terkandung sesuai dengan Undang-undang dan di jiwai oleh semangat untuk melakukan yang terbaik.
Pemimpin haruslah memiliki rasa keadilan yang mampu memahami setiap aspek kehidupan masyarakat karena pemimpin di pilih
4.4 Pemilihan Kepala Daerah Orde Baru
Menurut Afan Gaffar dalam Prihatmoko 2005 menjelaskan bahwa realitas empirik pelaksanaan pilkada Orde Baru bahwa rekrutmen politik lokal
ditentukan sepenuhnya oleh orang Jakarta khususnya pejabat Departemen Dalam Negeri untuk pengisian Jabatan Buapati, Walikota. Sementara untuk jabatan
Gubernur ditentukan oleh Departemen Dalam Negeri, Markas Besar TNI, dan Sekretariat Negara. Peran militer menjadi sangat kuat karena penempatan anggota
ABRI sebagai Kepala Daerah. Kekuasaan pemerintah pusat sangat besar karena Kepala Daerah diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri sekalipun diajukan oleh DPRD. Bahkan dalam materi terdahulunya pada 1965 tidak mengatur
mekanisme pencalonan kepala daerah oleh DPRD pemilihan atau permufakatan dan sebaliknya memberi penegasan kewenangan Presiden atau Menteri Dalam
Negeri melakukan pengangkatan di luar calon DPRD, bila tidak ada calon yang memenuhi syarat maka DPRD diminta Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden
untuk kembali mengajukan pencalonan yang diajukan dan disertai keterangan tentang alasan-alasan yang menjdai dasar penolakan terhdapa pencalonan.
Kedudukan pejabat pusat atas Kepala Daerah semakin kuat terkai aturan pemberhentian, seorang kepala daerah tidak dapat diberhentikan karena suatu
Universitas Sumatera Utara
keputusan DPRD terkecuali apabila penguasa yang berhak mengangkat menghendakinya. Penguasa yang dimaksud berhak mengangkat adalah Presiden
dan Menteri Dalam Negeri. Dominasi pemerintah pusat untuk mengendalikan pemerintah daerah semakin terlihat ketika kedudukan Kepala Daerah ditetapkan
sebagai Pegawai Negara dengan demikian pemberhentian kepala daerah merupakan kewenangan penuh Presiden dan Menteri Dalam Negeri.
Prihatmoko 2005 menjelaskan bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah meruapakan satu-satunya UU
Pemerintahan Daerah yang lahir dan digunakan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Menurut Undang-undang tersebut Kepala Daerah bertanggungjawab
kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Dasarnya, Presiden sebagai penanggungjawab tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan di seluruh
wilayah negara karena secara hierarkis bertanggungjawab kepada kepada Presiden maka Kepala Daerah di angkat oleh Presiden bagi calon yang memenuhi syarat-
syarat yang sudah ditentukan UU dan Peraturan Pelaksanaan. Tata cara seleksi calon yang dianggap patut untuk di angkat oleh Presiden dilakukan oleh DPRD.
Pada Pasal 15 Ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 Pemilihan GubernurKepala Daerah Tingkat I, berbunyi: “Kepala Daerah Tingkat I
dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat daerah dari sedikitnya 3 tiga orang dan sebanyak-banyaknya 5 lima orang yang telah di
musyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat DaerahPimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri”. Serta
Ayat 2 berbunyi: “Hasil pemilihan yang dimaksud Ayat 1 diajukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri
Universitas Sumatera Utara
Dalam Negeri sedikitnya 2 dua orang untuk diangkat seorang darinya”. Dari kedua Pasal tersebut terlihat bahwa intervensi pusat dalam pilkada sangat jauh.
Pusat tidak hanya menjadi pintu terakhir penentuan calon terpilih, melalui Menteri Dalam Negeri juga terlibat dalam proses pencalonan. Nama-nama calon gubernur
harus dimusyawarahkan dan disepakati dengan Menteri Dalam Negeri, lebih dari itu Presiden dalam menetapkan calon terpilih memiliki kewenangan untuk
mengabaikan hasil pemilihan DPRD. Presiden dalam mengangkat Kepala Daerah dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD, tidak terikat pada jumlah suara yang
diperoleh masing-masing calon karena merupakan hak prerogatif dari Presiden. Dalam pemilihan Kepala Daerah dalam hal ini adalah pemilihan Gubernur
terdapat 2 dua model dalam rekrutmen politik yakni sistem terbuka dan sistem tertutup. Dalam sistem terbuka semua warga negara yang memnuhi syarat tertentu
umur, kemampuankecakapan, dan pendidikan mempunyai peluang yang sama untuk mengisi jabatan politik. Sementara, dalam sistem tertutup pengisian jabatan
politik hanyalah melibatkan sekelompok kecil kalangan elit. Berdasarkan hal tersebut, pengalaman empirik pilkada selama ini bersifat tertutup atau bahkan
sangat tertutup karena hanya memberikan peluang kepada sekelompok elit baik sebagai calon kepala daerah atau sebagai pemilih. Istilah pemilih yang dimaksud
kemudian dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Dengan pengertian pemilih yang diperluas yakni seluruh warga negara
yang memenuhi syarat dalam sistem terbuka dalam pengelompokannya secara teknis sistem pilkada Orde baru dapat menjadi pemilihan tidak langsung atau
langsung oleh rakyat ketika adanya perubahan dalam Undang-undang. Sistem dipahami sebagai metode sehingga yang dimaksud pilkada langsung nantinya
Universitas Sumatera Utara
adalah pilkada yang melibatkan, mendorong, dan membuka akses partisipasi seluruh warga yang memenuhi syarat sebagai pemilih dan terbuka kemungkinan
sebagai calon. Sedangkan pemilihan tidak langusng adalah pilkada yang tidak membuka akses bagi warga secara langsung baik sebagai pemilih, calon maupun
pengawal proses pelaksanaan. Prihatmoko 2005 menjelaskan bahwa terdapat kelemahan dan kelebihan
pilkada tidak langsung, yaitu: Pilkada tidak langsung mengalami praktik yang distorsi atau
penyimpangan demokrasi. Di satu sisi membuka peluang intervensi pemerintah pusat dan bahkan sentralisasi kekuasaan serta di sisi lain ketika pemilihan
dilakukan DPRD yang terjadi adalah menaipulasi demokrasi dengan politik uang dan konspirasi politik artinya secara demokrasi praktek pilkada Orde baru
diwarnai oleh sejumlah kelemahan antara lain a.
Menutup pendidikan politik bagi masyarakat. b.
Kepekaan Kepala Daerah terhadap kebutuhan masyarakat sangat berkurang.
c. Tidak adanya mekanisme pemilihan kompetitif, jujur, dan adil.
d. Menutup kempemimpinan daerah.
e. Mengabaikan kesetaraan politik, dan
f. Lemahnya akuntabilitas publik.
Praktik pilkada tidak langsung juga memiliki kelebihan, yaitu: a.
Tidak membutuhkan dana besar. b.
Masyarakat terhindar dari konflik. c.
Masyarakat tidak dibingungkan oleh kegiatan-kegiatan politik.
Universitas Sumatera Utara
Pilkada tidak langsung mendiskriminasikan hak-hak politik masyarakat, dalam arti menolak kesetaraan politik dalam masyarakat. Masyarakat tingkat lokal
sebagaimana di tingkat pusat seharusnya mempunyai kesempatan untuk terlibat langusng dalam politik terutama dalam hal pemberian suara untuk memilih
Kepala Daerah. Warga baik secara individu maupun secara kelompok akan menjauhkan diri dari keterlibatan dalam mempengaruhi pemerintahannya untuk
membuat kebijakan sekalipun menyangkut kepentingan mereka sendiri. Pilkada tidak langsung yang dilakukan secara tertutup akan menutup akses
informasi masyarakat yang sangat terbatas. Keterbatasan informasi akan mengakibatkan jarak antara masyarakat dan Kepala Daerah semakin jauh.
Masyarakat tidak pernah mengenal program kerja dan arah kebijakan yang berarti mendorong masyarakat tidak berpartisipasi maka dengan demikian pilkada tidak
langsung tidak akan menciptakan pra-kondisi bagi pendidikan masyarakat. Pilkada tidak langusng identik dengan ruang kompetisi yang tidak
kompetitif, jujur, dan adil sehingga mempersempit rotasi kekuasaan akibatnya kepala daerah dipegang secara terus-menerus oleh seseorang atau keluarga atau
bahkan dari partai tertentu saja dan tidak semua orang atau kelompok mempunyai hak dan peluang yangsama. Jabatan Kepala Daerah tidak bisa menjdai persiapan
untuk karir politik lanjutan pada tingkat regional dan nasional. Dalam pilkada tidak langsung, kepala daerah sangat tergantung kepada
pemerintah pusat atau DPRD. Kepala Daerah tidak merasa perlu mendekati masyarakat sehingga sensitifitas pemerintah daerah sangat berkurang karena
kepala daerah tidak mengetahui kebutuhan-kebutuhan daerah dan masarakat daerah serta tidak mengetahui cara-cara efektif memnuhi kebutuhan masyarakat
Universitas Sumatera Utara
daerah. Sedikit sekali Kepala Daerah hasil pengangkatan berorientasi pada kebutuhan masyarkat daerah.
Dengan rotasi kekuasaan dan kompetisi yang sempit pilkada tidak langsung tidak dapat menjadi membumi serta membuka kesempatan tampilnya
tokoh-tokoh daerah sebagai sumber kepemimpina daerah. Hanya mereka yang dekat dengan pemerintah atau pejabat pusat dan DPRD yang memiliki
kesempatan dan peluang memnangkan kompetisi. Pilkada tidak langsung tidak sanggup menciptakan sebuah landasan bagi pemimpin politik prospektif di tingkat
daerah untuk mengembangkan kecakapan dalam pembuatan kebijakan, menjalankan partai politik serta menyusun anggaran. Sulit ditemukan Gubernur
yang terpilih terutama dengan pengangkatan dapat mengembangkan diri sebagai politisi-politisi tingkat nasional yang handal.
Pilkada tidak langsung menimbulkan akuntabilitas Kepala Daerah sangat kurang dimata masyarakat. Kepala Daerah cenderung bersifat elitis terhadap
penduduk setempat dan oleh karenanya akan mengabaikan pertanggungjawaban terhadap kebijakan-kebijakan dan hasil-hasilnya. Kepala Daerah juga tidak
mampu menunjukkan tanggungjawabnya sebagai pribadi dan pejabat publik. Kelebihan pilkada tidak langsung tidak membutuhkan dana yang cukup
besar, dengan dana yang dikeluarkan calon dalam pemilihan tidak langusng lebih sedikit bila dibandingkana dengan pemilihan kepala daerah secara langsung
khususnya untuk biaya kampanye dan kegiatan-kegiatan politik lainnya. Pemilihan tidak langsung dapat menghindarkan atau sekurangnya
mengurangi potensi konflik antar pendukung calon kepal daerah sebaliknya potensi konflik horizontal antar pendukung calon kepala daerah dalam pilkada
Universitas Sumatera Utara
langsung sangat besar dalam masyarakat paternalistik dan primordial terutama pada masa kampanye. Dengan pemilihan tidak langusng masyarakat tidak
disibukkan dan tidak di bingungkan oleh kegiatan-kegiatan politik.
4.5 Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung Pilkada