Status Keagamaan

1. Status Keagamaan

Meskipun telah menyatakan diri bernaung di bawah agama Hindu, banyak masyarakat awam yang masih mengkategorikannya

Eksistensi Masyarakat Hindu Tolotang, Sulawesi Selatan

sebagai penganut kepercayaan. Hal ini tampak pada hasil catatan sensus penduduk tahun 2000, yang menyebutkan bahwa pemeluk Hindu hanya 1.479 orang, sedangkan sisanya pada kolom agama dalam KTP-nya hanya disebutkan ”lain-lain”. Hal ini tidak terlepas dari pandangan masyarakat luas yang menganggap tidak ada keterkaitan sama sekali antara kepercayaan Tolotang dengan agama Hindu, sehingga mereka tidak sepantasnya dikategorikan beragama Hindu.

Sebagian masyarakat menganggap kepercayaan Tolotang masih sebagai salah satu aliran penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kondisi ini menyebabkan dalam sarasehan antarorganisasi penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, komunitas Hindu Tolotang masih diundang sebagai peserta. Sebaliknya, dalam rangka pembinaan, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu pernah mengadakan pertemuan dengan etnis-etnis penganut kepercayaan lokal yang berafiliasi ke Hindu pada bulan Oktober 2009 di Surabaya. Tujuan dari pertemuan tersebut adalah untuk menyampaikan bahwa Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu mempunyai kewajiban untuk membina seluruh umat Hindu di Indonesia, tanpa membedakan latar belakang etnisnya. Di samping itu dinyatakan bahwa di dalam Hindu dikenal prinsip desa, kala, patra (tempat, waktu, dan keadaan), yang memungkinkan terjadinya perbedaan ritual Hindu berdasarkan tradisi etnis setempat (Dirjen Hindu: Tak Ada Hindu Kaharingan, Kamis 15 Oktober 2009, http://www.antaranews.com/berita/1255599192/dirjen-hindu-tak- ada-hindu-kaharingan, diunduh tanggal 22 Juni 2010 jam 8.03).

Ditilik dari latar belakang sejarahnya, Pulau Sulawesi memang tidak memiliki catatan sejarah pada masa Hindu-Buddha. Tinggalan bendawi (tangible) masa Hindu-Buddha di Sulawesi pun hampir tidak ada. Meskipun demikian, tinggalan nonbendawi (intangible) Hindu- Buddha masih banyak ditemukan pada tradisi-tradisi yang dilakukan

masyarakatnya, seperti tradisi penghormatan terhadap alam. 5 Adanya sisa-sisa pengaruh Hindu terhadap masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan ditunjukkan dengan beberapa bukti sebagai berikut:

a. Penggunaan kata-kata/ istilah yang berkaitan dengan Hindu, yaitu:

5 Di dalam agama Hindu, penghormatan terhadap alam merupakan bagian dari ajaran Tri Hita Karana, yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan,

manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta.

Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi

• Sewata dalam bahasa Bugis yang artinya sama dengan kata

dewata dalam agama Hindu. • Dewata SeuwaE sebagai sebutan kepada Tuhan Yang Maha

Esa berasal dari kata Saiwa atau Siwa.

b. Toponimi (nama tempat) yang berkaitan dengan Hindu, yaitu: • Di sebelah barat Kelurahan Amparita, Kecamatan Tellu

LimpoE terdapat desa bernama Desa Siwa. • Di Kabupaten Luwu Timur terdapat kota yang bernama Bumi

Batara Guru. Batara Guru dalam konsep Hindu adalah leluhur yang melahirkan dan mengadakan kita. Dalam konsep masyarakat Bugis, Batara Guru diyakini sebagai nenek moyang raja-raja di Sulawesi Selatan. Selain Batara Guru, kata batara juga banyak digunakan oleh masyarakat Bugis, yang berarti pelindung. Batara Guru juga merupakan sebutan Tuhan bagi masyarakat Luwu.

c. Bangunan peninggalan bersejarah Di Gunung Bawakaraeng, bagian selatan Provinsi Sulawesi Selatan, terdapat peninggalan berupa batu-batu tegak, yang diperkirakan adalah lingga, lambang dari Dewa Siwa.

d. Tradisi • Konsep orientasi pemujaan di dalam agama Hindu tidak hanya semata-mata ditujukan kepada Tuhan, tetapi juga kepada leluhur. Pemujaan terhadap Tuhan dengan segala manifestasinya disebut dengan dewa yadnya, sedangkan pemujaan terhadap leluhur disebut dengan pitra yadnya. Konsep ini sejalan dengan kepercayaan Tolotang yang menekankan pentingnya pemujaan kepada leluhur.

• Masyarakat Bugis masih menghormati tanaman padi. Kekuasaan Tuhan pada tanaman padi dipersonifikasikan sebagai Sangia Seri, yang artinya sama dengan Sang Hyang Sri (Dewi Padi).

Pandangan masyarakat luas yang menganggap tidak ada keterkaitan antara kepercayaan Tolotang dengan agama Hindu, sehingga tidak sepantasnya dikategorikan beragama Hindu, justru ditentang oleh para uwata . Hal ini cukup beralasan karena pada dasarnya filosofi kepercayaan Tolotang sama dengan agama Hindu. Adapun berbedaan bentuk upacara antara penganut Hindu Tolotang dengan penganut Hindu di Bali lebih disebabkan oleh perbedaan dalam

Eksistensi Masyarakat Hindu Tolotang, Sulawesi Selatan

mengekspresikan ajaran satwam (ketaatan), siwam (keagungan), dan sundaram (keindahan).

Menurut Sunarto Ngate, ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Sidenreng Rappang, masyarakat Tolotang memilih berafiliasi ke Hindu karena agama Hindu dapat memahami kepercayaan Tolotang dan sebaliknya, kepercayaan Tolotang memahami Hindu. Di samping itu, penganut kepercayaan Tolotang juga merasa memiliki keterkaitan dengan agama Hindu, yaitu pada masa lampau Kepulauan Nusantara pernah dikuasai agama Hindu dan Buddha. Dengan demikian, leluhur mereka pun adalah orang-orang penganut Hindu. Dengan demikian, bila ada yang menyatakan bahwa penganut kepercayaan Tolotang dipaksa masuk Hindu, maka hal itu dianggap mencederai keputusan para tokoh Tolotang yang telah memperjuangkan kepercayaannya untuk masuk ke Hindu.

Hal yang sedikit berbeda antara kepercayaan Tolotang dengan filosofi Hindu adalah konsep mengenai reinkarnasi dan hari kiamat. Penganut Hindu Tolotang tidak percaya terhadap konsep reinkarnasi, namun mempercayai adanya hari kiamat, yang disebut dengan Lino Paimang . Kedua konsep ini tampaknya merupakan hasil pengaruh dari agama Islam, karena selama ratusan tahun mereka diharuskan mengikuti kaidah-kaidah Islam. Meskipun demikian, penganut Hindu Tolotang mengenal konsep karma phala, yaitu perbuatan manusia yang akan dibalas, baik ketika masih hidup maupun di akhirat nanti. Konsep karma phala dalam bahasa Bugis disebut dengan baliwindru, berasal dari kata bali yang berarti lawan dan windru yang berarti perbuatan. Dengan demikian baliwindru berarti “lawan atau balasan terhadap perbuatan.”

Menurut Dharmayasa, pengurus PHDI Provinsi Sulawesi Selatan, tidak terdapatnya konsep reinkarnasi dan dikenalnya konsep hari kiamat pada kepercayaan Tolotang menunjukkan adanya mata rantai yang putus dan perlu dicari benang merahnya kembali. Para pengurus PHDI Provinsi Sulawesi Selatan, yang pada umumnya berasal dari etnis Bali, meyakini bahwa pada awalnya penganut kepercayaan Tolotang mengenal konsep reinkarnasi dan moksa. Namun konsep-konsep tersebut direduksi menjadi manusia hidup hanya sekali saja dan mengenal hari kiamat karena selama beratus- ratus tahun mereka harus mengikuti tradisi Islam.

Kesulitan lain adalah persebaran penganut Hindu Tolotang tidak bersifat diaspora, melainkan terpusat. Mereka terikat pada para

Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi

uwata dan lokus ritual yang dipusatkan di Amparita dan sekitarnya. Pemeluk Hindu Tolotang yang tinggal di daerah-daerah yang jauh dari Sidenreng Rappang tidak dapat membuat pranata keagamaan yang baru, seperti mengangkat pimpinan spiritual dan membuat tempat peribadatan baru. Di sisi lain, penganut Hindu Tolotang bersifat sangat terbuka terhadap modernisasi. Dalam ajaran Hindu Tolotang tidak ada larangan khusus terhadap penerapan kemajuan dan modernisasi. Bagi masyarakat Hindu Tolotang, ajaran Tolotang hanya terbatas pada sikap dan kepercayaan ritual, tidak sampai membatasi umat dalam menerima pengaruh kemajuan dan moderninasi. Walaupun sudah maju dan modern, sepanjang kepercayaan dan ritual tetap terjaga, seseorang tidak akan kehilangan maknanya sebagai orang Tolotang.