Negoisasi Para Cukong dengan Masyarakat Dayak Iban di Kecamatan Badau dan Lanjak, Kabupaten Kapuas Hulu

b. Negoisasi Para Cukong dengan Masyarakat Dayak Iban di Kecamatan Badau dan Lanjak, Kabupaten Kapuas Hulu

Pada masa Orde Baru, hutan dikelola secara sentralistik oleh perusahaan besar swasta dan perusahaan swasta nasional. Namun, pada era reformasi, daerah dan warga negara memiliki peluang yang sama besarnya dengan perusahaan besar dalam ekstraksi sumber daya kayu. Skema pengelolaan ini kemudian dikenal dengan Hak Pengusahaan Hutan Seratus Hektar (HPHH) di samping skema pengelolaan yang sudah ada sebelumnya (HPH). Kebijakan HPH sendiri dinilai oleh pemerintah pusat sangat merugikan negara setelah sempat dua tahun berjalan. Perusahaan HPH dianggap sebagai pelaku dominan dalam illegal logging pada masa Orde Baru. Mereka melakukan aktivitas illegalnya dengan cara menebang di luar areal konsesi, melaporkan jumlah tebangan yang tidak sesuai dengan dokumen untuk menghindari pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan-Dana Reboisasi (PSDH-DR) yang lebih besar.

Untuk Kalimantan Barat, terutama Kabupaten Kapuas Hulu, kebijakan HPHH disambut antusias oleh warga dan aparatus negara. Ketika skema ini diterapkan, strategi yang dikembangkan oleh warga negara terutama di Kabupaten Kapuas Hulu ialah membangun aliansi dengan para pengusaha kayu dari Malaysia. Muncul berbagai bentuk kelompok usaha bersama, terutama koperasi, dalam jumlah ratusan unit usaha dalam kurun waktu dua tahun. Sedangkan modal dan alat

Kearifan Lokal dan Politik Identitas : Menjawab Tantangan Global? Strategi Masyarakat Adat Dalam Kasus Pembalakan Hutan di Kalimantan Barat

berat dipasok oleh cukong kayu Malaysia atau dengan pemodal lokal dan nasional.

Para cukong kayu ini adalah pemodal yang menyediakan biaya operasional penebangan, peralatan, dan sekaligus pembeli dari kayu tebangan itu. Cara kerjanya, seorang cukong kayu akan mencari orang yang bisa dipercaya sebagai 'perantara' dengan berbagai pihak yang memiliki pengaruh dan wewenang dalam pengelolaan hutan di tingkat negara maupun di tingkat warga negara. Perantara ini merupakan kaki tangan utama cukong kayu di dalam pengelolaan usaha kayu ini di tingkat lapangan. Perantara ini akan melakukan pendekatan dan negoisasi dengan tokoh “masyarakat” mauapun tokoh adat agar mereka mau mendorong masyarakat untuk mendirikan koperasi, agar memiliki legalitas untuk melakukan eksploitasi kayu di hutan. Jika dicapai kesepakatan, perantara melakukan pendekatan kepada birokrat seperti pejabat di tingkat kabupaten sebagai representasi negara untuk memperoleh keabsahan pendirian koperasi secara hukum.

Setelah koperasi berdiri dan memiliki badan hukum, semua kebutuhan dan biaya operasional koperasi tersebut seluruhnya ditanggung oleh Cukong kayu. Pengurus koperasi digaji oleh Cukong. Setelah koperasi bisa berjalan dan melakukan ekstraksi kayu di Hutan, si Cukong akan mendirikan perusahaan penggergajian atau pemotongan kayu (sawmill). Semua kayu yang dihasilkan oleh koperasi tersebut kemudian di jual ke sawmill milik si Cukong. Khusus untuk daerah Kabupaten Kapuas Hulu, hampir sebagian besar pemilik modal dari sawmill tersebut adalah warga negara Malaysia dan kayunya juga dibawa/dijual ke Malaysia.

Seorang cukong biasanya juga memenuhi permintaan lain dari warga negara agar hutan mereka bisa diekstraksi. Permintaan yang umumnya diajukan warga negara sebagai kelompok ialah pembangunan rumah panjang yang baru atau renovasi, pembangunan sarana jalan kampung, sarana air bersih, dan fasilitas olahraga (Adri, 2007). Setelah dicapai persetujuan, langkah berikutnya ialah membangun kesepakatan yang biasanya berisi kesepakatan mengenai jaminan keamanan bagi Cukong dan Pekerjanya serta kejelasan kompensasi bagi warga negara yang terlibat dalam kompensasi tersebut.

Berdasarkan wawancara dengan aktivis LSM di Pontianak biasanya warga negara melalui institusi adat, dusun dan desa akan

Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi

memberikan jaminan keamanan penuh bagi cukong, perusahaan dan karyawannya sepanjang kewajiban cukong yang telah disepakati dijalankan. Jaminan keamanan tersebut berupa proteksi dari gangguan pekerja, gangguan pencurian, gangguan dari gugatan kelompok warga lain, dan gangguan dari aparat negara jika terjadi operasi atau pemerasan. Untuk mempertinggi tingkat keamanan yang didapatkan oleh cukong, lazim kemudian sebanyak mungkin warga lokal dilibatkan dalam pekerjaan baik dalam proses penebangan maupun di tempat pengolahan kayu [sawmill]. Bentuk keterlibatan warga lokal bisa sebagai keamanan, penghitung kayu, pengawas buruh, sopir dan buruh pemotong dan kuli panggulnya. Dengan cara ini warga bisa memperoleh penghasilan harian. Meskipun keterlibatan warga sebagai bagian dari operasional ekstraksi dan pengolahan kayu tidak terlalu banyak, ini akan membantu dalam proses pengamanan usaha cukong.

Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh setiap cukong kayu ini masih dalam cakupan para pemangku kepentingan di tingkat desa. Selain biaya ini seorang cukong juga mengeluarkan biaya-biaya lain yang sifatnya sudah terduga dan terukur seperti “gaji” untuk para aparat dan petinggi negara mulai dari tingkat Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, bahkan ada indikasi sampai tingkat Pusat (militer, polisi, DPRD, pengadilan negeri, kejaksaan, dan pemerintah daerah dan provinsi).

Selain itu ada juga pengeluaran yang sifatnya temporer yang diberikan kepada kalangan tertentu, misalnya: jika ada aparat negara yang mampir ke lokasi kerja atau tempat penggilangan kayu (sawmill) milik cukong, pungutan polisi yang bertugas di jalan, pos-pos pungutan ‘liar yang dikelola oleh warga dan atau aparat. Kemudian dalam proses negosiasi sebuah lokasi penebangan, cukong kayu juga harus mengeluarkan biaya dalam jumlah miliaran rupiah untuk memenuhi persyaratan yang diajukan oleh warga negara di dusun, desa atau rumah panjang tertentu dalam bentuk pembangunan sarana dan prasarana fisik.

Menurut pengakuan seorang cukong besar Malaysia, ia melakukan bisnis kayu juga untuk menolong peningkatan taraf perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Kapuas Hulu. Namun, dengan biaya produksi dan biaya sosial yang besar, tidak mungkin dia mau melakukan bisnis ini jika tingkat laba dan akumulasi modal yang akan diperolehnya jauh lebih besar. Menurut pengakuan seorang pedagang kayu Singapura, bisnis kayu ilegal jauh lebih

Kearifan Lokal dan Politik Identitas : Menjawab Tantangan Global? Strategi Masyarakat Adat Dalam Kasus Pembalakan Hutan di Kalimantan Barat

menguntungkan dari pada bisnis narkoba. Sedangkan menurut penjelasan informan (salah seorang aktivis anti-illegal logging) bisnis kayu itu 30 kali lipat lebih besar labanya dari pada bisnis narkoba (Adri, 2007).

Untuk Kabupaten Kapuas Hulu ada dua pola pengembangan jaringan dalam aktivitas illegal logging dan illegal trading yaitu “pola jalur darat” dan “pola jalur sungai.” Pola jalur darat mayoritas mengarah pada pasar Malaysia melalui Lubuk Antu, sedangkan pola jalur sungai mengarah pada pasar Pontianak, meskipun pada akhirnya dari Pontianak sebagian dijual juga ke Malaysia. Jalur darat ke Malaysia berlangsung sepanjang tahun tanpa mengenal musim, sedangkan jalur sungai banyak dipakai pada saat musim hujan dimana air sungai cukup besar untuk menghanyutkan kayu ke Pontianak. Dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 pola pertama, jalur darat lebih dominan dari pada jalur sungai.

Sumber: Dokumentasi Nasruddin, 2004

Foto 3.11 Jaringan Illegal Logging Pola Jalur Sungai

Menurut keterangan beberapa investigator dari kalangan LSM di Pontianak jalur darat lebih cenderung disukai oleh warga karena beberapa alasan: pertama, akses ke Malaysia sangat dekat dibanding kalau dijual ke Pontianak, kedua jarak tempuh akan berpengaruh pada jumlah “sopoi” [pungutan liar yang biasa diambil oleh tentara dan terutama polisi di setiap pos polisi] – semakin jauh, semakin banyak pos yang harus dilewati, ketiga kepastian pembayaran kayu yang dijual jauh lebih tinggi ke Malaysia dari pada ke Pontianak – Cukong di Pontianak sering mangkir atau menunda pembayaran sedangkan Cukong Malaysia terkadang mendatangi lokasi dan membayar tunai, keempat, Cukong Malaysia membangun jaringan kerja yang kuat dengan warga negara sedangkan Cukong Pontianak hanya menunggu hasil.

Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi

Untuk bisa keluar dari Indonesia dan sampai di Malaysia, segala macam pajak dan retribusi diurus oleh staf-staf yang dimiliki oleh Cukong Kayu seperti membayar pajak dan retribusi kepada Kabupaten, fee untuk berbagai kalangan seperti dijelaskan di atas, membayar “sopoi” kepada berbagai “gate” (pos penjagaan TNI, Polri dan terkadang kelompok warga negara). Setelah sampai di Malaysia, kayu tersebut di”cop” dengan stempel Pemerintah Malaysia dan membayar pajak dan retribusi tertentu.

Setelah tahapan ini dilalui maka kayu sudah resmi, sah dan legal menjadi kayu dari Malaysia. Untuk kemudian setelah diolah, kayu-kayu ini dijual ke berbagai negara di Eropa, Asia dan Amerika. Secara sederhana, alur kerja dan bangun kolaborasi antar aktor dalam illegal logging bisa digambarkan seperti gambar di bawah ini, terutama dari tahun 1999 – 2002.

Gambar Modus Illegal Logging Tahun 1999-2002

Sumber: Adri, 2007

Dalam skema pengusahaan kayu seperti ini biasanya pelanggaran hukum atau praktik illegal logging yang dilakukan antara lain: penggunaan alat berat dalam ekstraksi kayu yang tidak diperkenankan dalam ketentuan HPHH, penggunaan dokumen kayu secara berulang untuk menghindari PSDH dan DR, dan penggunaan dokumen untuk kayu dari operasi penebangan yang lainnya (Budiarto 2003). Dalam skema pengusahaan kayu seperti ini, masyarakat memperoleh laba pengusahaan kayu dari keterlibatannya dalam penebangan hutan. Karena hutan di Kalimantan Barat pada umumnya berkaitan dengan sistem adat, maka hutan tersebut biasanya dipandang sebagai 'properti' sebuah komunitas adat tertentu. Agar proses ekstraksinya bisa

Kearifan Lokal dan Politik Identitas : Menjawab Tantangan Global? Strategi Masyarakat Adat Dalam Kasus Pembalakan Hutan di Kalimantan Barat

berlangsung dengan baik maka siapapun yang mengekstraksinya harus membayar semacam premi atau dikenal oleh masyarakat sebagai 'fee' yang biasanya diberikan pada 'rumah panjang' yang memiliki hak adat atas hutan tersebut.

Karena skema pengelolaan hutan seperti dijelaskan di atas dipandang sangat merugikan negara dan mendorong proses kerusakan hutan dalam percepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka negara memutuskan untuk menghentikan skema ini dengan mencabut peraturannya. Reaksi yang timbul kemudian sangat beragam. Pada periode inilah terlihat bagaimana berbagai kalangan yang selama ini diuntungkan mulai melakukan negosiasi dengan negara di tingkat pusat dengan menggunakan berbagai cara.