Politik Identitas Masyarakat Adat Dayak dalam Pengelolaan Hutan di Kalimantan Barat

c. Politik Identitas Masyarakat Adat Dayak dalam Pengelolaan Hutan di Kalimantan Barat

Penghentian skema HPHH oleh pemerintah, menimbulkan reaksi yang sangat beragam. Ini juga berarti hilangnya salah satu sumber PAD utama bagi Kapuas Hulu. Akibat lain yang dihasilkan antara lain menghilangkan pekerjaan ribuan warga negara yang selama ini bergantung pada hasil hutan dan penghapusan tersebut tidak berpihak pada “rakyat kecil” melainkan kepada pengusaha besar.

Masyarakat terlibat dalam illegal logging dikarenakan mereka mendapat keuntungan dari para cukong. Para Cukong memperhatikan mereka dengan memberikan pekerjaan, rumah panjang, jalan, dan lain sebagainya. Hal seperti itulah yang dibutuhkan oleh masyarakat adat. Kalaupun mereka tidak melakukan strategi itu, hutan hanya dinikmati oleh pengusaha saja dan tidak pernah mempedulikan masyarakat.

Sumber: Adri,

Foto 3.12 Pengumuman di Sawmill Cukong Malaysia dengan Menggunakan Adat

Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi

Sebaliknya, para cukong kayu mendapatkan jaminan dan “keuntungan” dari relasinya dengan masyarakat baik secara sosial maupun budaya. Secara sosial, budaya dan ekonomi cukong kayu memperoleh: pertama, jaminan keamanan dari warga yang ada di sekitar lokasi usahanya, kedua memperoleh pasokan tenaga kerja yang bisa diatur dan disesuaikan dengan kebutuhan, ketiga adanya jaminan adat atas keberadaan dan keberlangsungan usahanya dari segi keamanan. Seperti foto dokumentasi Yayasan Titian di bawah ini yang ditempel pada sebuah sawmill milik Robin, seorang cukong kayu Malaysia, di daerah perbatasan. Jika ada yang ketahuan melakukan pelanggaran peraturan perusahaan, ada jaminan dari adat setempat bahwa pelaku tersebut akan dikenakan “sangsi adat” (Audri, 2007).

Masyarakat Dayak Iban adalah Indonesia. Bagi orang Dayak/Iban, “hutan adalah ibu bagi mereka, di situ mereka diberi makan, di situ mereka didik, di situ mereka dibesarkan”. Mereka juga ingin maju dan menghadap kehidupan yang layak seperti warga negara lainnya. Lemahnya kehadiran negara Indonesia dalam pengertian the art of governing yang kemudian dimanfaatkan oleh cukong kayu dengan juga mempertimbangkan dan memperhitungkan aspek identitas Orang Iban (Adri, 2007). Relasi ini kemudian melahirkan pola hubungan patron-client antara cukong kayu dengan warga negara Indonesia di perbatasan. Maka tidak heran jika dengan berbagai cara dan upaya, Orang Iban akan mempertahankan sebisa mungkin agar illegal logging bisa tetap dilangsungkan.

Dalam pengakuan mereka tetap “Orang Indonesia”, warga negara Indonesia. Tapi ketika illegal logging dihentipaksakan oleh Indonesia, mereka menolak dan berpihak pada cukong kayu yang berarti juga berpihak pada kepentingan mereka sendiri. Tidak peduli Indonesia dirugikan dan Malaysia diuntungkan. Keberlangsungan illegal logging di perbatasan juga tidak lepas dari peran negara di tingkat kabupaten. Aspirasi untuk memperoleh sebagian dari rente pengelolaan sumber daya hutan yang selama ini dinikmati oleh “Pusat,” pada era desentralisasi dan otonomi daerah telah mendorong kabupaten untuk memanfaatkan kesempatan ini sebisa mungkin. Dengan mengatasnamakan “masyarakat” yang

selama ini terpinggirkan dalam pengelolaan sumber daya alam, otonomi daerah dan desentralisasi kekuasaan, pendapatan asli daerah, dan putera daerah, kabupaten melakukan ekstraksi kayu di hutan dalam teritori mereka tanpa harus patuh pada ketentuan “pusat.” Meskipun dalam pekerjaan ini melibatkan cukong kayu dari negara lain, meskipun

Kearifan Lokal dan Politik Identitas : Menjawab Tantangan Global? Strategi Masyarakat Adat Dalam Kasus Pembalakan Hutan di Kalimantan Barat

sebagian besar rente pengusahaan hutan ini jatuh ke tangan cukong, meskipun sebagian besar warga negara dalam teritorinya memperoleh sedikit saja dari rente keseluruhan.

Dalam praktik illegal logging, hutan sebagai (ibunya Orang Iban) penanda keibanannya bukanlah sesuatu yang baku, kaku dan tidak berubah. Ketika tidak ada kepastian mengenai kehidupan mereka, tidak ada jaminan bahwa hutan akan tidak ditebang oleh orang lain, maka keterlibatan dalam praktik illegal logging menjadi satu pilihan strategis dan realistis bagi mereka. Terlibat atau tidak, dalam pemahaman mereka, toh hutan akhirnya akan ditebang. Kalau tidak oleh orang lain, mungkin oleh negara melalui pemberian konsesi pada perusahaan besar di Jakarta. Sehingga hutan sebagai aspek keibanan mereka untuk sementara menjadi tidak strategis dan tidak relevan dalam kondisi sekarang dan bagi masa depan mereka.

Tidak semua Orang Iban merupakan kelompok yang setuju dan melakukan illegal logging. Paling tidak masih ada Orang Iban di Sungai Utik, Kecamatan Lanjak yang masih mempertahankan hutan sebagai sumber penghidupan dan sekaligus identitas keibanan dan kedayakannya. Begitu pula, Masyarakat Undau Mau di Kalimantan Barat, yang mengembangkan kearifan lingkungan dalam pola penataan ruang pemukiman dengan mengklasifikasi hutan dan memanfaatkannya. Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menetapkan masa bera, dan mereka mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan.

Beberapa kasus seperti yang terjadi pada tahun 1997, PT Wahana Stagen Lestari (WSL) melanggar kawasan Tonah Colap Turun Pustaka atau hutan lindung ala masyarakat adat yang luasnya 782 hektar. Dari pelanggaran tersebut maka WSL dihukum secara adat oleh masyarakat Pendaun. Setelah dihukum adat WSL berhenti operasi di Tanah Colap. Namun ternyata, dengan terhentinya operasi WSL penebangan hutan masih berlanjut. Dengan terbukanya jalan ke Tonah Colap Torun Pusaka, semakin banyak penebangan liar.

Perlawanan akibat ketidakadilan ekologis dilakukan hampir di setiap tempat di pedalaman Kalimantan Barat. Di Desa Sijang, Kecamatan Galing, Kabupaten Sambas, masyarakat adat Dayak memprotes keberadaan perusahaan sawit yang membakar lahan di wilayah adat mereka. Di Komunitas Dayak Kayong Sekayuq yang

Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi

masuk Kecamatan Tayap Kabupaten Ketapang memprotes perusahaan sawit yang melakukan survey di wilayah adat mereka.

Begitu juga dengan kasus PT Toras Banua Sukses dengan Warga DAS Mendalam. Warga Mendalam menolak dengan tegas kehadiran perusahaan apa pun di DAS Mendalam yang tujuannya untuk “merusak hutan” mereka yang sudah tinggal sedikit. Mereka tidak tertarik dengan tawaran perusahaan ini karena pengalaman pada periode-periode sebelumnya. Dua perusahaan yang pernah beroperasi di daerah mereka dipandang tidak meninggalkan kebaikan bagi kehidupan mereka. Warisan bekas perusahaan tersebut adalah hutan yang gundul, jalan tanah bekas perusahaan yang tak terurus, dan lahan yang gersang.