Kegiatan Sosial Keagamaan

4. Kegiatan Sosial Keagamaan

Dibandingkan propinsi-propinsi lainnya, umat Hindu di Sulawesi Selatan sangat beragam dari segi etnisitasnya. Setidaknya 60 % dari keseluruhan umat Hindu berasal dari etnis asli Sulawesi, seperti Toraja (disebut Hindu Alukta), Bugis (Hindu Tolotang), dan Makassar

(Hindu Selayar). 6 Sisanya, 40 % adalah umat Hindu etnis pendatang, seperti Bali, Jawa, dan keturunan India. Dengan prosentasenya yang mencapai 60%, umat Hindu yang berasal dari etnis-etnis asli di Sulawesi merupakan mayoritas dibandingkan dengan umat Hindu dari etnis-etnis pendatang.

Setelah berafiliasi dengan agama Hindu, penganut Hindu Tolotang mempunyai kewajiban moral untuk mengikuti kegiatan- kegiatan keagamaan Hindu, bersama-sama dengan umat Hindu dari etnis lainnya. Demikian pula sebaliknya, umat Hindu Tolotang berkewajiban mengundang umat Hindu etnis lain untuk mengikuti upacara-upacara yang diselenggarakan oleh mereka. Sebagai misal, dalam setiap penyelenggaraan Upacara Sipulung, umat Hindu Tolotang senantiasa mengundang pengurus PHDI Provinsi Sulawesi Selatan dan PHDI kabupaten/ kotamadya se-Provinsi Sulawesi Selatan.

Salah satu kegiatan yang diikuti penganut Hindu Tolotang adalah Dharma Shanti Nyepi Nasional tahun Saka 1929, yang

6 Penganut Hindu Makassar pada umumnya berdomisili di Kabupaten Selayar. Kabupaten ini terletak di Pulau Selayar, sebelah selatan Pulau Sulawesi.

Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi

dilaksanakan pada tanggal 22 April 2006 di Makassar. Dalam kegiatan ini, untuk pertama kalinya umat Hindu dari berbagai etnis lokal yang ada di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat berkumpul, antara lain: Bugis (Hindu Tolotang), Toraja (Hindu Alukta), Mandar (Hindu

Polewali Mandar) 7 , di samping umat Hindu asal Bali dan Jawa. Kegiatan ini juga dihadiri oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono dan Gubernur Sulawesi Selatan, Muhammad Amin Syam. Di samping itu ditampilkan berbagai tarian dari masing-masing etnis di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, seperti: Tari Simponi Kecapi dan Paddupa dari muda-mudi Hindu Tolotang, tari Pajoge, tari dari Toraja, tari Pakarena, dan tari dari Mammasa. Kegiatan ini memang untuk menepis anggapan bahwa kegiatan Hindu sarat dengan budaya Bali (Dharma Santi Nyepi 2006 di Makassar, awal kebangkitan Hindudari berbagai etnis; http://www.balipost.co.id./BaliPostcetak /2006/4/24/ n3.htm, diunduh tanggal 1 April 2008 pukul 17.19).

Muda-mudi Hindu Tolotang yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi di Sulawesi Selatan juga bergabung dalam Ikatan Mahasiswa Hindu Sulawesi Selatan (IMAHI – Sulawesi Selatan). Salah satu kegiatan IMAHI ini adalah mengadakan pengabdian masyarakat di enam kabupaten/ kotamadya, yaitu: Kodya Makassar, Kabupaten Sidenreng Rappang, Kotamadya Palopo, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur, dan Kabupaten Tana Toraja. Sasaran masyarakat yang dituju adalah umat Hindu Tolotang di Sidenreng Rappang, umat Hindu Aluk To Dolo/ Alukta di Tana Toraja, dan umat Hindu transmigran Jawa dan Bali di Palopo, Luwu Utara, dan Luwu Timur (Samuel Ma’dika, Hindu Sulawesi Selatan, http://www.balipost.co.id.BaliPostcetak/2004/11/14/surat.html., diunduh tanggal 28 Maret 2008, pukul 12.33).

Dalam kancah kegiatan lomba bernuansa agama Hindu yang diselenggarakan oleh PHDI, umat Hindu Tolotang juga terbukti mengukir prestasi. Misalnya salah seorang pemuda Hindu Tolotang pernah menjadi juara kedua lomba Dharma Wacana (ceramah keagamaan) dalam rangkaian Lomba Utsawa Dharma Gita tahun 2008 di Kendari, Sulawesi Tenggara. Demikian juga kiprah para mahasiswa beberapa kampus di Makassar, mereka juga turut terlibat kegiatan keagamaan di kampus bersama rekan-rekan umat Hindu dari etnis- etnis lain.

7 Penganut Hindu Polewali Mandar pada umumnya berasal dari Propinsi Sulawesi Barat.

Eksistensi Masyarakat Hindu Tolotang, Sulawesi Selatan

Direktur Jenderal Bimas Hindu juga pernah mengundang etnis-etnis dari seluruh Indonesia yang berafiliasi ke Hindu dalam pertemuan di Surabaya pada Oktober 2009. Dalam pertemuan ini disampaikan bahwa perbedaan implementasi tradisi dan upacara antara umat Hindu dari berbagai etnis lebih dinilai pada makna yang ada di dalamnya. Dengan memahami bahwa makna dari berbagai tradisi dan upacara yang berbeda-beda pada hakikatnya adalah sama, maka perbedaan tersebut tidak menjadikan Hindu terpecah belah (Dirjen Hindu: Tak Ada Hindu Kaharingan, Kamis 15 Oktober 2009, http://www.antaranews.com/berita/ 1255599192/dirjen-hindu-tak- ada-hindu-kaharingan, diunduh tanggal 22 Juni 2010 jam 8.03).

Penutup

Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kepercayaan Tolotang bukan sekedar kepercayaan lokal masyarakat Bugis yang berdiri sendiri dan lepas dari pengaruh agama Hindu. Berdasarkan beberapa data yang ditemukan, kepercayaan ini pun telah mendapatkan pengaruh Hindu Buddha. Berdasarkan bukti sejarah, agama Hindu dan Buddha pernah tumbuh dan berkembang di Sulawesi Selatan, namun hanya sedikit saja tinggalan tangible (bendawi) yang tersisa. Sebaliknya, tinggalan intangible (nonbendawi) justru masih banyak ditemukan, yang dapat digunakan sebagai bukti adanya pengaruh agama Hindu, seperti penggunaan kata-kata/ istilah, toponimi, dan tradisi yang berkaitan dengan Hindu. Masyarakat Hindu Tolotang pun mengakui bahwa leluhur mereka pada masa lampau adalah orang-orang penganut Hindu. Dengan demikian, proses afiliasi dari kepercayaan Tolotang ke dalam agama Hindu tidak dapat dianggap sebagai proses pemaksaan pemerintah untuk memilih salah satu dari enam agama yang diakui oleh pemerintah.

Untuk mempertahankan kepercayaan Hindu Tolotang, sebelum dikenalnya pendidikan agama di sekolah-sekolah, masyarakat telah memiliki sistem pendidikan tersendiri, yaitu dengan membawa anak-anaknya ke rumah para uwata untuk diberikan nasihat dan pendidikan secara lisan. Setelah berafiliasi ke agama Hindu, pendidikan agama untuk generasi muda saat ini telah diambil alih oleh institusi sekolah. Dahulu penyediaan guru-guru agama Hindu di sekolah-sekolah masih menjadi kendala, namun sedikit demi sedikit permasalahan itu pada saat ini telah mulai dapat diatasi dengan menyediakan guru-guru lulusan STAH Negeri Denpasar, Bali, dan

Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi

STAH Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang notabene direkrut dari generasi muda asli Hindu Tolotang.

Salah satu kesulitan yang dialami penganut Hindu Tolotang adalah pranata sosial keagamaan tidak bersifat diaspora, melainkan terpusat. Pemeluk Hindu Tolotang yang tinggal di daerah-daerah yang jauh dari Sidenreng Rappang tidak dapat membuat pranata keagamaan yang baru, seperti mengangkat uwata dan membuat tempat peribadatan baru di daerahnya.

Hubungan sosial-budaya antara umat Hindu Tolotang dengan umat beragama lainnya cukup baik, yang ditunjukkan dengan ikut terlibatnya umat Hindu Tolotang dalam perayaan Hari Lebaran/ Idul Fitri. Hal ini dikarenakan banyak kerabat, famili, maupun tetangga mereka yang beragama Islam.

Penganut Hindu Tolotang tidak percaya terhadap konsep reinkarnasi, namun mempercayai adanya Lino Paimang (hari kiamat). Namun tampaknya kedua konsep ini merupakan hasil pengaruh dari agama Islam, karena selama ratusan tahun mereka diharuskan mengikuti kaidah-kaidah Islam. Tidak terdapatnya konsep reinkarnasi dan dikenalnya konsep hari kiamat pada kepercayaan Tolotang menunjukkan adanya mata rantai yang putus antara kepercayaan Tolotang dengan agama Hindu. Dengan demikian, meskipun terdapat perbedaan filosofi antara kepercayaan Tolotang dengan agama Hindu, kurikulum yang diberikan dalam pelajaran agama di sekolah disamakan dengan kurikulum agama Hindu secara umum. Mereka juga diperkenalkan dengan konsep reinkarnasi dan moksa. Hal ini dimaksudkan agar pemahaman filosofi agama Hindu relatif sama antara etnis satu dengan etnis yang lain.

Di samping terdapat perbedaan konsep reinkarnasi dan hari kiamat, terdapat perbedaan-perbedaan implementasi ajaran Hindu dalam kehidupan sehari-hari antara umat Hindu Tolotang dengan umat Hindu pada umumnya, khususnya umat Hindu dari Bali, seperti salam terhadap sesama umat Hindu, tempat ibadah, dan etika dalam persembahyangan. Perbedaan implementasi tersebut pada hakikatnya ditanggapi oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia sebagai bagian dari keragaman implementasi keagamaan umat Hindu, sehingga tidak dianggap sebagai hal yang dapat memecah belah kesatuan umat Hindu. Hal ini didasarkan pada adanya konsep desa, kala, patra (tempat, waktu, dan keadaan), yang memungkinkan terjadinya perbedaan tempat dan waktu ibadah, etika dalam persembahyangan, dan ucapan salam, yang disesuaikan dengan tradisi setempat. Hal ini pula yang

Eksistensi Masyarakat Hindu Tolotang, Sulawesi Selatan

menyebabkan upacara-upacara besar semacam Upacara Sipulung tetap dilestarikan oleh komunitas Hindu Tolotang, meskipun telah berafiliasi ke dalam agama Hindu.

Setelah berafiliasi dengan agama Hindu, penganut Hindu Tolotang mempunyai kewajiban moral untuk mengikuti kegiatan- kegiatan keagamaan Hindu, bersama-sama dengan umat Hindu dari etnis lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan keikutsertaan umat Hindu Tolotang dalam perayaan Dharma Shanti Nyepi, bergabungnya muda- mudi Hindu Tolotang dalam IMAHI Sulawesi Selatan, keikutsertaan dalam lomba Utsawa Dharma Gita, dan lain-lain. Demikian pula sebaliknya, umat Hindu Tolotang berkewajiban mengundang umat Hindu etnis lain untuk mengikuti upacara-upacara yang diselenggarakan oleh mereka, seperti dalam setiap penyelenggaraan Upacara Sipulung, di mana umat Hindu Tolotang senantiasa mengundang pengurus PHDI Provinsi Sulawesi Selatan dan PHDI kabupaten/ kota Madya se-Provinsi Sulawesi Selatan.