Ungkapan Tradisional
2. Ungkapan Tradisional
Suatu ungkapan tradisional adalah milik suatu kelompok, namun yang menguasai secara aktif hanya beberapa orang saja. Ungkapan tradisional digolongkan menjadi dua: pewaris pasif dan pewaris
Soal EBTANAS
aktif. Pewaris pasif adalah pewaris folklor yang sekadar mengetahui Peribahasa lama mengatakan bahwa dan menikmati suatu bentuk folklor, namun tidak menyebarkannya
bahasa menunjukkan bangsa. secara aktif pada orang lain. Kebanyakan orang adalah pewaris pasif,
Ungkapan ini merupakan bagian misalkan pewaris pasif wayang golek adalah orang Sunda, pewaris
dari ....
aktifnya adalah para dalang dan para ahli pewayangan di Sunda.
a. nilai
Keadaan yang sama berlaku bagi orang-orang yang mengetahui b. etos budaya c. pandangan hidup
peribahasa atau ungkapan tradisional lainnya, pewaris aktifnya d. persepsi selalu merupakan golongan minoritas. Hal tersebut disebabkan orang e. kepercayaan
yang dapat menghafal suatu kumpulan peribahasa dari folknya Penyelesaian: sangat sedikit, sedangkan kebanyakan orang yang lain dari folk yang
Peribahasa tersebut merupakan sama hanya mengetahui dan tidak dapat membawakannya secara
bagian dari pandangan hidup lengkap maupun tepat.
Jawaban: c
Sumber : EBTANAS 2000
Ungkapan tradisional mempunyai tiga sifat dasar, (a) peribahasa harus berupa satu kalimat ungkapan, tidak cukup hanya berupa satu kata tradisional, seperti misalnya busyet atau ajigile (b) peribahasa ada dalam bentuk yang sudah standar, misal nya seperti katak yang congkak adalah peribahasa, tetapi seperti kodok yang sombong bukan peribahasa. Contoh lain adalah seperti Cina karam adalah peribahasa, namun seperti Cina kelelep bukan peribahasa; (c) suatu peribahasa harus mempunyai vitalitas (daya hidup) tradisi lisan, yang dapat dibedakan dari bentuk-bentuk klise tulisan yang berbentuk syair, iklan, reportase olahraga, dan sebagainya. Sebagai contoh ungkapan untuk iklan di berbagai media, seperti Suzuki inovasi tiada henti, dan Orang pintar minum tolak angin , tidak akan menjadi folklor karena akan cepat dilupa- kan orang, begitu tidak disiarkan di media lagi.
Peribahasa dibagi menjadi empat kelompok, yakni:
Peduli
a. Peribahasa sesungguhnya (true proverb) adalah ungkapan tradisional yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut.
Sebagai generasi penerus, Anda dituntut untuk melestarikan
1) Kalimatnya lengkap. kebudayaan. Usaha apa saja yang
2) Bentuknya biasanya kurang mengalami perubahan. Anda lakukan untuk mengemban
3) Mengandung kebenaran atau kebijaksanaan. amanah tersebut? Beberapa peribahasa dari golongan ini merupakan kalimat
sederhana seperti: "Di mana bumi dipijak, di situ langit di- junjung." Namun kebanyakan peribahasa yang se sungguh nya merupakan lukisan yang bersifat kiasan atau ibarat. Contohnya, lebih besar pasak daripada tiang , meng ibarat kan orang yang lebih besar pengeluaran dari pada peng hasilannya.
Bahasa, Dialek, dan Tradisi Lisan Bahasa, Dialek, dan Tradisi Lisan
1) Kalimatnya tidak lengkap.
2) Bentuknya sering berubah.
3) Jarang mengungkapkan kebijaksanaan.
4) Biasanya bersifat kiasan.
Contoh peribahasa semacam ini yang tidak mempunyai subjek antara lain: Terajuk kecewa, tersaukkan ikan suka, tersaukkan batang masam , yang mengibaratkan orang yang mau untung saja. Contoh peribahasa semacam ini yang tidak mempunyai kata kerja adalah: Dari Sabang sampai Merauke, yang mengibaratkan kesatuan wilayah Indonesia.
Asah Ilmu c. Peribahasa perumpamaan (proverbial comparison) adalah
ungkapan tradisional, yang biasanya dimulai dengan kata-kata Indonesia adalah bangsa yang
seperti atau bagai dan lain-lain. Contohnya antara lain, Seperti kaya akan peribahasa. Akan
telur di ujung tanduk mengibaratkan suatu keadaan yang sangat tetapi, banyak di antara rakyatnya,
gawat; Seperti belut pulang ke lumpur mengibaratkan orang yang terutama generasi muda, cenderung
pulang ke kampung halamannya lama sekali baru mau kembali mengabaikan berbagai pelajaran
ke kota; atau Bagai belut diregang (direntang) mengibaratkan mengenai peribahasa setempat.
orang yang sangat kurus.
Menurut Anda, upaya apa saja yang
d. Ungkapan-ungkapan yang mirip peribahasa adalah ungkapan- perlu dilakukan untuk mengobarkan
ungkapan yang dipergunakan untuk penghinaan, celetukan, semangat para remaja untuk
atau suatu jawaban pendek, tajam, lucu, dan berupa peringatan mempelajari peribahasa daerah
di sekitarnya. yang dapat menyakitkan hati. Contoh celetukan yang berasal dari bahasa Betawi adalah kayak monyet kena trasi. Celetukan dimaksudkan untuk orang yang suka jahil, jika melihat wanita cantik sehingga membuat wanita cantik yang judes tidak senang dan lalu mengeluarkan ungkapan itu, yang dapat membuat laki-laki kurang ajar itu malu. Contoh untuk yang ketiga, yakni peringatan yang menyakitkan hati, adalah Ya, itu sih akal bulus!, berasal dari bahasa Betawi pula. Ungkapan ini dikeluarkan jika seorang mendengar orang lain yang mem bangga kan diri karena telah berhasil menipu kawannya sehingga ia merasa dirinya pandai. Akal bulus berarti akal yang buruk atau licik, yang harus mendapat celaan dan bukan pujian.
Aktif dan Kreatif
Orang Bali memiliki klasiļ¬kasi peribahasa yang mandiri. Orang Bali membagi ungkapan tradisionalnya paling sedikit
Kumpulkanlah paling sedikit sepuluh menjadi dua kategori: (1) sesongan yang menyerupai peribahasa peribahasa berikut maknanya yang
sesungguhnya (2) sesenggakan yakni ungkapan pendek tepat serta berkembang di sekitar tempat tinggal
Anda. Tulislah dalam buku tugas, mengandung kebenaran; dan (3) seloka, yakni kiasan atau ibarat. kemudian hasilnya serahkan kepada
guru Anda. Selain itu terdapat peribahasa dari beberapa suku bangsa di Indonesia yang menunjukkan betapa kayanya folklor Nusantara. Di Jawa misalnya ada peribahasa yang berlatar belakang cerita yang bersifat penjelasan terjadinya sesuatu. Salah satu peribahasa Sunda, berbunyi: Ngawur uyah ka sagara (menebarkan garam ke laut), yang berarti membantu yang tidak memerlukan atau melakukan pekerjaan yang sia-sia. Salah satu bentuk peribahasa yang berasal dari Minangkabau, berbunyi: Lapuk oleh kain sehelai. Peribahasa ini ditujukan bagi seorang laki-laki yang menikah hanya dengan seorang wanita. Konteks dari peribahasa ini berlatar dari masya rakat Minangkabau sewaktu masih bersifat feodal, yaitu seorang laki-laki dianggap kurang jantan jika hanya memiliki seorang istri.