langsung sangat besar dalam masyarakat paternalistik dan primordial terutama pada masa kampanye. Dengan pemilihan tidak langusng masyarakat tidak
disibukkan dan tidak di bingungkan oleh kegiatan-kegiatan politik.
4.5 Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung Pilkada
Idealnya pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung bahwa apapun sistem yang dianut sepanjang fungsi-fungsi pemerintah daerah dapat dilaksanakan
dengan optimal dan di rasakan hasilnya oleh masyarakat maka sistem yang dipilih apapun sama saja. Namun, dalam negara yang masih belajar menerapkan
demokrasi cenderung pencapain ke arah demokrasi justru menonjolkan coba-coba dalam menerapkan sistem dalam sebuah negara dengan argumentasi kondisional
karena sesuai dengan kebutuhan negara. Tataq Chidmad 2004 menjelaskan bahwa substansi pemilihan kepala
daerah secara langsung adalah kedaulatan rakyat karena dikembalikan kepada rakyat “terserah rakyat yang memilih”. Transisi politik demokrasi menempatkan
pemilihan Kepala Daerah secara langsung sebagai salah satu jalan alternatif yang paling memungkinkan daripada jalan lainnya namun dalam era transisi tersebut
memberikan harapan kehidupan politik yang lebih baik sebagai suatu harapan baru meskipun tantangan sangat berat karena pemberlakuan pemilihan secara
langsung yang melibatkan seluruh masyarakat. Pengisian Kepala Daerah melalui pemilihan langsung oleh rakyat bukan
sekedar soal “cara” namun masalah “substansi” untuk meningkatkan demokrasi daerah. Pilkada tidak secara langsung tidak dengan sendirinya menjamin
peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri sekalipun Undang-undang yang ada
Universitas Sumatera Utara
sangat sempurna namun kualitas manusia tidak dapat mengimbangi kesempurnaan undang-undang tersebut.
Prihatmoko 2005 menjelaskan bahwa terdapat kelemahan dan kelebihan politik uang pemilihan kepala daerah secara langsung, adalah
Kelemahan pilkada langsung, yaitu a.
Dana yang dibutuhkan besar. Dana atau anggaran yang dibutuhkan dalam pilkada langsung sangat besar
baik untuk kegiatan operasional, pembiayaan logistik maupun keamanan. Besarnya dana untuk pilkada langsung memberatkan pemerintah daerah di tambah
dengan persoalan apabila pilkada tersebut harus melalui dua putaran. b.
Membuka kemungkinan konflik elite dan massa. Konflik terbuka akibat penyelenggaraan pilkada langsung sangat terbuka.
Konflik yang terjadi dalam pilkada dapat bersifat elit namun lebih condong konflik horizontal. Potensi konflik dalam masyarakat paternalistik dan primordial
dimana pemimpin dapat memobilisasi pendukungnya. c.
Aktivitas rakyat terganggu. Kesibukan warga menjalankan aktivitas sehari-hari dengan mudah bisa
terganggu karena pelaksanaan pilkada langsung. Kelebihan pilkada langsung, yaitu
a. Kepala daerah terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi yang
sangat kuat karena didukung oleh suara rakyat yang memberikan suara secara langsung. Legitimasi merupakan hal yang sangat diperlukan oleh suatu
pemerintahan yang sedang mengalamai krisis.
Universitas Sumatera Utara
b. Kepala daerah terpilih tidak perlu terikat pada konsesi partai-partai
atau faksi-faksi politik yang telah mencalonkan kepala daerah tersebut. Artinya, Kepala Daerah terpilih berada di atas segala kepentingan dan dapat menjembatani
berbagai kepentingan tersebut. Kebutuhan pemerintah daerah sekarang adalah kebijakan publik yang benar-benar berpihak pada rakyat.
c. Sistem pilkada langsung lebih akuntabel dibanding sistem lain
yang selama ini digunakan karena rakyat tidak harus menitipkan suaranya kepada anggota legislatif.
d. Check and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif dapat
lebih seimbang. e.
Kriteria calon Kepala Daerah dapat dinilainnsecara langsung oleh rakyat yang akan memberikan suaranya.
Secara harfiah laegitimasi berarti hukum dan secara nyata dapat diartikan sebagai kekuasaan. Kekuasaan tersebut tercakup otoritas yang dilembagakan
yakni kekuasaan yang tidak hanya de facto menguasai melainkan juga berhak untuk menguasai. Wewenang sebagai legitimasi adalah kekuasaan yang berhak
menuntut ketaatan sehingga berhak untuk memberi perintah. Legitimasi dalam rekrutmen politik mencakup legitimasi yuridis,
legitimasi sosiologis, dan legitimasi etis. Legitimasi yuridis merupakan proses pilkada mengacu pada aturan atau ketentuan hukum yang digunakan sebagai
payung perlindungan untuk menjamin keabsahan atau legalitas. Legitimasi sosiologis mempertanyakan mekanisme motivatif yang nyata membuat rakyat
mau menerima wewenang Kepala Daerah artinya bahwa proses pilkada dilakukan dengan prosedur dan tatacara yang memelihara dan mengejawantahkan nilai-nilai
Universitas Sumatera Utara
demokratis dan norma-norma sosial sebagai perwujudan mekanisme partisipasi, kontrol, pendukungan dan penagihan janji rakyat terhadap Kepala Daerah.
Dengan kata lain, sejauh mana seorang Kepala Daerah memperoleh dukungan rakyat sejauh itu pula Kepala Daerah memiliki alasan moral untuk berwenang
sebagai kepala eksekutif di daerah sementara Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan wewenang kekuasaan politik dari segi norma moral.
DEPHUKHAM 2009 menjelaskan bahwa secara umum pelaksanaan pilkada dapat berlangsung dan berhasil memilih Kepala Daerah, tetapi masih
banyak persoalan penting yang harus di benahi, yakni: Pertama, tingkat partisipasi menunjukkan bahwa dalam pilkada lebih rendah dibandingkan dengan
pemilu nasional di setiap daerah yang bersangkutan. Kedua, berdasarkan fakta yang ditemukan dilapangan dari kalangan praktisi dan pengalaman di daerah lain
di Indonesia nampak bahwa hampir dapat di katakan sumber dari segala sumber masalah pilkada diawali saat penyiapan daftar pemilih. Ketiga, ketidakyakinan
pemilih terhadap kepala daerah terpilih. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam hal ini adalah
Gubernur secara langsung oleh rakyat merupakan perwujudan pengembalian hak- hak dasar rakyat dalam memilih pemimpin daerah. Maka, rakyat memiliki
kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas, rahasia tanpa intervensi seperti memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam pemilihan Kepala Daerah salah satu hal yang terpenting adalah proses pemberhentian Kepala Daerah ketika Kepala Daerah melakukan kesalahan
meskipun adanya aturan perundan-undangan yang menawarkan dengan jalan
Universitas Sumatera Utara
impiechman. Namun, adanya hukum pararelisme yang berlaku dalam hubungan antara pemilihan dan pemberhentian Kepala Daerah.
Prihatmoko 2005 menyebutkan terdapat 3 tiga rumusan mengenai hukum pararelisme karena pararelisme sejatinya hendak meneguhkan bahwa
sistem pilkada bekerja secara konstituen, 3 tiga rumusan tersebut adalah: a.
Apabila Kepala Daerah dipilih dengan sistem perwakilan oleh DPRD maka DPRD pula yang berwenang untuk memberhentikan Kepala Daerah
tersebut. Mekanisme ini merupakan turunan dari sistem demokrasi parlementer karena parlemen lokal dipilih oleh rakyat dalam suatu pemilu sedangkan kepala
daerah di pilih oleh dan bertanggungjawab kepada parlemen lokal. b.
Apabila pejabat pusat Presiden dan Menteri Dalam Negeri yang menunjukatau mengangkat Kepala Daerah maka pejabat yang mengangkat
Kepala Daerah juga yang berwenang melakukan pemberhentian Kepala Daerah. Mekanisme ini menganut sistem dan tata pemerintahan konservatif.
c. Jika kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat maka cara
memberhentikan Kepala Daerah dengan mekanisme politik melalui pemilu. Cara ini merupakan turunan dari sistem demokrasi Presidensiil dengan prinsip bahwa
parlemen tidak bisa menjatuhkan Kepala Daerah dan Kepala Daerah tidak dapat membubarkan parlemen lokal. Parlemen lokal maupun Kepala Daerah dipilih oleh
rakyat dalam pemilu. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat di daerah. Berbeda dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang mengatr
bahwa GubernurWakil Gubernur dipilih oleh DPRD. Proses pemilihan kepala
Universitas Sumatera Utara
daerah secara langsung dalam UU No. 32 Tahun 2004 memiliki kesamaan dengan pemilihan pada negara bagian. Urusan pemilihan pemerintahan negara bagian
adalah urusan masing-masing negara bagian sehingga pemerintah negara federal tidak ikut campur tangan.
Keberadaan partai politik terletak pada sejauhmana partai politik melakukan rekrutmen politik dan kaderisasi terhadap anggota-anggotanya untuk
menjadi pemimpin. Partai-partai disamping diperlukan untuk merebut dan memperjuangkan kekuasaan juga bertujuan untuk memperkuat kapasitas kader.
Sahdan dan Haboddin 2009 menyebutkan ada 2 dua hal yang perlu dilakukan oleh partai politik dan dipandang cukup esensial dalam pilkada antara
lain: 1 Melakukan rekrutmen politik secara regular dengan memilih kader yang baik menjadi anggotanya; 2 Menjalankan metode kaderisasi yang tepat untuk
memperkuat kapasitas anggotanya. Metode kaderisasi berhubungan dengan kurikulum pendidikan kader, pendidikan dan pelatihan kader, pembinaan, serta
konsultasi. Dengan demikian pada setiap pilkada partai tidak kehilangan harga diri karena mengalamai kekurangan kader atau karena mempunyai kader yang
kapasitasnya diragukan oleh konstituen. Kader-kader yang kalah di dalam pilkada akan menceritakan banyak
tentang kelemahan dan kecurangan yang mampu mendongkrak kembali popularitasnya, tetapi yang paling memalukan adalah kalahnya kader partai
mayoritas berhadapan dengan kader partai minoritas. Hal ini menunjukkan bahwa konstituen memilih orang yang bukan partainya atau dengan kata lain dalam
pilkada sebenarnya pemilih lebih cenderung memilih berdasarkan kualitas kandidat bukan berdasarkan kualitas partai.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Ranny dalam Sahdan dan Haboddin 2009 menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara Kader dengan kandidat. Kader adalah orang yang telah
mengalamai proses penggemblengan dalam partai politik dan sudah melalui semua prosedur pendidikan, pelatihan, dan pembinaan yang ada di dalam partai
politik dan memiliki kecintaan yang tinggi terhadap partai politik. Sedangkan, Kandidat adalah orang yang diambil oleh partai untuk tujuan-tujuan yang bersifat
khusus misalnya untuk menduduki kursi dalam dewan. Kader memiliki ikatan emosional yang kuat dengan partai politik sementara kandidat kurang loyal dan
kurang setia dengan partai politik. Dalam pemilihan kepala daerah, pemilih berhadapan dengan dua pilihan yaitu memilih kader atau memilih kandidat.
Partai cenderung lebih memilih mencalonkan kandidat daripada kader di dalam pilkada, pemilihan terhadap kandidat berdasarkan pertimbangan, antara
lain: Pertama, Partai mengalami kekosongan kader yang memiliki popularitas dan kualitas yang seimbang dengan kandidat. Kedua, Partai gagal melakukan
kaderisasi sehingga kebanyakan kadernya tidak layak jual dalam pilkada. Ketiga, kader gagal menginternalisasi nilai-nilai partai ke dalam dirinya sehingga partai
tidak bisa membedakan antara keunikan kadernya dengan kandidat yang bukan berasal dari partai politik. karenanya partai lebih tertarik untuk mengadopsi
kandidat yang berasal dari luar partai. Ciri-ciri kandidat, adalah: 1 Memiliki uang lebih; 2 Memiliki pengaruh dalam masyarakat; 3 Memiliki koneksi; 4
Dapat diandalkan; 5 Dapat dipercaya; 6 Dapat dikontrol oleh partai; 7 Kemauan untuk membantu partai dalam pemilu Legislatif dan pemilu Presiden.
Rozali Abdullah 2005 menjelaskan bahwa broma uang dalam proses politik pilkada semakin kental terasa, hampir semua peristiwa politik yang digelar
Universitas Sumatera Utara
selalu memerlukan uang yang tidak sedikit jumlahnya. Mahalnya ongkos politik dalam proses pemilihan kepala daerah disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu:
Pertama, pasangan calon kepala daerah yang akan bertarung diharuskan membeli partai politik sebagai kendaraan politik. Kedua, Model kampanye politik yang
dilakukan oleh pasangan calon membutuhkan banyak biaya seperti biaya kampanye, poster, dan iklan. Ketiga, Untuk membujuk pemilih biasanya
menggunakan praktek politik uang. Tiga faktor tersebut dapat dikatakan bahwa proses politik pilkada sangat mahal ongkos dalam pencapaian seorang agar dapat
dikatakan sebagai calon. Mahalnya ongkos pilkada tersebut merupakan tantangan bagi proses perkembangan demokrasi lokal, politik uang sebagai bentuk
penggunaan untuk memperoleh kekuasaan politik. Menurut Herbert E. Spencer dalam Rozali Abdullah 2005 bahwa uang
adalah alat yang memiliki arti penting untuk mengetahui bagaimana uang itu untuk digunakan setiap orang untuk mencoba mendapat pengaruh serta digunakan
secara berkombinasi dengan sumber lain untuk meraih kekuasaan. Uang sebagai medium yang sangat signifikan untuk dapat menguasai sumberdaya politik,
karakteristik uang adalah bahwa uang dapat dipindahkan dan dipertukarkan tanpa harus meninggalkan jejak karena uang adalah sebuah keuntungan mutlak dalam
politik. uang juga dapat memberikan pengaruh politik bagi setiap pemiliknya, uang sebagai kekuatan financial power yang membuat orang memiliki pengaruh
secara politik dalam masyarakat. Dengan penggunaan uang tersebut maka demokrasi akan menjadi mahal serta menjadikan alat untuk memperkaya diri dan
kroni serta keluarga. Sahdan dan Haboddin 2009 menjelaskan bahwa total uang
Universitas Sumatera Utara
yang dikeluarkan dalam perebutan kursi Gubernur 2008 menghabiskan uang sebesar 1 Triliun Rupiah.
Demokrasi langsung dalam politik pilkada membutuhkan pembiayaan politik yang amat besar jumlahnya dalam usaha merebut suara pemilih. Setiap
calon yang akan bertarung harus menggelontorkan biaya dalam rangka meraih simpati masyarakat pemilih. Amzulian Rifai 2003 menyebutkan bahwa faktor
yang menyebabkan pilkada menjadi mahal adalah: Pertama, besarnya biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan even demokrasi di tingkat lokal tersebut.
Kedua, Besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh seorang kandidat dalam proses pencalonan kepala daerah. Ketiga, Para pasangan calon kepala daerah
biasanya membeli tokoh-tokoh masyarakat yang mempunyai pengaruh terhadap pemilih demi meraih suara dalam pemilihan langsung. Keempat, Pasangan calon
Kepala Daerah membeli suara masyarakat pemilih. Dari kondisi tersebut mengisyaratkan bahwa besarnya biaya
penyelenggaraan pilkada menimbulkan kesan yang kuat dalam masyarakat bahwa demokrasi itu harganya sangat mahal. Demokrasi yang mahal berakibat pada
rendahnya partisipasi masyarakat untuk ikut dalam pertarungan pilkada. Dalam masyarakat demokratis pada umumnya sumber-sumber kekayaan dapat
menghasilkan kekuasaan politik dan kekuasaan politik dapat menghasilkan kekayaan.
Sahdan dan Haboddin 2009 menyebutkan terdapat 7 tujuh bekerjanya politik uang, yaitu: Pertama, Penyaliran dana yang dilakuakn dengan sengaja
melawan hukum dalam rangka bujukan politik terhadap masyarakat. Kedua, Pemberian uang bertujuan untuk mempengaruhi proses dalam pemilihan kepala
Universitas Sumatera Utara
daerah. Ketiga, Membagi-bagikan uang secara langsung. Keempat, Melalui instruksi semisal pemasangan bendera yang disertai dengan tindakan memberi
uang. Kelima, Melalui membagikan barang melalui sembako. Keenam, Memberi uang kepada massa kampanye. Ketujuh, janji-janji akan diberi sesuatu.
Rifai 2003 menjelaskan terdapat implikasi dari politik uang, yaitu: Pertama, Ketidaktauan penerima uang bahwa politik uang adalah salah satu
pelanggaran terhadap pilkada. Kedua, Proses demokrasi dipedesaan juga melibatkan uang dalam pemilihan sebagai replika proses demokrasi desa. Ketiga,
Politik uang dikorelasikan dengan tingkat moralitas politisi dan masyarakat yang kian rendah. Keempat, Tingkat pendidikan berbanding terbalik dengan tingkat
penerimaan politik uang. Kelima, praktek politik uang juga berbanding terbalik dengan pengawasan pemilu yang dilakukan oleh berbagai pihak.
Politik uang mengingkari cita-cita etis masyarkat untuk membentuk, mengembangkan, dan mengelola pemerintahan ang demokratis. Tata
pemerintahan yang demokratis dan berkeadilan hanya bisa berdiri diatas sendi- sendi integritas kandidat yang baik, kebebasan rakyat untuk menentukan pilihan
politiknya serta jujur dalam berkompetisi tanpa itu karakter pemerintah yang demokratis akan sulit terwujud. Pemerintahan yang dihasilkan oleh ketidakjujuran
pasti akan bersifat otoriter, refresif serta tidak transparan dan juga menutup partisipasi masyarakat secara terbuka dalam penyelenggaraan pemerintah.
Kandidat yang memiliki uang yang tidak jelas dari berbgai sumber tentunya dapat mengelabui konstituen, dengan kondisi kesadaran masyarakat yang
masih sangat lemah tentunya uang dapat diterima sebagai tawaran yang sangat menggembirakan apalagi jika didukung oleh faktor ekonomi yang rendah. Dalam
Universitas Sumatera Utara
situasi yang demikian, uang dipandang sebagai jalan keluar yang dapat mengeluarkan masyarakat dari tuntutan pemenuhan kebutuhan sesaat. Menurut
Marcus Miezner dalam Rozali Abdullah 2005 bahwa politik uang adalah pemberian amplop kepada orang yang datang ke acara politik kampanye serta
tindakan memberikan suaranya kepada calon Kepala Daerah yang memberi bayaran tersebut.
Para penganjur pengembalian pemilihan Gubernur oleh DPRD memiliki alasan pertama bahwa UUD 1945 Bab 6 Pemerintahan Daeah Pasal 18 4
menyatakan “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.
Tidak ada kata-kata pemilihan langsung sebagaimanan dalam pasal yang mengatur tentang pemilihan presiden. Dalam negara demokrasi perwakilan, maka
memenuhi kaidah demokratis jika pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Ini adalah alasan penganjur pemilihan gubernur oleh DPRD.
Mekanisme pemilihan gubernur melalui DPRD benar lebih efisien, tetapi pada akhirnya kesejahteraan rakyat termasuk moral bangsa menjadi taruhannya
karena pemimpin yang terpilih cukup bermodalkan uang walau tidak berkualitas, bermoral, dan dikenal rakyatnya sendiri. Sebaliknya, pemilu kada langsung
memang membutuhkan biaya penyelenggaraan yang cukup besar, tetapi dapat ditekan dengan pembuatan aturan main yang rigid. Kecurangan dari incumbent
juga dapat diminimalisasi jika persyaratan calon ditentukan tidak sedang menduduki jabatan sebagai kepalawakil kepala daerah. Pemilihan calon gubernur
sebagai wakil pemerintah mempersyaratkan persetujuan presiden dengan parameter kapabilitas dan survei akseptabilitas oleh lembaga independen. Pada
Universitas Sumatera Utara
akhirnya, pilihan menentukan pemilihan gubernur secara langsung atau tidak langsung merupakan kesepakatan politik untuk meminimalisasi kelemahan dari
mekanisme yang dipilih. Namun, wacana untuk mengembalikan ke mekanisme DPRD perlu dipertimbangkan lebih matang karena dikhawatirkan menjadi pilihan
buruk set back yang justru menafikan nilai-nilai demokrasi yang telah menjadi pilihan politik bangsa kita sejak digulirkannya gerakan reformasi nasional selama
ini. Belajar dari sejarah pemberlakuan Pemilihan gubernur oleh DPRD
sebelum tahun 2004 pemilihan Gubernur dilakukan Oleh DPRD dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tidak dapat dipungkiri wacana ini ada karena
melihat plus minus dari tahun sebelumnya atau lebih tepatnya melihat bahwa kelebihan dari Pemilihan Gubernur oleh DPRD lebih dominan jika dibandingkan
dengan kekurangannya setelah melihat kenyataan pada saat ini ketika Gubernur tidak lagi dipilih oleh DPRD melainkan oleh rakyat secara langsung dalam kurun
waktu 7 tahun terakhir,boleh dikatakan sudah menempuh waktu yang lumayan lama tapi tidak dapat dipungkiri belum semua daerah di Indonesia sudah
mengecap pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat. Sesuai dengan konstitusi kita yaitu pada pasal 18 : 4 UUD 1945
menyatakan bahwa, ‘Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah Provinsi, kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis ‘dalam
pasal ini tidak menyatakan secara jelas demokrasi yang dimaksud, apakah demokrasi secara lansung oleh rakyat atau perwakilan, sehingga menimbulkan
keambiguan bagi orang awam dalam bidang hukum bahkan dikalangan orang- orang yang menggeluti Hukum itu sendiri, menurut Eric Hiariej,Dalam sejarah
Universitas Sumatera Utara
terdapat sedikitnya tiga bentuk demokrasi yang pernah dicoba: demokrasi langsung direct democracyassembly democracy, demokrasi perwakilan
representative democracy, dan demokrasi permusyawaratan deliberative democracy.
Pemilihan Gubernur secara langsung ataupun oleh DPRD akan mempengaruhi hubungan antara Gubernur selaku eksekutif dengan DPRD selaku
legislatif,dalam hal check and balance,Konsekuensi yang kemudian harus di hadapi ketika Gubernur itu dipilih secara langsung adalah bagaimana menjaga
keseimbangan dalam konteks kedudukan legislatif dengan kepala daerah selaku bagian dari proses pemerintahan yang memiliki legitimasi secara paralel,Kondisi
demikian tentunya tidaklah mudah sebab menjaga keharmonisan diantara keduanya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tentunya akan mendorong
potensi konflik yang relatif dinamis,dalam kondisi yang demikian, Kepala daerah akan seringkali bersikukuh sebagai kepala daerah yang terpilih secara langsung
sehingga tidak perlu lagi memberikan pertanggungjawaban kepada legislatif,sebaliknya DPRD akan mendalilkan bahwa kewenangan untuk
memberhentikan kepala daerah adalah kewenangan yang diberikan oleh rakyat.sehingga eksekutif dan legislatif saling melemahkan satu dengan lain yang
menyebabkan lemahnya fungsi control dari legislatif terhadap eksekutif.Selanjutnya apabila Gubernur dipilih oleh DPRD maka permasalahan
yang kemudian mempengaruhi hubungan legislatif dengan eksekutif adalah bahwa gubernur yang terpilih adalah calon dari partai politik yang menempati
kursi mayoritas di DPRD karena untuk dapat di calonkan sebagai kepala daerah ataupun DPRD harus melalui Partai politik sehingga anggota yang terpilih tidak
Universitas Sumatera Utara
hanya membawa kepentingan rakyat tetapi juga kepentingan parpol dan kepentingan pribadi, dan bahkan yang lebih buruk lagi DPRD pada saat sekarang
ini tidak lagi mncerminkan kepentingan rakyat sebagaimana seharusnya tetapi lebih kelihatan pada kepentingan parpol yang mengusungnya.Maka dalam hal ini
kewenangan Gubernur akan terpenjarai oleh kepentingan parpol.Sehingga apabila Gubernur terpilih dari parpol mayoritas, minimnya control akan mendorong
terbentuknya tirani baru dalam pemerintahan dan menyebabkan molornya penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Namun harus dipahami posisi Gubernur memang ganda, di satu sisi ia memang sebagai wakil pemerintah pusat di daerah yang melaksanakan program
dekonsentrasi, namun juga Gubernur memiliki wewenang sebagai kepala daerah yang juga memiliki wewenang dalam konteks desentralisasi, posisi gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, maka wewenang desentralisasi harus dicabut dan DPRD juga tidak diperlukan lagi. Persoalan kewenangan
desentralisasi mutlak diserahkan kepada kabupatenkota. Salah satu alasan kembalinya pemilihan Gubernur oleh DPRD untuk meningkatkan legitimasi
Gubernur, kemungkinan yang akan terjadi adalah legitimasi Gubernur semakin menurun dan akan semakin sebelah mata oleh pemerintah kabupatenkota.
Salah satu buah reformasi yang secara signifikan mengubah pola kehidupan demokrasi bangsa Indonesia adalah penerapan sistem pemilihan
langsung kepala daerah. Pilihan berdemokrasi secara langsung ternyata tidaklah mudah diterapkan. Pemilu kada hampir selalu menimbulkan konflik; terhadap
sebagian dapat diselesaikan melalui prosedur hukum, tetapi sebagian tidak jarang berdampak komunal, vertikal, dan atau horizontal.
Universitas Sumatera Utara
Untuk sebagian, konflik disebabkan ketidaksiapan elite politik menerima kekalahan, tetapi sebagian besar karena politik uang maupun kecurangan
incumbent. Pemilu kada langsung ataupun tidak langsung memiliki kelebihan dan kekurangan. Ditinjau dari sudut konflik, harus diakui bahwa pemilu kada
langsung lebih banyak menimbulkan konflik komunal yang cenderung anarkistis. Ditinjau dari sudut pembiayaan, pemilihan melalui DPRD praktis lebih hemat.
Meski demikian, jika gagasan penyelenggaraan pemilu kada serentak diterapkan, sudah barang tentu bisa menekan biaya seminimal mungkin. Hanya saja pemilu
kada serentak membutuhkan masa transisi untuk sosialisasi dan membiasakan serta meyakinkan kembali kepada seluruh masyarakat bahwa pemilihan yang
terbaik adalah kembali pada pemilihan yang dilakukan oleh DPRD. Kemahalan biaya pemilu kada tidak terlepas dari regulasi yang
rancumultitafsir, mulai dari inventarisasi pemilih dan rekrutmen calon sampai kampanye dan pemungutan suara. Biaya calon harus dibatasi dan dikontrol secara
ketat, terutama anggaran belanja yang seharusnya proporsional dengan pendapatan asli daerah. Jelas, bahwa figur yang telah dikenal dan memiliki
integritas dan rekam jejak yang diakui masyarakat luas laku dijual dengan biaya yang relatif lebih murah. Dari segi penyalahgunaan kekuasaan, pemilihan melalui
DPRD jelas tidak menimbulkan permasalahan. Di lain pihak, penyalahgunaan kekuasaan juga dapat diminimalisasi pada pemilu kada langsung jika
dipersyaratkan bahwa calon tidak sedang menduduki jabatan sebagai kepalawakil kepala daerah. Persyaratan tersebut tidak secara eksplisit membatasi
hak individu, tetapi menekankan pada kewajiban jabatan untuk tidak dimanfaatkan bagi kepentingan pemenuhan hak individu.
Universitas Sumatera Utara
Wacana pemilihan gubernur melalui DPRD boleh jadi dipertimbangkan sebagai jalan keluar dari praktik money politic. Namun dapat saja terjadi akan
kembalinya kesalahan terdahulu bahwa uang akan digunakan untuk mempengaruhi anggota dewan dalam meluluskan calon yang dipilih secara
demokratis, adanya ancaman recall dari partai kemungkinan akan tidak berhasil karena besarnya jumlah uang dari setiap calon yang menginginkan menjadi
Gubernur karena politik uang tersebut bisa saja lebih besar dari jumlah gaji dari sisa masa jabatan dengan alasan dana aspirasi. Mengungkap praktik money politic
melalui anggota DPRD jauh lebih rumit jika dibandingkan yang dibagi kepada rakyat karena tergolong tindak pidana korupsi suap-menyuap yang pelakunya
sama-sama berpendidikan dan cerdik dalam merancang modus. Sebaliknya, mengungkap money politic melalui rakyat relatif lebih mudah karena massal.
4.6 Perbandingan UU No. 22 Tahun 1999 dengan UU No.32 Tahun 2004