harus disahkan oleh
mengatur bahwa Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara langsung hal ini berbeda dengan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
mengenai pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD.
Universitas Sumatera Utara
pemerintah yang lebih tingkatannya, seperti Mendagri untuk pembuatan Perda Provinsi, Gubernur Kepala Daerah mengesahkan Perda Kabupaten. Berlakunya
UU No.22 tahun 1999, Daerah hanya diwajibkan melaporkan saja kepada pemerintah di Jakarta. Namun, pemerintah dapat membatalkan semua Perda yang
bertentangan dengan kepentingan umum atau dengna peraturan puerundangan yang lebih tinggi tingkatannya atau peraturan perundangan yang lain.
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dimana kepala daerah dipilih oleh DPRD sebagaimana tertuang dalam Pasal 34 Ayat 1 dan Ayat 2
yang menyebutkan bahwa: “Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan” selanjutnya
pada Ayat 2 menyebutkan bahwa: “Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah ditetapkan oleh DPRD melalui tahapan pencalonan dan
pemilihan”. Berdasarkan PP No. 151 Tahun 2000 tahapan-tahapan Pemilihan Calon
Kepala Daerah dan Wakil kepala Daerah terdiri dari 1 pendaftaran bakal calon; 2 penyaringan bakal calon; 3 penetapan pasangan calon; 4 rapat paripurna
khusus; 5 pengiriman berkas pengiriman, pengesahan; dan 6 pelantikan. Semua tahapan tersebut dirancang agar Kepala Daerah terpilih adalah benar-benar
seorang pemimpin yang mumpuni yaitu memenuhi kualifikasi administratif yang disyaratkan, mengenal dan dikenal oleh masyarakat daerah, memiliki kompetensi
dan kapabilitas memimpin daerah serta memiliki visi, misi strategi membangun daerah.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 demokrasi dan demokratisasi diperlihatkan bahwa mengenai rekrutmen pejabat pemda yang
menyangkut proses legislasi di daerah juga mendekatkan pemerintah dengan rakyat karena titik berat otonomi daerah diletakkan kepada daerah kabupaten dan
kota bukan kepada daerah Provinsi. Sistem otonomi luas dan nyata pemda berwenang melakukan apa saja yang menyangkut penyelenggaraan pemerintah.
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak menggunakan otonomi bertingkat, daerah-daerah pada tingkat yang lebih rendah menyelenggarakan
urusan yang bersifat residual yaitu yang tidak diselenggarakan oleh pemda yang lebih tinggi tingaktannya. Penguatan rakyat melalui DPRD, penguatan tersebut
baik dalam proses rekrutmen politik lokal ataupun dalam pembuatan kebijakan publik di daerah.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak memiliki perbedaan yang prinsipal dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 karena keduanya sama-
sama menganut asas desentralisasi namun sangat berbeda dalam memilih kepala daerah. Pemerintah daerah berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, otonomi yang luas nayata dan bertanggungjawab.
Perubahan signifikan adalah pola hubungan kedudukan sebagai mitra sejajar antara kepala daerah dan DPRD yaitu kepala daerah, DPRD hanya
berwenang meminta laporan keterangan pertanggungjawaban dari kepala daerah.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN