BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Partisipasi merupakan aspek penting dari demokrasi .
1
1
Herbert Mc.Closky, International Encyclopedi of the Social Sciences, dalam Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010, hal. 285.
Partisipasi politik di negara- negara yang menerapkan sistem politik demokrasi merupakan hak warganegara, tetapi dalam
kenyataan persentase warga negara yang berpartisipasi berbeda dari satu negara ke negara yang lain. Dengan kata lain, tidak semua warga negara ikut serta dalam proses politik.
Di negara yang menganut paham demokrasi, pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik adalah bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang pelaksanaannya
dapat dilakukan oleh rakyat secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan. Partisipasi politik merupakan aspek yang sangat penting dan merupakan ciri khas adanya modernisasi
politik. Di negara yang kehidupan masyarakatnya masih tergolong tradisional dan sifat kepemimpinan politiknya ditentukan oleh segolongan elit penguasa, maka partisipasi
warganegara dalam ikut serta mempengaruhi pengambilan keputusan dan mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara relatif sangat rendah. Sementara itu di negara yang
proses modernisasi politiknya telah berjalan baik, maka tingkat partisipasi politik warga negara cenderung meningkat.
Pemilihan umum 2009 merupakan pemilu ketiga setelah reformasi bergulir, dan berkembang banyak wacana seputar pelaksanaannya. Pembicaraan, perdebatan dan diskusi
banyak ditemukan di tengah-tengah masyarakat yang mengupas masalah-masalah pemilu, partai politik, electoral threshold dan yang tidak ketinggalan juga partisipasi politik
perempuan dalam kehidupan berbangsa yang dalam hal ini dimanifestasikan dalam lembaga- lembaga politik.
Universitas Sumatera Utara
Menggagas peran perempuan dalam politik Indonesia masih terlihat sebagai cerita klasik yang menempati ruang pinggir diskursus kontemporer selama lebih kurang lima
dekade. Perjuangan Kartini pada masa pra kemerdekaan menemukan relevansinya bahwa domistikasi peran perempuan, ketidaksetaraan kesempatan dalam pendidikan dan peran
publik bukan merupakan hal baru. Posisi perempuan yang cenderung dinomorduakan menjadi permasalahan tersendiri bagi bangsa ini, mengingat perempuan seharusnya turut
mengambil peran yang penting dalam pembangunan. Perempuan selalu diasosiasikan mengambil peran sebatas urusan-urusan domestik yang hanya seputar rumah tangga. Hal ini
bukan suatu kebetulan tapi sudah menjadi konstruksi budaya yang sudah menjadi tradisi dan merugikan pihak perempuan, karena akan berimbas kepada ketidakadilan dalam
mendapatkan kesempatan untuk tampil dalam kehidupan politik. Negara yang menganut sistem nilai patriarkal seperti Indonesia, kesempatan
perempuan untuk menjadi politisi relatif terbatasi karena persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung bias ke arah membatasi
peran perempuan pada urusan rumah tangga. Namun demikian, pada masa perjuangan kemerdekaan, kebutuhan akan kehadiran banyak pejuang, baik laki-laki maupun perempuan,
membuka kesempatan luas bagi para wanita untuk berkiprah di luar lingkup domestik dengan tanggungjawab urusan rumah tangga. Masyarakat menerima dan menghargai para pejuang
perempuan yang ikut berperan di medan perang, dalam pendidikan, dalam pengobatan, dan dalam pengelolaan logistik. Kesempatan ini memberi kemudahan bagi perempuan untuk
memperjuangkan isu-isu yang berhubungan dengan kepentingan mereka atau yang terjadi di sekitar mereka, termasuk di dalamnya isu politik.
Pemilihan umum tahun 1955, pada masa Orde Lama, jumlah perempuan di DPR mencapai 17 orang, empat diantaranya dari organisasi Gerwani dan lima dari Muslimat NU.
Pemilihan umum pertama dinilai sebagai demokratis, dengan partisipasi perempuan dalam
Universitas Sumatera Utara
politik didasarkan pada kemampuan mereka sebagai pemimpin dari unit-unit yang ada dalam organisasi-organisasi partai.
2
Berdasarkan kajian dan pengamatan para analis politik dinyatakan bahwa pemilu di Indonesia pada masa Orde Baru lebih sebagai sebuah pemilu yang memenuhi prosedur
demokrasi, tidak secara substantif. Pemilu pada masa ini lebih sebagai sebuah rutinitas bagi sebuah negara demokratis, sehingga terkesan ada rotasi kekuasaan sebagai sebuah prasyarat
demokrasi. Berbeda dengan periode Orde Lama Era Soekarno, pada masa Orde Baru era
Soeharto dengan konsep partai mayoritas tunggal, representasi perempuan dalam lembaga legislatif dan dalam institusi-institusi kenegaraan, ditetapkan oleh para pemimpin partai di
tingkat pusat, sejumlah tertentu elit. Akibatnya, sebagian perempuan yang menempati posisi penting memiliki hubungan keluarga kekerabatan dengan para pejabat dan pemegang
kekuasaan di tingkat pusat. Hal ini dimungkinkan karena dalam sistem pemilu proporsional pemilih tidak memilih kandidat orang, tetapi simbol partai, untuk berbagai tingkatan
pemerintahan, yaitu tingkat kabupaten, propinsi dan nasional. Akibatnya, sebagian dari mereka tidak melewati tahapan dalam proses pencalonanpemilihan, dan mungkin tidak
memiliki kemampuan mengartikulasikan kepentingan konstituennya.
3
Pemilihan umum 1999, proses pemilihan mengalami perubahan cukup berarti, dimana rekrutmen kandidat partai untuk lembaga legislatif, termasuk perempuan, harus disetujui oleh
daerah, para pengambil keputusan partai di daerah hal ini tidak berlaku bagi wakil dari angkatan bersenjata dan polisi. Sebagian besar wakil perempuan yang terpilih berpartisipasi
dalam proses pemilu, antara lain dalam upaya pembelaan terhadap masyarakat, diskusi, Hal ini disebabkan ketidakstabilan politik akibat tarik menarik antarkekuatan
partai politik dengan kekuatan lain yang memiliki peran kuat yakni militer, yang memiliki hubungan khusus dengan partai Golkar.
2
http:www.padang-today.comindex.php?today=articlej=1id=555 , diakses pada tanggal 28 November
2010, pukul 11:28.
3
Afan Gafar, Politik Indonesia, Transis Menuju Demokrasi,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hal. 251-254.
Universitas Sumatera Utara
ceramah dan kegiatan partai lainnya yang berhubungan dengan kampanye pemilu. Pemilu 1999 menghasilkan 44 orang yang duduk di DPR atau sekitar 8,9.
4
Kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik pada tahun 2004 terbuka lebar dengan dicantumkannya kuota 30 persen sebagai nominasi calon legislatif
dalam undang-undang pemilihan umum. Hal ini merupakan terobosan positif yang masih sangat awal bagi peningkatan partisipasi politik perempuan di Indonesia khususnya
diparlemen. Hal lain yang turut memberi warna pada pemilu kali ini adalah adanya ketentuan
kuota minimal sebesar 30 untuk calon anggota legislatif perempuan. Perubahan ini tentu saja akan membawa implikasi politik yang cukup menyegarkan bagi kehidupan politik di
masa mendatang. Bagaimanapun, selama ini kehidupan politik di Indonesia memang banyak didominasi oleh mainstream ideologi patriarkat. Hasil pemilu tahun 2004 menempatkan 65
orang 11,82 perempuan di lembaga DPR, hanya meningkat sedikit apabila dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya. Sementara di lembaga DPD jumlah perempuan lebih besar,
mencapai 29 orang 21,09.
5
Di lembaga legislatif, keterwakilan politik perempuan dalam parlemen berada pada peringkat-89 dari 189 negara.
6
4
Panduan Rencana Aksi Peningkatan Partisipasi Politik Perempuan, Deputi Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan, Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Tahun 2006, hal. 5.
5
Ibid.
6
Kuota Perempuan Tantangan Partai Politik, Media Indonesia, 2 September 2008, hal. 18.
Pencantuman kuota 30 persen bagi perempuan ternyata tidak cukup untuk mewujudkan peningkatan partisipasi politik perempuan karena hal ini tidak
memberikan pengaruh yang significant terhadap keterwakilan perempuan di parlemen, mengingat pencantuman kuota 30 persen pada pemilu 2004 hanya sekedar syarat yang
tekesan ’basa-basi’ untuk menyenangkan kaum perempuan karena pada akhirnya laki-laki yang akan masuk ke parlemen. Banyak hal yang mempengaruhi hal tersebut, disamping calon
legislatif perempuan ditempatkan pada nomor urut bawah juga mereka bukanlah pengurus
Universitas Sumatera Utara
’teras’ partai. Mereka menjadi calon hanya sekedar untuk melengkapi kuota calon perempuan 30 persen.
Memperkuat partisipasi politik perempuan perlu penguatan peran dan kesempatan yang sama baik bagi laki-laki maupun perempuan untuk terlibat dalam politik yang dimulai
dari keterlibatan langsung dengan cara memasukkan porsi perempuan yang lebih besar dalam struktur partai politik. Hal ini diatur dalam undang-undang partai politik dan setiap partai
politik wajib untuk mengikutinya sebagai bagian dari upaya keberpihakan kepada perempuan dan untuk memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada perempuan untuk
berpartisipasi dalam politik. Partisipasi
politik secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini
mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang
telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah
mobilisasi politik . Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan
kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Di Indonesia saat ini
penggunaan kata partisipasi politik lebih sering mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan
pemerintahan. Menurut Sanit, anggota masyarakat perlu mengambil bagian atau berpartisipasi di
dalam proses perumusan dan penentuan kebijaksanaan pemerintahan, dengan kata lain setiap warga negara tanpa membedakan jenis kelamin baik laki-laki maupun
perempuan semestinya terlibat dalam proses pembangunan terutama di bidang politik. Dengan demikian, keinginan dan harapan setiap warga negara dapat terakomodasi
melalui sistem politik yang terbangun.
7
Seiring dengan era reformasi yang semakin terbuka ditandai dengan hidupnya nilai- nilai demokrasi dalam masyarakat tentunya memberikan kesempatan yang luas kepada setiap
7
Sanit Arbi, Perwakilan Politik Indonesia. Jakarta : CV. Rajawali, 1985, hal. 203.
Universitas Sumatera Utara
warga negara untuk menikmatinya. Dalam kehidupan sosial bernegara, setiap warga negara pada dasarnya tidak ada pembedaan atas hak dan kewajibannya, semuanya sama dihadapan
hukum dan pemerintahan. Termasuk dalam hal ini adalah hak berpolitik, hak untuk memberikan pendapat dan hak untuk melakukan koreksi atas pemerintahan. Semua hal
tersebut tentunya dilaksanakan dengan cara-cara dan mekanisme yang telah diatur oleh sistem pemerintahan. Pemilu 2009 memiliki banyak sisi yang unik untuk dikaji, salah satunya
adalah keterlibatan perempuan dalam pemilu. Sejarah perpolitikan di Indonesia maupun negara berkembang lain, pada umumnya
peranan perempuan memang dipandang terlambat dalam keterlibatan di dunia politik. Stigma-stigma bahwa perempuan dalam posisi domestik, dianggap sebagai salah satu hal
yang mengakibatkan perempuan terlambat berkiprah dalam dunia politik. Salah satu indikatornya adalah jumlah perempuan yang memegang jabatan publik masih sangat sedikit.
Fenomena tersebut bukan hanya terjadi pada tingkat pusat, tetapi juga berimbas pada tingkatan lokal atau daerah.
Berdasarkan sejarah tradisi budaya Indonesia, kedudukan perempuan cenderung terbatas, yang dimulai dari diri perempun itu sendiri yang didominasi oleh sistem patriarki,
hingga pada faktor eksternal yang juga berperan dalam membatasi peran perempuan di ruang publik maupun parlemen. Sejarah sistem politik di sebagian besar negara juga menunjukan
adanya diskriminasi terhadap perempuan dalam proses politik, mulai tingkat lokal hingga nasional. Hal ini mengkibatkan terpotongnya akses perempuan dalam partisipasi politik dan
terdiskriminasi dalam sistem politik. Peran dan status perempuan dewasa ini lebih dipengaruhi oleh masa lampau, kultur, ideologi, dan praktek hidup sehari-hari. Inilah yang
menjadi kunci mengapa partisipasi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara mengalami kelemahan. Kini gerbang demokrasi telah terbuka dengan lebar dan
peluang perempuan untuk turut mengaktualisasikan dirinya juga telah dijamin. Adanya
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang Pemilu No. 10 Tahun 2008 yang mengatur tentang kuota 30 sebagai salah satu syarat bagi pencalonan anggota legislatif oleh partai politik tentunya secara logika
mampu mendobrak stagnasi kuantitas perempuan di wilayah publik. Partisipasi politik perempuan saat ini semakin dibutuhkan dalam upaya
pengintegrasian kebutuhan gender dalam berbagai kebijakan publik dan menghasilkan instrument hukum yang sensitif gender, yang selama ini terabaikan dan banyak menghambat
kemajuan perempuan di berbagai sektor kehidupan. Dalam konteks pemilu tahun 2009, kesertaan perempuan di dalamnya merupakan
suatu proses penting yang menyangkut sejauh mana perempuan itu menerima sejumlah orientasi dan nilai-nilai tentang pemilu. Dalam dinamika kehidupan berbangsa dan
bernegara, bahwa dengan terbukanya kran demokrasi yang luas memungkinkan untuk setiap elemen bangsa berperan dalam proses pembangunan. Dalam proses pembangunan terutama
dalam bidang politik, sejatinya seluruh elemen terlibat termasuk dari kalangan perempuan. Dengan terlibatnya perempuan dalam pembangunan ini diharapkan mampu menghadirkan
nilai-nilai perbaikan. Partisipasi politik elit politik perempuan dalam pemilu bukan hanya memilih wakil-
wakil rakyat saja namun elit politik perempuan dalam kegiatan pemilu juga dimungkinkan untuk memilih bentuk-bentuk partisipasi yang lain. Hal ini didasarkan pada karakter manusia
yang memiliki kebebasan, kreatifitas, serta keyakinan untuk memilih, menggunakan, dan mengevaluasi cara, prosedur, metode, dan perangkat dalam merealisasikan orientasinya
tersebut. Keikutsertaan elit politik perempuan tidak dapat dilepaskan dari adanya motif yang mendorong elit politik perempuan dalam berpartisipasi. Motif inilah yang kemudian
menentukan bentuk partisipasi politik elit politik perempuan di Kota Pematangsiantar. Partisipasi perempuan dalam proses politik merupakan keterlibatan perempuan dalam
kegiatan-kegiatan politik. Partisipasi perempuan sangat berhubungan dengan sosilisasi politik
Universitas Sumatera Utara
yang dilaminya. Sosialisasi politik merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada anggota masyarakat .
8
Kajian mengenai partai politik merupakan aspek penting demokrasi . Merujuk pada deskripsi di atas Penulis tertarik untuk mengangkat wacana perempuan
di Pematangsiantar, dimana dalam kelembagaan legislatif sebagai permasalahan yang akan diteliti penulis tidak terpenuhinya kuota 30 perwakilan politik perempuan. Adapun fokus
penelitian ini adalah partisipasi politik elit politik perempuan di Dewan Pimpinan Cabang DPC Partai Demokrat Kota Pematangsiantar, dengan menguraikan dan menganalisa
bagaimana bentuk dan motif partisipasi elit politik perempuan pada Pemilu tahun 2009.
9
Suara perempuan memiliki peranan yang sangat vital bagi Partai Demokrat, pada pemilihan Legislatif dan SBY pada pemilihan Presiden. Data exit poll Lembaga Survei
Indonesia menunjukkan bahwa SBY didukung oleh 66 pemilih perempuan. Hasil pemilu Salah satunya
adalah mengenai partisipasi politik rakyat, yang pertama partisipasi dalam menetukan arah kebijakan dan yang kedua dalam membuat suatu perundang-undangan. Oleh karena itu kajian
mengenai partai politik akan terkait dengan studi mengenai Pemilihan Umum. Partai Demokrat hadir sebagai partai politik dengan tampilan berbeda dari partai
politik lainnya. Banyak prestasi dan kemenangan yang diraih Partai Demokrat pada dua periode pemilihan umum belakangan ini pemilu 2004 dan 2009, beberapa diantaranya
seperti dalam pemenangan Soesilo Bambang Yudoyono dalam 2 periode jabatan presiden, dan menjadi Partai Politik yang memiliki jumlah anggota dewan perempuan yang terbesar.
Pada Pilkada 2004, Partai Demokrat juga berhasil memenangkan R.E Siahaan menjadi Walikota Pematangsiantar. Di Pematangsiantar Partai Demokrat merupakan partai pemenang
pada Pemilihan Umum Legislatif 2009.
8
Syahrial Sarbaini,. Sosiologi dan Politik, Jakarta : Kahlia Indonesia, 2002, hal. 73.
9
Maswadi Rauf, Jurnal Politika Partai Politik dan Sistem Kepartaian, Jakarta: Akbar Tanjung Institute, 2006, hal. 7
Universitas Sumatera Utara
legislatif menunjukkan bahwa Paetai Demokrat memiliki jumlah anggota dewan perempuan yang terbesar dari sisi jumlah maupun proporsi.
10
10
FN: LSI, Arah Baru Peilaku Pemilih, Exit Poll 8 Juli 2009, Lembaga Survei Indonesia.
Menanggapi kuota 30 bagi keterwakilan perempuan, Partai Demokrat juga menyambut baik dan mendukung aturan tersebut. Karna Partai Demokrat merupakan salah
satu partai yang memiliki banyak kader perempuan. Hal ini juga sejalan dengan visi dan misi Partai Demokrat. Visi Partai Demokrat menekankan pentingnya kita berperan mewujudkan
keinginan luhur rakyat Indonesia agar mencapai pencerahan dalam kehidupan kebangsaan. Pada misi ketiga Partai Demokrat ditegaskan kembali tujuan untuk memperjuangkan
tegaknya persamaan hak dan kewajiban warga negara tanpa membedakan ras, agama, suku dan golongan. Dengan demikian sangat jelas dukungan Partai Demokrat dalam upaya
pemberdayaan politik perempuan. Hal inilah yang membuat Penulis tertarik untuk memilih Partai Demokrat sebagai
objek penelitian, dan partai Demokrat mewakili seluruh partai yang ada di Indonesia untuk melihat bagaimana bentuk-bentuk partisipasi elit poplitik perempuan dan sejauh mana
keterwakilan politik Perempuan di Parlemen. Adapun alasan yang melatarbelakangi Penulis memilih lokasi Penelitian di DPC Partai Demokrat Pematangsiantar karna merupakan kota
asal Penulis, dengan demikian diharapkan lebih praktis dalam pengambilan dan pengolahan data yang akan memudahkan Penulis dalam proses penelitian.
Perempuan merupakan salah satu entitas yang memiliki potensi, kemampuan, dan kelebihan yang tidak kalah dengan laki-laki. Atas dasar kenyataan inilah kemudian peneliti
mengambil judul “Partisipasi Politik Elit Politik Perempuan di DPC Partai Demokrat Kota
Pematangsiantar Studi Kasus pada Pemilihan Umum 2009”.
Universitas Sumatera Utara
Menjelaskan jalannya penelitian perlu adanya batasan operasional agar orang lain yang berkepentingan dalam penelitian ini mempunyai persepsi yang sama dengan peneliti.
Batasan operasional yang perlu ditegaskan adalah : 1.
Menurut Huntington dan Nelson partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak turut ambil bagian sebagai pribadi-pribadi yang di maksudkan untuk
mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah.
11
2. Elit merupakan istilah yang menunjuk kepada suatu minoritas-minoritas pribadi yang
diangkat untuk melayani suatu kolektifitas dengan cara yang bernilai sosial sebagai minoritas-minoritas yang efektif dan bertanggung jawab.
12
3. Perempuan adalah orang manusia yang memiliki kodrat. Yang dimaksud dengan
kodrat di sini adalah perbedaan yang mendasar dan hakiki yang tidak dimiliki oleh laki-laki.Menurut Teori nature perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan
implikasi bahwa diantara keduanya memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran yang tidak dapat dipertukarkan, tetapi ada yang tidak dapat dipertukarkan.
Elit politik menurut Harold Laswell merupakan sekelompok kecil orang yang memegang posisi dan
peranan penting dalam masyarakat, mereka memperoleh sebagian besar dari apa saja dan mereka termasuk dalam kelompok elit berpengaruh. Adapun elit yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah pengurus perempuan di DPC Partai Demokrat Kota Pematangsiantar.
13
4. Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila dan Undang-undang 1945 yang Hal inilah yang membedakan elit politik perempuan dengan elit politik laki-laki.
11
Samuel P. Huntington, dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta : Rineka Cipta, 1994, hal. 9.
12
Arsal Thriwaty, Partisipasi Politik Elit Agama Islam di Kota Magelang, FIS Unnes, 2004, hal. 5.
13
Sri Sundari Sasongko, Konsep dan Teori Gender, Jakarta: Pusat Pelatihan Gender dan peningkatan Kualitas Perempuan, BKKBN, 2009, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
bertujuan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. Adapun pemilu yang menjadi bahan penelitian Penulis adalah pemilu
legislatif 2009 di Pematangsiantar.
2. Perumusan Masalah