Pendidikan Agama

2. Pendidikan Agama

Sebelum berafiliasi ke dalam agama Hindu, sistem pembinaan kepercayaan Tolotang terhadap generasi muda dilakukan di rumah para uwata. Dalam hal ini para orangtua mendatangi rumah para uwata sambil membawa serta anak-anaknya. Di rumah para uwata inilah, nasihat-nasihat berdasarkan ajaran Tolotang diberikan secara lisan kepada anak-anak. Setelah berafiliasi ke agama Hindu, pendidikan agama untuk generasi muda semestinya diambil alih oleh institusi pendidikan di sekolah.

Meskipun telah resmi memeluk agama Hindu sejak tahun 1966, pendidikan agama Hindu untuk anak-anak sekolah pada masa lalu masih menjadi kendala, karena belum tersedianya guru agama Hindu. Guru agama Hindu baru masuk pada tahun 1982. Mereka adalah warga transmigran asal Bali di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Jumlah guru agama ketika itu juga masih sangat kurang, yaitu hanya sekitar 10 orang. Hal ini berakibat pada banyaknya anak sekolah yang tidak mendapatkan pelajaran agama Hindu. Sebagai gantinya, di ijazah mereka tertera beragama Islam, meskipun tidak pernah mengikuti pelajaran agama Islam. Banyak pula anak-anak yang nilai pelajaran agamanya kosong.

Untuk memenuhi kebutuhan akan guru agama Hindu, masyarakat Tolotang mengirimkan beberapa orang pemuda setempat untuk dididik di Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Negeri Denpasar, Bali. Di sekolah tinggi tersebut mereka dididik untuk menjadi tenaga pengajar agama Hindu. Setelah selesai kuliah, mereka kemudian ditempatkan di beberapa sekolah di Kabupaten Sidenreng Rappang. Untuk sementara sampai saat ini satu orang guru mengajar

Eksistensi Masyarakat Hindu Tolotang, Sulawesi Selatan

murid-murid dari beberapa sekolah sekaligus. Setelah berhasil mendidik tenaga pengajar agama Hindu pada tahap awal ini, tahap selanjutnya secara periodik tetap dilakukan perekrutan pemuda setempat untuk dididik sebagai tenaga pengajar di STAH Denpasar, Bali, maupun STAH Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dengan demikian regenerasi tenaga pengajar agama Hindu tetap berjalan. (Data Calon Mahasiswa IHDN Hindu Alukta dan Hindu Tolotang, Sulawesi Selatan, Tahun 2007. Media Hindu edisi 40, Juni 2007).

Meskipun terdapat perbedaan filosofi antara kepercayaan Tolotang dengan agama Hindu, kurikulum yang diberikan disamakan dengan kurikulum agama Hindu secara umum, termasuk di antaranya diperkenalkan dengan konsep reinkarnasi dan moksa (penyatuan atman/ roh dengan Tuhan). Hal ini dimaksudkan agar pemahaman filosofi agama Hindu relatif sama antara etnis satu dengan etnis yang lain. Mereka juga diperkenalkan dengan mantram Tri Sandhya, yaitu mantram yang digunakan untuk persembahyangan tiga kali sehari dan diberlakukan untuk seluruh umat Hindu dalam lingkup nasional di Indonesia. Namun sebelum mengenal sembahyang Tri Sandhya, penganut Hindu Tolotang telah mempunyai cara sembahyang sendiri, yaitu berdiam diri untuk mengingat Tuhan pada saat pergantian waktu dari pagi ke siang, siang ke sore, dan sore ke malam. Isi doa tersebut adalah bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, mengucapkan terima kasih, dan mohon keselamatan. Doa-doa tersebut diucapkan dalam hati, bukan dengan ucapan dari mulut. Dalam bersembahyang mereka juga tidak menggunakan media tertentu, seperti: dupa, ratus, bunga, dan lain-lain. Sembahyang dapat dilakukan dengan posisi duduk maupun berdiri.

Di samping terdapat perbedaan konsep reinkarnasi dan hari kiamat, terdapat perbedaan-perbedaan implementasi ajaran Hindu dalam kehidupan sehari-hari antara umat Hindu Tolotang dengan umat Hindu pada umumnya, khususnya umat Hindu dari Bali, seperti salam terhadap sesama umat Hindu, tempat ibadah, dan etika dalam persembahyangan. Dalam hal mengucapkan salam terhadap sesama umat Hindu Tolotang ketika saling bertemu, tidak menggunakan kata “Om Swastiastu”, melainkan”Salamo”, yang merucapan ucapan salam bagi masyarakat Bugis pada umumnya. Salam ”Om Swastiastu” baru diucapkan ketika bertemu dengan umat Hindu dari etnis lainnya. Dalam hal tempat ibadah, Hindu Tolotang tidak menggunakan tempat beribadah secara khusus, melainkan menggunakan rumah adat-rumah adat milik para uwata. Demikian pula apabila umat Hindu etnis Bali,

Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi

mempunyai waktu khusus untuk bersembahyang di pura setiap purnama dan tilem (bulan mati), Hindu Tolotang tidak mempunyai waktu khusus untuk sembahyang di rumah-rumah para uwata. Dalam hal larangan yang harus dipatuhi, penganut Hindu etnis Bali mempunyai larangan bagi orang yang sedang mengalami cuntaka (wanita sedang menstruasi atau nifas dan orang-orang yang sedang berduka karena kerabat dekatnya meninggal dunia). Sebaliknya, umat Hindu Tolotang tidak mengenal larangan-larangan seperti itu. Semua orang, bagaimana pun kondisinya, tetap diperkenankan untuk datang mengikuti upacara-upacara.

Perbedaan implementasi tersebut pada hakikatnya ditanggapi oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia sebagai bagian dari keragaman implementasi keagamaan umat Hindu, sehingga tidak dianggap sebagai hal yang dapat memecah-belah kesatuan umat Hindu. Sebagaimana telah disebutkan di atas, dalam agama Hindu dikenal prinsip desa, kala, patra (tempat, waktu, dan keadaan), yang memungkinkan terjadinya perbedaan tempat dan waktu ibadah, etika dalam persembahyangan, dan ucapan salam, yang disesuaikan dengan tradisi setempat.